“Kamu suka martabak rasa cokelat atau stroberi?” Sigit kembali bertanya padaku. Dia masih berdiri di hadapanku. Satu tangannya mengalungkan tas pinggang di pundaknya.
Kuperhatikan dia memasukkan ponsel keluaran lama yang hanya bisa untuk menelepon dan menerima SMS saja ke dalam tas pinggangnya. Dompet berwarna cokelat kumal dan sudah lusuh tidak lupa dia masukkan juga. “Terserah.” Aku mengangkat bahu. Aku pemakan segala tetapi aku gengsi mengatakan padanya mengenai kesenanganku makan. Sigit mengangguk. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu lalu padanya. Alisku terangkat. Mau apa dia? “Salim.” Sigit berkata pelan. “Oh.” Aku mulai paham. Aku lupa kami sudah menikah. Kuulurkan tanganku menyalami tangannya akan tetapi dia malah mendorong tangannya ke dahiku. Aku berusaha untuk tidak memutar mataku. Aku belum terbiasa ada pria lain di dalam kamarku. “Saya berangkat dulu.” Sigit berkata pelan. “Kalau bisa, kamu di rumah aja.” Aku lagi-lagi berusaha menahan decakanku. Siapa dia yang mengaturku? Oh, aku lupa. Dia suamiku. “Kalau aku pergi …,” aku mulai berkata. “Apa aku mesti lapor kamu juga?” Sigit mengangguk. “Haruslah,” jawabnya lalu keluar dari kamar. Aku menunduk, berusaha mendengar derap langkah Sigit yang keluar dari rumah lalu deru motor tuanya yang berjalan menjauh. Aku menguap lagi. Kurebahkan diriku di atas tempat tidur seraya membersihkan wajah dengan tisu basah yang kubeli beberapa hari lalu. Aku orang yang termasuk malas untuk membersihkan wajah menggunakan berbagai macam kosmetik. Keluar rumah pun hanya menggunakan tabir surya. “Ayu!” Teriakan itu serta merta membuatku duduk tegak. Suara Ibu. “Ya?!” aku jawab sama kencangnya. “Keluar dari kamar!” suaranya kembali menggelegar. “Enggak ada ceritanya libur setelah nikah. Kerja!” Aku menguap lagi. “Iya, Bu!” kembali aku menjawab dengan suara keras agar Ibu tahu bahwa aku mendengar. Ketika aku keluar dari kamar, Ibu sudah berdiri di depan pintu kamar dengan mata nyalang. “Cepat ke pasar!” tangannya lalu terulur mencubit lenganku. Aku menahan ringisan. Sakit sekali cubitannya. “Iya, Bu.” “Enggak ada yang namanya pengantin baru! Kerja! Cari uang! Toko lagi sibuk, kamu malah enak-enakan tidur.” Kuusap lenganku yang masih sakit. Aku ada alasannya. “Bu, tapi Sigit suruh aku istirahat.” Ibu berdecak. “Kamu ikut Ibu. Jadi kamu patuh sama Ibu. Paham?” matanya kembali melotot. Aku mengangguk pelan. “Ya, Bu.” “Jangan pulang sampai sore!” Ibu berkata lagi kemudian mendorongku untuk segera berjalan. “Ya, Bu.” Hanya itu yang kukatakan. Aku tidak mungkin membantah. Ibu akan lebih menyiksaku nantinya. *** Aku menghela napas panjang lalu duduk di kursi. Toko sembako mulai sedikit sepi setelah pukul 4 sore jadi aku bisa bersantai sejenak seraya memerhatikan sekitar pasar. Mataku bersirobok dengan Sigit yang sedang memanggul beras ukuran 25 Kg diikuti seorang wanita tua di belakangnya. Wanita tua tersebut memanggil Sigit lalu menunjuk toko sembako yang sedang kujaga. Aku berdiri dari dudukku. Tanpa perlu kutanya, aku sudah tahu wanita itu akan membeli sesuatu di sini. “Neng,” panggil wanita tua itu padaku. Wanita tua itu memakai jaket rajut berwarna biru gelap menutupi pakaian kebaya tradisional yang dipakainya. “Ya, Bu?” aku tersenyum lebar. Kembali, mataku bersirobok dengan Sigit dan mata kami beradu. Aku mengalihkan pandanganku kembali pada pembeliku ketika Sigit ternyata memerhatikanku. “Gula arennya setengah kilo, tepung tapioka 3 bungkus yang ukuran 500 gram, dan santan kemasan dua biji.”’ Aku mengangguk segera. Tidak perlu catatan lagi untuk mengambil dengan cepat permintaan pembeli. Kuberikan pesanan tersebut lalu aku tersenyum, “ada lagi, Bu?” Wanita itu menggeleng lalu memberikan selembar uang seratus ribuan. “Ambil kembaliannya buatmu makan,” ucap wanita tua itu setengah berbisik padaku. Aku mengangguk. “Terima kasih, Bu,” balasku ikut berbisik pula. Walau kembaliannya tidak seberapa tetapi itu berarti bagiku yang jarang pegang uang. Aku hanya diberikan makan dan minum saja dan tidak pernah punya uang sendiri. Ibuku beralasan bahwa sudah menjadi tugasku sebagai seorang anak yang mesti berbakti pada orang tua. Kuperhatikan wanita tua itu yang berjalan menjauh. Sigit kembali mengangkat berasnya. Aku mengangkat alisku ketika melihatnya berjalan mendekat. “Ada apa?” tanyaku tanpa minat. “Kan sudah kubilang, kamu di rumah.” dia berkata pelan. Aku menghela napas. “Ibu yang suruh.” Hanya itu yang kulontarkan. Aku malas membahas mengenai Ibuku sebenarnya. Sigit terdiam beberapa saat. “Tutup jam berapa?” “Jam 7 malam. Kenapa?” “Enggak.” Sigit menggeleng pelan. “Saya cuma tanya.” Aku memutar mataku. “Kita pulang bersama.” Dia berkata lagi. “Ada yang saya bilang sama kamu.” Aku hanya mengangguk. Dia memandangku sekali lalu berbalik tanpa berkata lagi. “Ishh.” Aku berdecak. Aku kembali memilih untuk berkutat pada pembukuan toko seraya menunggu jam tutup. Biasanya kalau sudah sore seperti ini pembeli tidak banyak bahkan terbilang tidak ada. Aku menguap lebar. Aku mengantuk. Agar tidak tidur, aku menyetel irama musik yang riang. Aku mulai ikut bernyanyi pelan. “Ayudisha?” Suara itu membuatku mengangkat kepala. “Loh.” Kuperhatikan jam di dinding. Masih pukul setengah lima sore. Hanya 20 menit jaraknya dia sudah datang lagi. “Kenapa?” tanyaku. “Sudah makan?” dia membawa bungkusan. “Aku bawa kue.” Sigit membawa kue bakpia dalam ukuran kotak kecil. Merek ‘bakpia Sehati’ terlihat jelas di bungkusnya. Aku tahu tempatnya. “Beli di ujung pasar ini?” tanyaku. Bakpia yang dia bawa termasuk enak dan harganya juga tidak murah. “Dikasih.” Sigit menjawab singkat lalu masuk ke dalam toko lalu memberikan kue itu padaku. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang disampirkan di bahunya padaku. “Apa ini?” tanyaku bingung. Kubolak-balik kertas lipatan itu tanpa berniat membukanya. “Surat.” Alisku naik. “Surat?” aku tidak mengerti. Jaman sudah modern, dia masih saja menulis surat untukku. Aneh. “Surat perjanjian kontrak pernikahan.” “Apa?” aku terkejut mendengar jawaban darinya. “Surat apa? untuk siapa? Aku?”“Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.” Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku.“Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi. Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur.“Mau ke mana?” Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.”“Enggak. Saya dari toilet.”“Kamu mules?”Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?”Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aj
“Menurutmu saya kerja apa?” Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya.“Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya.Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya.“Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus.“Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.”Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi.Makan malam berlangsung santai. Sigit b
“Sebentar,” jawabku lalu menuju pintu kamar. Kulirik Sigit yang malah duduk di tepi tempat tidur. Matanya sedang memerhatikan layar ponsel jadulnya dengan alis berkerut.Tok! Tok! Tok!Kini ketukan pintu itu terdengar tidak sabar. Namun, suara Ibu belum terdengar seperti biasanya.“Iya,” jawabku lalu membuka pintu. Dan benar saja, Ibu yang berdiri di depan pintu kamar. Wajahnya merah padam. Aku mundur dua Langkah dengan napas tertahan.“Ada apa, Bu?” Sigit bersuara tepat di belakangku.“Kalian bertanya ada apa?” Ibu berkata dengan gigi terkatup. “Apakah Utami tidak memberitahukan kalian tadi?”Aku menelan ludah. “Ya, Bu,” jawabku pelan.“Tidur di luar?” Sigit bertanya balik.“Tunggu apalagi?!” suara Ibu menggelegar. “Malam ini kalian enggak boleh tidur di dalam kamar ini! Keluar!”“Bu,” aku mulai bersuara.“Ayu, enggak ada bantahan!”Sigit berjalan melewatiku. “Ayo keluar, Ayu,” ucap Sigit kemudian.Aku menghela napas pelan. Hanya karena minat pembeli menurun hari ini malah berakhir s
“Saya tinggal di pasar. Tidur di mana saja yang penting bisa tidur.”Aku manggut. Bisa kubayangkan Sigit tidur di lantai yang kotor atau di emperan toko yang sudah tutup.“Boleh tanya?” ada satu yang masih mengganjal pikiranku.Silakan.”“Ke mana orang tuamu?” sebab saat menikah hanya dia saja seorang diri tanpa ada pendamping atau orang tuanya. Apakah mereka tahu Sigit menikah? Atau mereka sudah tiada?Sigit membuka matanya. Dia menatapku. “Masih ingat surat perjanjiannya?”Aku manggut.“Kamu sudah kelewat batas,” ucapnya dengan nada tidak suka yang membuatku tersentak. Aku tidak berniat untuk mengorek apa pun darinya. Aku hanya penasaran.Aku menunduk. “Maaf.”“Enggak perlu.” Sigit menjawab pelan. “Tidur. Sudah malam.”Aku menghela napas pelan. Aku menyandarkan punggungku di dinding lalu memejamkan mata. Berharap pagi cepat datang.“Ayu,” aku mengernyit mendengar suara Sigit memanggilku. “Bangun.” Kukucek mataku lalu perlahan menatapnya. Hari masih gelap ketika Sigit sudah berdiri d
“Permisi? Mbak?”Wanita itu memanggil lagi tatkala aku hanya memandangnya takjub. Cantik. Satu kata yang hanya bisa kuungkapkan. Aku Wanita saja memandang dia cantik, apalagi para pria yang melihatnya.“Sigitnya enggak tau ke mana.” Aku menjawab cepat.“Oh, yaudah.” Wanita itu mengangguk lalu berbalik.“Ada pesan buat Sigit?” aku bersuara lagi sebelum dia menghilang dari pandangan. Penasaran aku dengan Wanita yang ada di hadapanku ini. “Nanti saya sampaikan sama dia,” imbuhku.Wanita itu berbalik lalu menggeleng. “Enggak, Mbak. Enggak begitu penting juga.” Dia mengibaskan tangannya. “Cuma mau tau kabarnya aja.”Alisku terangkat. Bolehkah aku mengatakan padanya kalau aku ini istrinya Sigit? Oh, aku lupa pada surat perjanjian itu. Kami menikah hanya satu tahun. Setelahnya selesai. Entah bagaimana caranya menyelesaikan pernikahan ini. Aku tidak bisa berpikir sampai ke sana.“Oh, oke.” Aku manggut. Mencoba untuk mengesampingkan rasa jengkelku pada Wanita yang sok misterius ini. Kugelengk
“Dari mana saja kamu?!” suara Ibu menggelegar. “Jam berapa ini?!” lagi, Ibu mengetuk pergelangan tangannya yang tidak memakai jam tangan.Aku mendongak melihat jam dinding. “Jam delapan lewat,” balasku pelan pada Ibu.Ibu mengulurkan tangannya tidak sabar. “Mana uang hari ini?”Aku memberikan kantung plastik hitam pada Ibu. “Ini, Bu,” jawabku. Aku tidak punya tas jadi semua uangnya kumasukkan ke dalam kantung plastik.Ibu membuka plastiknya dengan tidak sabar. Ibu menghitung uangnya dengan tidak sabar. “Kenapa cuma segini?! Biasanya banyak!”Aku menunduk. “Memang segitu, Bu.” Mau semana lagi uang yang harus didapat? Satu milyar? Apakah itu maunya Ibu? Aku tidak tahu jalan pikirannya.Ibu menggeram seperti singa marah lalu mengulurkan tangannya mencubit lengan kiriku. Sakit sekali karena Ibu memuntirnya tanpa ampun. Aku meringis berusaha meredam teriakanku.“Satu minggu ini dapatnya segini terus!” suara Ibu menggelegar. Aku heran Ayah tidak keluar dari kamarnya mendengar suara Ibu. “Ba
“Enggak perlu.” Perasaanku sudah tidak karuan hari ini. Aku tidak mau mendengarkan ucapan mabuk kepayangnya pada Wanita cantik yang aku tidak tahu namanya siapa itu.“Okay,” ucap Sigit.Aku memutar mata. Dia tidak berniat meluruskan jika memang tidak benar. Dia pun tidak berniat untuk mendesakku mendengarkan penjelasannya. Aku berdecak pelan. Lagipula apa ekspektasiku mengenai Sigit? Surat perjanjian kontrak yang tersimpan rapi di lemari pakaian mengingatkanku bahwa pernikahan ini sebatas kebutuhan belaka.Aku butuh suami agar tidak dicap sebagai perawan tua. Namun, aku tidak tahu kebutuhan dia menikahiku karena apa. Mungkin sama denganku. Usianya sudah cukup matang. 33 tahun menurut yang kutahu dari Ibu. “Nasi padang tadi masih buat kamu kenyang?”Sigit membuka percakapan setelah aku memilih diam. Porsi bungkus nasi padang memang lebih banyak dibandingkan makan di tempat. Aku pernah bertanya pada penjualnya mengapa begitu dan mereka menjawab kalau dibungkus lebih banyak agar seluru
“Nanti saya belikan yang lain untukmu, Yu.”Sigit mengatakan itu sudah entah keberapa kalinya. Ibu berhasil merebut tas pemberian Sigit dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Wajah Ibu senang dan dia tidak peduli darimana tas itu berasal. Aku sudah berusaha untuk mencegah tetapi tidak bisa. Aku takut tasnya rusak jika kutarik.“Kenapa kamu enggak cegah, sih?” aku menggerutu padanya yang malah pasrah saja tadi. Hari sudah beranjak malam tetapi aku tidak bisa tidur. Tas itu masih terbayang-bayang di pikiranku. Hanya sebentar aku memegangnya. Salahku tidak menyimpannya dengan segera ke dalam lemari.“Kamu tahu sendiri Ibu bagaimana.” Sigit berbicara. Dia memilih untuk merebahkan diri di tempat tidur dengan kaki masih menggantung di bawah, sementara aku duduk di kursi rias. Terdengar hela napasnya.“Seenggaknya ….,” aku berhenti berkata. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah terjadi dan tidak mungkin bisa terulang lagi. “Padahal tadi kubilang itu tas dari kamu.