Share

Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa
Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa
Penulis: S.Z.Lestari

Bab 1 Perawan Tua

“Bangun! Dasar pemalas!”

Aku berusaha mengangkat badanku dari atas tempat tidur. Dengan kepala berat, aku mendongak menatap ibu yang berdiri berkacak pinggang di hadapanku. 

“Ya, Bu?” aku menggenggam kepalaku yang berdenyut. Menangis semalaman membuat pagiku begitu berat.

“Pukul berapa ini?!” Ibu mengetuk lengan kirinya seolah dia menggunakan jam tangan di sana. “Bangun!” kini disertai tangannya yang melayang menampar lengan kananku kemudian mencubit punggung tangan kiriku. Sakit sekali. 

“Bu, bukan mauku—”

“Enggak ada alasan!” Ibuku kembali bersuara mematahkan ucapanku yang tidak selesai. “Bangun kesiangan terus. Pantes aja jodohmu jauh!”

Aku mendesis pelan berusaha menahan sakit kepalaku. “Aku baru kali ini kesiangan, Bu.” Aku tidak pernah kesiangan sebelumnya. Karena kejadian kemarin, aku jadi terlambat bangun. 

“Heh!” Ibu melotot padaku yang berusaha bangkit dari atas tempat tidur. “Bantah kamu, ya?! Berani bantah Ibu?” 

Aku duduk di tepi tempat tidur kemudian menunduk. “Enggak bu.” 

Ibu kembali memakiku. Aku hanya bisa diam menunduk sekarang. Aku tidak bisa bercerita mengenai kepedihan hati yang kuterima kemarin pada Ibu atau Ayah. Tidak ada tempatku bercerita mengenai keluh kesahku sendiri. Aku bahkan tidak punya teman karib untuk dijadikan pelabuhan resah hatiku. 

“Contoh Utami itu. Pagi-pagi sudah bangun berangkat kerja. Punya calon suami yang kerjanya jelas.” Ibu kembali membandingkan aku dengan Utami. Adik tiriku. “Lah kamu apa? bangun kesiangan! Mana ada pria yang mau sama kamu!”

Aku memejamkan mata mendengar itu. Aku menahan sedihku jika mengingat kisah cintaku sendiri. 

“Sana mandi! Masak!” Ibu menendang kakiku lagi. Aku meringis pelan merasakan sakitnya tendangan beliau yang tidak main-main. “Jangan jadi pemalas yang kerjanya tidur doang! Setelah masak, ke toko.”

“Ya, Bu.” Kujawab ucapannya dengan singkat dan serak. 

“Gara-gara kamu kesiangan, Utami jadi enggak sarapan dan Ibu terlambat ke toko!” Ibu menggerutuiku. Aku selalu disalahkan olehnya. 

Brak!

Setelahnya, pintu kamarku ditutup dengan sangat keras hingga pigura foto yang tergantung di sampingnya jatuh. Tidak ada kaca yang berhamburan dari pigura itu sebab kacanya sudah pecah akibat perlakuan Ibuku yang selalu seperti itu. 

Aku berdiri dari dudukku. Langkahku goyah. Makian Ibu seperti terngiang terus di telinga. Kuambil pigura tersebut dan kutatap sebentar fotonya lalu menyimpannya di laci meja. 

Aku menguncir rambutku menjadi ekor kuda. Kutatap sebentar wajahku di cermin. Mataku bengkak. Aku meringis pelan. Buruk sekali wajahku pagi ini. Suara Ibu masih terdengar marah-marah yang membuatku menghela napas pelan. Aku mencoba terbiasa dengan sikapnya yang selalu seperti itu sejak dahulu hingga sekarang. Tidak ada kasih sayang yang dia berikan padaku. 

“Ayu!” Kali ini suara Ayahku. “Kopi Ayah mana?!” suara Ayah tidak kalah kencang daripada Ibu barusan.

“Iya, Yah!” aku segera menyahut lalu terburu-buru keluar kamar menuju dapur. Aku tidak mau menjadi sasaran kemarahan Ayahku pula. 

Ayah sudah duduk di kursinya. Alisnya berkerut melihatku lalu menggeleng pelan. “Perempuan kok bangun siang,” ucapnya. “Rejeki dipatuk ayam,” imbuhnya lagi kemudian berdecak. 

“Maaf, Yah.” Aku menjawab pelan. “Kopinya pakai gula?” tanyaku mengeluarkan cangkir dari dalam lemari penyimpanan.

“Kayak biasanya. Kopi pahit.” Ayah berdecak. “Kamu itu bagaimana, sih? Otakmu itu benar-benar payah!”

Aku diam. Aku salah lagi. Aku bertanya seperti itu sebab Ayah terlalu sering berubah kemauan. Kemarin kubuatkan kopi pahit ternyata aku salah. Walau Ibu memakiku, Ayah tidak pernah menolongku. Malah Ayah seolah setuju dengan pola pengasuhan Ibu padaku. 

“Masak cepat! Ibumu enggak sempat buatkan Ayah sarapan. Dia pergi ke pesta pernikahan temannya.”

Aku hanya mengangguk pada ucapan Ayah. Seingatku, Ibu tidak penah memasak untuk Ayah. Jika pun memasak, hanya masak air saja. 

***

“Aku malu banget!” 

Ibu datang seraya melepaskan anting-anting besar yang ada di telinganya. Beliau memakai kebaya berwarna merah mencolok dengan sepatu warna senada. Hari sudah sore ketika aku selesai melipat pakaian. Pekerjaan rumah yang menumpuk, membuatku datang ke toko sembako di pasar sebentar lalu pulang lagi ke rumah. 

“Kenapa, Bu?” Ayah bertanya dengan mata masih menatap layar televisi. 

Aku memilih untuk melanjutkan merapikan pakaian. Paling Ibu merasa iri dengan pencapaian yang diraih orang. Ibu selalu seperti itu. Tidak pernah cukup. 

“Anakmu ini!” Suara Ibu yang meninggi membuatku mendongak. Jari telunjuknya yang dicat warna merah muda menunjukku. Alisku berkerut. Aku salah apa lagi?

“Kenapa dia?” Ayah bertanya tanpa minat. Matanya masih menatap televisi yang menayangkan siaran berita lokal.

“Bikin malu Ibu aja!” Ibu berdecak. Matanya masih menatapku. “Kamu nikah sana!”

Ucapan itu membuatku meletakkan kembali pakaian yang kulipat. “Aku belum mau, Bu.”

Ibu menggeram. Dia melemparkan asal sepatunya lalu berkacak pinggang dengan mata masih menatapku garang. “Gara-gara kamu, Ibu jadi malu banget. Kamu tau, orang-orang manggil kamu apa?"

Aku diam. Aku tidak peduli sebenarnya dengan julukan orang untukku.

“Perawan tua!” Ibu duduk di samping Ayah yang masih diam menonton televisi. “Ayah denger, enggak?!”

Ayah mengangguk. “Mau gimana lagi, Bu? Enggak ada laki-laki yang mau sama Ayu.”

“Aku masih 27 tahun, Bu.” Kuberanikan diri untuk menjawab. 

“Heh, 27 tahun itu udah telat nikah!” Ibu menudingku marah. “Umur ideal perempuan nikah itu 19 tahun dan paling tua umur 20 tahun. Di kota Tarrim, ada enggak perempuan umur 27 tahun belum nikah? Enggak ada! Kamu doang, Ayu!”

“Tapi aku belum mau nikah, Bu.” Ada ketakutan yang membuatku memilih untuk sendiri. 

“Enggak bisa!” Ibu menggeleng kuat-kuat. “Kamu harus nikah!”

Ayah berdehem. Dia menoleh pada Ibu. “Tapi, sama siapa?” tanyanya.

Senyum Ibuku terbit. Aku mencurigainya. Karena kali ini, menurutku menyeramkan. Aku menebak, Ibu punya rencana untukku. Aku mendadak menggigil.

“Ada. Kuli panggul toko aku di pasar Tarrim.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status