“Ayah.”
Akhirnya aku memilih untuk menurut. Aku tidak jadi kabur. Aku menunduk memerhatikan gaun pinjaman milik Ibu yang sedikit kebesaran di tubuhku. Aku menghela napas pelan. Aku seperti orang-orangan sawah dengan gaun merah menyala dan warna lipstick yang juga menyala. Aku berjongkok meletakkan tiga cangkir teh manis hangat dan biskuit sebagai pendamping minum teh. “Duduk, Ayu.” Ayah memerintah dan itu multak harus dituruti. “Ya, Ayah.” Kujawab pelan ucapan beliau. Ibuku sudah duduk di samping Ayah. Kuletakkan nampan di meja. Masih menunduk aku duduk berseberangan dengan pria yang belum kutahu siapa namanya dan bagaimana rupanya. “Ayu, angkat kepalamu. Di depanmu itu calon suamimu.” Ibu mulai angkat bicara. Nada bicaranya seperti biasa. Tidak mau dibantah. Dia tidak menjaga wibawanya seperti ketika dia berhadapan dengan Alex. “Ayu?” Ibu berkata lagi. Aku bergeming. Aku tidak mau melakukannya. Aku harap Ayah mengerti. Aku harap Ayah menurutiku kali ini. “Ayu. Angkat kepalamu. Sigit mau melihat wajahmu. Besok kamu akan menikah.” Ibu berkata lagi. Aku terhenyak. Besok? Aku besok menikah? tidak adakah diskusi denganku dahulu? Semaunya membuatku menikah dengan orang yang tidak kucintai dan sekarang secara sepihak lagi menetapkan tanggal pernikahan untukku? “Ayu, kamu nggak dengar omongan Ibumu? Angkat kepalamu.” Ayah kembali berbicara. Kukepalkan tanganku erat. Nyatanya aku tidak bisa pergi dari sini. Bisa saja aku kabur melalui pintu belakang tetapi aku tidak bisa. Aku berat dengan rumah ini. Ini adalah rumah milik mendiang Ibu kandungku. Aku tidak bisa pergi begitu saja dari rumah ini. Rumah ini memiliki kenangan apalagi kamar yang kutempati. Kamar itu adalah kamar milik Ibu kandungku ketika beliau masih hidup. Ada begitu banyak drama yang terjadi sebelum Ibu kandungku meninggal dunia. Oke, aku menurut. Kuangkat kepalaku dan menatap pria yang akan menjadi calon suamiku. “Halo, Ayu.” Pria itu menangguk padaku seraya tersenyum. Mataku berkedip memerhatikan pria yang duduk di hadapanku. Kursi yang menurut kami cukup muat malah membuat dirinya seolah kesempitan dengan lutut yang menyentuh ujung meja. “Ayu, beri salam.” Suara Ibu membuatku berkedip. Aku menoleh pada Ibuku. “Salam!” Ibu berkata lagi sedikit keras lalu menggeleng berulang kali. Aku menurut. Aku berdiri dari dudukku lalu mengulurkan tanganku pada pria yang ada di hadapanku. “Sigit.” Dia menyalamiku dengan sedikit meremas tanganku. Tangannya kasar khas pekerja keras pada umumnya. “Ayu.” Aku menjawab enggan dan segera menarik tanganku. “Sepakat besok menikah.” Ayah berkata lagi. Dia menatap Sigit. Sigit mengangguk tanpa bersuara. Ayah menoleh pada jam di dinding. “Ayah masuk ke dalam dulu. Silakan kalau mau ngobrol.” Kemudian Ayah beranjak diikuti Ibu. “Tetapi cuma sampe jam delapan saja. Paham?” Ibu menimpali. Matanya menatap Sigit lalu padaku. Aku hanya diam. Tidak sampai pukul delapan malam pun aku akan mengusir Sigit sebentar lagi. Kuperhatikan jam dinding yang tergantung. Pukul tujuh malam. “Besok pagi bisa siap-siap ke KUA?” Sigit membuka percakapan. “Pagi? Jam berapa?” kupikir akan menikah di rumah dengan mengundang penghulu. “Jam tujuh pagi.” “Apa?” aku terkejut. “Pagi banget. Memangnya KUA sudah buka?” Sigit mengangguk. “Yakin banget kamu.” Aku sangsi. Mana ada KUA pagi-pagi sudah buka. “Saya sudah ke sana tadi sebelum datang ke sini. Orangnya setuju.” “Ngapain sih pagi-pagi nikahnya?!” tidak ada yang membuatku memilih. “Saya harus kerja.” Sigit menjawab santun. “Lagipula, kamu nggak usah dandan.” Aku berdecak. “Terserah.” *** Aku menguap lebar. Nyatanya aku dibangunkan Ibu pukul empat pagi. Utami dengan wajah tidak suka, mendandaniku tadi. Aku ingat ucapannya tadi ketika merias wajahku. “Aku tuh dimintai tolong Ibu. Kalau bukan Ibu yang nyuruh, mendingan aku tidur.” Aku duduk di kamarku, jam di dinding menunjukkan pukul sembilan pagi dan aku masih mengantuk karena kurang tidur. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang ada di genggaman tanganku. Suka tidak suka, aku mesti mengakui kalau riasan tangan Utami bagus. Sebelum berangkat kerja Utami pun menyempatkan diri ikut ke KUA bersama Alex tentunya. Wajah Alex kali ini sumringah melihatku menikah. “Saya mau ke pasar dulu, Ayu.” Suara Sigit membuyarkan lamunanku. Aku meliriknya yang sudah berganti pakaian dengan kaus oblong lusuh dan celana pendek di bawah lutut. Aku dan dia mendapatkan pinjaman pakaian pengantin dari KUA. Kini pakaian pengantin itu dibawa Ibu secara sukarela ke tempat pencucian pakaian dan akan dialamatkan langsung ke KUA setelah selesai dicuci. “Ya.” Aku menjawab sekedarnya. Sigit menoleh padaku di depan pintu. “Ada yang mau dibeli? Sekalian nanti kubelikan.” Aku menggeleng. “Serius?” Sigit kembali bertanya. Aku berdecak. Timbul niatku untuk membuatnya susah. “Kalau begitu belikan aku martabak premium Mas Anto itu. Kamu pasti tahu.” Sigit mengangguk. “Tahu,” jawabnya yakin. “Mau yang mana?” Kugaruk daguku yang tidak gatal kemudian aku menghela napas pelan. Tidak sampai hati aku menyusahkannya yang pastinya berpenghasilan sangat kecil. Martabak premium harganya lima puluh ribuan keatas. Tidak ada yang murah. Uang seorang kuli panggul yang kutahu dibawah harga martabak premium. “Nggak jadi.” Aku menjawab kemudian. Alisnya terangkat. “Kenapa?” dia bertanya heran. “Kamu takut bersamaku nggak bisa makan enak? Iya?”“Kamu suka martabak rasa cokelat atau stroberi?” Sigit kembali bertanya padaku. Dia masih berdiri di hadapanku. Satu tangannya mengalungkan tas pinggang di pundaknya. Kuperhatikan dia memasukkan ponsel keluaran lama yang hanya bisa untuk menelepon dan menerima SMS saja ke dalam tas pinggangnya. Dompet berwarna cokelat kumal dan sudah lusuh tidak lupa dia masukkan juga. “Terserah.” Aku mengangkat bahu. Aku pemakan segala tetapi aku gengsi mengatakan padanya mengenai kesenanganku makan. Sigit mengangguk. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu lalu padanya. Alisku terangkat. Mau apa dia?“Salim.” Sigit berkata pelan.“Oh.” Aku mulai paham. Aku lupa kami sudah menikah. Kuulurkan tanganku menyalami tangannya akan tetapi dia malah mendorong tangannya ke dahiku. Aku berusaha untuk tidak memutar mataku. Aku belum terbiasa ada pria lain di dalam kamarku. “Saya berangkat dulu.” Sigit berkata pelan. “Kalau bisa, kamu di rumah aja.”Aku lagi-lagi berusaha menahan decakanku.
“Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.” Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku.“Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi. Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur.“Mau ke mana?” Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.”“Enggak. Saya dari toilet.”“Kamu mules?”Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?”Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aj
“Menurutmu saya kerja apa?” Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya.“Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya.Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya.“Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus.“Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.”Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi.Makan malam berlangsung santai. Sigit b
“Sebentar,” jawabku lalu menuju pintu kamar. Kulirik Sigit yang malah duduk di tepi tempat tidur. Matanya sedang memerhatikan layar ponsel jadulnya dengan alis berkerut.Tok! Tok! Tok!Kini ketukan pintu itu terdengar tidak sabar. Namun, suara Ibu belum terdengar seperti biasanya.“Iya,” jawabku lalu membuka pintu. Dan benar saja, Ibu yang berdiri di depan pintu kamar. Wajahnya merah padam. Aku mundur dua Langkah dengan napas tertahan.“Ada apa, Bu?” Sigit bersuara tepat di belakangku.“Kalian bertanya ada apa?” Ibu berkata dengan gigi terkatup. “Apakah Utami tidak memberitahukan kalian tadi?”Aku menelan ludah. “Ya, Bu,” jawabku pelan.“Tidur di luar?” Sigit bertanya balik.“Tunggu apalagi?!” suara Ibu menggelegar. “Malam ini kalian enggak boleh tidur di dalam kamar ini! Keluar!”“Bu,” aku mulai bersuara.“Ayu, enggak ada bantahan!”Sigit berjalan melewatiku. “Ayo keluar, Ayu,” ucap Sigit kemudian.Aku menghela napas pelan. Hanya karena minat pembeli menurun hari ini malah berakhir s
“Saya tinggal di pasar. Tidur di mana saja yang penting bisa tidur.”Aku manggut. Bisa kubayangkan Sigit tidur di lantai yang kotor atau di emperan toko yang sudah tutup.“Boleh tanya?” ada satu yang masih mengganjal pikiranku.Silakan.”“Ke mana orang tuamu?” sebab saat menikah hanya dia saja seorang diri tanpa ada pendamping atau orang tuanya. Apakah mereka tahu Sigit menikah? Atau mereka sudah tiada?Sigit membuka matanya. Dia menatapku. “Masih ingat surat perjanjiannya?”Aku manggut.“Kamu sudah kelewat batas,” ucapnya dengan nada tidak suka yang membuatku tersentak. Aku tidak berniat untuk mengorek apa pun darinya. Aku hanya penasaran.Aku menunduk. “Maaf.”“Enggak perlu.” Sigit menjawab pelan. “Tidur. Sudah malam.”Aku menghela napas pelan. Aku menyandarkan punggungku di dinding lalu memejamkan mata. Berharap pagi cepat datang.“Ayu,” aku mengernyit mendengar suara Sigit memanggilku. “Bangun.” Kukucek mataku lalu perlahan menatapnya. Hari masih gelap ketika Sigit sudah berdiri d
“Permisi? Mbak?”Wanita itu memanggil lagi tatkala aku hanya memandangnya takjub. Cantik. Satu kata yang hanya bisa kuungkapkan. Aku Wanita saja memandang dia cantik, apalagi para pria yang melihatnya.“Sigitnya enggak tau ke mana.” Aku menjawab cepat.“Oh, yaudah.” Wanita itu mengangguk lalu berbalik.“Ada pesan buat Sigit?” aku bersuara lagi sebelum dia menghilang dari pandangan. Penasaran aku dengan Wanita yang ada di hadapanku ini. “Nanti saya sampaikan sama dia,” imbuhku.Wanita itu berbalik lalu menggeleng. “Enggak, Mbak. Enggak begitu penting juga.” Dia mengibaskan tangannya. “Cuma mau tau kabarnya aja.”Alisku terangkat. Bolehkah aku mengatakan padanya kalau aku ini istrinya Sigit? Oh, aku lupa pada surat perjanjian itu. Kami menikah hanya satu tahun. Setelahnya selesai. Entah bagaimana caranya menyelesaikan pernikahan ini. Aku tidak bisa berpikir sampai ke sana.“Oh, oke.” Aku manggut. Mencoba untuk mengesampingkan rasa jengkelku pada Wanita yang sok misterius ini. Kugelengk
“Dari mana saja kamu?!” suara Ibu menggelegar. “Jam berapa ini?!” lagi, Ibu mengetuk pergelangan tangannya yang tidak memakai jam tangan.Aku mendongak melihat jam dinding. “Jam delapan lewat,” balasku pelan pada Ibu.Ibu mengulurkan tangannya tidak sabar. “Mana uang hari ini?”Aku memberikan kantung plastik hitam pada Ibu. “Ini, Bu,” jawabku. Aku tidak punya tas jadi semua uangnya kumasukkan ke dalam kantung plastik.Ibu membuka plastiknya dengan tidak sabar. Ibu menghitung uangnya dengan tidak sabar. “Kenapa cuma segini?! Biasanya banyak!”Aku menunduk. “Memang segitu, Bu.” Mau semana lagi uang yang harus didapat? Satu milyar? Apakah itu maunya Ibu? Aku tidak tahu jalan pikirannya.Ibu menggeram seperti singa marah lalu mengulurkan tangannya mencubit lengan kiriku. Sakit sekali karena Ibu memuntirnya tanpa ampun. Aku meringis berusaha meredam teriakanku.“Satu minggu ini dapatnya segini terus!” suara Ibu menggelegar. Aku heran Ayah tidak keluar dari kamarnya mendengar suara Ibu. “Ba
“Enggak perlu.” Perasaanku sudah tidak karuan hari ini. Aku tidak mau mendengarkan ucapan mabuk kepayangnya pada Wanita cantik yang aku tidak tahu namanya siapa itu.“Okay,” ucap Sigit.Aku memutar mata. Dia tidak berniat meluruskan jika memang tidak benar. Dia pun tidak berniat untuk mendesakku mendengarkan penjelasannya. Aku berdecak pelan. Lagipula apa ekspektasiku mengenai Sigit? Surat perjanjian kontrak yang tersimpan rapi di lemari pakaian mengingatkanku bahwa pernikahan ini sebatas kebutuhan belaka.Aku butuh suami agar tidak dicap sebagai perawan tua. Namun, aku tidak tahu kebutuhan dia menikahiku karena apa. Mungkin sama denganku. Usianya sudah cukup matang. 33 tahun menurut yang kutahu dari Ibu. “Nasi padang tadi masih buat kamu kenyang?”Sigit membuka percakapan setelah aku memilih diam. Porsi bungkus nasi padang memang lebih banyak dibandingkan makan di tempat. Aku pernah bertanya pada penjualnya mengapa begitu dan mereka menjawab kalau dibungkus lebih banyak agar seluru