Share

Bab 16 Secerah Harapan

Penulis: S.Z.Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-21 14:56:09

“Benar begitu, Bu?” aku menegaskan lagi apa yang dikatakan oleh Ibu.

Ibu memutar mata. Dia mendorong badanku agar segera bergerak. Aku menghela napas pelan. Segera aku menuju pintu depan. Dan memang benar. Di depan sudah berdiri seorang pria seusia Sigit berdiri. Pria itu menggunakan jaket abu-abu dan celana jeans warna gelap.

“Halo?” aku menyapanya.

Pria yang berdiri canggung itu mendongak. Dia tersenyum tipis padaku. “Maaf, Sigit ada? Saya temannya dari kampung.”

Aku menggeleng.

Dia menghela napas. Di belakangnya terdapat mobil bak terbuka berwarna biru yang sepertinya sudah lama tidak dicuci. “Di mana saya bisa bertemu Sigit?”

Aku membuka mulutku tetapi tidak ada kalimat yang keluar. Aku terlalu terkejut mendengar ucapan Ibu tadi mengenai Sigit yang ditahan di kantor polisi. Sepertinya penjelasan dari wanita paruh baya kemarin tidak membuat Sigit keluar.

“Saya telepon ke HP dia tapi enggak diangkat sejak kemarin. Saya datang ada perlu sama dia sebenarnya.” Pria di hadapanku berkata
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 17 Cukup Enggak Tahu Diri

    “Mbak siapa ya?” pria di hadapanku mendongak. Dia mengerutkan alisnya melihat wanita berpakaian sedikit ketat itu menatapnya. “Saya merasa enggak kenal Mbak ini.”Wanita cantik itu terdiam lalu terkejut hingga menutup mulutnya dengan kedua tangannya. “Eh, maaf ternyata salah orang.” Dia mengulurkan sebelah tangannya pada pria tersebut. “Namaku Dinda.”Oh jadi namanya Dinda. Apakah itu trik dia untuk berkenalan? Memalukan sekali. aku mencoba untuk tidak memutar mataku atau mendengkus.“Oh,” pria di hadapanku mengangguk. “Adam,” tambahnya singkat.Oh, aku lupa menanyakan namanya dan kini aku tahu dari orang lain nama temannya Sigit. Adam. Aku manggut pelan seraya makan buburku. Kemudian aku kembali berpikir mengenai Dinda yang sehari balik tiga kali ke toko mencari Sigit. apakah itu trik dia juga?“Eh, Mbak yang jaga toko Maharani ya?” Dinda menyapaku. Aku terenyum mengangguk. “Jenguk Sigit juga?” tanyanya. Ditatapnya aku.Pertanyaa itu membuatku menganguk.“Tentu,” Adam menimpali. “Dia

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-22
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 18 Sebatas Surat

    “Adam,” panggilku ketika dia hendak melangkah.“Ya?” dia menoleh padaku.“Tadi kudengar kamu bilang bos. Siapa bos?”Adam tertawa pelan sebelum menjawab, “Sigit kuanggap seperti bos. Suka ngatur-ngatur.”“Oh.” Aku ikut tertawa sebab yang dia katakan memang benar adanya. “Dia memang begitu ya?”Adam mengangkat bahu. “Cita-cita jadi pengusaha malah beda dengan keinginannya.”“Oh.” Hanya itu yang kubalas. Kupikir Sigit seorang Bos suatu perusahaan. Aku tertawa pelan memikirkan hal itu. Mana mungkin Sigit seorang pengusaha? Tangannya saja kasar begitu khas pekerja keras. Seorang pengusaha atau bos besar biasanya merawat diri. Sigit kesehariannya aku tahu sekali.Aku menghela napas melihat Dinda yang masih bicara dengan Sigit, “Saya tunggu di luar saja,” kataku kemudian.Adam menoleh padaku. “Kenapa?”Aku menghela napas lagi. Kutunjuk Dinda dengan daguku. “Aku malas melihat tingkahnya yang seperti itu.”Adam menatap sekilas Dinda. “Loh,” ucapnya, “sebaiknya dihadapi dia supaya dia tau posi

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 19 Permintaan Mendebarkan

    “Ayu!”Aku bergegas menuju depan pintu utama. Suara itu membuatku lupa laparku yang tadi kurasakan hingga tubuhku lemas. Kemudian, kubuka pintu rumah lebar. Berdiri di hadapanku orang yang sehari semalam kemarin tidak kulihat. Serta merta aku memeluknya erat.“Ternyata kamu pulang.” Aku memejamkan mata merasakan betapa aku ingin sekali bertemu dia. Kurasakan dia kembali memelukku perlahan.“Kenapa kamu enggak jenguk aku, Yu?” tanyanya.Aku perlahan melepaskan pelukanku kemudian menunduk. Aku malu padanya jika harus berkata yang sesungguhnya mengenai perasaanku.“Ayu?” dia kembali memanggilku.“Dinda.” Aku menjawab dengan singkat. Aku tidak menyukai keberadaan Dinda di sekitarnya.“Dinda? Dinda yang mana?”Aku mendongak menatapnya. Mataku berkedip mendengar ucapannya. “Dinda perempuan yang sering sama kamu.” Aku berkata dengan nada kesal jika harus mengingatkannya pada perempuan gatal yang tidak tahu diri itu.“Oh, jadi namanya Dinda.” Dia manggut.Alisku naik. “Loh emangnya kamu engg

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 20 Teman Utami

    “Sigit?” aku memanggilnya. Kami berada dalam kamar. Aku menyanggupi permintaannya asalkan dia memakai pengaman. Aku masih terpikir mengenai surat perjanjian. Dan dia menyanggupi.“Hm?” dia menjawab seraya menutup mata.Aku menyamping lalu menatapnya. Kuulurkan tanganku mengusap matanya yang tertutup. “Kamu belum cerita. Bagaimana caranya Adam bebaskan kamu?”Sigit menggenggam tanganku di dadanya. Dibuka matanya lalu menoleh menatapku. “Bukti belum kuat. Lagipula ditahan di polres mestinya hanya satu kali dua puluh empat jam. Jika terbukti aku salah, polisi akan menindaklanjuti. Untuk sementara aku bebas.”Aku tersenyum. “Jadi CCTV itu belum bisa jadi bukti kuat?”Sigit mengangguk. Dia ikut miring menghadapku. Satu tangannya yang bebas terulur mengusap kepalaku. “Terima kasih.”“Untuk?” aku merasa belum melakukan apa pun yang membuatnya bebas selain menangisinya semalaman hingga kepalaku sakit.“Mau bersabar dan percaya aku.”Aku mengangguk. “Dinda juga membantu?”“Ya.” Sigit menganggu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 21 Merah Padam

    “Dinda temannya Utami?” gumamku. “Aku baru tau.” Kataku lagi.Di dapur hanya ada aku yang sedang duduk minum teh. Ibu dan Utami mengobrol dengan Dinda di ruang tamu. Terdengar nada suara Dinda yang kemayu itu bercerita mengenai pekerjaannya di perusahaan bonafit. Aku memutar mata.“Ngapain pagi-pagi ke sini?” gumamku lagi tidak habis pikir dengan Dinda itu.Pintu kamar mandi yang berada dekat dapur terbuka dan muncul Sigit. Sigit tadi setelah minum kopi memilih mandi. Aku tersenyum padanya.“Mau berangkat?” tanyaku walau aku sudah tahu jawabannya.Dia mengangguk. “Kamu mandi gih. Kita sarapan di jalan saja.”Aku menurut. Kulihat jam di dinding. Sudah pukul enam tiga puluh pagi. Karena aktifitas semalam, aku jadi bangun telat. Memikirkan semalam, aku jadi malu sendiri.“Kenapa kamu?” Sigit bertanya. “Muka kamu merah gitu.”Aku segera menggeleng. Terdengar kekehan pelan Sigit. Dia menghampiriku yang masih duduk di kursi lalu diusapnya kepalaku kemudian turun ke pipiku. “Ayu,” bisiknya d

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-27
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   bab 22 Istriku yang Kuat

    "Mau ke mana?" aku bertanya lagi pada Sigit. Wajahnya merah padam menahan amarah."Keluar dari sini." aku menghela napas. Aku tahu kini maksudnya. "Mau tinggal di mana kita?" aku bertanya pelan. "Di mana saja." Sigit menjawab dengan gigi terkatup.Kuusap mataku yang bersimbah air mata. Aku ingi. keluar dari rumah ini tetapi itu adalah rumah Ibu kandungku. Ibu kandungku pernah bercerita padaku untuk tetap di rumah itu apa pun yang terjadi."Aku bisa menghidupimu, Ayu." Sigit menatapku. Tangannya terkepal. "Aku enggak suka lihat kamu di maki-maki Ibu tirimu itu."Aku menunduk. "Pikirkan baik-baik, Sigit. Apa kamu sudah yakin?"Terdengar helaan napas Sigit. Dari ujung penglihatanku, Sigit malah berbalik. Dia melangkah pergi. Aku memejamkan mata melihatnya. Dia pasti kecewa padaku sebab menolak ajakannya keluar dari tempat ini. Aku menjatuhkan diri di kursi. Kubuka buku catatan stok barang lalu membacanya. Kutuliskan kembali barang-barang yang ada di toko sesuai dengan nota. Air mataku

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-28
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 23 Sebuah Tantangan

    “Kamu menang melawan Ibumu. Ibu Maharani.” Sigit berkata setelah beberapa saat dia diam.Aku masih mengerutkan keningku. Tidak tahu harus membalas apa. Kemudian aku menghela napas pelan. “Aku enggak akan bisa lawan beliau,” ucapku pada akhirnya. Walau bagaimanapun beliau ada orang yang membesarkanku sejak usiaku 10 tahun walau aku dibedakan.Sigit tersenyum lagi. “Ya sudah,” balasnya. “Kutunggu di sini saja kalau gitu.” Kemudian dia berjalan keluar toko. Dia duduk di depan toko.“Loh memangnya kamu enggak cari barang buat diangkat?”Sigit mengangkat bahu. Dia mengeluarkan ponselnya dan menyalakannya. “Udah sore juga. Mana ada yang butuh bantuanku.” Lalu kembali dia kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.Aku memerhatikannya lalu aku melirik tas pemberiannya. Jika mengingat tas miliknya, aku jadi kesal sendiri pada tas yang Sigit berikan untukku malah diambil Ibu.“Kamu yakin enggak mau beli tas lagi?” tanyaku padanya.Sigit menggeleng. Dia menyilangkan satu kakinya. “Kal

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-30
  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 24 Mall Pasifik

    "Tantangan bagaimana?" aku bertanya lagi padanya yang diam. kami masih berkendara menggunakan motor butut miliknya. Laju motor tidaklah cepat seperti motor bagus keluaran baru milik Ibuku. Walau begitu, aku bersyukur Sigit memiliki kendaraan sendiri."Sigit?" aku kembali mendesaknya. Tantangan yang bagaimana maksudnya? "Aku jadi taruhan kamu dan temanmu ya? begitu?"Memikirkan hal itu saja aku sudah mulai dilanda kekesalan. Jika benar seperti itu, sungguh tega sekali Sigit padaku. Aku memang hanya perawan tua tetapi aku punya harga diri."Enggak!" Sigit menjawab dengan lantang ketika aku bertanya demikian. "Aku lagi cari kata yang enggak buat kamu bingung."Alisku berkerut. "Kamu kalau ngomong selalu bikin aku enggak ngerti." Benar, dia jika bicara selalu membuatku tidak paham. Gaya bicaranya seperti beda dimensi denganku. Dia seperti terlahir dari kalangan atas dengan gaya bicara yang tinggi. Sedangkan aku lahir dari kalangan bawah yang bicaraku selalu apa adanya. "Pokoknya begitu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-01

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 40 Curiga

    “Tetapi aku enggak mau kamu Kembali ke rumah Ibu.” Sigit berkata lagi. “Tunggu di sini. Aku tebus obat dulu.” Kemudian dia mendudukkan aku di kursi tunggu. Dia berjalan ke bagian penebusan obat.Aku memerhatikannya. Dia masih menggunakan pakaian yang tadi pagi. Melihatnya berpakaian membuatku teringat kalau aku ingin bertanya pakaian yang dia pakai sebelumnya. Aku ingat betul dia tidak membawa pakaian ketika berangkat dari rumah malam kemarin.Aku memang orang miskin akan tetapi aku tahu merek pakaian mahal. Seperti yang dia gunakan sekarang ini. Ada logo di bagian dada kanannya. Walau kecil logonya tetapi jelas sekali itu merek pakaian ternama dunia. Mahal. Harga termurahnya bisa satu juta rupiah. Aku menghembuskan napas. Kugigit bibirku. Bagaimana caranya aku bisa bertanya padanya?‘Apakah dia menginap di rumah Perempuan? Apakah dia bertemu lagi dengan Dinda?’ pikiran itu muncul begitu saja.“Ayo.” Suara Sigit membuatku mendongak. Aku mengangguk pelan lalu berdiri.“Kapan kita ketem

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 39 Mama

    “Ma?”Aku memanggilnya lagi. Namun, Mama hanya tersenyum. Walau begitu, aku tetap senang. Setidaknya Mama tersenyum padaku. Tidak mengapa asal aku bisa bertemu beliau.“Mama.” Aku ingin menangis ketika melihat Mama hanya berdiri seraya masih tersenyum. “Ma, aku kangen.” Aku berkata lagi.Tiba-tiba, Mama sudah mendekapku. Dekapannya begitu erat sekali. Tubuhku berguncang-guncang. Aku merasakan seperti diangkat ke atas. “Ayudisha,” Ucapan itu terdnegar di telingaku tetapi bukan Mama. Itu suara orang lain.“Ayu, buka matamu.” Suara itu terdengar lagi. Dekapan itu mengendur. Pelukan Mama perlahan menghilang.“Ma,” aku berbisik.“Ayudisha?” kini, aku mengenali suara itu. Itu suara Sigit.Perlahan aku membuka mata. Kulihat Sigit menatapku lalu memelukku erat. Suara sirine terdengar begitu dekat sekali. Aku mengedarkan pandangan. Aku berada dalam sebuah mobil. Bersama satu orang lainnya.“Aku takut kamu pergi.” Sigit berbisik lalu merebahkan tubuhku lagi.Aku bernapas perlahan dengan alat ba

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 38 Serangan Panik

    “Sigit?” aku menatapnya dari atas sampai bawah tatkala membuka pintu rumah. Pagi betul dia sampai rumah. Kupandangi lagi dia. Mataku kemudian berkedip. “Sigit?” aku memanggil lagi. Takut penglihatanku salah.Pria di hadapanku mengangguk. Benar, dia Sigit. Aku menunjuknya. “Kamu pakai baju siapa?” aku menatapnya.“Ayu!” teriakan heboh Ibu membuatku terlonjak. “Siapa tamunya?!”Aku tergagap. “Sigit, Bu.” akhirnya aku bisa menjawab juga. Kutarik napasku perlahan. Kembali aku menatapnya. “Kamu pakai baju siapa?”Sigit menunduk. “Oh, ini.” Dia lalu tersenyum. “Nanti aku cerita. Boleh aku masuk?”Aku berdehem pelan lalu menyingkir dari ambang pintu.“Siapa katamu? Sigit?!” suara Ibu terdengar lagi. Kali ini lebih dekat dari sebelumnya. Aku menoleh lalu mengangguk.Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Sebentar lagi pasti Ibu mencecar Sigit.“Kamu baru pulang?” Ibu bertanya pada Sigit. Tangan berkacak pinggang. “Pukul berapa ini?! apa enggak lihat jam?!”“Saya kerja, Bu.” Sigit menjawab ringan.

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 37 Siapa Itu?

    “Ada apa?” Sigit bertanya.Kembali suaranya bergema seperti di dalam kamar mandi. Kemudian terdengar suara air bergemericik.“Kamu lagi ngapain?” tanyaku kembali.“Mau mandi.”Alisku naik. “Mandi? Di mana?” Sejenak Sigit terdiam. Aku mengedipkan mata. “Kamu di mana?”Lalu Sigit menghela napas. “Sepertinya aku enggak sanggup lagi.”Jantungku hendak copot dari tempatnya mendengar dia mengatakan itu. “Sigit? maksud kamu apa?” cecarku. “Apanya yang enggak sanggup?”Sigit kembali menghela napas. Terdengar suara pintu terbuka lalu tertutup. “Sepertinya aku harus terus terang sama kamu, Ayu.”“Apa sih?” aku duduk di atas tempat tidur.Kuremas selimut yang tidak sengaja kududuki. Pikiranku melayang tidak tentu arah seperti layangan putus. Sigit kenapa? apakah dia sudah bosan denganku? Apakah dia ingin kita berpisah? Lalu bagaimana nasibku nanti setelah dia pisah denganku? Hanya Sigit yang kupunya. Hanya dia temanku.“Aku punya salah sama kamu?” aku bertanya lirih. Mungkin aku harus memperbaik

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 36

    "Ayu!" Ibu berbicara lagi. Suaranya menggelegar. aku memilih diam. ponselku terus berbunyi. dengan gugup aku meraih ponselku kemudian menggenggamnya erat. aku bahkan lupa caranya untuk mematikan ponsel karena saking gugupnya. "Ayu!" suara Ibu berteriak lagi kali ini dengan menggedor-gedor pintu. Otakku tidak bisa bekerja jika aku seperti ini, terlebih lagi saat ponselku terus berbunyi. "ada apa lagi sih, Bu?" kali ini terdengar suara ayahku yang sepertinya berdiri di samping ibuku di depan pintu kamar. "Itu, dengar sesuatu di kamar anakmu!" Ibu berkata masuk dengan suara nyaring "kayak suara HP bunyi. padahal setahu Ibu anakmu itu tidak punya HP."terdengar hal nafas Ayah pelan. "Biarkan saja aku mungkin dia sedang mendengarkan radio.""radio dari mana?" suara Ibu masih kencang tapi kali ini agak sedikit menurun nadanya. ayahku berdecak, "mungkin dibelikan oleh Sigit. Dia kan sudah punya suami sekarang. jangan selalu curiga pada Ayu." "terus saja kamu bela anakmu itu." Ibu me

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 35 Mobil Baru

    “Mau ke mana?”Aku mundur mendengar suara Ibu. “Ibu!” seruku. Kusentuh dadaku. Aku terkejut.“Bu.” Sigit maju. Dia mengulurkan tangannya menyalami Ibu.Ibu dengan wajah penasaran mengulurkan tangannya pada Sigit. “Mau ke mana kalian malam-malam?”“Saya ada kerjaan, Bu.” Sigit menjawab.“Kamu ngapain?” Ibu menunjukku dengan dagunya.Di belakang Ibu, ada Utami dan Ayah turun dari mobil. Aku mengangkat alisku. Ibu yang tahu aku melihat Utami lalu tersenyum miring.“Utami beli mobil baru.” Ibu berkata dengan suara sombong.Utami berjalan mendekat semantara Ayah masih menatap mobil berwarna merah menyala itu dengan kagum. Wanita itu menggoyang-goyangkan kunci di tangannya.“Mobil baru. Pasti iri.” Dengan percaya dirinya dia berkata.Aku memutar mata. “Enggak.”“Suruh suamimu beli sana.” Utami berkata lagi.Aku kembali memutar mataku.Suara klakson mobil yang kencang membuat Sigit maju lagi satu langkah. “Bu, izin kami pergi dahulu.”Ibu menghalangi jalan. Tubuhnya yang gempal membuat Sigit

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 34 Butuh

    "Itu ... aku mau beliin kamu baju baru." Sigit menunduk memerhatikan pakaiannya. "Emang kenapa? aku jelek?" kemudian alisnya terangkat. Aku segera menggeleng. Khawatir dia tersinggung. "Bukan gitu kok." Kujawab demikian. "Terus kenapa?" mata Sigit kembali menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut. "Baju kamu itu itu aja. Mau ya aku beliin?" aku menatapnya. Sigit menatapku. "Beli aja yg thrift. Kamu tau kan tempatnya? banyak yang bagus asal bisa milih." Aku mengangguk lalu tersenyum. "Kenapa enggak mau yang baru aja?" kutopak daguku dengan sebelah tangan. Sigit kembali menatap layar ponselnya. "Supaya Ibumu enggak tau baju baru." Ada benarnya juga jawaban dia. Aku setuju kalau begitu. Kuperhatikan Sigit yang kembali memerhatikan layar ponselnya. "Ada urusan penting?" tanyaku akhirnya. Padahal aku tidak boleh ikut campur urusan dia. Namun, aku tidak bisa menghentikan keinginanku untuk bertanya. Sigit menatapku agak lama kemudian mengangguk. "Mau ketemu orang,"

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 33 Tidak Mengakui

    “Enggak bisa jawab?” Ibu menatapku dan Sigit bergantian.Saat aku hendak membuka mulutku, ponsel Ibu berdering dari tas jinjing yang dipakainya. Tas jinjing berbeda dengan sebelumnya. Aku baru menyadari tas jinjing milikku yang direbut Ibu kini dipakai oleh Utami. Aku menghela napas hingga Ibu menoleh. Tangannya masih mengeduk tasnya.“Apa?!” Ibu bertanya dengan mata melotot. Aku menggeleng pelan lalu menunduk.Utami sedang membuka tasnya lalu mengeluarkan beberapa alat kosmetik. “Aku yakin, kamu enggak akan bisa belum skincare kayak gini.” Utami memamerkan padaku produk perawatan wajah merek terkenal. Entah asli atau palsu. “Suamimu kan Cuma kuli panggul. Mana mampu beliin.”Ibu tertawa. Tangannya berhasil mengeluarkan ponselnya. “Wah, Jeng Anna.” Ibu bersorak lalu mengangkat telepon. Ibu menjawab telepon dengan nada riang. Kontras sekali dengam ucapannya padaku atau Sigit. sangat menyakitkan. “Oke, Jeng. Saya segera ke sana sama anak saya. Tunggu ya.”Setelah selesai menerima telepo

  • Suamiku Bukan Kuli Panggul Biasa   Bab 32 Sikap Ibu

    “Darimana saja kalian?” Ibu bertanya. Kali ini suaranya tidak menggelegar seperti yang sudah-sudah.“Kami sarapan dulu, Bu.” Sigit yang menjawab.Aku memilih sembunyi di belakang punggung Sigit yang tegap. Aku berusaha untuk menyembunyikan headset bluetoothku di tas. Berharap Ibu tidak menyadari ketika tadi aku masih memakainya walau hanya sebelah.“Buka tokonya.” Ibu berkata memerintah.Sigit berbalik padaku. “Mana kuncinya?” dia mengulurkan tangannya padaku.Dengan gugup aku mengeluarkan kunci tersebut dari saku celana yang kupakai. Kunci jatuh ke lantai dengan bunyi gemerincing. Saat aku berusaha untuk mengambilnya, Sigit pun melakukan hal yang sama. Tangan kami beradu di lantai toko yang kotor.“Sabar, ya.” Sigit berkata berbisik padaku. “Jangan takut sama Ibu.” Dia menambahkan lagi masih berbisik.Aku bergumam menanggapi. Walau begitu, aku masih takut pada Ibu yang suka marah tidak tahu tempat. Membuatku malu setengah mati. Membuatku seperti orang bodoh di mata orang lain. Namun,

DMCA.com Protection Status