Share

Bab 4 Menikahi Kuli Panggul

“Ayah.”

Akhirnya aku memilih untuk menurut. Aku tidak jadi kabur. Aku menunduk memerhatikan gaun pinjaman milik Ibu yang sedikit kebesaran di tubuhku. Aku menghela napas pelan. Aku seperti orang-orangan sawah dengan gaun merah menyala dan warna lipstick yang juga menyala. 

Aku berjongkok meletakkan tiga cangkir teh manis hangat dan biskuit sebagai pendamping minum teh. 

“Duduk, Ayu.” Ayah memerintah dan itu multak harus dituruti.

“Ya, Ayah.” Kujawab pelan ucapan beliau. Ibuku sudah duduk di samping Ayah. 

Kuletakkan nampan di meja. Masih menunduk aku duduk berseberangan dengan pria yang belum kutahu siapa namanya dan bagaimana rupanya.

“Ayu, angkat kepalamu. Di depanmu itu calon suamimu.” Ibu mulai angkat bicara. Nada bicaranya seperti biasa. Tidak mau dibantah. Dia tidak menjaga wibawanya seperti ketika dia berhadapan dengan Alex.

“Ayu?” Ibu berkata lagi.

Aku bergeming. Aku tidak mau melakukannya. Aku harap Ayah mengerti. Aku harap Ayah menurutiku kali ini.

“Ayu. Angkat kepalamu. Sigit mau melihat wajahmu. Besok kamu akan menikah.” Ibu berkata lagi.

Aku terhenyak. Besok? Aku besok menikah? tidak adakah diskusi denganku dahulu? Semaunya membuatku menikah dengan orang yang tidak kucintai dan sekarang secara sepihak lagi menetapkan tanggal pernikahan untukku? 

“Ayu, kamu nggak dengar omongan Ibumu? Angkat kepalamu.” Ayah kembali berbicara. 

Kukepalkan tanganku erat. Nyatanya aku tidak bisa pergi dari sini. Bisa saja aku kabur melalui pintu belakang tetapi aku tidak bisa. Aku berat dengan rumah ini. Ini adalah rumah milik mendiang Ibu kandungku. 

Aku tidak bisa pergi begitu saja dari rumah ini. Rumah ini memiliki kenangan apalagi kamar yang kutempati. Kamar itu adalah kamar milik Ibu kandungku ketika beliau masih hidup. Ada begitu banyak drama yang terjadi sebelum Ibu kandungku meninggal dunia. 

Oke, aku menurut. Kuangkat kepalaku dan menatap pria yang akan menjadi calon suamiku. 

“Halo, Ayu.” Pria itu menangguk padaku seraya tersenyum. 

Mataku berkedip memerhatikan pria yang duduk di hadapanku. Kursi yang menurut kami cukup muat malah membuat dirinya seolah kesempitan dengan lutut yang menyentuh ujung meja. 

“Ayu, beri salam.” Suara Ibu membuatku berkedip. Aku menoleh pada Ibuku.  “Salam!” Ibu berkata lagi sedikit keras lalu menggeleng berulang kali. 

Aku menurut. Aku berdiri dari dudukku lalu mengulurkan tanganku pada pria yang ada di hadapanku.

“Sigit.” Dia menyalamiku dengan sedikit meremas tanganku. Tangannya kasar khas pekerja keras pada umumnya.

“Ayu.” Aku menjawab enggan dan segera menarik tanganku. 

“Sepakat besok menikah.” Ayah berkata lagi. Dia menatap Sigit.

Sigit mengangguk tanpa bersuara.

Ayah menoleh pada jam di dinding. “Ayah masuk ke dalam dulu. Silakan kalau mau ngobrol.” Kemudian Ayah beranjak diikuti Ibu.

“Tetapi cuma sampe jam delapan saja. Paham?” Ibu menimpali. Matanya menatap Sigit lalu padaku.

Aku hanya diam. Tidak sampai pukul delapan malam pun aku akan mengusir Sigit sebentar lagi. Kuperhatikan jam dinding yang tergantung. Pukul tujuh malam. 

“Besok pagi bisa siap-siap ke KUA?” Sigit membuka percakapan.

“Pagi? Jam berapa?” kupikir akan menikah di rumah dengan mengundang penghulu.

“Jam tujuh pagi.”

“Apa?” aku terkejut. “Pagi banget. Memangnya KUA sudah buka?”

Sigit mengangguk. 

“Yakin banget kamu.” Aku sangsi. Mana ada KUA pagi-pagi sudah buka.

“Saya sudah ke sana tadi sebelum datang ke sini. Orangnya setuju.”

“Ngapain sih pagi-pagi nikahnya?!” tidak ada yang membuatku memilih. 

“Saya harus kerja.” Sigit menjawab santun. “Lagipula, kamu nggak usah dandan.”

Aku berdecak. “Terserah.” 

***

Aku menguap lebar. Nyatanya aku dibangunkan Ibu pukul empat pagi. Utami dengan wajah tidak suka, mendandaniku tadi. Aku ingat ucapannya tadi ketika merias wajahku. “Aku tuh dimintai tolong Ibu. Kalau bukan Ibu yang nyuruh, mendingan aku tidur.” 

Aku duduk di kamarku, jam di dinding menunjukkan pukul sembilan pagi dan aku masih mengantuk karena kurang tidur. Kupandangi wajahku di cermin kecil yang ada di genggaman tanganku. Suka tidak suka, aku mesti mengakui kalau riasan tangan Utami bagus. Sebelum berangkat kerja Utami pun menyempatkan diri ikut ke KUA bersama Alex tentunya. Wajah Alex kali ini sumringah melihatku menikah. 

“Saya mau ke pasar dulu, Ayu.”

Suara Sigit membuyarkan lamunanku. Aku meliriknya yang sudah berganti pakaian dengan kaus oblong lusuh dan celana pendek di bawah lutut. Aku dan dia mendapatkan pinjaman pakaian pengantin dari KUA. Kini pakaian pengantin itu dibawa Ibu secara sukarela ke tempat pencucian pakaian dan akan dialamatkan langsung ke KUA setelah selesai dicuci.  

“Ya.” Aku menjawab sekedarnya.

Sigit menoleh padaku di depan pintu. “Ada yang mau dibeli? Sekalian nanti kubelikan.”

Aku menggeleng.

“Serius?” Sigit kembali bertanya.

Aku berdecak. Timbul niatku untuk membuatnya susah. “Kalau begitu belikan aku martabak premium Mas Anto itu. Kamu pasti tahu.”

Sigit mengangguk. “Tahu,” jawabnya yakin. “Mau yang mana?”

Kugaruk daguku yang tidak gatal kemudian aku menghela napas pelan. Tidak sampai hati aku menyusahkannya yang pastinya berpenghasilan sangat kecil. Martabak premium harganya lima puluh ribuan keatas. Tidak ada yang murah. Uang seorang kuli panggul yang kutahu dibawah harga martabak premium. 

“Nggak jadi.” Aku menjawab kemudian. 

Alisnya terangkat. “Kenapa?” dia bertanya heran. “Kamu takut bersamaku nggak bisa makan enak? Iya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status