Menikah dengan kuli panggul bisa hidup bahagia? Bagi Ayudisha, ini adalah suatu hal di luar nalar. Namun, dia tidak bisa mengelak saat Sigit datang melamarnya. Karena desakan ayah dan ibu tirinya, Ayudisha pun setuju. Hanya dengan cara inilah, dia terbebas dari julukan Perawan Tua. IG:@s.z.lestari
View More“Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik
"Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me
“Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit
"Itu ... aku mau beliin kamu baju baru." Sigit menunduk memerhatikan pakaiannya. "Emang kenapa? aku jelek?" kemudian alisnya terangkat. Aku segera menggeleng. Khawatir dia tersinggung. "Bukan gitu kok." Kujawab demikian. "Terus kenapa?" mata Sigit kembali menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut. "Baju kamu itu itu aja. Mau ya aku beliin?" aku menatapnya. Sigit menatapku. "Beli aja yg thrift. Kamu tau kan tempatnya? banyak yang bagus asal bisa milih." Aku mengangguk lalu tersenyum. "Kenapa enggak mau yang baru aja?" kutopak daguku dengan sebelah tangan. Sigit kembali menatap layar ponselnya. "Supaya Ibumu enggak tau baju baru." Ada benarnya juga jawaban dia. Aku setuju kalau begitu. Kuperhatikan Sigit yang kembali memerhatikan layar ponselnya. "Ada urusan penting?" tanyaku akhirnya. Padahal aku tidak boleh ikut campur urusan dia. Namun, aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk bertanya. Sigit menatapku agak lama kemudian mengangguk. "Mau ketemu orang,"
“Enggak bisa jawab?” Ibu menatapku dan Sigit bergantian.Saat aku hendak membuka mulutku, ponsel Ibu berdering dari tas jinjing yang dipakainya. Tas jinjing berbeda dengan sebelumnya. Aku baru menyadari tas jinjing milikku yang direbut Ibu kini dipakai oleh Utami. Aku menghela napas hingga Ibu menoleh. Tangannya masih mengeduk tasnya.“Apa?!” Ibu bertanya dengan mata melotot. Aku menggeleng pelan lalu menunduk.Utami sedang membuka tasnya lalu mengeluarkan beberapa alat kosmetik. “Aku yakin, kamu enggak akan bisa belum skincare kayak gini.” Utami memamerkan padaku produk perawatan wajah merek terkenal. Entah asli atau palsu. “Suamimu kan Cuma kuli panggul. Mana mampu beliin.”Ibu tertawa. Tangannya berhasil mengeluarkan ponselnya. “Wah, Jeng Anna.” Ibu bersorak lalu mengangkat telepon. Ibu menjawab telepon dengan nada riang. Kontras sekali dengam ucapannya padaku atau Sigit. sangat menyakitkan. “Oke, Jeng. Saya segera ke sana sama anak saya. Tunggu ya.”Setelah selesai menerima telepo
“Darimana saja kalian?” Ibu bertanya. Kali ini suaranya tidak menggelegar seperti yang sudah-sudah.“Kami sarapan dulu, Bu.” Sigit yang menjawab.Aku memilih sembunyi di belakang punggung Sigit yang tegap. Aku berusaha untuk menyembunyikan headset bluetoothku di tas. Berharap Ibu tidak menyadari ketika tadi aku masih memakainya walau hanya sebelah.“Buka tokonya.” Ibu berkata memerintah.Sigit berbalik padaku. “Mana kuncinya?” dia mengulurkan tangannya padaku.Dengan gugup aku mengeluarkan kunci tersebut dari saku celana yang kupakai. Kunci jatuh ke lantai dengan bunyi gemerincing. Saat aku berusaha untuk mengambilnya, Sigit pun melakukan hal yang sama. Tangan kami beradu di lantai toko yang kotor.“Sabar, ya.” Sigit berkata berbisik padaku. “Jangan takut sama Ibu.” Dia menambahkan lagi masih berbisik.Aku bergumam menanggapi. Walau begitu, aku masih takut pada Ibu yang suka marah tidak tahu tempat. Membuatku malu setengah mati. Membuatku seperti orang bodoh di mata orang lain. Namun,
“Enggak juga.” Sigit menatapku lalu tersenyum.Asap rokok yang dihisapnya membumbung tinggi ke udara. Sigit mencoba menghembuskannya ke arah kiri saat aku duduk di kanannya. Penjual memberikan pesanan bubur ayam padaku. Aku tersenyum.“Terima kasih, Mang,” ucapku. Penjual bubur mengangguk kembali meracik pesanan yang lain. Aku mulai makan tetapi pikiranku membumbung tinggi bagaikan asap rokok yang dihembuskan oleh Sigit.“Selalu enggak di makan.” Tangan Sigit mengambil daun bawang yang aku pinggirkan di mangkuk buburnya kemudian dia memakan dengan pelan.Aku memerhatikannya saksama. Dia tampan. Sudahkah aku mengatakannya? Aku telah berkata demikian berulang kali. Dia baik. Dia perhatian. Namun, aku tidak tahu apakah dia meyayangiku atau tidak. “Kenapa?” Sigit menatapku balik. Alisnya terangkat. “Ada yang mau kamu omongin?”Aku kembali makan lalu menggeleng. Aku masih canggung padanya setelah apa yang kukatakan padanya kemarin. Seharusnya aku tidak mengungkapkan isi hatiku. Seharusny
“Ayu?”Aku diam lalu meletakkan pisauku. Kututup mataku demi mengatur deru napasku. Tidak ada lagi suara yang tercipta antara kami berdua. Sigit masih berdiri di tempatnya. Di sampingku dan tidak bergerak.Aku menunduk. Kutumpukan kedua tanganku di konter dapur. Aku kembali mengatur napas perlahan lalu mulai berpikir. Apakah aku egois? Apakah aku salah jika kecewa padanya? Harga diriku 200 juta. Aku sebagai alat untuk syarat pelunasan hutangnya.“Aku minta maaf.” Sigit berkata lagi. “Mungkin kejujuranku menyakitkan hatimu. Tetapi itulah yang sebenarnya, Ayu.”Kubuka mataku lalu kembali menghela napas. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada tempatku mengadu hanya sekedar berbagi pikiran. Aku tidak punya teman dekat. Sekarang hanyalah Sigit orang terdekatku.“Oke,” ucap Sigit. dari sudut mataku dia mundur perlahan. “Aku berangkat kerja sekarang. Apa kamu mau bareng ke pasar?”Aku menggeleng. Tidak ketika suasana hatiku sedang seperti ini. Aku butuh berpikir. Kutatap potongan bahan sa
“Semuanya.” Sigit menjawab.Aku menghela napas. Kutatap langit-langit kamar mengingat jawabannya tadi. Sigit sudah tidur di tempat semula. Di bawah. Dia tidak mau tidur satu kasur denganku. Hari sudah malam ketika kami sampai rumah.Ibu tidak menunggui kami seperti sebelumnya. Rumah dalam keadaan sepi. Gelap. Entah ke mana mereka pergi. Selalu seperti itu sejak dulu. Pergi tanpa pamit atau memberitahukan anggota keluarga lainnya.Kumiringkan badanku. Mataku bersirobok dengan mata Sigit. Ternyata suamiku itu belum tidur juga. Dia menatapku.“Kenapa belum tidur?” tanyanya.Aku diam. Rasa sakit di hatiku masih ada. Aku mesti tahan bersama dengan pria yang tidak mencintaiku itu selama satu tahun ke depan. Menyesal aku telah mengutarakan isi hatiku padanya. Seharusnya kupendam saja rasa di hatiku ini.“Maaf.” Aku menjawab parau.“Untuk?” Sigit bertanya padaku.“Untuk perasaanku ke kamu.”Sigit menghela napas. “Perasaan enggak bisa dicegah. Itu murni mengalir, Ayu.” Dia menjawab pelan.Aku
“Bangun! Dasar pemalas!”Aku berusaha mengangkat badanku dari atas tempat tidur. Dengan kepala berat, aku mendongak menatap ibu yang berdiri berkacak pinggang di hadapanku. “Ya, Bu?” aku menggenggam kepalaku yang berdenyut. Menangis semalaman membuat pagiku begitu berat.“Pukul berapa ini?!” Ibu mengetuk lengan kirinya seolah dia menggunakan jam tangan di sana. “Bangun!” kini disertai tangannya yang melayang menampar lengan kananku kemudian mencubit punggung tangan kiriku. Sakit sekali. “Bu, bukan mauku—”“Enggak ada alasan!” Ibuku kembali bersuara mematahkan ucapanku yang tidak selesai. “Bangun kesiangan terus. Pantes aja jodohmu jauh!”Aku mendesis pelan berusaha menahan sakit kepalaku. “Aku baru kali ini kesiangan, Bu.” Aku tidak pernah kesiangan sebelumnya. Karena kejadian kemarin, aku jadi terlambat bangun. “Heh!” Ibu melotot padaku yang berusaha bangkit dari atas tempat tidur. “Bantah kamu, ya?! Berani bantah Ibu?” Aku duduk di tepi tempat tidur kemudian menunduk. “Enggak bu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments