Share

Bab 5 Surat Perjanjian

“Kamu suka martabak rasa cokelat atau stroberi?” Sigit kembali bertanya padaku. Dia masih berdiri di hadapanku. Satu tangannya mengalungkan tas pinggang di pundaknya. 

Kuperhatikan dia memasukkan ponsel keluaran lama yang hanya bisa untuk menelepon dan menerima SMS saja ke dalam tas pinggangnya. Dompet berwarna cokelat kumal dan sudah lusuh tidak lupa dia masukkan juga. 

“Terserah.” Aku mengangkat bahu. Aku pemakan segala tetapi aku gengsi mengatakan padanya mengenai kesenanganku makan. 

Sigit mengangguk. Dia mengulurkan tangannya padaku. Aku menatap tangan itu lalu padanya. Alisku terangkat. Mau apa dia?

“Salim.” Sigit berkata pelan.

“Oh.” Aku mulai paham. 

Aku lupa kami sudah menikah. Kuulurkan tanganku menyalami tangannya akan tetapi dia malah mendorong tangannya ke dahiku. Aku berusaha untuk tidak memutar mataku. Aku belum terbiasa ada pria lain di dalam kamarku. 

“Saya berangkat dulu.” Sigit berkata pelan. “Kalau bisa, kamu di rumah aja.”

Aku lagi-lagi berusaha menahan decakanku. Siapa dia yang mengaturku? Oh, aku lupa. Dia suamiku. “Kalau aku pergi …,” aku mulai berkata. “Apa aku mesti lapor kamu juga?”

Sigit mengangguk. “Haruslah,” jawabnya lalu keluar dari kamar.

Aku menunduk, berusaha mendengar derap langkah Sigit yang keluar dari rumah lalu deru motor tuanya yang berjalan menjauh. Aku menguap lagi. Kurebahkan diriku di atas tempat tidur seraya membersihkan wajah dengan tisu basah yang kubeli beberapa hari lalu. Aku orang yang termasuk malas untuk membersihkan wajah menggunakan berbagai macam kosmetik. Keluar rumah pun hanya menggunakan tabir surya. 

 “Ayu!”

Teriakan itu serta merta membuatku duduk tegak. Suara Ibu. “Ya?!” aku jawab sama kencangnya. 

“Keluar dari kamar!” suaranya kembali menggelegar. “Enggak ada ceritanya libur setelah nikah. Kerja!”

Aku menguap lagi. “Iya, Bu!” kembali aku menjawab dengan suara keras agar Ibu tahu bahwa aku mendengar.

Ketika aku keluar dari kamar, Ibu sudah berdiri di depan pintu kamar dengan mata nyalang. “Cepat ke pasar!” tangannya lalu terulur mencubit lenganku.

Aku menahan ringisan. Sakit sekali cubitannya. “Iya, Bu.”

“Enggak ada yang namanya pengantin baru! Kerja! Cari uang! Toko lagi sibuk, kamu malah enak-enakan tidur.”

Kuusap lenganku yang masih sakit. Aku ada alasannya. “Bu, tapi Sigit suruh aku istirahat.”

Ibu berdecak. “Kamu ikut Ibu. Jadi kamu patuh sama Ibu. Paham?” matanya kembali melotot.

Aku mengangguk pelan. “Ya, Bu.”

“Jangan pulang sampai sore!” Ibu berkata lagi kemudian mendorongku untuk segera berjalan.

“Ya, Bu.” Hanya itu yang kukatakan. Aku tidak mungkin membantah. Ibu akan lebih menyiksaku nantinya. 

***

Aku menghela napas panjang lalu duduk di kursi. Toko sembako mulai sedikit sepi setelah pukul 4 sore jadi aku bisa bersantai sejenak seraya memerhatikan sekitar pasar. Mataku bersirobok dengan Sigit yang sedang memanggul beras ukuran 25 Kg diikuti seorang wanita tua di belakangnya. 

Wanita tua tersebut memanggil Sigit lalu menunjuk toko sembako yang sedang kujaga. Aku berdiri dari dudukku. Tanpa perlu kutanya, aku sudah tahu wanita itu akan membeli sesuatu di sini.

“Neng,” panggil wanita tua itu padaku. Wanita tua itu memakai jaket rajut berwarna biru gelap menutupi pakaian kebaya tradisional yang dipakainya. 

“Ya, Bu?” aku tersenyum lebar. Kembali, mataku bersirobok dengan Sigit dan mata kami beradu. Aku mengalihkan pandanganku kembali pada pembeliku ketika Sigit ternyata memerhatikanku. 

“Gula arennya setengah kilo, tepung tapioka 3 bungkus yang ukuran 500 gram, dan santan kemasan dua biji.”’

Aku mengangguk segera. Tidak perlu catatan lagi untuk mengambil dengan cepat permintaan pembeli. 

Kuberikan pesanan tersebut lalu aku tersenyum, “ada lagi, Bu?”

Wanita itu menggeleng lalu memberikan selembar uang seratus ribuan. “Ambil kembaliannya buatmu makan,” ucap wanita tua itu setengah berbisik padaku.

Aku mengangguk. “Terima kasih, Bu,” balasku ikut berbisik pula.

Walau kembaliannya tidak seberapa tetapi itu berarti bagiku yang jarang pegang uang. Aku hanya diberikan makan dan minum saja dan tidak pernah punya uang sendiri. Ibuku beralasan bahwa sudah menjadi tugasku sebagai seorang anak yang mesti berbakti pada orang tua.

Kuperhatikan wanita tua itu yang berjalan menjauh. Sigit kembali mengangkat berasnya. Aku mengangkat alisku ketika melihatnya berjalan mendekat. 

“Ada apa?” tanyaku tanpa minat.

“Kan sudah kubilang, kamu di rumah.” dia berkata pelan.

Aku menghela napas. “Ibu yang suruh.” Hanya itu yang kulontarkan. Aku malas membahas mengenai Ibuku sebenarnya. 

Sigit terdiam beberapa saat. “Tutup jam berapa?”

“Jam 7 malam. Kenapa?”

“Enggak.” Sigit menggeleng pelan. “Saya cuma tanya.”

Aku memutar mataku.

“Kita pulang bersama.” Dia berkata lagi. “Ada yang saya bilang sama kamu.”

Aku hanya mengangguk. Dia memandangku sekali lalu berbalik tanpa berkata lagi.

“Ishh.” Aku berdecak. 

Aku kembali memilih untuk berkutat pada pembukuan toko seraya menunggu jam tutup. Biasanya kalau sudah sore seperti ini pembeli tidak banyak bahkan terbilang tidak ada. Aku menguap lebar. Aku mengantuk. Agar tidak tidur, aku menyetel irama musik yang riang. Aku mulai ikut bernyanyi pelan. 

“Ayudisha?”

Suara itu membuatku mengangkat kepala. “Loh.” Kuperhatikan jam di dinding. Masih pukul setengah lima sore. Hanya 20 menit jaraknya dia sudah datang lagi. “Kenapa?” tanyaku.

“Sudah makan?” dia membawa bungkusan. “Aku bawa kue.”

Sigit membawa kue bakpia dalam ukuran kotak kecil. Merek ‘bakpia Sehati’ terlihat jelas di bungkusnya. Aku tahu tempatnya. “Beli di ujung pasar ini?” tanyaku. Bakpia yang dia bawa termasuk enak dan harganya juga tidak murah. 

“Dikasih.” Sigit menjawab singkat lalu masuk ke dalam toko lalu memberikan kue itu padaku. 

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang disampirkan di bahunya padaku. 

“Apa ini?” tanyaku bingung. Kubolak-balik kertas lipatan itu tanpa berniat membukanya. 

“Surat.”

Alisku naik. “Surat?” aku tidak mengerti. Jaman sudah modern, dia masih saja menulis surat untukku. Aneh. 

“Surat perjanjian kontrak pernikahan.”

“Apa?” aku terkejut mendengar jawaban darinya. “Surat apa? untuk siapa? Aku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status