Share

Bab 6 Berlaku Satu Tahun

“Bisa-bisanya dia bawa aku ke sini.” 

Aku memandang sekeliling restoran heran. Sigit membawaku ke restoran yang terbilang fancy di kota Tarrim. Restoran yang baru sekali aku datangi. Aku datang sendiri ke sini dahulu merayakan kelulusanku dari universitas. Makanannya mahal-mahal tetapi enak di lidah. Setelahnya, aku tidak datang lagi karena aku mesti merogoh kantong sangat dalam. Hampir menguras isi dompetku.

“Ke mana dia?” aku kembali mengedarkan pandanganku. Tadi Sigit hanya mengatakan padaku ingin keluar sebentar tetapi dia tidak datang setelah 10 menit berlalu. “Jangan-jangan dia kabur?” 

Ah, kalau itu terjadi, aku akan kabur juga sebelum makanannya jadi.  Kuangkat tubuhku dari kursi. Bersiap kabur.

“Mau ke mana?” 

Suara Sigit mengurungkan niatku. Aku menoleh. Aku tatap dia kesal. “Dari mana? kupikir kamu kabur.”

“Enggak. Saya dari toilet.”

“Kamu mules?”

Sigit mengangguk lalu duduk di kursi. “Makanannya belum datang, ya?”

Aku mendengus. “Batalin pesanannya. Makan di warung nasi aja.” Aku ragu dia punya uang untuk membayar makanan kami. Terlebih lagi dia memintaku memesan sesukaku. 

“Kenapa?” Sigit mengangkat alisnya padaku.

“Mahal makanannya.” Aku menjawab gelisah. “Bayar pakai apa? aku enggak ada duit.”

Sigit meminum air putih yang disediakan restoran seraya kami menunggu pesanan datang. “Saya ada uang.” Sigit menjawab santai. 

Dia meletakkan pelan gelas itu. Kuperhatikan gerak-geriknya. Tidak ada yang mencurigakan darinya. 

“Cukup enggak?” aku bertanya lagi. Tambah gelisah.

Sigit mengangguk. “Cukup.” Kemudian dia menatapku serius. “Kenapa? kamu enggak perlu khawatir. Saya ada uangnya. Sengaja saya ajak kamu ke sini.”

Aku menyandarkan tubuh ke kursi. Berusaha tenang. “Buat apa? kita bisa makan di warung nasi yang murah.”

Sigit masih menatapku ketika dia membalas, “ini sebagai bulan madu yang bisa saya berikan ke kamu.”

Aku hanya menghela napas sebagai balasannya. Baru mengenalnya saja sudah membuatku terkejut. Dia susah ditebak. 

“Sekaligus saya mau bahas surat perjanjian kontrak yang tadi sore saya kasih ke kamu.” Dia berkata lagi. “Sudah kamu baca?”

Aku mengangguk. Surat perjanjian kontrak pernikahan yang kubaca di toko sore tadi membuatku kembali teringat. “Apa gunanya? Apa kita mesti jaga privasi masing-masing? Apa itu wajib?”

Sigit mengangguk. “Sudah saya tulis jelas di suratnya. Bisa kamu baca lagi?”

Aku mengeluarkan surat itu dari saku celana yang kupakai. Kubuka suratnya lalu membacanya, “Kedua belah pihak tidak diperbolehkan mencampuri urusan masing-masing. Selanjutnya, tidak boleh memiliki anak selama masa kontrak, tidak boleh tidur bersama.” Kuhentikan bacaku. Aku menatap Sigit dongkol. “Bagaimana caranya kita enggak tidur sama-sama? Kamarnya cuma satu. Sempit.”

Sigit menyandarkan tubuhnya di kursi. “Saya bisa tidur di lantai. Simpel.”

Kuputar mataku. Sigit menggampangkan masalah. “Kalau orang tuaku tahu bagaimana?”

“Enggak akan. Saya jamin.” Dia kembali menjawab santai. 

Aku kembali membaca isi kontrak itu. Isinya tidak banyak. Hanya beberapa point saja tetapi membuatku berpikir. Heran dengan surat ini. Kuletakkan surat itu di meja. “Kamu dapat ide dari mana mengenai surat ini? maksudnya apa kamu buat ini? kupikir kita menikah selamanya.” 

Aku menunduk menatap surat yang sudah kutanda tangani itu sebelumnya. Dibagian akhir tulisan terdapat kalimat ‘Surat perjanjian ini berlaku hingga satu tahun setelah penandatanganan kontrak. Tidak ada unsur paksaan antara kedua belah pihak.’ 

“Saya tahu kamu enggak menerima saya atas dasar suka.” 

Ucapan Sigit membuatku mendongak. Dia menatapku dengan tatapan santai seolah berbicara dengan teman kerja dan bukan dengan istrinya. Jika seperti ini, aku pasti akan mengira Sigit bukanlah kuli panggung walau kenyataannya dia memang kuli pasar.

“Maka dari itu, saya pikir perlu ada perjanjian kontrak sederhana untuk kita sepakati. Ada hitam di atas putih yang mesti ada sebagai pengingatnya.” Dia berkata panjang lebar.

“Dan berlaku satu tahun?” aku menegaskan kembali yang kubaca.

Dia mengangguk. “Ya. Setelah itu kita berpisah. Akan kupikirkan nanti caranya agar orang tuamu enggak curiga.”

Aku menelan ludah. Aku tidak menyangka dia akan mengatakan itu padaku. 

“Sepertinya ada yang mengganjal hatimu. Bilang saja.”

Aku menatapnya. Padahal kami baru menikah tetapi dia seolah tahu mengenaiku lebih lama dari seharusnya. 

“Bilang saja. Saya pasti jawab.”

“Jawab jujur,” kataku menatapnya serius. “kamu kerja apa sebenarnya? pasti kuli panggul bukan pekerjaan utama kamu, kan? Iya, kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status