Share

Bab 3 Lamaran yang Mendadak

“Apa kabar?” Alexander menatapku dengan senyum yang masih memesona. Pemikiran itu membuatku memalingkan wajah darinya.

“Baik.” Aku menjawab sekedarnya. Tidak mau aku larut dalam kesedihan tatkala melihatnya. Kami berpacaran selama lima tahun dan berakhir begitu saja hanya karena ketidakcocokan. 

Kembali aku berkutat dengan pakaian yang belum aku rapikan. Untuk apa Alex datang kemari ketika hari masih terang seperti ini? biasanya dia datang ketika hari sudah mulai gelap. Oh aku hampir lupa. Dia pacarnya Utami. 

Terdengar suara Utami di dalam kamar berbicara dengan Ibu. Entah apa. aku tidak mau ambil pusing. Tumben pula Utami sudah ada di rumah. Biasanya dia sibuk bekerja dan pulang nanti malam diantar Alex. 

“Eh Ayu, udah kembali ke dunia nyata?” suara Utami menyapa pendengaranku.  “Bengong aja daritadi.” Lalu dia tertawa. Namun, tertawa yang ditahan. Tawanya saja terkesan anggun. Apalah dayaku tertawa saja seperti babi yang mengik. 

“Emangnya enggak boleh?” aku menimpali tetapi dengan suara pelan. 

Lagi, Utami tertawa pelan. “Cari pacar sana. Supaya ada kegiatan.” Ternyata dia mendengar gumamanku. 

“Utami.” Alex berkata dengan nada memeringatkan.

Aku menahan diri untuk tidak memutar mata pada ucapan Alex. Aku tidak perlu untuk dibela seperti itu.

“Loh aku benar, Sayang. Dia mesti cari pacar.” Utami berdecak. 

Aku mendongak memerhatikan Utami yang sudah berganti pakaian rapi dengan tas tangan kerlap-kerlip berwarna merah muda, senada dengan warna gaunnya yang selutut. 

“Kan kalau punya pacar …,” Utami kembali berkata. “Bisa dibawa ke kondangan.”

Alisku berkerut mendengar ucapan Utami. Ke pernikahan membawa pacar menjadi tolak ukur? Yang benar saja. 

“Ayu mau nikah bentar lagi, Nak.”

Timpalan suara Ibu membuatku menoleh. “Bu!” aku berseru. 

“Apa?!” mata Ibu menatapku tajam. Jika tidak ada Alex, sudah pasti suara Ibu menggelegar dengan mata melotot hampir keluar dari tempatnya. Kini Ibu menjaga dirinya agar lebih wibawa di depan Alex. 

“Wah!” Utami berseru. Dia mengibaskan rambutnya. Seruannya terkesan tidak peduli. “Baguslah. Cepat nikah supaya aku dan Alex nikah juga. Nungguin kamu tuh lama banget. Mau dilangkahi tapi nggak boleh. Repot.”

Aku diam. Tidak ingin menimpali. Dialah yang memulai keinginanku untuk tidak menikah. Aku pun sudah memberikan dia keleluasaan untuk menikah dahulu tetapi malah dia menolak dengan alasan yang tidak jelas.

“Kapan, Bu?” Alex bertanya penuh minat.

“Lamarannya kalau jadi nanti sore. Nikahnya ya secepatnya.” Ibu menjawab dengan yakin.

“Bu, aku kan sudah bilang—”

“Ayu,” ucap Ibu pelan padaku tetapi matanya menatapku penuh kekesalan. “Yang penting ada yang mau sama kamu. Kapan lagi kamu mau sendirian?”

Aku menahan air mataku. “Tapi—”

“Nah,” sela Utami. “Ibu benar, Ayu. Sama siapa, Bu?”

“Tukang panggul di pasar Tarrim.” Ibu menjawab dengan senyum mengembang.

Utami mengembangkan senyumnya dan aku yakin dia menahan tawanya. “Bagus. Sesuai.” Lalu dia berbalik. “Ayo, Alex, kita pergi. Sudah terlambat ini.”

“Nak,” panggil Ibu pada Utami. “Nggak mau jdi saksi lamaran Ayu? Nanti kan mau lamaran.”

Utami mengibaskan tangannya ke udara. “Nggak. Acara ini lebih penting.”

Alex berdiri dari duduknya. Dia mengulurkan tangannya pada Ibu dan mencium tangannya takzim. “Maaf, Bu. Kali ini saya dan Utami nggak bisa jadi saksi,” ucapnya. “Di kantor ada syukuran kenaikan jabatan saya.”

“Oh!” Ibu tertawa senang.  “Kalau begitu pergilah. Acara Ayu memang nggak begitu penting diikuti sih.” 

Lalu Ibu mengantarkan Alex dan Utami hingga depan gerbang. Aku menghela napas. Aku mengangkat pakaian yang sudah kulipat dan meletakkannya di atas meja. Biar Ibu yang membawa ke dalam kamarnya saja. Aku akan membawa pakaianku saja. Kemudian aku menguap. Kupikir, tidur sebentar tidaklah buruk.  

***

“Heh, bangun! Jam berapa ini?” suara Ibu lalu kurasakan tanganku sakit sekali. Ibu mencubit lenganku. Pasti akan lebam nantinya. “Bangun!” 

“Aw!” aku mengaduh lalu membuka mata. “Apa, Bu?” tanyaku enggan. 

“Tidur melulu kerjamu!” Ibu meraih tanganku lalu menarikku hingga duduk. Aku meringis lagi merasakan tamparannya di lenganku. “Bangun! Buatin minum sama cemilan!”

Aku melihat jam di dinding. Pukul lima sore. “Iya, Bu. Tapi aku mandi dulu.” Aku gerah dan ingin mandi. Di dalam kamarku tidak ada kipas angin karena rusak. Belum aku ambil dari tukang servis di pasar. 

“Nggak perlu!” Ibu menarikku berdiri. “Bangun! Calon suamimu sudah datang itu.”

Mataku melotot seketika. “Apa, Bu?” 

“Bangun makanya. Ayahmu lagi nentuin tanggal nikahannya kapan.” Ibu tersenyum senang. “Akhirnya ada yang mau sama kamu walau tukang panggul pasar.”

“Bu! Aku nggak mau.” Aku mulai membantah. Gila saja aku nikah dengan tukang panggul. Aku Sarjana. Mana bisa aku nikah dengan orang yang tidak berpendidikan begitu.

“Nggak bisa dibantah.” Ibu berkata setengah berbisik. Dia menatapku. “Kamu dan Tukang panggul itu nggak ada pilihan.” Lalu dia tertawa pelan kemudian pergi dari kamarku. 

“Ayu!” Ayah berteriak memanggil. “Kemari. Calon suamimu mau lihat mukamu.”

Aku menarik rambutku frustrasi. “Aku kabur saja kalau gitu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status