Beranda / Urban / Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa / Bab 3 Lamaran yang Mendadak

Share

Bab 3 Lamaran yang Mendadak

Penulis: S.Z.Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-26 14:40:44

“Apa kabar?” Alexander menatapku dengan senyum yang masih memesona. Pemikiran itu membuatku memalingkan wajah darinya.

“Baik.” Aku menjawab sekedarnya. Tidak mau aku larut dalam kesedihan tatkala melihatnya. Kami berpacaran selama lima tahun dan berakhir begitu saja hanya karena ketidakcocokan. 

Kembali aku berkutat dengan pakaian yang belum aku rapikan. Untuk apa Alex datang kemari ketika hari masih terang seperti ini? biasanya dia datang ketika hari sudah mulai gelap. Oh aku hampir lupa. Dia pacarnya Utami. 

Terdengar suara Utami di dalam kamar berbicara dengan Ibu. Entah apa. aku tidak mau ambil pusing. Tumben pula Utami sudah ada di rumah. Biasanya dia sibuk bekerja dan pulang nanti malam diantar Alex. 

“Eh Ayu, udah kembali ke dunia nyata?” suara Utami menyapa pendengaranku.  “Bengong aja daritadi.” Lalu dia tertawa. Namun, tertawa yang ditahan. Tawanya saja terkesan anggun. Apalah dayaku tertawa saja seperti babi yang mengik. 

“Emangnya enggak boleh?” aku menimpali tetapi dengan suara pelan. 

Lagi, Utami tertawa pelan. “Cari pacar sana. Supaya ada kegiatan.” Ternyata dia mendengar gumamanku. 

“Utami.” Alex berkata dengan nada memeringatkan.

Aku menahan diri untuk tidak memutar mata pada ucapan Alex. Aku tidak perlu untuk dibela seperti itu.

“Loh aku benar, Sayang. Dia mesti cari pacar.” Utami berdecak. 

Aku mendongak memerhatikan Utami yang sudah berganti pakaian rapi dengan tas tangan kerlap-kerlip berwarna merah muda, senada dengan warna gaunnya yang selutut. 

“Kan kalau punya pacar …,” Utami kembali berkata. “Bisa dibawa ke kondangan.”

Alisku berkerut mendengar ucapan Utami. Ke pernikahan membawa pacar menjadi tolak ukur? Yang benar saja. 

“Ayu mau nikah bentar lagi, Nak.”

Timpalan suara Ibu membuatku menoleh. “Bu!” aku berseru. 

“Apa?!” mata Ibu menatapku tajam. Jika tidak ada Alex, sudah pasti suara Ibu menggelegar dengan mata melotot hampir keluar dari tempatnya. Kini Ibu menjaga dirinya agar lebih wibawa di depan Alex. 

“Wah!” Utami berseru. Dia mengibaskan rambutnya. Seruannya terkesan tidak peduli. “Baguslah. Cepat nikah supaya aku dan Alex nikah juga. Nungguin kamu tuh lama banget. Mau dilangkahi tapi nggak boleh. Repot.”

Aku diam. Tidak ingin menimpali. Dialah yang memulai keinginanku untuk tidak menikah. Aku pun sudah memberikan dia keleluasaan untuk menikah dahulu tetapi malah dia menolak dengan alasan yang tidak jelas.

“Kapan, Bu?” Alex bertanya penuh minat.

“Lamarannya kalau jadi nanti sore. Nikahnya ya secepatnya.” Ibu menjawab dengan yakin.

“Bu, aku kan sudah bilang—”

“Ayu,” ucap Ibu pelan padaku tetapi matanya menatapku penuh kekesalan. “Yang penting ada yang mau sama kamu. Kapan lagi kamu mau sendirian?”

Aku menahan air mataku. “Tapi—”

“Nah,” sela Utami. “Ibu benar, Ayu. Sama siapa, Bu?”

“Tukang panggul di pasar Tarrim.” Ibu menjawab dengan senyum mengembang.

Utami mengembangkan senyumnya dan aku yakin dia menahan tawanya. “Bagus. Sesuai.” Lalu dia berbalik. “Ayo, Alex, kita pergi. Sudah terlambat ini.”

“Nak,” panggil Ibu pada Utami. “Nggak mau jdi saksi lamaran Ayu? Nanti kan mau lamaran.”

Utami mengibaskan tangannya ke udara. “Nggak. Acara ini lebih penting.”

Alex berdiri dari duduknya. Dia mengulurkan tangannya pada Ibu dan mencium tangannya takzim. “Maaf, Bu. Kali ini saya dan Utami nggak bisa jadi saksi,” ucapnya. “Di kantor ada syukuran kenaikan jabatan saya.”

“Oh!” Ibu tertawa senang.  “Kalau begitu pergilah. Acara Ayu memang nggak begitu penting diikuti sih.” 

Lalu Ibu mengantarkan Alex dan Utami hingga depan gerbang. Aku menghela napas. Aku mengangkat pakaian yang sudah kulipat dan meletakkannya di atas meja. Biar Ibu yang membawa ke dalam kamarnya saja. Aku akan membawa pakaianku saja. Kemudian aku menguap. Kupikir, tidur sebentar tidaklah buruk.  

***

“Heh, bangun! Jam berapa ini?” suara Ibu lalu kurasakan tanganku sakit sekali. Ibu mencubit lenganku. Pasti akan lebam nantinya. “Bangun!” 

“Aw!” aku mengaduh lalu membuka mata. “Apa, Bu?” tanyaku enggan. 

“Tidur melulu kerjamu!” Ibu meraih tanganku lalu menarikku hingga duduk. Aku meringis lagi merasakan tamparannya di lenganku. “Bangun! Buatin minum sama cemilan!”

Aku melihat jam di dinding. Pukul lima sore. “Iya, Bu. Tapi aku mandi dulu.” Aku gerah dan ingin mandi. Di dalam kamarku tidak ada kipas angin karena rusak. Belum aku ambil dari tukang servis di pasar. 

“Nggak perlu!” Ibu menarikku berdiri. “Bangun! Calon suamimu sudah datang itu.”

Mataku melotot seketika. “Apa, Bu?” 

“Bangun makanya. Ayahmu lagi nentuin tanggal nikahannya kapan.” Ibu tersenyum senang. “Akhirnya ada yang mau sama kamu walau tukang panggul pasar.”

“Bu! Aku nggak mau.” Aku mulai membantah. Gila saja aku nikah dengan tukang panggul. Aku Sarjana. Mana bisa aku nikah dengan orang yang tidak berpendidikan begitu.

“Nggak bisa dibantah.” Ibu berkata setengah berbisik. Dia menatapku. “Kamu dan Tukang panggul itu nggak ada pilihan.” Lalu dia tertawa pelan kemudian pergi dari kamarku. 

“Ayu!” Ayah berteriak memanggil. “Kemari. Calon suamimu mau lihat mukamu.”

Aku menarik rambutku frustrasi. “Aku kabur saja kalau gitu.”

Bab terkait

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 4 Menikahi Kuli Panggul

    “Ayah.”Akhirnya aku memilih untuk menurut. Aku tidak jadi kabur. Aku menunduk memerhatikan gaun pinjaman milik Ibu yang sedikit kebesaran di tubuhku. Aku menghela napas pelan. Aku seperti orang-orangan sawah dengan gaun merah menyala dan warna lipstick yang juga menyala. Aku berjongkok meletakkan tiga cangkir teh manis hangat dan biskuit sebagai pendamping minum teh. “Duduk, Ayu.” Ayah memerintah dan itu multak harus dituruti.“Ya, Ayah.” Kujawab pelan ucapan beliau. Ibuku sudah duduk di samping Ayah. Kuletakkan nampan di meja. Masih menunduk aku duduk berseberangan dengan pria yang belum kutahu siapa namanya dan bagaimana rupanya.“Ayu, angkat kepalamu. Di depanmu itu calon suamimu.” Ibu mulai angkat bicara. Nada bicaranya seperti biasa. Tidak mau dibantah. Dia tidak menjaga wibawanya seperti ketika dia berhadapan dengan Alex.“Ayu?” Ibu berkata lagi.Aku bergeming. Aku tidak mau melakukannya. Aku harap Ayah mengerti. Aku harap Ayah menurutiku kali ini.“Ayu. Angkat kepalamu. Sig

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 5 Surat Perjanjian

    “Kamu suka martabak rasa cokelat atau stroberi?” Sigit kembali bertanya padaku. Dia masih berdiri di hadapanku. Satu tangannya mengalungkan tas pinggang di pundaknya. Kuperhatikan dia memasukkan ponsel keluaran lama yang hanya bisa untuk menelepon dan menerima SMS saja ke dalam tas pinggangnya. Dompet berwarna cokelat kumal dan sudah lusuh tidak lupa dia masukkan juga. “Terserah.” Aku mengangkat bahu. Aku pemakan segala tetapi aku gengsi mengatakan padanya mengenai kesenanganku makan. Sigit mengangguk. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu lalu padanya. Alisku terangkat. Mau apa dia?“Salim.” Sigit berkata pelan.“Oh.” Aku mulai paham. Aku lupa kami sudah menikah. Kuulurkan tanganku menyalami tangannya akan tetapi dia malah mendorong tangannya ke dahiku. Aku berusaha untuk tidak memutar mataku. Aku belum terbiasa ada pria lain di dalam kamarku. “Saya berangkat dulu.” Sigit berkata pelan. “Kalau bisa, kamu di rumah aja.”Aku lagi-lagi berusaha menahan decakanku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 6 Berlaku Satu Tahun

    “Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.” Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku.“Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi. Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur.“Mau ke mana?” Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.”“Enggak. Saya dari toilet.”“Kamu mules?”Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?”Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aj

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 7 Tasnya Rusak

    “Menurutmu saya kerja apa?” Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya.“Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya.Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya.“Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus.“Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.”Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi.Makan malam berlangsung santai. Sigit b

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 8 Tidur di Luar

    “Sebentar,” jawabku lalu menuju pintu kamar. Kulirik Sigit yang malah duduk di tepi tempat tidur. Matanya sedang memerhatikan layar ponsel jadulnya dengan alis berkerut.Tok! Tok! Tok!Kini ketukan pintu itu terdengar tidak sabar. Namun, suara Ibu belum terdengar seperti biasanya.“Iya,” jawabku lalu membuka pintu. Dan benar saja, Ibu yang berdiri di depan pintu kamar. Wajahnya merah padam. Aku mundur dua Langkah dengan napas tertahan.“Ada apa, Bu?” Sigit bersuara tepat di belakangku.“Kalian bertanya ada apa?” Ibu berkata dengan gigi terkatup. “Apakah Utami tidak memberitahukan kalian tadi?”Aku menelan ludah. “Ya, Bu,” jawabku pelan.“Tidur di luar?” Sigit bertanya balik.“Tunggu apalagi?!” suara Ibu menggelegar. “Malam ini kalian enggak boleh tidur di dalam kamar ini! Keluar!”“Bu,” aku mulai bersuara.“Ayu, enggak ada bantahan!”Sigit berjalan melewatiku. “Ayo keluar, Ayu,” ucap Sigit kemudian.Aku menghela napas pelan. Hanya karena minat pembeli menurun hari ini malah berakhir s

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-13
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 9 Kelewat Batas

    “Saya tinggal di pasar. Tidur di mana saja yang penting bisa tidur.”Aku manggut. Bisa kubayangkan Sigit tidur di lantai yang kotor atau di emperan toko yang sudah tutup.“Boleh tanya?” ada satu yang masih mengganjal pikiranku.Silakan.”“Ke mana orang tuamu?” sebab saat menikah hanya dia saja seorang diri tanpa ada pendamping atau orang tuanya. Apakah mereka tahu Sigit menikah? Atau mereka sudah tiada?Sigit membuka matanya. Dia menatapku. “Masih ingat surat perjanjiannya?”Aku manggut.“Kamu sudah kelewat batas,” ucapnya dengan nada tidak suka yang membuatku tersentak. Aku tidak berniat untuk mengorek apa pun darinya. Aku hanya penasaran.Aku menunduk. “Maaf.”“Enggak perlu.” Sigit menjawab pelan. “Tidur. Sudah malam.”Aku menghela napas pelan. Aku menyandarkan punggungku di dinding lalu memejamkan mata. Berharap pagi cepat datang.“Ayu,” aku mengernyit mendengar suara Sigit memanggilku. “Bangun.” Kukucek mataku lalu perlahan menatapnya. Hari masih gelap ketika Sigit sudah berdiri d

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-13
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 10 Nasi Padang

    “Permisi? Mbak?”Wanita itu memanggil lagi tatkala aku hanya memandangnya takjub. Cantik. Satu kata yang hanya bisa kuungkapkan. Aku Wanita saja memandang dia cantik, apalagi para pria yang melihatnya.“Sigitnya enggak tau ke mana.” Aku menjawab cepat.“Oh, yaudah.” Wanita itu mengangguk lalu berbalik.“Ada pesan buat Sigit?” aku bersuara lagi sebelum dia menghilang dari pandangan. Penasaran aku dengan Wanita yang ada di hadapanku ini. “Nanti saya sampaikan sama dia,” imbuhku.Wanita itu berbalik lalu menggeleng. “Enggak, Mbak. Enggak begitu penting juga.” Dia mengibaskan tangannya. “Cuma mau tau kabarnya aja.”Alisku terangkat. Bolehkah aku mengatakan padanya kalau aku ini istrinya Sigit? Oh, aku lupa pada surat perjanjian itu. Kami menikah hanya satu tahun. Setelahnya selesai. Entah bagaimana caranya menyelesaikan pernikahan ini. Aku tidak bisa berpikir sampai ke sana.“Oh, oke.” Aku manggut. Mencoba untuk mengesampingkan rasa jengkelku pada Wanita yang sok misterius ini. Kugelengk

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 11 Curiga

    “Dari mana saja kamu?!” suara Ibu menggelegar. “Jam berapa ini?!” lagi, Ibu mengetuk pergelangan tangannya yang tidak memakai jam tangan.Aku mendongak melihat jam dinding. “Jam delapan lewat,” balasku pelan pada Ibu.Ibu mengulurkan tangannya tidak sabar. “Mana uang hari ini?”Aku memberikan kantung plastik hitam pada Ibu. “Ini, Bu,” jawabku. Aku tidak punya tas jadi semua uangnya kumasukkan ke dalam kantung plastik.Ibu membuka plastiknya dengan tidak sabar. Ibu menghitung uangnya dengan tidak sabar. “Kenapa cuma segini?! Biasanya banyak!”Aku menunduk. “Memang segitu, Bu.” Mau semana lagi uang yang harus didapat? Satu milyar? Apakah itu maunya Ibu? Aku tidak tahu jalan pikirannya.Ibu menggeram seperti singa marah lalu mengulurkan tangannya mencubit lengan kiriku. Sakit sekali karena Ibu memuntirnya tanpa ampun. Aku meringis berusaha meredam teriakanku.“Satu minggu ini dapatnya segini terus!” suara Ibu menggelegar. Aku heran Ayah tidak keluar dari kamarnya mendengar suara Ibu. “Ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-14

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 40 Curiga

    “Tetapi aku enggak mau kamu Kembali ke rumah Ibu.” Sigit berkata lagi. “Tunggu di sini. Aku tebus obat dulu.” Kemudian dia mendudukkan aku di kursi tunggu. Dia berjalan ke bagian penebusan obat.Aku memerhatikannya. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi pagi. Melihatnya berpakaian membuatku teringat kalau aku ingin bertanya pakaian yang dia pakai sebelumnya. Aku ingat betul dia tidak membawa pakaian ketika berangkat dari rumah malam kemarin.Aku memang orang miskin akan tetapi aku tahu merek pakaian mahal. Seperti yang dia gunakan sekarang ini. Ada logo di bagian dada kanannya. Walau kecil logonya tetapi jelas sekali itu merek pakaian ternama dunia. Mahal. Harga termurahnya bisa satu juta rupiah. Aku menghembuskan napas. Kugigit bibirku. Bagaimana caranya aku bisa bertanya padanya?‘Apakah dia menginap di rumah Perempuan? Apakah dia bertemu lagi dengan Dinda?’ pikiran itu muncul begitu saja.“Ayo.” Suara Sigit membuatku mendongak. Aku mengangguk pelan lalu berdiri.“Kapan kita ketem

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 39 Mama

    “Ma?”Aku memanggilnya lagi. Namun, Mama hanya tersenyum. Walau begitu, aku tetap senang. Setidaknya Mama tersenyum padaku. Tidak mengapa asal aku bisa bertemu beliau.“Mama.” Aku ingin menangis ketika melihat Mama hanya berdiri seraya masih tersenyum. “Ma, aku kangen.” Aku berkata lagi.Tiba-tiba, Mama sudah mendekapku. Dekapannya begitu erat sekali. Tubuhku berguncang-guncang. Aku merasakan seperti diangkat ke atas. “Ayudisha,” Ucapan itu terdnegar di telingaku tetapi bukan Mama. Itu suara orang lain.“Ayu, buka matamu.” Suara itu terdengar lagi. Dekapan itu mengendur. Pelukan Mama perlahan menghilang.“Ma,” aku berbisik.“Ayudisha?” kini, aku mengenali suara itu. Itu suara Sigit.Perlahan aku membuka mata. Kulihat Sigit menatapku lalu memelukku erat. Suara sirine terdengar begitu dekat sekali. Aku mengedarkan pandangan. Aku berada dalam sebuah mobil. Bersama satu orang lainnya.“Aku takut kamu pergi.” Sigit berbisik lalu merebahkan tubuhku lagi.Aku bernapas perlahan dengan alat ba

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 38 Serangan Panik

    “Sigit?” aku menatapnya dari atas sampai bawah tatkala membuka pintu rumah. Pagi betul dia sampai rumah. Kupandangi lagi dia. Mataku kemudian berkedip. “Sigit?” aku memanggil lagi. Takut penglihatanku salah.Pria di hadapanku mengangguk. Benar, dia Sigit. Aku menunjuknya. “Kamu pakai baju siapa?” aku menatapnya.“Ayu!” teriakan heboh Ibu membuatku terlonjak. “Siapa tamunya?!”Aku tergagap. “Sigit, Bu.” akhirnya aku bisa menjawab juga. Kutarik napasku perlahan. Kembali aku menatapnya. “Kamu pakai baju siapa?”Sigit menunduk. “Oh, ini.” Dia lalu tersenyum. “Nanti aku cerita. Boleh aku masuk?”Aku berdehem pelan lalu menyingkir dari ambang pintu.“Siapa katamu? Sigit?!” suara Ibu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Aku menoleh lalu mengangguk.Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebentar lagi pasti Ibu mencecar Sigit.“Kamu baru pulang?” Ibu bertanya pada Sigit. Tangan berkacak pinggang. “Pukul berapa ini?! apa enggak lihat jam?!”“Saya kerja, Bu.” Sigit menjawab ringan.

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 37 Siapa Itu?

    “Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 36

    "Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 35 Mobil Baru

    “Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 34 Butuh

    "Itu ... aku mau beliin kamu baju baru." Sigit menunduk memerhatikan pakaiannya. "Emang kenapa? aku jelek?" kemudian alisnya terangkat. Aku segera menggeleng. Khawatir dia tersinggung. "Bukan gitu kok." Kujawab demikian. "Terus kenapa?" mata Sigit kembali menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut. "Baju kamu itu itu aja. Mau ya aku beliin?" aku menatapnya. Sigit menatapku. "Beli aja yg thrift. Kamu tau kan tempatnya? banyak yang bagus asal bisa milih." Aku mengangguk lalu tersenyum. "Kenapa enggak mau yang baru aja?" kutopak daguku dengan sebelah tangan. Sigit kembali menatap layar ponselnya. "Supaya Ibumu enggak tau baju baru." Ada benarnya juga jawaban dia. Aku setuju kalau begitu. Kuperhatikan Sigit yang kembali memerhatikan layar ponselnya. "Ada urusan penting?" tanyaku akhirnya. Padahal aku tidak boleh ikut campur urusan dia. Namun, aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk bertanya. Sigit menatapku agak lama kemudian mengangguk. "Mau ketemu orang,"

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 33 Tidak Mengakui

    “Enggak bisa jawab?” Ibu menatapku dan Sigit bergantian.Saat aku hendak membuka mulutku, ponsel Ibu berdering dari tas jinjing yang dipakainya. Tas jinjing berbeda dengan sebelumnya. Aku baru menyadari tas jinjing milikku yang direbut Ibu kini dipakai oleh Utami. Aku menghela napas hingga Ibu menoleh. Tangannya masih mengeduk tasnya.“Apa?!” Ibu bertanya dengan mata melotot. Aku menggeleng pelan lalu menunduk.Utami sedang membuka tasnya lalu mengeluarkan beberapa alat kosmetik. “Aku yakin, kamu enggak akan bisa belum skincare kayak gini.” Utami memamerkan padaku produk perawatan wajah merek terkenal. Entah asli atau palsu. “Suamimu kan Cuma kuli panggul. Mana mampu beliin.”Ibu tertawa. Tangannya berhasil mengeluarkan ponselnya. “Wah, Jeng Anna.” Ibu bersorak lalu mengangkat telepon. Ibu menjawab telepon dengan nada riang. Kontras sekali dengam ucapannya padaku atau Sigit. sangat menyakitkan. “Oke, Jeng. Saya segera ke sana sama anak saya. Tunggu ya.”Setelah selesai menerima telepo

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 32 Sikap Ibu

    “Darimana saja kalian?” Ibu bertanya. Kali ini suaranya tidak menggelegar seperti yang sudah-sudah.“Kami sarapan dulu, Bu.” Sigit yang menjawab.Aku memilih sembunyi di belakang punggung Sigit yang tegap. Aku berusaha untuk menyembunyikan headset bluetoothku di tas. Berharap Ibu tidak menyadari ketika tadi aku masih memakainya walau hanya sebelah.“Buka tokonya.” Ibu berkata memerintah.Sigit berbalik padaku. “Mana kuncinya?” dia mengulurkan tangannya padaku.Dengan gugup aku mengeluarkan kunci tersebut dari saku celana yang kupakai. Kunci jatuh ke lantai dengan bunyi gemerincing. Saat aku berusaha untuk mengambilnya, Sigit pun melakukan hal yang sama. Tangan kami beradu di lantai toko yang kotor.“Sabar, ya.” Sigit berkata berbisik padaku. “Jangan takut sama Ibu.” Dia menambahkan lagi masih berbisik.Aku bergumam menanggapi. Walau begitu, aku masih takut pada Ibu yang suka marah tidak tahu tempat. Membuatku malu setengah mati. Membuatku seperti orang bodoh di mata orang lain. Namun,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status