Share

Bab 7 Tasnya Rusak

“Menurutmu saya kerja apa?” 

Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya.

“Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya.

Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. 

Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya.

“Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. 

Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus.

“Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.”

Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi.

Makan malam berlangsung santai. Sigit benar melakukan janjinya. Dia membayar makanannya. Ketika pelayan restoran menawarkan bantuan untuk membayar kepada kasir, Sigit menolak. Dia malah membayar sendiri di meja kasir. Heran dengan pria itu. Ada yang mudah malah dia mau yang repot. 

Aku sebenarnya ingin mengikutinya ke meja kasir, tetapi Sigit mencegah. Dia ingin aku menunggu saja seraya menghabiskan makanan penutupnya. 

Aku turun dari atas motor butut Sigit. Pintu rumah masih terbuka. Sepertinya Ibuku masih terjaga. Kulirik jam tanganku. Jam Sembilan malam. Lama juga aku makan malam. Tidak lama motor dimatikan, Ibuku keluar dari dalam rumah. Tangannya berkacak pinggang.

“Darimana saja kamu?!” Ibu bertanya marah. “Belum laporan penjualan toko, sudah pergi seenaknya!”

“Bu.” Sigit maju ketika aku hendak menjawab pertanyaan Ibu. “Ayu saya ajak makan malam.”

Ibu mengibaskan tangannya. “Halah! Makan malam?” diperhatikannya SIgit dari atas sampai bawah dengan tatapan tidak suka. “Gaya kamu kayak orang kaya aja! Sok-sokan.” Lalu Ibu tertawa. Tawa mengejek. 

Sigit mengulurkan tangannya pada Ibu. “Ini untuk camilan Ibu. Martabak.”

Ibu melirik sekilas makanan pemberian Sigit yang kami beli di penjual martabak pinggir jalan dengan jijik. “Enggak level saya! makan sendiri sana!” ucapnya diakhir dengan bergidik. 

“Baik,” ucap Sigit kembali menurunkan tangannya. 

Aku menatap wajah Sigit berusaha mencari kekecewaan padanya tetapi aku tidak menemukan apa-apa selain wajah tenangnya. 

“Ayu, mana uangnya!” Ibu tanpa basa-basi menarik tas selempangku dan mengeduk isinya hingga uangnya berhamburan. Aku belum sempat menghitungnya tadi, hanya kurapikan saja tanpa kuberikan ikatan agar tidak lepas. 

Kuperhatikan Ibu yang tidak sabar menghitung uang itu. Wajahnya menyiratkan kekesalan yang luar biasa. Dia menatapku seraya mengacungkan uang yang sudah dihitungnya kepadaku. 

“Ayu, kenapa cuma sedikit? Mana sisanya?!” 

“Bu,” ucapku pelan. “Memang segitu, Bu. Enggak ada lagi.”

“Halah!” Ibu menarik tas selempangku hingga talinya putus. Tas yang sudah ringkih itu akhirnya rusak. Tas milikku satu-satunya.

“Bu.” Aku berkata pelan berusaha menghalau sedihku. Tas milik Ibu kandungku rusak sudah.

“Bu, kenapa tas Ayu ditarik?” Sigit mulai maju lagi satu langkah. Dihalanginya aku dengan punggungnya. 

“Diam kamu!” Ibu berteriak pada Sigit. “Kamu orang luar. Jangan ikut campur!”

“Tapi bisa baik-baik, Bu.” Sigit berkata lagi. Nada suara masih sama. Tenang. Tidak terpancing marah.

“Saya enggak suka ada yang bantah omongan saya termasuk kamu!” Ibu benar-benar marah sekarang. 

Aku mengulurkan tanganku menarik ujung kaus yang dipakai Sigit. “Sudah,” kataku serak. Aku tidak mau mencari ribut. “Tetangga nanti dengar.”

Sigit berbalik. “Tas kamu rusak, Ayu.”

“Enggak apa-apa.” aku menjawab berusaha menjadi seperti Sigit yang tenang. Namun, aku yakin gagal. Wajahku selalu terbaca ketika sedih atau gundah. 

“Ayu, kamu makan uangnya, ya?!” Ibu berkata lagi. 

Ibu masih mengeduk tas selempangku dan membalik tasnya. Tidak akan ada yang jatuh dari dalam tas itu. Aku tidak membawa apapun selain uang penjualan toko yang kata Ibu tidak seberapa hari ini. 

Sigit menatapku. Sebaliknya, aku menatap Ibuku. “Enggak, Bu. Aku berani sumpah. Cuma segitu yang kudapat hari ini.”

Ibu menggeram lalu melemparkan tas selempang itu padaku. Belum sempat aku menangkapnya, tas tersebut jatuh ke tanah yang sedikit basah malam ini. Sigit mengambil tasnya lalu menatapnya. 

“Enggak apa-apa,” kataku padanya.

“Maaf, ya.” Sigit berucap lalu menatapku.

“Kenapa kamu yang minta maaf?” aku tidak mengerti pikirannya.

“Karena saya, kamu jadi kena marah.”

Aku menghela napas. “Bukan kamu,” balasku. “Aku sudah biasa dimaki-maki Ibu.” Kataku lagi lalu masuk ke dalam rumah.

“Ayu!” kali ini Utami yang memanggilku.

Aku menghentikan langkahku. “Kenapa?” jawabku tanpa minat.

“Kata Ibu, kamu dan suamimu tidur di luar malam ini.”

“Apa?” aku tidak salah dengar? “Kenapa?”

“Ayu, cepat kita istirahat.” Sigit berjalan melewati Utami begitu saja. 

“Hey!” Utami protes saat Sigit tidak memedulikannya. “Aku adukan pada Ibu!” dia berkata lagi setengah berteriak.

“Sigit!” aku mengejarnya yang sudah menghilang dibalik pintu kamar. Buru-buru aku masuk ke dalam kamar tanpa memedulikan Utami yang masih bersedekap menatap kami. “Sigit,” panggilku lagi.

Sigit hanya menoleh tanpa menjawab.

Aku mendekatinya. “Bagaimana kalau itu benar perintah Ibu?”

Terdengar hela napasnya. “Tunggu Ibu ketuk pintu kamar ini.” 

“Apa?” mudah sekali dia menjawabnya. Tidak lama kemudian pintu kamar diketuk. Kutatap Sigit. “Itu pasti Ibu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status