"Apa, Bu?!” aku berdiri dari dudukku. Aku mencoba protes. “Bu, aku enggak mau.”
Ibu maju satu langkah. “Apa kamu bilang?!” suaranya menggelegar. “Bilang sekali lagi, Ayu! Ayo cepet bilang!” Aku menahan air mata kembali duduk. Kuremas baju yang sedang kulipat erat-erat. Tidak ku sangka, Ibu akan mengatakan hal semacam itu padaku. Aku lulusan Universitas Mercusuar program Pendidikan Ekonomi di kota Tarrim. Universitas unggulan yang menjadi rebutan seluruh orang di negeri ini. Bagaimana jadinya, seorang Ayudisha Saraswati yang lulusan universitas unggulan negeri dinikahkan dengan seorang kuli panggul? Lagipula, usiaku masih 27 tahun, jalanku masih panjang. Kejam sekali Ibuku! “Yang penting kan, kamu nikah!” Ibu bersidekap. “Ayah, gimana?” Aku memejamkan mata, berharap Ayah tidak setuju dengan ide gila Ibu. Setidaknya, nikahkan aku dengan pria yang memiliki pekerjaan dan bisa diandalkan. “Ayah setuju aja, Bu.” Ucapan Ayah barusan, membuatku membuka mata lebar-lebar. "Ayah?!” aku berusaha protes. “Apa?!” Ibu melotot berusaha menahan apapun yang akan aku katakan. “Bu,” ujarku, berusaha meredam kekecewaan yang begitu besar pada orang tuaku. “27 tahun cuma angka, Bu. Bahkan di luar negeri sana, masih banyak perempuan usia 35 tahun yang belum nikah.” “Jangan bandingkan luar negeri sama Kota Tarim, Ayu!" Ayah mulai bicara. “Kamu tinggal di mana? di sini. Di kota nggak ada perempuan kayak kamu. Semua perempuan nikah paling telat itu umur 20 tahun. Lebih dari itu, pasti dicap nggak laku. Jadi, jangan jual mahal begitu!" Ucapan panjang lebar Ayah membuatku kecewa. Kupikir, Ayah akan membelaku. Kupikir, setelah Ayah menikah lagi sifatnya tidak berubah. Tetapi, nyatanya jauh panggang daripada api. “Kamu bener mau jodohin Ayu sama kuli panggul itu, Maharani?” Ayah bertanya pada Ibu tiriku. “Iya, Ayah.” Ibu menjawab mantap. Dia menatap kukunya yang dicat itu dengan senyum mengembang. Ayahku—Bagio Darojat, menikah lagi dengan Maharani Lukita ketika usaha pabrik batiknya bangkrut. Alasannya karena Ibu kandungku—Denisa Saraswati, wafat karena sakit kanker kelenjar getah bening. Ayah menikahi Maharani Lukita yang merupakan seorang juragan sembako ketika usiaku 10 tahun. Aku masih ingat jelas pertama kali wanita di hadapanku ini menjadi Ibu tiriku. Berbeda sekali sifatnya ketika masih berpacaran dengan Ayahku. Ibu tiriku bersikap semena-mena padaku saat Ayah tidak ada di rumah. Dia menyuruhku mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan alasan, Utami masih kecil dan tidak bisa dimintai tolong. Namun saat aku mengadu pada Ayah kala itu, nyatanya Ayah justru memarahiku. Sejak saat itu, aku memilih untuk menyimpan sendiri semua permasalahanku. “Kamu dengar nggak, Ayu?” suara Ibu mengagetkanku. Aku terperanjat lalu mengerjap. “Apa, Bu?” aku bertanya pelan. Ibu paling tidak suka aku melamun. “Kamu ini!” kaki Ibu melayang menendang ujung jempol kakiku. Aku meringis menahan sakit. “Pantas aja nggak ada yang mau sama kamu. Tukang bengong!” Aku melirik Ayah. Lagi-lagi Ayah tidak bereaksi, seakan tidak menganggap kehadiranku. “Ibumu bilang, kalo kamu akan dikenalin sama kuli panggulnya nanti sore.” Ayah akhirnya menjawab setelah Ibu marah padaku. Jika sudah seperti itu, aku pasrah. Mau bagaimana lagi? Mau kabur? Aku mau kabur ke mana? “Bisa darah tinggi aku hadapi anakmu, Yah.” Ibu menghela napas keras. Ibu menatapku penuh selidik. “Bukannya dulu kamu pernah pacaran sama teman sekolahmu? Kenapa kalian putus?” Aku menunduk. Sebenarnya, aku tidak ingin membahas masa laluku. “Kami nggak cocok, Bu.” Aku menjawab seperti itu. Ibu tertawa. Tawa yang kutahu mengejek. “Nggak cocok? Halah! Nggak mungkin.” Aku masih menunduk. Kupilin baju yang kuremas tadi. Pernikahan jauh dari impianku tatkala Alexander memilih untuk menyerah. Hatiku hancur dibuatnya. Orang yang kuharapkan menjadi tempat ceritaku malah menikungku. Aku tidak ingin mengingat tetapi kalau sudah seperti ini membuatku pedih. Alexander lebih memilih Utami daripada aku. Alasannya hanya karena dia menemukan kecocokan dengan Utami. Aku sadar Utami lebih cantik daripada aku dengan struktur bicara yang anggun. “Ayudisha!” suara Ibu menggelegar membuatku terperanjat. “Astaga! Bengong lagi!” Ayah menggeleng melihat tingkahku. Kuedarkan pandangan dan aku terkejut dengan kedatangan orang yang tidak pernah kuharapkan dan selalu kuhindari selama ini. “Halo, Ayu.” “Alex?!" Aku berbisik berharap dia tidak mendengarnya.“Apa kabar?” Alexander menatapku dengan senyum yang masih memesona. Pemikiran itu membuatku memalingkan wajah darinya.“Baik.” Aku menjawab sekedarnya. Tidak mau aku larut dalam kesedihan tatkala melihatnya. Kami berpacaran selama lima tahun dan berakhir begitu saja hanya karena ketidakcocokan. Kembali aku berkutat dengan pakaian yang belum aku rapikan. Untuk apa Alex datang kemari ketika hari masih terang seperti ini? biasanya dia datang ketika hari sudah mulai gelap. Oh aku hampir lupa. Dia pacarnya Utami. Terdengar suara Utami di dalam kamar berbicara dengan Ibu. Entah apa. aku tidak mau ambil pusing. Tumben pula Utami sudah ada di rumah. Biasanya dia sibuk bekerja dan pulang nanti malam diantar Alex. “Eh Ayu, udah kembali ke dunia nyata?” suara Utami menyapa pendengaranku. “Bengong aja daritadi.” Lalu dia tertawa. Namun, tertawa yang ditahan. Tawanya saja terkesan anggun. Apalah dayaku tertawa saja seperti babi yang mengik. “Emangnya enggak boleh?” aku menimpali tetapi dengan
“Ayah.”Akhirnya aku memilih untuk menurut. Aku tidak jadi kabur. Aku menunduk memerhatikan gaun pinjaman milik Ibu yang sedikit kebesaran di tubuhku. Aku menghela napas pelan. Aku seperti orang-orangan sawah dengan gaun merah menyala dan warna lipstick yang juga menyala. Aku berjongkok meletakkan tiga cangkir teh manis hangat dan biskuit sebagai pendamping minum teh. “Duduk, Ayu.” Ayah memerintah dan itu multak harus dituruti.“Ya, Ayah.” Kujawab pelan ucapan beliau. Ibuku sudah duduk di samping Ayah. Kuletakkan nampan di meja. Masih menunduk aku duduk berseberangan dengan pria yang belum kutahu siapa namanya dan bagaimana rupanya.“Ayu, angkat kepalamu. Di depanmu itu calon suamimu.” Ibu mulai angkat bicara. Nada bicaranya seperti biasa. Tidak mau dibantah. Dia tidak menjaga wibawanya seperti ketika dia berhadapan dengan Alex.“Ayu?” Ibu berkata lagi.Aku bergeming. Aku tidak mau melakukannya. Aku harap Ayah mengerti. Aku harap Ayah menurutiku kali ini.“Ayu. Angkat kepalamu. Sig
“Kamu suka martabak rasa cokelat atau stroberi?” Sigit kembali bertanya padaku. Dia masih berdiri di hadapanku. Satu tangannya mengalungkan tas pinggang di pundaknya. Kuperhatikan dia memasukkan ponsel keluaran lama yang hanya bisa untuk menelepon dan menerima SMS saja ke dalam tas pinggangnya. Dompet berwarna cokelat kumal dan sudah lusuh tidak lupa dia masukkan juga. “Terserah.” Aku mengangkat bahu. Aku pemakan segala tetapi aku gengsi mengatakan padanya mengenai kesenanganku makan. Sigit mengangguk. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu lalu padanya. Alisku terangkat. Mau apa dia?“Salim.” Sigit berkata pelan.“Oh.” Aku mulai paham. Aku lupa kami sudah menikah. Kuulurkan tanganku menyalami tangannya akan tetapi dia malah mendorong tangannya ke dahiku. Aku berusaha untuk tidak memutar mataku. Aku belum terbiasa ada pria lain di dalam kamarku. “Saya berangkat dulu.” Sigit berkata pelan. “Kalau bisa, kamu di rumah aja.”Aku lagi-lagi berusaha menahan decakanku.
“Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.” Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku.“Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi. Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur.“Mau ke mana?” Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.”“Enggak. Saya dari toilet.”“Kamu mules?”Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?”Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aj
“Menurutmu saya kerja apa?” Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya.“Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya.Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya.“Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus.“Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.”Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi.Makan malam berlangsung santai. Sigit b
“Sebentar,” jawabku lalu menuju pintu kamar. Kulirik Sigit yang malah duduk di tepi tempat tidur. Matanya sedang memerhatikan layar ponsel jadulnya dengan alis berkerut.Tok! Tok! Tok!Kini ketukan pintu itu terdengar tidak sabar. Namun, suara Ibu belum terdengar seperti biasanya.“Iya,” jawabku lalu membuka pintu. Dan benar saja, Ibu yang berdiri di depan pintu kamar. Wajahnya merah padam. Aku mundur dua Langkah dengan napas tertahan.“Ada apa, Bu?” Sigit bersuara tepat di belakangku.“Kalian bertanya ada apa?” Ibu berkata dengan gigi terkatup. “Apakah Utami tidak memberitahukan kalian tadi?”Aku menelan ludah. “Ya, Bu,” jawabku pelan.“Tidur di luar?” Sigit bertanya balik.“Tunggu apalagi?!” suara Ibu menggelegar. “Malam ini kalian enggak boleh tidur di dalam kamar ini! Keluar!”“Bu,” aku mulai bersuara.“Ayu, enggak ada bantahan!”Sigit berjalan melewatiku. “Ayo keluar, Ayu,” ucap Sigit kemudian.Aku menghela napas pelan. Hanya karena minat pembeli menurun hari ini malah berakhir s
“Saya tinggal di pasar. Tidur di mana saja yang penting bisa tidur.”Aku manggut. Bisa kubayangkan Sigit tidur di lantai yang kotor atau di emperan toko yang sudah tutup.“Boleh tanya?” ada satu yang masih mengganjal pikiranku.Silakan.”“Ke mana orang tuamu?” sebab saat menikah hanya dia saja seorang diri tanpa ada pendamping atau orang tuanya. Apakah mereka tahu Sigit menikah? Atau mereka sudah tiada?Sigit membuka matanya. Dia menatapku. “Masih ingat surat perjanjiannya?”Aku manggut.“Kamu sudah kelewat batas,” ucapnya dengan nada tidak suka yang membuatku tersentak. Aku tidak berniat untuk mengorek apa pun darinya. Aku hanya penasaran.Aku menunduk. “Maaf.”“Enggak perlu.” Sigit menjawab pelan. “Tidur. Sudah malam.”Aku menghela napas pelan. Aku menyandarkan punggungku di dinding lalu memejamkan mata. Berharap pagi cepat datang.“Ayu,” aku mengernyit mendengar suara Sigit memanggilku. “Bangun.” Kukucek mataku lalu perlahan menatapnya. Hari masih gelap ketika Sigit sudah berdiri d
“Permisi? Mbak?”Wanita itu memanggil lagi tatkala aku hanya memandangnya takjub. Cantik. Satu kata yang hanya bisa kuungkapkan. Aku Wanita saja memandang dia cantik, apalagi para pria yang melihatnya.“Sigitnya enggak tau ke mana.” Aku menjawab cepat.“Oh, yaudah.” Wanita itu mengangguk lalu berbalik.“Ada pesan buat Sigit?” aku bersuara lagi sebelum dia menghilang dari pandangan. Penasaran aku dengan Wanita yang ada di hadapanku ini. “Nanti saya sampaikan sama dia,” imbuhku.Wanita itu berbalik lalu menggeleng. “Enggak, Mbak. Enggak begitu penting juga.” Dia mengibaskan tangannya. “Cuma mau tau kabarnya aja.”Alisku terangkat. Bolehkah aku mengatakan padanya kalau aku ini istrinya Sigit? Oh, aku lupa pada surat perjanjian itu. Kami menikah hanya satu tahun. Setelahnya selesai. Entah bagaimana caranya menyelesaikan pernikahan ini. Aku tidak bisa berpikir sampai ke sana.“Oh, oke.” Aku manggut. Mencoba untuk mengesampingkan rasa jengkelku pada Wanita yang sok misterius ini. Kugelengk