Luis adalah seorang pewaris tunggal bisnis rintisan milik sang ayah—George. Berkat tangan Luis, usaha warisan tersebut semakin berkembang dan tumbuh pesat. Semua pesaing berhasil disingkirkan. Semua yang Luis benci menjadi target pelenyapan, termasuk istrinya. Charlotte hanyalah tumbal bisnis. Gara-gara kerja sama bisnis antar orang tua, Luis dan Charlotte dinikahkan dengan dalih kerja sama. Luis tidak pernah menerima Charlotte di hatinya, sebab sejatinya pemilik hati Luis hanyalah Emma—cinta pertama sejak SMA. Apa yang terjadi pada romansa Luis kemudian? Apakah bisnisnya pun semakin melebar atau malah terpuruk, kembali miskin seperti masa lalu? Bagaimana jadinya jika ternyata Luis adalah penguasa bisnis gelap?
view moreGeorge menangis di atas pusara anak tertuanya. Luis hanya diam tak bereaksi. Pemuda enam belas tahun itu sudah khatam hidup susah, sekarang keluarganya bertambah pilu gara-gara kematian sang kakak.
"Kemiskinan menjajah hidup kita, Ayah," kata Luis datar seraya melirik nisan bertulis Thomas Arias. Hidup selama sembilan belas tahun lamanya sebelum meninggal dua hari lalu akibat radang paru-paru yang telah lama diidap. "Jika kita punya uang, kakak tidak akan mati. Dia bisa sembuh.""Sudahlah, Luis. Berdoalah untuk ketenangannya, jangan terus mengungkit kondisi hidup kita!""Itulah dirimu. Kau terlalu pasrah dengan keadaan. Jika aku jadi Ayah, akan kulakukan apa saja demi membuat keluargaku bahagia! Dan perlu diingat, ini sudah bulan kelima iuran sekolahku tidak dibayar!""Luis, hentikan! Kau tidak sopan berteriak di pemakaman!" George sudah pusing dengan tingkah laku anak bungsunya ini, selalu menuntut hal yang tidak mereka punya: kesejahteraan. "Akan kucari uang untuk biaya sekolahmu, nanti. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakannya."Luis menghela napas berat. Kesal sekali kalau mengingat-ingat kehidupan. Ia memalingkan pandangan ke arah para pelayat yang berjalan keluar dari area pemakaman, hampir lenyap di ujung pandangan. Mereka hanya kakek, nenek, dan seorang pendeta yang bertugas mendoakan jenazah Thomas. Pemakaman yang sepi."Berusahalah mengubah keadaan. Lama-lama aku bosan menjadi anakmu.""Dasar anak kurang ajar!" maki George. "Sadar tidak, selama ini siapa yang memberimu hidup? Kau harus berterima kasih padaku karena masih rela mengurusmu sendirian dengan susah payah. Mana ibumu ketika kau membutuhkannya, hah? Memangnya dia peduli denganmu?""Mengurusku memang kewajibanmu. Alibimu konyol, terus saja menyalahkan kepergian Ibu. Dia juga pasti jengkel hidup susah."George berdiri, melangkahkan kaki menghampiri Luis dengan geram. "Jika kau gemar menuntut, jadilah jaksa suatu hari nanti. Tuntutanmu akan membuat hidupmu sejahtera!"George tak minat memarahi Luis. Anak itu selalu pandai menjawab. Pergi adalah pilihan tepat daripada berdebat panjang yang tidak ada ujungnya.Luis masih berdiri di dekat pusara, sebelum menyusul ayahnya, ia berdoa terlebih dahulu untuk mendiang sang kakak. "Semoga Tuhan mengampunimu."---Setelan jas usang dilempar ke dalam mesin cuci. Entah sudah berapa puluh kali dipakai, dari acara perpisahan sekolah sampai pemakaman tadi. Bahkan jas hitamnya sudah tampak kumal, kemeja putihnya juga tidak bersinar lagi, terlihat kekuningan."Ayah, aku butuh setelan jas baru!" teriak Luis di depan mesin cuci.George tidak menyahut. Pria itu menutup pintu, pergi tanpa pamitan. Luis memiringkan kepala menerka ke mana orang tuanya pergi. Sedetik kemudian ia melanjutkan kegiatan mencuci lagi. George sudah dewasa, bisa bepergian sendiri. Jadi, Luis tidak peduli."Sebaiknya dia bawa uang saat pulang nanti."***George duduk di sofa berlapis kulit. Kedua orang tua yang sudah sangat renta duduk di seberang meja memberi tatapan tidak senang. "Berapa lagi yang kau minta?" tanya sang ayah bernada ketus."Tidak banyak. Hanya untuk membayar iuran sekolah Luis ... lima bulan.""Lima bulan? Apa yang kau lakukan selama ini? Carilah pekerjaan yang menghasilkan! Jangan terus menjadi benalu!" oceh sang ibu.George hanya menunduk. Ia sudah biasa menerima ocehan setiap datang meminta bantuan. Cukup bersabar sebentar, usai mengomel juga permintaannya bakal dikabulkan."Kami sudah terlalu sering menopang kehidupanmu dan anakmu. Carilah uang sendiri, George. Malulah pada diri sendiri! Usiamu sudah hampir kepala empat dan kau belum bisa mandiri." Nyatanya, sang ayah menolak memberi sejumlah uang yang diminta."Tapi, Ayah, keadaannya mendesak! Aku tidak mau Luis sampai dikeluarkan karena tidak mampu bayar iuran.""Itu masalahmu! Salah sendiri tidak mampu memperjuangkan nasib. Kami sudah lelah membantu," kukuh sang ayah.George merasa marah. Namun, ia hanya bisa mengepal tangan."Pergilah, George! Kami tidak mau melihatmu," ucap ketus sang ibu. Sungguh menyakiti hati George."Baiklah, aku akan pergi." George bangkit berdiri. "Kalian akan menyesali keputusan yang kalian buat!"Kekesalan tak kunjung surut. George memiliki ide saat berada di luar rumah orang tuanya. Sedan tua yang diparkir di garasi samping rumah menjadi sasaran kemarahan George. Sambil mengedarkan pandangan mengamati keadaan sekitar, ia membuka kap mobil mengotak-atik mesin tua berkarat."Jika kalian tidak bisa memberiku uang, maka akan kudapatkan dengan caraku sendiri. Lihat saja ...."George melenggang pergi setelahnya dengan senyum mengembang.Dua hari kemudian, kabar duka pun terdengar. Luis berlari menghampiri George yang sedang duduk santai menonton televisi di ruang tengah."Ayah! Kakek dan Nenek kecelakaan!""Aku sudah tahu." George meneguk soda dalam kaleng dengan tenang."Mereka tewas, Ayah! Mengapa kau bisa setenang ini!""Jenazah mereka sudah ada yang mengurus. Petugas rumah sakit sedang menanganinya. Lalu aku harus apa?"Luis mencium aroma mencurigakan. Gelagat ayahnya sangat tidak menunjukkan empati terhadap situasi. Di saat kedua orang tua mengalami tragedi, dia seakan tidak peduli. Gelak tawa pada acara televisi sangat tidak pantas terdengar pada saat ini.Luis mematikan televisi, melipat tangan di dada lantas menatap serius. "Jika kau orang di balik kejadian ini, setidaknya berpura-pura lah sedikit. Kau tidak bisa berakting sedih?""Aku tidak pernah ikut kelas teater. Jika pandai berakting, mungkin wajahku sudah terpampang di televisi."Luis ikut duduk di kursi robek-robek. "Berapa banyak yang kita dapat?""Cukup untuk membayar iuran sekolahmu dan membeli sebidang lahan. Aku punya rencana bisnis yang akan mengubah kondisi kita.""Bisnis properti? Ide bagus. Harganya semakin menanjak setiap tahun. Aku baru tahu ternyata kau juga memiliki ide cemerlang.""Ayahmu ini pintar, Luis. Bisa kujamin mulai sekarang kau tidak akan sering menuntut lagi. Segala keinginanmu bisa kau peroleh dalam sekejap."George memberi sekaleng soda yang baru dibuka kepada Luis. Mereka bersulang atas kematian kedua orang tua George. Hari yang pantas dirayakan oleh kedua laki-laki malang.Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments