“Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.”
Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku. “Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi. Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur. “Mau ke mana?” Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.” “Enggak. Saya dari toilet.” “Kamu mules?” Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?” Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aja.” Aku ragu dia punya uang untuk membayar makanan kami. Terlebih lagi dia memintaku memesan sesukaku. “Kenapa?” Sigit mengangkat alisnya padaku. “Mahal makanannya.” Aku menjawab gelisah. “Bayar pakai apa? aku enggak ada duit.” Sigit meminum air putih yang disediakan restoran seraya kami menunggu pesanan datang. “Saya ada uang.” Sigit menjawab santai. Dia meletakkan pelan gelas itu. Kuperhatikan gerak-geriknya. Tidak ada yang mencurigakan darinya. “Cukup enggak?” aku bertanya lagi. Tambah gelisah. Sigit mengangguk. “Cukup.” Kemudian dia menatapku serius. “Kenapa? kamu enggak perlu khawatir. Saya ada uangnya. Sengaja saya ajak kamu ke sini.” Aku menyandarkan tubuh ke kursi. Berusaha tenang. “Buat apa? kita bisa makan di warung nasi yang murah.” Sigit masih menatapku ketika dia membalas, “ini sebagai bulan madu yang bisa saya berikan ke kamu.” Aku hanya menghela napas sebagai balasannya. Baru mengenalnya saja sudah membuatku terkejut. Dia susah ditebak. “Sekaligus saya mau bahas surat perjanjian kontrak yang tadi sore saya kasih ke kamu.” Dia berkata lagi. “Sudah kamu baca?” Aku mengangguk. Surat perjanjian kontrak pernikahan yang kubaca di toko sore tadi membuatku kembali teringat. “Apa gunanya? Apa kita mesti jaga privasi masing-masing? Apa itu wajib?” Sigit mengangguk. “Sudah saya tulis jelas di suratnya. Bisa kamu baca lagi?” Aku mengeluarkan surat itu dari saku celana yang kupakai. Kubuka suratnya lalu membacanya, “Kedua belah pihak tidak diperbolehkan mencampuri urusan masing-masing. Selanjutnya, tidak boleh memiliki anak selama masa kontrak, tidak boleh tidur bersama.” Kuhentikan bacaku. Aku menatap Sigit dongkol. “Bagaimana caranya kita enggak tidur sama-sama? Kamarnya cuma satu. Sempit.” Sigit menyandarkan tubuhnya di kursi. “Saya bisa tidur di lantai. Simpel.” Kuputar mataku. Sigit menggampangkan masalah. “Kalau orang tuaku tahu bagaimana?” “Enggak akan. Saya jamin.” Dia kembali menjawab santai. Aku kembali membaca isi kontrak itu. Isinya tidak banyak. Hanya beberapa point saja tetapi membuatku berpikir. Heran dengan surat ini. Kuletakkan surat itu di meja. “Kamu dapat ide dari mana mengenai surat ini? maksudnya apa kamu buat ini? kupikir kita menikah selamanya.” Aku menunduk menatap surat yang sudah kutanda tangani itu sebelumnya. Dibagian akhir tulisan terdapat kalimat ‘Surat perjanjian ini berlaku hingga satu tahun setelah penandatanganan kontrak. Tidak ada unsur paksaan antara kedua belah pihak.’ “Saya tahu kamu enggak menerima saya atas dasar suka.” Ucapan Sigit membuatku mendongak. Dia menatapku dengan tatapan santai seolah berbicara dengan teman kerja dan bukan dengan istrinya. Jika seperti ini, aku pasti akan mengira Sigit bukanlah kuli panggung walau kenyataannya dia memang kuli pasar. “Maka dari itu, saya pikir perlu ada perjanjian kontrak sederhana untuk kita sepakati. Ada hitam di atas putih yang mesti ada sebagai pengingatnya.” Dia berkata panjang lebar. “Dan berlaku satu tahun?” aku menegaskan kembali yang kubaca. Dia mengangguk. “Ya. Setelah itu kita berpisah. Akan kupikirkan nanti caranya agar orang tuamu enggak curiga.” Aku menelan ludah. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu padaku. “Sepertinya ada yang mengganjal hatimu. Bilang saja.” Aku menatapnya. Padahal kami baru menikah tetapi dia seolah tahu mengenaiku lebih lama dari seharusnya. “Bilang saja. Saya pasti jawab.” “Jawab jujur,” kataku menatapnya serius. “kamu kerja apa sebenarnya? pasti kuli panggul bukan pekerjaan utama kamu, kan? Iya, kan?”“Menurutmu saya kerja apa?” Pertanyaan balik darinya membuatku semakin sebal. Bukannya menjawab, dia malah menantangku. “Ya mungkin kuli itu kerjaan sambilan kamu,” jawabku sekenanya.“Saya kuli.” Sigit menjawab dengan raut wajah tenang. “Saya bisa ajak kamu makan di sini karena saya punya uang.” Dia lalu kembali meminum air putihnya.Aku memutar mata pada ucapan terakhirnya. Terlalu klise, pikirku. Tidak lama makanan datang. makanannya ditata begitu rapi. Melihat makanan yang memiliki tampilan cantik membuatku tidak ingin memakannya.“Kenapa diam?” tanya Sigit ketika aku masih melihat pesananku di atas meja dengan takjub. “Makan,” ucapnya lagi. Aku menelan ludah lalu mengambil garpu yang ada di meja. Aku harus menghabiskan perlahan makananku. Terlalu sayang kalau dihabiskan sekaligus.“Setelah ini kita pulang.” Sigit berkata lagi. “Ibumu pasti mengkhawatirkanmu.”Aku meremas garpuku. Mengkhawatirkanku? Yang benar saja. Tidak mungkin terjadi.Makan malam berlangsung santai. Sigit b
“Sebentar,” jawabku lalu menuju pintu kamar. Kulirik Sigit yang malah duduk di tepi tempat tidur. Matanya sedang memerhatikan layar ponsel jadulnya dengan alis berkerut.Tok! Tok! Tok!Kini ketukan pintu itu terdengar tidak sabar. Namun, suara Ibu belum terdengar seperti biasanya.“Iya,” jawabku lalu membuka pintu. Dan benar saja, Ibu yang berdiri di depan pintu kamar. Wajahnya merah padam. Aku mundur dua Langkah dengan napas tertahan.“Ada apa, Bu?” Sigit bersuara tepat di belakangku.“Kalian bertanya ada apa?” Ibu berkata dengan gigi terkatup. “Apakah Utami tidak memberitahukan kalian tadi?”Aku menelan ludah. “Ya, Bu,” jawabku pelan.“Tidur di luar?” Sigit bertanya balik.“Tunggu apalagi?!” suara Ibu menggelegar. “Malam ini kalian enggak boleh tidur di dalam kamar ini! Keluar!”“Bu,” aku mulai bersuara.“Ayu, enggak ada bantahan!”Sigit berjalan melewatiku. “Ayo keluar, Ayu,” ucap Sigit kemudian.Aku menghela napas pelan. Hanya karena minat pembeli menurun hari ini malah berakhir s
“Saya tinggal di pasar. Tidur di mana saja yang penting bisa tidur.”Aku manggut. Bisa kubayangkan Sigit tidur di lantai yang kotor atau di emperan toko yang sudah tutup.“Boleh tanya?” ada satu yang masih mengganjal pikiranku.Silakan.”“Ke mana orang tuamu?” sebab saat menikah hanya dia saja seorang diri tanpa ada pendamping atau orang tuanya. Apakah mereka tahu Sigit menikah? Atau mereka sudah tiada?Sigit membuka matanya. Dia menatapku. “Masih ingat surat perjanjiannya?”Aku manggut.“Kamu sudah kelewat batas,” ucapnya dengan nada tidak suka yang membuatku tersentak. Aku tidak berniat untuk mengorek apa pun darinya. Aku hanya penasaran.Aku menunduk. “Maaf.”“Enggak perlu.” Sigit menjawab pelan. “Tidur. Sudah malam.”Aku menghela napas pelan. Aku menyandarkan punggungku di dinding lalu memejamkan mata. Berharap pagi cepat datang.“Ayu,” aku mengernyit mendengar suara Sigit memanggilku. “Bangun.” Kukucek mataku lalu perlahan menatapnya. Hari masih gelap ketika Sigit sudah berdiri d
“Permisi? Mbak?”Wanita itu memanggil lagi tatkala aku hanya memandangnya takjub. Cantik. Satu kata yang hanya bisa kuungkapkan. Aku Wanita saja memandang dia cantik, apalagi para pria yang melihatnya.“Sigitnya enggak tau ke mana.” Aku menjawab cepat.“Oh, yaudah.” Wanita itu mengangguk lalu berbalik.“Ada pesan buat Sigit?” aku bersuara lagi sebelum dia menghilang dari pandangan. Penasaran aku dengan Wanita yang ada di hadapanku ini. “Nanti saya sampaikan sama dia,” imbuhku.Wanita itu berbalik lalu menggeleng. “Enggak, Mbak. Enggak begitu penting juga.” Dia mengibaskan tangannya. “Cuma mau tau kabarnya aja.”Alisku terangkat. Bolehkah aku mengatakan padanya kalau aku ini istrinya Sigit? Oh, aku lupa pada surat perjanjian itu. Kami menikah hanya satu tahun. Setelahnya selesai. Entah bagaimana caranya menyelesaikan pernikahan ini. Aku tidak bisa berpikir sampai ke sana.“Oh, oke.” Aku manggut. Mencoba untuk mengesampingkan rasa jengkelku pada Wanita yang sok misterius ini. Kugelengk
“Dari mana saja kamu?!” suara Ibu menggelegar. “Jam berapa ini?!” lagi, Ibu mengetuk pergelangan tangannya yang tidak memakai jam tangan.Aku mendongak melihat jam dinding. “Jam delapan lewat,” balasku pelan pada Ibu.Ibu mengulurkan tangannya tidak sabar. “Mana uang hari ini?”Aku memberikan kantung plastik hitam pada Ibu. “Ini, Bu,” jawabku. Aku tidak punya tas jadi semua uangnya kumasukkan ke dalam kantung plastik.Ibu membuka plastiknya dengan tidak sabar. Ibu menghitung uangnya dengan tidak sabar. “Kenapa cuma segini?! Biasanya banyak!”Aku menunduk. “Memang segitu, Bu.” Mau semana lagi uang yang harus didapat? Satu milyar? Apakah itu maunya Ibu? Aku tidak tahu jalan pikirannya.Ibu menggeram seperti singa marah lalu mengulurkan tangannya mencubit lengan kiriku. Sakit sekali karena Ibu memuntirnya tanpa ampun. Aku meringis berusaha meredam teriakanku.“Satu minggu ini dapatnya segini terus!” suara Ibu menggelegar. Aku heran Ayah tidak keluar dari kamarnya mendengar suara Ibu. “Ba
“Enggak perlu.” Perasaanku sudah tidak karuan hari ini. Aku tidak mau mendengarkan ucapan mabuk kepayangnya pada Wanita cantik yang aku tidak tahu namanya siapa itu.“Okay,” ucap Sigit.Aku memutar mata. Dia tidak berniat meluruskan jika memang tidak benar. Dia pun tidak berniat untuk mendesakku mendengarkan penjelasannya. Aku berdecak pelan. Lagipula apa ekspektasiku mengenai Sigit? Surat perjanjian kontrak yang tersimpan rapi di lemari pakaian mengingatkanku bahwa pernikahan ini sebatas kebutuhan belaka.Aku butuh suami agar tidak dicap sebagai perawan tua. Namun, aku tidak tahu kebutuhan dia menikahiku karena apa. Mungkin sama denganku. Usianya sudah cukup matang. 33 tahun menurut yang kutahu dari Ibu. “Nasi padang tadi masih buat kamu kenyang?”Sigit membuka percakapan setelah aku memilih diam. Porsi bungkus nasi padang memang lebih banyak dibandingkan makan di tempat. Aku pernah bertanya pada penjualnya mengapa begitu dan mereka menjawab kalau dibungkus lebih banyak agar seluru
“Nanti saya belikan yang lain untukmu, Yu.”Sigit mengatakan itu sudah entah keberapa kalinya. Ibu berhasil merebut tas pemberian Sigit dan membawanya masuk ke dalam kamarnya. Wajah Ibu senang dan dia tidak peduli darimana tas itu berasal. Aku sudah berusaha untuk mencegah tetapi tidak bisa. Aku takut tasnya rusak jika kutarik.“Kenapa kamu enggak cegah, sih?” aku menggerutu padanya yang malah pasrah saja tadi. Hari sudah beranjak malam tetapi aku tidak bisa tidur. Tas itu masih terbayang-bayang di pikiranku. Hanya sebentar aku memegangnya. Salahku tidak menyimpannya dengan segera ke dalam lemari.“Kamu tahu sendiri Ibu bagaimana.” Sigit berbicara. Dia memilih untuk merebahkan diri di tempat tidur dengan kaki masih menggantung di bawah, sementara aku duduk di kursi rias. Terdengar hela napasnya.“Seenggaknya ….,” aku berhenti berkata. Nasi sudah menjadi bubur. Aku tidak tahu harus bagaimana. Sudah terjadi dan tidak mungkin bisa terulang lagi. “Padahal tadi kubilang itu tas dari kamu.
“Nah, lihat. Ini siapa?” Ibu duduk di kursi kasir. Dia menatap serius ponselnya yang terhubung ke CCTV. Matanya menatap Sigit. “Ini kamu, kan?!” tatapan Ibu tajam menusuk.Aku melongok dari balik punggung Ibu. Kulihat beliau menunjuk hasil CCTV yang ada di ponselnya. Punggung Sigit menghadap ke toko yang tertutup. Waktu menunjukkan sudah pukul delapan. Alisku berkerut. Pukul delapan malam masihlah ada orang yang ada di pasar untuk menutup tokonya.Aku menoleh pada Sigit yang berdiri diam di sisiku. Dia tidak menunjukkan ekspresi sama sekali atau akulah yang tidak bisa membaca isi pikirannya.“Itu ….” ucapanku terhenti tatkala melihat seorang wanita menghampiri Sigit. Wanita yang sama dengan tadi sore. Tidak lama, wanita itu mengajak Sigit pergi dengan merangkul tangannya. Aku menoleh lagi padanya. “Dia--”“Berisik, Ayu!” Ibu menggertakku.Aku terkejut lalu diam. Kulihat di CCTV ponsel Ibu, tidak lama Sigit pergi, dua orang pria datang. Mereka membuka paksa toko Ibu lalu mengacak-acak i