Share

Bab 2 Yang Penting Menikah

"Apa, Bu?!”  aku berdiri dari dudukku. Aku mencoba protes. “Bu, aku enggak mau.”

Ibu maju satu langkah. “Apa kamu bilang?!” suaranya menggelegar. “Bilang sekali lagi, Ayu! Ayo cepet bilang!”

Aku menahan air mata kembali duduk. Kuremas baju yang sedang kulipat erat-erat. Tidak ku sangka, Ibu akan mengatakan hal semacam itu padaku. 

Aku lulusan Universitas Mercusuar program Pendidikan Ekonomi di kota Tarrim. Universitas unggulan yang menjadi rebutan seluruh orang di negeri ini. Bagaimana jadinya, seorang Ayudisha Saraswati yang lulusan universitas unggulan negeri dinikahkan dengan seorang kuli panggul? 

Lagipula, usiaku masih 27 tahun, jalanku masih panjang. Kejam sekali Ibuku!

“Yang penting kan, kamu nikah!” Ibu bersidekap. “Ayah, gimana?” 

Aku memejamkan mata, berharap Ayah tidak setuju dengan ide gila Ibu. Setidaknya, nikahkan aku dengan pria yang memiliki pekerjaan dan bisa diandalkan. 

“Ayah setuju aja, Bu.” 

Ucapan Ayah barusan, membuatku membuka mata lebar-lebar. "Ayah?!” aku berusaha protes.

“Apa?!” Ibu melotot berusaha menahan apapun yang akan aku katakan. 

“Bu,” ujarku, berusaha meredam kekecewaan yang begitu besar pada orang tuaku. “27 tahun cuma angka, Bu. Bahkan di luar negeri sana, masih banyak perempuan usia 35 tahun yang belum nikah.”

“Jangan bandingkan luar negeri sama Kota Tarim, Ayu!" Ayah mulai bicara. “Kamu tinggal di mana? di sini. Di kota nggak ada perempuan kayak kamu. Semua perempuan nikah paling telat itu umur 20 tahun. Lebih dari itu, pasti dicap nggak laku. Jadi, jangan jual mahal begitu!"

Ucapan panjang lebar Ayah membuatku kecewa. Kupikir, Ayah akan membelaku. 

Kupikir, setelah Ayah menikah lagi sifatnya tidak berubah. Tetapi, nyatanya jauh panggang daripada api.

“Kamu bener mau jodohin Ayu sama kuli panggul itu, Maharani?” Ayah bertanya pada Ibu tiriku. 

“Iya, Ayah.” Ibu menjawab mantap. Dia menatap kukunya yang dicat itu dengan senyum mengembang. 

Ayahku—Bagio Darojat, menikah lagi dengan Maharani Lukita ketika usaha pabrik batiknya bangkrut. Alasannya karena Ibu kandungku—Denisa Saraswati, wafat karena sakit kanker kelenjar getah bening. 

Ayah menikahi Maharani Lukita yang merupakan seorang juragan sembako ketika usiaku 10 tahun. Aku masih ingat jelas pertama kali wanita di hadapanku ini menjadi Ibu tiriku. Berbeda sekali sifatnya ketika masih berpacaran dengan Ayahku. 

Ibu tiriku bersikap semena-mena padaku saat Ayah tidak ada di rumah. Dia menyuruhku mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan alasan, Utami masih kecil dan tidak bisa dimintai tolong. 

Namun saat aku mengadu pada Ayah kala itu, nyatanya Ayah justru memarahiku. Sejak saat itu, aku memilih untuk menyimpan sendiri semua permasalahanku.

“Kamu dengar nggak, Ayu?” suara Ibu mengagetkanku. Aku terperanjat lalu mengerjap.

“Apa, Bu?” aku bertanya pelan. Ibu paling tidak suka aku melamun.

“Kamu ini!” kaki Ibu melayang menendang ujung jempol kakiku. Aku meringis menahan sakit. “Pantas aja nggak ada yang mau sama kamu. Tukang bengong!”

Aku melirik Ayah. Lagi-lagi Ayah tidak bereaksi, seakan tidak menganggap kehadiranku. 

“Ibumu bilang, kalo kamu akan dikenalin sama kuli panggulnya nanti sore.” Ayah akhirnya menjawab setelah Ibu marah padaku. 

Jika sudah seperti itu, aku pasrah. Mau bagaimana lagi? Mau kabur? Aku mau kabur ke mana? 

“Bisa darah tinggi aku hadapi anakmu, Yah.” Ibu menghela napas keras. Ibu menatapku penuh selidik. “Bukannya dulu kamu pernah pacaran sama teman sekolahmu? Kenapa kalian putus?”

Aku menunduk. Sebenarnya, aku tidak ingin membahas masa laluku. “Kami nggak cocok, Bu.” Aku menjawab seperti itu.

Ibu tertawa. Tawa yang kutahu mengejek. “Nggak cocok? Halah! Nggak mungkin.” 

Aku masih menunduk. Kupilin baju yang kuremas tadi. Pernikahan jauh dari impianku tatkala Alexander memilih untuk menyerah. Hatiku hancur dibuatnya. Orang yang kuharapkan menjadi tempat ceritaku malah menikungku. 

Aku tidak ingin mengingat tetapi kalau sudah seperti ini membuatku pedih. Alexander lebih memilih Utami daripada aku. Alasannya hanya karena dia menemukan kecocokan dengan Utami. Aku sadar Utami lebih cantik daripada aku dengan struktur bicara yang anggun. 

“Ayudisha!” suara Ibu menggelegar membuatku terperanjat. “Astaga! Bengong lagi!”

Ayah menggeleng melihat tingkahku. Kuedarkan pandangan dan aku terkejut dengan kedatangan orang yang tidak pernah kuharapkan dan selalu kuhindari selama ini. 

“Halo, Ayu.”

“Alex?!" Aku berbisik berharap dia tidak mendengarnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status