“Dinda temannya Utami?” gumamku. “Aku baru tau.” Kataku lagi.Di dapur hanya ada aku yang sedang duduk minum teh. Ibu dan Utami mengobrol dengan Dinda di ruang tamu. Terdengar nada suara Dinda yang kemayu itu bercerita mengenai pekerjaannya di perusahaan bonafit. Aku memutar mata.“Ngapain pagi-pagi ke sini?” gumamku lagi tidak habis pikir dengan Dinda itu.Pintu kamar mandi yang berada dekat dapur terbuka dan muncul Sigit. Sigit tadi setelah minum kopi memilih mandi. Aku tersenyum padanya.“Mau berangkat?” tanyaku walau aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk. “Kamu mandi gih. Kita sarapan di jalan saja.”Aku menurut. Kulihat jam di dinding. Sudah pukul enam tiga puluh pagi. Karena aktifitas semalam, aku jadi bangun telat. Memikirkan semalam, aku jadi malu sendiri.“Kenapa kamu?” Sigit bertanya. “Muka kamu merah gitu.”Aku segera menggeleng. Terdengar kekehan pelan Sigit. Dia menghampiriku yang masih duduk di kursi lalu diusapnya kepalaku kemudian turun ke pipiku. “Ayu,” bisiknya d
"Mau ke mana?" aku bertanya lagi pada Sigit. Wajahnya merah padam menahan amarah."Keluar dari sini." aku menghela napas. Aku tahu kini maksudnya. "Mau tinggal di mana kita?" aku bertanya pelan. "Di mana saja." Sigit menjawab dengan gigi terkatup.Kuusap mataku yang bersimbah air mata. Aku ingi. keluar dari rumah ini tetapi itu adalah rumah Ibu kandungku. Ibu kandungku pernah bercerita padaku untuk tetap di rumah itu apa pun yang terjadi."Aku bisa menghidupimu, Ayu." Sigit menatapku. Tangannya terkepal. "Aku enggak suka lihat kamu di maki-maki Ibu tirimu itu."Aku menunduk. "Pikirkan baik-baik, Sigit. Apa kamu sudah yakin?"Terdengar helaan napas Sigit. Dari ujung penglihatanku, Sigit malah berbalik. Dia melangkah pergi. Aku memejamkan mata melihatnya. Dia pasti kecewa padaku sebab menolak ajakannya keluar dari tempat ini. Aku menjatuhkan diri di kursi. Kubuka buku catatan stok barang lalu membacanya. Kutuliskan kembali barang-barang yang ada di toko sesuai dengan nota. Air mataku
“Kamu menang melawan Ibumu. Ibu Maharani.” Sigit berkata setelah beberapa saat dia diam.Aku masih mengerutkan keningku. Tidak tahu harus membalas apa. Kemudian aku menghela napas pelan. “Aku enggak akan bisa lawan beliau,” ucapku pada akhirnya. Walau bagaimanapun beliau ada orang yang membesarkanku sejak usiaku 10 tahun walau aku dibedakan.Sigit tersenyum lagi. “Ya sudah,” balasnya. “Kutunggu di sini saja kalau gitu.” Kemudian dia berjalan keluar toko. Dia duduk di depan toko.“Loh memangnya kamu enggak cari barang buat diangkat?”Sigit mengangkat bahu. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyalakannya. “Udah sore juga. Mana ada yang butuh bantuanku.” Lalu kembali dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.Aku memerhatikannya lalu aku melirik tas pemberiannya. Jika mengingat tas miliknya, aku jadi kesal sendiri pada tas yang Sigit berikan untukku malah diambil Ibu.“Kamu yakin enggak mau beli tas lagi?” tanyaku padanya.Sigit menggeleng. Dia menyilangkan satu kakinya. “Kal
"Tantangan bagaimana?" aku bertanya lagi padanya yang diam. kami masih berkendara menggunakan motor butut miliknya. Laju motor tidaklah cepat seperti motor bagus keluaran baru milik Ibuku. Walau begitu, aku bersyukur Sigit memiliki kendaraan sendiri."Sigit?" aku kembali mendesaknya. Tantangan yang bagaimana maksudnya? "Aku jadi taruhan kamu dan temanmu ya? begitu?"Memikirkan hal itu saja aku sudah mulai dilanda kekesalan. Jika benar seperti itu, sungguh tega sekali Sigit padaku. Aku memang hanya perawan tua tetapi aku punya harga diri."Enggak!" Sigit menjawab dengan lantang ketika aku bertanya demikian. "Aku lagi cari kata yang enggak buat kamu bingung."Alisku berkerut. "Kamu kalau ngomong selalu bikin aku enggak ngerti." Benar, dia jika bicara selalu membuatku tidak paham. Gaya bicaranya seperti beda dimensi denganku. Dia seperti terlahir dari kalangan atas dengan gaya bicara yang tinggi. Sedangkan aku lahir dari kalangan bawah yang bicaraku selalu apa adanya. "Pokoknya begitu
"Salah satu satpamnya aku kenal." Dia menjawab lalu melanjutkan langkahnya."Oya?" aku mulai tertarik. Berapa banyak orang di Mall ini yang dia kenal ya? "Tadi kita ketemu, enggak?"Sigit mengggeleng. "Dia kebagian shift pagi.""Oh gitu." Aku mengangguk.Sigit menoleh padaku lalu menggandeng tanganku. "Kapan-kapan kalau kita ke Mall ini pagi, aku kenalkan ke kamu."Aku memutar mata. "Mana bisa kita jalan-jalan pagi hari. Yang ada Ibuku ngamuk tokonya enggak buka."Dan itu kenyataannya. Aku pernah melakukannya ketika ada jam kuliah pagi yang mendadak dilakukan. Aku mendapatkan telepon dari teman kampus. Dahulu Ibuku memasang telepon rumah. Teman kampusku yang merupakan ketua kelas memintaku segera datang karena ada jam kuliah pagi pukul tujuh. Aku pergi tanpa pamit Ibu. Walhasil saat aku pulang kuliah siang harinya, Ibuku marah besar. "Padahal tutup sehari tidak akan rugi." Sigit berkata."Yah," balasku. "Ibu enggak suka tokonya tutup. Itu bikin Ibu rugi."Terdengar helaan napas Sigi
“Buat aku?” aku memastikan lagi pendengaranku.Sigit mengangguk. Matanya mengedar ke sekeliling. Aku ikut memerhatikan dalam toko. Di toko ponsel ini tidak banyak pengunjungnya. Hanya dua orang pasangan muda sepertiku dan Sigit yang sedang mencoba ponsel di meja display.“Ayo.” Sigit menarik tanganku hingga aku pasrah mengikuti langkahnya yang panjang. “Mau yang mana?”“Yang murah aja.” Aku segera menjawab tanpa berpikir. Aku tidak mau menyusahkannya. Pastilah uangnya tidak seberapa.Sigit menoleh lalu menghentikan langkahnya di jajaran ponsel merek ternama dunia. “Enggak mau yang ini aja?” dia menunjuk ponsel itu.Aku segera menggeleng. “Enggak.”“Kenapa?” dia mengangkat alisnya padaku. “Ini HP bagus. Banyak orang yang pengen HP begini. Kamu mau juga kan?”Aku menggigit bibirku. Aku sejak dulu ingin ponsel bagus keluaran ternama dunia tetapi aku sadar diri lahir dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Walau Ibu Maharani punya toko sembako besar, aku tidak pernah menikmati uangnya se
“Ya kan tadi aku bilang misalnya.” kemudian terdengar tawa Sigit membahana.Kuputar mataku lalu mencubit pinggangnya. “Bikin kaget aja.”Aku tertawa. Kalau seandainya benar begitu, aku tidak tahu harus apa. Mungkin pingsan. Suamiku yang kuli panggul ternyata kaya raya.“Kalau misalnya aku kaya, kamu masih mau sama aku?”Aku mengerutkan kening. “Maksud kamu?” aku tidak paham.“Siapa tahu kamu marah karena aku bohongi kamu.”Aku berdecak. “Kalau menurutku, menikah itu bukan main-main. Saat aku terima kamu jadi suami aku, berarti aku sudah menerima segala yang ada dalam diri kamu, Sigit.”“Kalau selama ini aku bohongin kamu, kamu marah?”“Bohongin gimana?” aku bertanya balik.Sigit dan ucapan berputarnya membuat aku tidak mengerti. Aku tidak tahu arah pembicaraannya. Atau mungkin pikiran aku yang pendek jadi tidak paham yang dia bicarakan.“Ya misalnya ternyata aku ini orang buruk banget. Kamu masih mau sama aku?”Aku terdiam. Aku tidak tahu harus berkata apa pada pola pikirnya. Sejurus k
“Semuanya.” Sigit menjawab.Aku menghela napas. Kutatap langit-langit kamar mengingat jawabannya tadi. Sigit sudah tidur di tempat semula. Di bawah. Dia tidak mau tidur satu kasur denganku. Hari sudah malam ketika kami sampai rumah.Ibu tidak menunggui kami seperti sebelumnya. Rumah dalam keadaan sepi. Gelap. Entah ke mana mereka pergi. Selalu seperti itu sejak dulu. Pergi tanpa pamit atau memberitahukan anggota keluarga lainnya.Kumiringkan badanku. Mataku bersirobok dengan mata Sigit. Ternyata suamiku itu belum tidur juga. Dia menatapku.“Kenapa belum tidur?” tanyanya.Aku diam. Rasa sakit di hatiku masih ada. Aku mesti tahan bersama dengan pria yang tidak mencintaiku itu selama satu tahun ke depan. Menyesal aku telah mengutarakan isi hatiku padanya. Seharusnya kupendam saja rasa di hatiku ini.“Maaf.” Aku menjawab parau.“Untuk?” Sigit bertanya padaku.“Untuk perasaanku ke kamu.”Sigit menghela napas. “Perasaan enggak bisa dicegah. Itu murni mengalir, Ayu.” Dia menjawab pelan.Aku
“Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik
"Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me
“Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit
"Itu ... aku mau beliin kamu baju baru." Sigit menunduk memerhatikan pakaiannya. "Emang kenapa? aku jelek?" kemudian alisnya terangkat. Aku segera menggeleng. Khawatir dia tersinggung. "Bukan gitu kok." Kujawab demikian. "Terus kenapa?" mata Sigit kembali menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut. "Baju kamu itu itu aja. Mau ya aku beliin?" aku menatapnya. Sigit menatapku. "Beli aja yg thrift. Kamu tau kan tempatnya? banyak yang bagus asal bisa milih." Aku mengangguk lalu tersenyum. "Kenapa enggak mau yang baru aja?" kutopak daguku dengan sebelah tangan. Sigit kembali menatap layar ponselnya. "Supaya Ibumu enggak tau baju baru." Ada benarnya juga jawaban dia. Aku setuju kalau begitu. Kuperhatikan Sigit yang kembali memerhatikan layar ponselnya. "Ada urusan penting?" tanyaku akhirnya. Padahal aku tidak boleh ikut campur urusan dia. Namun, aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk bertanya. Sigit menatapku agak lama kemudian mengangguk. "Mau ketemu orang,"
“Enggak bisa jawab?” Ibu menatapku dan Sigit bergantian.Saat aku hendak membuka mulutku, ponsel Ibu berdering dari tas jinjing yang dipakainya. Tas jinjing berbeda dengan sebelumnya. Aku baru menyadari tas jinjing milikku yang direbut Ibu kini dipakai oleh Utami. Aku menghela napas hingga Ibu menoleh. Tangannya masih mengeduk tasnya.“Apa?!” Ibu bertanya dengan mata melotot. Aku menggeleng pelan lalu menunduk.Utami sedang membuka tasnya lalu mengeluarkan beberapa alat kosmetik. “Aku yakin, kamu enggak akan bisa belum skincare kayak gini.” Utami memamerkan padaku produk perawatan wajah merek terkenal. Entah asli atau palsu. “Suamimu kan Cuma kuli panggul. Mana mampu beliin.”Ibu tertawa. Tangannya berhasil mengeluarkan ponselnya. “Wah, Jeng Anna.” Ibu bersorak lalu mengangkat telepon. Ibu menjawab telepon dengan nada riang. Kontras sekali dengam ucapannya padaku atau Sigit. sangat menyakitkan. “Oke, Jeng. Saya segera ke sana sama anak saya. Tunggu ya.”Setelah selesai menerima telepo
“Darimana saja kalian?” Ibu bertanya. Kali ini suaranya tidak menggelegar seperti yang sudah-sudah.“Kami sarapan dulu, Bu.” Sigit yang menjawab.Aku memilih sembunyi di belakang punggung Sigit yang tegap. Aku berusaha untuk menyembunyikan headset bluetoothku di tas. Berharap Ibu tidak menyadari ketika tadi aku masih memakainya walau hanya sebelah.“Buka tokonya.” Ibu berkata memerintah.Sigit berbalik padaku. “Mana kuncinya?” dia mengulurkan tangannya padaku.Dengan gugup aku mengeluarkan kunci tersebut dari saku celana yang kupakai. Kunci jatuh ke lantai dengan bunyi gemerincing. Saat aku berusaha untuk mengambilnya, Sigit pun melakukan hal yang sama. Tangan kami beradu di lantai toko yang kotor.“Sabar, ya.” Sigit berkata berbisik padaku. “Jangan takut sama Ibu.” Dia menambahkan lagi masih berbisik.Aku bergumam menanggapi. Walau begitu, aku masih takut pada Ibu yang suka marah tidak tahu tempat. Membuatku malu setengah mati. Membuatku seperti orang bodoh di mata orang lain. Namun,
“Enggak juga.” Sigit menatapku lalu tersenyum.Asap rokok yang dihisapnya membumbung tinggi ke udara. Sigit mencoba menghembuskannya ke arah kiri saat aku duduk di kanannya. Penjual memberikan pesanan bubur ayam padaku. Aku tersenyum.“Terima kasih, Mang,” ucapku. Penjual bubur mengangguk kembali meracik pesanan yang lain. Aku mulai makan tetapi pikiranku membumbung tinggi bagaikan asap rokok yang dihembuskan oleh Sigit.“Selalu enggak di makan.” Tangan Sigit mengambil daun bawang yang aku pinggirkan di mangkuk buburnya kemudian dia memakan dengan pelan.Aku memerhatikannya saksama. Dia tampan. Sudahkah aku mengatakannya? Aku telah berkata demikian berulang kali. Dia baik. Dia perhatian. Namun, aku tidak tahu apakah dia meyayangiku atau tidak. “Kenapa?” Sigit menatapku balik. Alisnya terangkat. “Ada yang mau kamu omongin?”Aku kembali makan lalu menggeleng. Aku masih canggung padanya setelah apa yang kukatakan padanya kemarin. Seharusnya aku tidak mengungkapkan isi hatiku. Seharusny
“Ayu?”Aku diam lalu meletakkan pisauku. Kututup mataku demi mengatur deru napasku. Tidak ada lagi suara yang tercipta antara kami berdua. Sigit masih berdiri di tempatnya. Di sampingku dan tidak bergerak.Aku menunduk. Kutumpukan kedua tanganku di konter dapur. Aku kembali mengatur napas perlahan lalu mulai berpikir. Apakah aku egois? Apakah aku salah jika kecewa padanya? Harga diriku 200 juta. Aku sebagai alat untuk syarat pelunasan hutangnya.“Aku minta maaf.” Sigit berkata lagi. “Mungkin kejujuranku menyakitkan hatimu. Tetapi itulah yang sebenarnya, Ayu.”Kubuka mataku lalu kembali menghela napas. Aku tidak bisa berpikir jernih. Tidak ada tempatku mengadu hanya sekedar berbagi pikiran. Aku tidak punya teman dekat. Sekarang hanyalah Sigit orang terdekatku.“Oke,” ucap Sigit. dari sudut mataku dia mundur perlahan. “Aku berangkat kerja sekarang. Apa kamu mau bareng ke pasar?”Aku menggeleng. Tidak ketika suasana hatiku sedang seperti ini. Aku butuh berpikir. Kutatap potongan bahan sa
“Semuanya.” Sigit menjawab.Aku menghela napas. Kutatap langit-langit kamar mengingat jawabannya tadi. Sigit sudah tidur di tempat semula. Di bawah. Dia tidak mau tidur satu kasur denganku. Hari sudah malam ketika kami sampai rumah.Ibu tidak menunggui kami seperti sebelumnya. Rumah dalam keadaan sepi. Gelap. Entah ke mana mereka pergi. Selalu seperti itu sejak dulu. Pergi tanpa pamit atau memberitahukan anggota keluarga lainnya.Kumiringkan badanku. Mataku bersirobok dengan mata Sigit. Ternyata suamiku itu belum tidur juga. Dia menatapku.“Kenapa belum tidur?” tanyanya.Aku diam. Rasa sakit di hatiku masih ada. Aku mesti tahan bersama dengan pria yang tidak mencintaiku itu selama satu tahun ke depan. Menyesal aku telah mengutarakan isi hatiku padanya. Seharusnya kupendam saja rasa di hatiku ini.“Maaf.” Aku menjawab parau.“Untuk?” Sigit bertanya padaku.“Untuk perasaanku ke kamu.”Sigit menghela napas. “Perasaan enggak bisa dicegah. Itu murni mengalir, Ayu.” Dia menjawab pelan.Aku