Sejak kejadian seragam olahraga hijau stabilo, Vika berubah 180 derajat. Dia menjadi lebih pendiam. Memang, selama ini gadis itu bukanlah pribadi yang senang berbicara karena peran itu adalah milik kakaknya, Divya. Akan tetapi, Vika menjadi lebih pendiam daripada itu. Dia tidak mau berbicara jika tidak ditanya ataupun sesuatu yang penting untuk diutarakan. Seolah-olah dia menarik diri ke jurang kenyamanannya sendiri.
“Sarapan, Vik,” ajak Mama.
Vika yang sedang mencangklongkan tas punggungnya mendekati meja makan. Tanpa berkata apa-apa, dia hanya mengambil roti lapis dan mengucapkan kata pamit, “Ada tes pagi-pagi,” alasannya.
Seraya berjalan menuju pintu rumah mereka, samar-samar dia mendengar pembicaraan antara Mama dan Papa.
“Vika makin kurus ya, Ma.”
“Bagus, dong. Dietnya berhasil.”
“Tapi, Papa nggak pernah lihat Vika makan. Yakin, dietnya benar?”
“Masih ada 10 kilo l
Vika memerhatikan pantulan wajahnya di cermin. Mengenakan gaun berwarna merah jambu yang melebar di bagian bawah, dia merasa seperti seorang putri. Senyum Mama di latar belakang menjadikan hatinya melompat-lompat gembira. “Jam berapa kamu dijemput?” Tarikan mulut dari sisi kiri dan kanannya melebar. Penjemput yang dimaksud oleh ibunya adalah Richo. Tentu saja dia mengiyakan ajakan laki-laki itu tempo hari. Kesempatan seorang junior diajak ke prom oleh kakak kelas adalah satu berbanding seribu. Tambahkan itu dengan kenyataan bahwa Vika bukanlah perempuan kurus tinggi dan langsing sesuai standar kecantikan yang disepakati oleh masyarakat. Jadi, tidak heran kalau Vika seolah-olah mendapatkan durian runtuh. “Masih ada 15 menit lagi,” ujar Mama setelah melihat kode tujuh jari yang diacungkan olehnya. “Mau ngemil dulu?” tawar Mama. Vika menggeleng kuat-kuat dengan cepat. Dia tidak mau asupannya memengaruhi penampilannya Sabtu malam itu. Vika bertambah senan
Dalam kebingungan itu, salah seorang siswa sekolah yang Vika lupa namanya, berhenti dan mencibirnya, “Artis mading!”Majalah dinding! Berbekal informasi itu, tahulah Vika kalau dia harus ke dinding tempat sekolah mereka biasanya menempelkan berbagai pengumuman. Tepat di tengah-tengah, imaji gaun berwarna merah jambu dengan bagian rok yang super lebar, begitu familiar di benaknya. Tentu saja, pemakai gaun itu adalah dia. Berjongkok di depan aula sambil menutup mata dengan tangannya. Apa yang tersaji dalam foto itu adalah kejadian tadi malam pada saat pesta dansa prom.Siapa yang memotretnya diam-diam kemudian menempelkan foto itu di sana? Berbalik badan, semua siswa menunjuk-nunjuk dan menertawainya. Tidak lagi berupa ngikik tertahan, tapi mangap terbahak-bahak.“Cinderella gagal,” celetuk salah satu siswa.“Ngaca, dong. Mana ada Cinderella kayak karung beras,” sambung yang lain.“Memalukan
Gerakan mulut gadis yang duduk di hadapannya naik turun seiring dengan huruf-huruf yang diejakan oleh wanita itu. Meskipun memandanginya sedari tadi, Vika sama sekali tidak mengerti rentetan kata yang diucapkan kakaknya itu. Tidak ada kalimat yang dapat dia cerna dan simpan dalam labirin otaknya. Sepanjang Divya berceloteh, dia menyibukkan diri dengan menyesap minuman yang tadi dipesan oleh kakaknya itu.“Aku telepon Mama, ya?”Kaget mendengar permintaan itu, sontak Vika berhenti minum tapi tanpa melepaskan gelas dari bibirnya. Pinggiran gelas itupun masih menempel sehingga cairan membasahi bibirnya secara konsisten.“Berapa nomor kamu?”Vika membuka mulut sehingga cocktail kembali meluncur ke tenggorokannya. Kemudian, dia menurunkan gelas minuman yang sekarang telah habis tidak bersisa.Oleh karena Vika tidak menanggapi apapun pertanyaan kakaknya itu, Divya meraih telepon genggamnya sendiri. Penuh curiga, Vika meny
“Ibu, hari ini saya datang mau bikin Ibu cantik untuk yang terakhir kalinya. Mohon diizinkan,” kata seorang gadis gendut seraya mengenakan sarung tangan. Setelahnya, dia mengambil alas bedak dari meja beroda yang terletak di sampingnya.Gadis yang bernama Vika itu meneliti wajah yang rebah di hadapannya. Alas bedak sudah tergenggam di tangan. Jeda sejenak tatkala dia mengumpulkan konsentrasi dengan menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dari mulut. Kemudian, dia membuka alat rias tersebut dan menepuk pulasan pertama ke dahi jenazah yang ada di depannya. Begitu terus dia lakukan selembut mungkin sampai merata keseluruhan. Wajah yang pucat pasi itu, Vika permanis dengan semburat warna merah muda pada bagian pipi. Tidak lupa pula, dia menghiasi mata yang tertutup dengan pemulas berwarna senada. Vika mempertegas alis dan sebagai sentuhan terakhir, dia mengoleskan lipstik.Vika mundur selangkah untuk memeriksa riasan yang dia aplikasikan. Tentu saja dia
Udara Jakarta sore itu sedang bagus-bagusnya. Sebentar tadi sempat hujan sehingga udaranya sejuk mengusir terik tadi siang. Vika mendongakkan kepala ke atas. Masih ada percikan biru di langit sana dengan awan yang berarak. Indah. Ini seperti semesta mendukungnya. Gadis itu mengalihkan fokus kepada gedung di depannya, Djakarta Theater, tempat janji temu dengan pengirim pesan yang membuat suasana hatinya hari ini jadi sangat baik. Ralat, bukan hanya hari ini saja, tapi sudah enam bulan terakhir.Sekonyong-konyong, matanya menangkap seorang wanita bersanggul dan berkebaya sedang berdiri di ujung tangga. Perawakan ibu itu seperti familiar di benak Vika. Akan tetapi, dia tidak sanggup mengidentifikasi. Sang Ibu hendak turun namun langkahnya tertahan seperti ragu-ragu. Menduga ibu tersebut membutuhkan bantuan, Vika langsung menyongsongnya.“Saya bantu, Bu,” katanya dengan tangan terulur.Ibu berkonde menyambut niat baiknya. Sentuhan telapak tangan Sang Ibu
Kondisi rumah kosnya sepi ketika Vika pulang malam itu. Satu rumah petak di lantai bawah sedang kosong, sehingga sumber penerangan di sana berasal dari teras Teh Euis. Di lantai atas, dari lima kamar yang tersedia, hanya empat kamar yang ada penyewanya. Dari empat kamar itu, dua kamar saja yang sedang ditempati karena dua penghuni lain sedang pulang kampung.Langkahnya gontai dan terseret. Untungnya, lorong lantai atas tidak diterangi cahaya lampu sudah berbulan-bulan ini, sehingga kesedihannya tersembunyi dalam gelap. Saat membuka pintu, Vika disambut bau apek yang menguar tajam karena tidak ada ventilasi memadai di kamar itu. Baju-baju berantakan di sana-sini karena tidak segera dia bereskan sebelum pergi tadi. Dia ingin segera berbaring tetapi kasurnya masih dalam posisi berdiri.Tidak sengaja dia menampak dirinya sendiri pada cermin di lemari baju. Bajunya basah dan kotor berlumpur. Maskaranya sudah luntur oleh tangis. Salah satu bulu mata palsu sudah terlepas dan
Bukti kekacauan tadi malam berserakan di sana-sini. Tempat tidurnya belum diturunkan dan ada gaun merah terhampar di lantainya. Teriris hatinya, Vika melempar baju itu ke tempat sampah. “Vikaaa!” Terlonjak Vika sewaktu panggilan itu mendarat di gendang telinganya. Dia membalikkan badan. Di sana, berdiri satu sosok berperawakan kutilang darat alias kurus tinggi langsing dada rata. Bagian terakhir tak bisa disangkal karena jenis kelamin orang itu adalah laki-laki. “Hei, wanita,” lalu berhenti sejenak karena matanya melayang ke seluruh penjuru kamar Vika yang berantakan. “Wanita musuhnya Marie Kondo.” Terbit cengiran samar di wajah Vika. Mau tidak mau. Pasalnya, dia tahu betul Marie Kondo adalah pakar kerapian asal Jepang yang pasti akan pusing kepala menyaksikan kamarnya yang jauh dari kata terorganisir. “Arman? Jauh-jauh ke sini?” “Mirah Delima.” Vika mengerutkan jidat. Berpikir keras-keras kenapa merek kosmetik itu yang jadi ja
“Hei, wanita,” jeda sejenak sebelum kata-kata itu dilanjutkan dengan, “Where’s Waldo!” yang mengacu kepada baju yang Vika kenakan saat itu. Kaos berlengan buntung dengan motif garis-garis merah dan celana tidur berwarna biru langit. Siapa lagi pencetus kalimat itu kalau bukan Arman, sahabatnya yang sama-sama berprofesi sebagai makeup artist. “Jadi sering ke sini, Man?” “Nggak boleh?” Laki-laki itu melepaskan sepatu dan masuk ke kamarnya. Dengan santai, Arman duduk di satu-satunya kursi yang ada di kosan Vika dan membongkar-bongkar apa saja yang ada di meja. Pagi itu, Vika baru selesai mandi dan mengeringkan rambut hitam sebahunya dengan handuk. “Kemarin lusa katanya mau pinjam tas. Sekarang?” Arman menarik satu fail dari mejanya. Dokumen bersampul cokelat. “Ginkgo Biloba,” ujar sahabatnya itu sembari berdeham. “Gue nggak lupa. Emang sengaja. Nggak mau datang.” “Lo tuh ya kadang-kadang.” Arman membaca lembaran-lembaran