“Nah, lihat. Ini siapa?” Ibu duduk di kursi kasir. Dia menatap serius ponselnya yang terhubung ke CCTV. Matanya menatap Sigit. “Ini kamu, kan?!” tatapan Ibu tajam menusuk.Aku melongok dari balik punggung Ibu. Kulihat beliau menunjuk hasil CCTV yang ada di ponselnya. Punggung Sigit menghadap ke toko yang tertutup. Waktu menunjukkan sudah pukul delapan. Alisku berkerut. Pukul delapan malam masihlah ada orang yang ada di pasar untuk menutup tokonya.Aku menoleh pada Sigit yang berdiri diam di sisiku. Dia tidak menunjukkan ekspresi sama sekali atau akulah yang tidak bisa membaca isi pikirannya.“Itu ….” ucapanku terhenti tatkala melihat seorang wanita menghampiri Sigit. Wanita yang sama dengan tadi sore. Tidak lama, wanita itu mengajak Sigit pergi dengan merangkul tangannya. Aku menoleh lagi padanya. “Dia--”“Berisik, Ayu!” Ibu menggertakku.Aku terkejut lalu diam. Kulihat di CCTV ponsel Ibu, tidak lama Sigit pergi, dua orang pria datang. Mereka membuka paksa toko Ibu lalu mengacak-acak i
“Iya,” wanita paruh baya itu mengangguk meyakinkan. “Sigit datang ke rumah saya. Saya yang datang ke sini kok bareng anak saya. Kita bareng-bareng ke rumah saya.”“Ke rumah Ibu? Ngapain, Bu?” aku malah penasaran dengan yang dilakukan Sigit di rumah Ibu ini.Ibu tersenyum. Senyum yang menurutku maklum. “Sigit membantu saya angkat-angkat barang. Saya lagi mau bangun rumah,” ucapnya.Oh. Ada kelegaan yang muncul.“Dia bisa memperkirakan berapa habisnya material yang mau dipakai, jadi saya butuh dia untuk bantu-bantu sebenarnya.” Wanita paruh baya tersebut berkata lagi. Alisnya kemudian berkerut. “Saya bisa kok jadi saksi untuk Sigit. Benar.”Muncul secercah cahaya dalam diriku. Aku tersenyum. “Suami saya ada di kantor polisi, Bu. Tapi maaf, saya enggak bisa antar.”Walau aku ingin sekali mengantar, Ibu pasti marah besar. Ibu tidak suka tokonya tutup tanpa sepengetahuannya. Terlebih lagi ada CCTV yang sudah terpasang di toko ini. Aku hanya berharap Sigit bisa keluar dari kantor polisi dan
“Benar begitu, Bu?” aku menegaskan lagi apa yang dikatakan oleh Ibu.Ibu memutar mata. Dia mendorong badanku agar segera bergerak. Aku menghela napas pelan. Segera aku menuju pintu depan. Dan memang benar. Di depan sudah berdiri seorang pria seusia Sigit berdiri. Pria itu menggunakan jaket abu-abu dan celana jeans warna gelap.“Halo?” aku menyapanya.Pria yang berdiri canggung itu mendongak. Dia tersenyum tipis padaku. “Maaf, Sigit ada? Saya temannya dari kampung.”Aku menggeleng.Dia menghela napas. Di belakangnya terdapat mobil bak terbuka berwarna biru yang sepertinya sudah lama tidak dicuci. “Di mana saya bisa bertemu Sigit?”Aku membuka mulutku tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Aku terlalu terkejut mendengar ucapan Ibu tadi mengenai Sigit yang ditahan di kantor polisi. Sepertinya penjelasan dari wanita paruh baya kemarin tidak membuat Sigit keluar.“Saya telepon ke HP dia tapi enggak diangkat sejak kemarin. Saya datang ada perlu sama dia sebenarnya.” Pria di hadapanku berkata
“Mbak siapa ya?” pria di hadapanku mendongak. Dia mengerutkan alisnya melihat wanita berpakaian sedikit ketat itu menatapnya. “Saya merasa enggak kenal Mbak ini.”Wanita cantik itu terdiam lalu terkejut hingga menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Eh, maaf ternyata salah orang.” Dia mengulurkan sebelah tangannya pada pria tersebut. “Namaku Dinda.”Oh jadi namanya Dinda. Apakah itu trik dia untuk berkenalan? Memalukan sekali. aku mencoba untuk tidak memutar mataku atau mendengkus.“Oh,” pria di hadapanku mengangguk. “Adam,” tambahnya singkat.Oh, aku lupa menanyakan namanya dan kini aku tahu dari orang lain nama temannya Sigit. Adam. Aku manggut pelan seraya makan buburku. Kemudian aku kembali berpikir mengenai Dinda yang sehari balik tiga kali ke toko mencari Sigit. apakah itu trik dia juga?“Eh, Mbak yang jaga toko Maharani ya?” Dinda menyapaku. Aku terenyum mengangguk. “Jenguk Sigit juga?” tanyanya. Ditatapnya aku.Pertanyaa itu membuatku menganguk.“Tentu,” Adam menimpali. “Dia
“Adam,” panggilku ketika dia hendak melangkah.“Ya?” dia menoleh padaku.“Tadi kudengar kamu bilang bos. Siapa bos?”Adam tertawa pelan sebelum menjawab, “Sigit kuanggap seperti bos. Suka ngatur-ngatur.”“Oh.” Aku ikut tertawa sebab yang dia katakan memang benar adanya. “Dia memang begitu ya?”Adam mengangkat bahu. “Cita-cita jadi pengusaha malah beda dengan keinginannya.”“Oh.” Hanya itu yang kubalas. Kupikir Sigit seorang Bos suatu perusahaan. Aku tertawa pelan memikirkan hal itu. Mana mungkin Sigit seorang pengusaha? Tangannya saja kasar begitu khas pekerja keras. Seorang pengusaha atau bos besar biasanya merawat diri. Sigit kesehariannya aku tahu sekali.Aku menghela napas melihat Dinda yang masih bicara dengan Sigit, “Saya tunggu di luar saja,” kataku kemudian.Adam menoleh padaku. “Kenapa?”Aku menghela napas lagi. Kutunjuk Dinda dengan daguku. “Aku malas melihat tingkahnya yang seperti itu.”Adam menatap sekilas Dinda. “Loh,” ucapnya, “sebaiknya dihadapi dia supaya dia tau posi
“Ayu!”Aku bergegas menuju depan pintu utama. Suara itu membuatku lupa laparku yang tadi kurasakan hingga tubuhku lemas. Kemudian, kubuka pintu rumah lebar. Berdiri di hadapanku orang yang sehari semalam kemarin tidak kulihat. Serta merta aku memeluknya erat.“Ternyata kamu pulang.” Aku memejamkan mata merasakan betapa aku ingin sekali bertemu dia. Kurasakan dia kembali memelukku perlahan.“Kenapa kamu enggak jenguk aku, Yu?” tanyanya.Aku perlahan melepaskan pelukanku kemudian menunduk. Aku malu padanya jika harus berkata yang sesungguhnya mengenai perasaanku.“Ayu?” dia kembali memanggilku.“Dinda.” Aku menjawab dengan singkat. Aku tidak menyukai keberadaan Dinda di sekitarnya.“Dinda? Dinda yang mana?”Aku mendongak menatapnya. Mataku berkedip mendengar ucapannya. “Dinda perempuan yang sering sama kamu.” Aku berkata dengan nada kesal jika harus mengingatkannya pada perempuan gatal yang tidak tahu diri itu.“Oh, jadi namanya Dinda.” Dia manggut.Alisku naik. “Loh emangnya kamu engg
“Sigit?” aku memanggilnya. Kami berada dalam kamar. Aku menyanggupi permintaannya asalkan dia memakai pengaman. Aku masih terpikir mengenai surat perjanjian. Dan dia menyanggupi.“Hm?” dia menjawab seraya menutup mata.Aku menyamping lalu menatapnya. Kuulurkan tanganku mengusap matanya yang tertutup. “Kamu belum cerita. Bagaimana caranya Adam bebaskan kamu?”Sigit menggenggam tanganku di dadanya. Dibuka matanya lalu menoleh menatapku. “Bukti belum kuat. Lagipula ditahan di polres mestinya hanya satu kali dua puluh empat jam. Jika terbukti aku salah, polisi akan menindaklanjuti. Untuk sementara aku bebas.”Aku tersenyum. “Jadi CCTV itu belum bisa jadi bukti kuat?”Sigit mengangguk. Dia ikut miring menghadapku. Satu tangannya yang bebas terulur mengusap kepalaku. “Terima kasih.”“Untuk?” aku merasa belum melakukan apa pun yang membuatnya bebas selain menangisinya semalaman hingga kepalaku sakit.“Mau bersabar dan percaya aku.”Aku mengangguk. “Dinda juga membantu?”“Ya.” Sigit menganggu
“Dinda temannya Utami?” gumamku. “Aku baru tau.” Kataku lagi.Di dapur hanya ada aku yang sedang duduk minum teh. Ibu dan Utami mengobrol dengan Dinda di ruang tamu. Terdengar nada suara Dinda yang kemayu itu bercerita mengenai pekerjaannya di perusahaan bonafit. Aku memutar mata.“Ngapain pagi-pagi ke sini?” gumamku lagi tidak habis pikir dengan Dinda itu.Pintu kamar mandi yang berada dekat dapur terbuka dan muncul Sigit. Sigit tadi setelah minum kopi memilih mandi. Aku tersenyum padanya.“Mau berangkat?” tanyaku walau aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk. “Kamu mandi gih. Kita sarapan di jalan saja.”Aku menurut. Kulihat jam di dinding. Sudah pukul enam tiga puluh pagi. Karena aktifitas semalam, aku jadi bangun telat. Memikirkan semalam, aku jadi malu sendiri.“Kenapa kamu?” Sigit bertanya. “Muka kamu merah gitu.”Aku segera menggeleng. Terdengar kekehan pelan Sigit. Dia menghampiriku yang masih duduk di kursi lalu diusapnya kepalaku kemudian turun ke pipiku. “Ayu,” bisiknya d
“Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik
"Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me
“Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit
"Itu ... aku mau beliin kamu baju baru." Sigit menunduk memerhatikan pakaiannya. "Emang kenapa? aku jelek?" kemudian alisnya terangkat. Aku segera menggeleng. Khawatir dia tersinggung. "Bukan gitu kok." Kujawab demikian. "Terus kenapa?" mata Sigit kembali menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut. "Baju kamu itu itu aja. Mau ya aku beliin?" aku menatapnya. Sigit menatapku. "Beli aja yg thrift. Kamu tau kan tempatnya? banyak yang bagus asal bisa milih." Aku mengangguk lalu tersenyum. "Kenapa enggak mau yang baru aja?" kutopak daguku dengan sebelah tangan. Sigit kembali menatap layar ponselnya. "Supaya Ibumu enggak tau baju baru." Ada benarnya juga jawaban dia. Aku setuju kalau begitu. Kuperhatikan Sigit yang kembali memerhatikan layar ponselnya. "Ada urusan penting?" tanyaku akhirnya. Padahal aku tidak boleh ikut campur urusan dia. Namun, aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk bertanya. Sigit menatapku agak lama kemudian mengangguk. "Mau ketemu orang,"
“Enggak bisa jawab?” Ibu menatapku dan Sigit bergantian.Saat aku hendak membuka mulutku, ponsel Ibu berdering dari tas jinjing yang dipakainya. Tas jinjing berbeda dengan sebelumnya. Aku baru menyadari tas jinjing milikku yang direbut Ibu kini dipakai oleh Utami. Aku menghela napas hingga Ibu menoleh. Tangannya masih mengeduk tasnya.“Apa?!” Ibu bertanya dengan mata melotot. Aku menggeleng pelan lalu menunduk.Utami sedang membuka tasnya lalu mengeluarkan beberapa alat kosmetik. “Aku yakin, kamu enggak akan bisa belum skincare kayak gini.” Utami memamerkan padaku produk perawatan wajah merek terkenal. Entah asli atau palsu. “Suamimu kan Cuma kuli panggul. Mana mampu beliin.”Ibu tertawa. Tangannya berhasil mengeluarkan ponselnya. “Wah, Jeng Anna.” Ibu bersorak lalu mengangkat telepon. Ibu menjawab telepon dengan nada riang. Kontras sekali dengam ucapannya padaku atau Sigit. sangat menyakitkan. “Oke, Jeng. Saya segera ke sana sama anak saya. Tunggu ya.”Setelah selesai menerima telepo
“Darimana saja kalian?” Ibu bertanya. Kali ini suaranya tidak menggelegar seperti yang sudah-sudah.“Kami sarapan dulu, Bu.” Sigit yang menjawab.Aku memilih sembunyi di belakang punggung Sigit yang tegap. Aku berusaha untuk menyembunyikan headset bluetoothku di tas. Berharap Ibu tidak menyadari ketika tadi aku masih memakainya walau hanya sebelah.“Buka tokonya.” Ibu berkata memerintah.Sigit berbalik padaku. “Mana kuncinya?” dia mengulurkan tangannya padaku.Dengan gugup aku mengeluarkan kunci tersebut dari saku celana yang kupakai. Kunci jatuh ke lantai dengan bunyi gemerincing. Saat aku berusaha untuk mengambilnya, Sigit pun melakukan hal yang sama. Tangan kami beradu di lantai toko yang kotor.“Sabar, ya.” Sigit berkata berbisik padaku. “Jangan takut sama Ibu.” Dia menambahkan lagi masih berbisik.Aku bergumam menanggapi. Walau begitu, aku masih takut pada Ibu yang suka marah tidak tahu tempat. Membuatku malu setengah mati. Membuatku seperti orang bodoh di mata orang lain. Namun,
“Enggak juga.” Sigit menatapku lalu tersenyum.Asap rokok yang dihisapnya membumbung tinggi ke udara. Sigit mencoba menghembuskannya ke arah kiri saat aku duduk di kanannya. Penjual memberikan pesanan bubur ayam padaku. Aku tersenyum.“Terima kasih, Mang,” ucapku. Penjual bubur mengangguk kembali meracik pesanan yang lain. Aku mulai makan tetapi pikiranku membumbung tinggi bagaikan asap rokok yang dihembuskan oleh Sigit.“Selalu enggak di makan.” Tangan Sigit mengambil daun bawang yang aku pinggirkan di mangkuk buburnya kemudian dia memakan dengan pelan.Aku memerhatikannya saksama. Dia tampan. Sudahkah aku mengatakannya? Aku telah berkata demikian berulang kali. Dia baik. Dia perhatian. Namun, aku tidak tahu apakah dia meyayangiku atau tidak. “Kenapa?” Sigit menatapku balik. Alisnya terangkat. “Ada yang mau kamu omongin?”Aku kembali makan lalu menggeleng. Aku masih canggung padanya setelah apa yang kukatakan padanya kemarin. Seharusnya aku tidak mengungkapkan isi hatiku. Seharusny
“Ayu?”Aku diam lalu meletakkan pisauku. Kututup mataku demi mengatur deru napasku. Tidak ada lagi suara yang tercipta antara kami berdua. Sigit masih berdiri di tempatnya. Di sampingku dan tidak bergerak.Aku menunduk. Kutumpukan kedua tanganku di konter dapur. Aku kembali mengatur napas perlahan lalu mulai berpikir. Apakah aku egois? Apakah aku salah jika kecewa padanya? Harga diriku 200 juta. Aku sebagai alat untuk syarat pelunasan hutangnya.“Aku minta maaf.” Sigit berkata lagi. “Mungkin kejujuranku menyakitkan hatimu. Tetapi itulah yang sebenarnya, Ayu.”Kubuka mataku lalu kembali menghela napas. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada tempatku mengadu hanya sekedar berbagi pikiran. Aku tidak punya teman dekat. Sekarang hanyalah Sigit orang terdekatku.“Oke,” ucap Sigit. dari sudut mataku dia mundur perlahan. “Aku berangkat kerja sekarang. Apa kamu mau bareng ke pasar?”Aku menggeleng. Tidak ketika suasana hatiku sedang seperti ini. Aku butuh berpikir. Kutatap potongan bahan sa
“Semuanya.” Sigit menjawab.Aku menghela napas. Kutatap langit-langit kamar mengingat jawabannya tadi. Sigit sudah tidur di tempat semula. Di bawah. Dia tidak mau tidur satu kasur denganku. Hari sudah malam ketika kami sampai rumah.Ibu tidak menunggui kami seperti sebelumnya. Rumah dalam keadaan sepi. Gelap. Entah ke mana mereka pergi. Selalu seperti itu sejak dulu. Pergi tanpa pamit atau memberitahukan anggota keluarga lainnya.Kumiringkan badanku. Mataku bersirobok dengan mata Sigit. Ternyata suamiku itu belum tidur juga. Dia menatapku.“Kenapa belum tidur?” tanyanya.Aku diam. Rasa sakit di hatiku masih ada. Aku mesti tahan bersama dengan pria yang tidak mencintaiku itu selama satu tahun ke depan. Menyesal aku telah mengutarakan isi hatiku padanya. Seharusnya kupendam saja rasa di hatiku ini.“Maaf.” Aku menjawab parau.“Untuk?” Sigit bertanya padaku.“Untuk perasaanku ke kamu.”Sigit menghela napas. “Perasaan enggak bisa dicegah. Itu murni mengalir, Ayu.” Dia menjawab pelan.Aku