Semenjak keadaan Luis berubah membaik, kepercayaan dirinya pun ikut bertambah. Namun, kepercayaan terhadap orang-orang sekitar kian berkurang. Contohnya siswa-siswi yang berusaha menjalin hubungan pertemanan dengannya selalu ditolak. Alasannya sederhana, tapi kuat. "Di mana kau saat aku masih susah? Seorang teman tidak hanya datang di waktu senang saja. Aku tidak bisa menganggapmu sebagai teman, kecuali orang yang memanfaatkanku."
Teman sejati Luis hanyalah Emma. Selain berperan sebagai gadis pemikat hati, dirinya juga setia sebagai teman di kala sepi. Hanya Emma orang yang punya niat menegurnya di hari pertama sekolah, waktu masa orientasi hampir tidak ada yang mau satu tim dengan Luis kecuali sang gadis. Tatkala orang lain mengucilkan, Emma selalu menguatkan. Orang-orang gemar sekali mengolok-olok kemiskinan, hidup susah memang menjengkelkan.Luis tidak peduli dengan anggapan bahwa dirinya adalah pribadi sombong. Ia bukan sombong, hanya selektif memasukkan orang-orang dalam kehidupannya. Layaknya sebuah perusahaan berkelas yang diidam-idamkan banyak pekerja, untuk menjadi bagian dari hidup Luis butuh tes ketat. Sayangnya, seluruh murid di sekolah gagal lolos. Semuanya terlihat bagai sampah, Luis tidak tertarik sama sekali untuk memungut salah satu dari mereka.Terlebih Edward, pemuda nakal itu semakin gerah sejak Luis berubah. Sebab banyak perhatian terpusat pada Luis, gengnya Edward merasa segan menindas pemuda itu lagi. Mereka takut terkena masalah, kecuali Edward. Si ketua geng selalu punya motivasi untuk memberi pelajaran terhadap Luis. Padahal dia bukan guru. Dia juga benci melihat Luis makan siang dengan tenang di kafetaria, sambil bersenda gurau bersama kekasih resminya. Edward mencengkeram nampan berisi menu makan siang lebih erat, tengah membayangkan kalau leher Luis yang sedang ia cekal."Kau pasti akan menyukainya, Em—" ucapan Luis terpotong tatkala cream soup mengguyur kepalanya, serta potongan potato wedges. "Sial!"Luis sontak berdiri menghadap pria bengal di belakang. "Kurang ajar kau!" Luis menarik kerah Edward, si empunya cuma menyengir. Puas telah meluapkan kebenciannya."Kau tampak lebih baik, Luis!"Kemeja denim baru milik Luis kotor, dipenuhi cairan sup lengket berhias saus. Ah, sial, kemeja barunya bakal terkena noda. Padahal Luis mendambakan kemeja kebanggaannya tersebut sejak lama. Kurang lebih ia mengincarnya di sebuah toko selama tiga minggu, sebelum akhirnya dibeli kemarin. Ini hari perdananya memakai kemeja kebanggaan, tapi sayang, keputusannya memakai pakaian tersebut berujung penyesalan. Marah, kesal, merugi, ia butuh waktu mengumpulkan uang saku selama dua pekan guna membelinya. Sekarang kemejanya lebih pantas digunakan sebagai keset."Aku minta ganti rugi," kata Luis pelan menekan amarah. Ia masih meremas kemeja Edward, tak berniat melepas pemuda biadab itu sebelum ia membalas perbuatannya."Kemeja jelek begitu minta diganti? Beli di toko loak mana?" Edward menyeringai."Jaga mulutmu! Aku baru membeli kemeja ini di toko pakaian mahal kemarin. Kau tahu berapa harganya? Seribu dua ratus dollar.""Hah, orang miskin sepertimu mana punya uang segitu banyak?" Edward tertawa remeh. "Uang siapa yang kau rampok, Luis? Kalau dihitung-hitung, semua barang-barang yang kau punya, kau pasti telah merampok banyak orang."Luis tidak menjawab perkataan Edward lagi, ia lantas menghajarnya dengan keras. Sebuah tinju berhasil membuat Edward mental hingga tersungkur di lantai. Luis tidak tahan diolok terus-terusan, Edward tergeletak tak berdaya sementara Luis menduduki perut lawannya dan lanjut menghajar Edward habis-habisan."Ini pembalasanku untuk kesakitan yang kau buat selama bertahun-tahun!" Intonasi Luis meninggi. "Eh! Eh ...." Napas Luis tersengal-sengal."Hentikan, Lu! Bukan begini caranya membalas perbuatan Edward!" Emma berusaha menghentikan Luis. Namun, nihil, Luis tetap saja melancarkan pukulan bertubi-tubi. Pemuda itu kesetanan."Lu ... cukup!" Mohon Edward sekuat tenaga. Dia sungguh tidak mampu melawan kekuatan Luis.Di tengah sorotan para pengunjung kafetaria, Luis meluapkan emosi terpendamnya selama bertahun-tahun. Luis menyeringai di sela-sela perbuatannya menamatkan riwayat Edward. Ada sesuatu yang terpantik di dalam dirinya. Rasanya amat menyenangkan menyakiti seseorang.Wakil kepala sekolah dan guru pembimbing membelah kerumunan. Mereka terkejut menyaksikan Luis duduk di atas badan bocah istimewa di sekolah. "Luis Arias!" seru wakil kepala sekolah.Luis terpaksa berhenti seraya menoleh. "Ya, Bu?" sahutnya santai."Ikut kami ke ruang kepala sekolah!"Luis disidang. Tidak hanya dirinya, Edward juga ikut dikumpulkan. Putra pemilik sekolah sedang mengompres wajahnya dengan handuk berbalut es, ujung bibirnya tertera bercak darah, pelipisnya juga. Lebam di batang hidung dan bawah mata berhasil menodai tampangnya. Luis menyeringai lebar menatap sengit rivalnya yang duduk saling berjauhan, mereka diawasi kepala sekolah sampai orang tua mereka datang.George tiba di ruang sidang usai dihubungi oleh pihak sekolah, pun Ketua Dean—ayah Edward sekaligus pemilik sekolah. Mereka didudukkan di satu ruangan."Tuan Arias, kami memanggil Anda datang sebab putra Anda bertindak anarkis di kafetaria. Dia memukuli temannya hingga babak belur," kata kepala sekolah."Maaf, Pak. Edward bukan temanku. Kami tidak pernah berteman," potong Luis.George menampar kepala belakang anaknya. "Ketua, aku atas nama putraku minta—""Jangan, Ayah! Jangan meminta maaf! Anaknya yang salah, harusnya dia yang minta maaf bukan kita!" Luis menentang permohonan maaf George. "Ed seringkali menindasku sejak tahun pertama SMA. Dia juga melakukannya hari ini, Edward sengaja menuang cream soup ke atas kelapaku. Lihat! Kemeja baruku jadi noda! Sudah kubersihkan dengan sabun di toilet tetap tidak hilang!"George menatap tidak enak ke arah kepala sekolah, juga pada Ketua Dean dan anaknya."Luis, kau membalas kejahilan Edward sudah melewati batas. Tindakanmu tidak bisa dianggap sepele.""Pak Kepala, Anda mau menutup mata atas kemalangan yang terjadi padaku? Menganggap ini hal wajar dan lupakan begitu saja karena dia anak pemilik sekolah?" kata Luis berapi-api. "Anda tidak tahu rasanya diperbudak selama bertahun-tahun hanya karena kondisi ekonomi keluargaku di bawah keluarganya. Akan kubuat perhitungan atas kejadian ini. Lihat saja, Pak Kepala Sekolah, Ketua Dean, aku sudah muak dengan sekolah ini. Aku akan bayar media, menulis statement di surat kabar ternama kalau anak pemilik sekolah ini berkelakuan buruk.""Lu—" George berusaha menghentikan anaknya."Oh ya, tidak lupa, pihak sekolah juga tidak adil. Buktinya, aku di sini adalah korban selama bertahun-tahun, lantas aku langsung dicap bersalah dalam sehari. Sekolah ini dan nama Ketua kupastikan akan hancur.""Luis, kita bisa bicarakan ini baik-baik!" pinta Ketua Dean."Heh, bicara baik-baik? Memangnya anakmu bisa diajak begitu?""Ed, minta maaf pada Luis," desak Ketua Dean."Tapi, Ayah!" Edward merasa gengsi."Cepat, Ed! Jangan menambah masalah!"Edward menekuk muka, sambil buang muka dia bilang, "Aku minta maaf, Luis, telah menindasmu selama ini.""Itu saja? Kau pikir cuma bilang minta maaf dapat mengakhiri penderitaanku?""Apalagi yang kau minta? Anakku telah mengaku bersalah.""Aku minta ganti rugi! Lihat ini, Ketua, kau pasti bisa melihatnya. Warna kemeja mahalku jadi tidak jelas. Aku minta biaya ganti rugi untuk uang yang Ed rampas, dipermalukan di tempat umum, untuk mengganti kemejaku, dan biaya cuci rambut. Rambutku baunya buruk sekali! Seperti bau lemak jahat.""Berapa yang kau minta?" Ketua Dean mendengkus pasrah."Aku minta kompensasi, tiga ribu dollar.""Tiga ribu dollar?!" Baik Ketua Dean dan George sama-sama terkejut."Uang sebanyak itu terlalu besar untuk mengganti kerugianmu!" keluh Ketua Dean."Begitu, ya? Kalau begitu, setelah keluar dari ruangan ini aku akan segera bergegas ke kantor surat kabar." Luis tetap ngotot minta sejumlah uang yang dia sebut.Ketua Dean menatap sinis ke arah George. Arias senior pura-pura tidak melihat. Akhirnya bos sekolah mengalah, ia menggasak saku, membuka dompet kulit mengkilap, mengambil uang sebanyak tiga ribu dollar. Dompetnya seketika menipis.Luis senyum-senyum di dalam mobil—masih di parkiran sekolah, menghitung pecahan seratus dollar sebanyak tiga puluh lembar. George cuma bisa melongo atas kecerdikan Luis. "Kau gila, Lu? Bisa-bisanya kau memeras pemilik sekolah.""Uangnya banyak, Ayah. Dia tidak akan bangkrut hanya karena uang sekecil ini." Luis menyimpannya di saku celana. "Lumayan untuk tabunganku."Luis duduk menggunakan kursi lipat, menikmati langit senja di halaman rumah uniknya—di rooftop. Merasakan angin sejuk berembus menerjang dirinya. Rambut Luis sudah agak gondrong, esok dia berniat potong rambut model terkini agar tidak kalah gaya dengan pemuda-pemuda seusianya. Sebatang rokok diapit belah bibirnya dan ada sebotol bir di atas meja bundar kecil di sebelah.George menghampiri, ikut duduk di satu-satunya kursi kosong yang tersisa. "Umurmu belum delapan belas, Luis. Belum boleh minum alkohol.""Tidak banyak, Ayah. Aku hanya minum sedikit, tidak bakal sampai mabuk dan tidak akan jadi peminum berat macam dirimu juga," pungkas Luis. "Ngomong-ngomong, bulan depan usiaku genap delapan belas," tambahnya seraya menenggak seteguk minuman. Sensasi soda bercampur pahit dan malt menyeruak di mulut."Luis, setelah lulus SMA, kau harus kuliah. Ambillah jurusan bisnis agar kelak pemikiran cemerlangmu bisa mengembangkan usaha rintisan ini. Aku percaya kau berbakat, kau pasti akan menjadi p
Saat Luis sedang memeriksa kembali selembar cek yang tadi ia masukkan ke saku, takut nominalnya salah tulis. Minta sepuluh ribu dollar, siapa tahu yang ditulis hanya sepuluh tanpa ribu. Sebuah mobil datang lagi tanpa disadari Luis. Ia memasukkan kembali ceknya ke saku usai mengetahui tidak ada error pada cek miliknya. Seorang gadis memeluk wanita penyewa kamar nomor tiga yang seingatnya bernama Mary. Anak gadis itu ternyata adalah Emma.Sontak membuat Luis terkejut. "Emma?""Luis ...." Emma pun tak kalah terkejutnya.Daniel turut hadir di sana, bersama seorang pria dewasa memegang kemudi."Emma, ajak ibumu!" perintahnya."Baik, Paman. Ayo, Bu, kita pulang."Daniel menunggui ibu dan adiknya di dekat pintu kursi belakang yang terbuka. Emma berjalan melewati Luis tanpa sepatah kata. Begitu mudahnya si bos Emerald diabaikan kekasih sendiri. Memang wujudnya tidak nampak di mata Emma?"Wanita selingkuhan itu ... ibunya Emma?"Emma bertindak demikian—mengabaikan Luis, bukan tanpa sebab. Melih
"Apa kabar, Luis? Kau pasti sedang merindukanku. Aku pun sama, aku rindu jalan-jalan berdua denganmu lagi. Aku ingin berkendara sampai malam, melepas penat usai berpikir seharian. Kabarku baik, Lu. Aku sudah mulai bekerja sejak Senin. Jadi, kira-kira sudah seminggu aku tinggal di kampung halaman. Orang-orang di sini menerimaku dengan baik. Bibi mengurusku dengan benar, aku makan tiga kali sehari, dan tetangga di sini ramah-ramah.Aku minta maaf, tapi sepertinya aku merasa nyaman tinggal di sini, Lu. Aku belum berniat pulang ke kota. Selain karena lingkungan yang nyaman, uangku juga belum cukup untuk biaya transportasi ke sana. Hehe, maaf.Pekerjaanku juga menyenangkan. Aku punya teman-teman baik, seperti di sekolah. Oh ya, sampaikan salam pada kawan-kawanku di sana. Sampaikan pada mereka bahwa aku tidak bisa hadir saat pesta kelulusan di rumah Nora nanti. Kami sudah berencana membuat pesta, Lu, biar kau paham. Walau gaji yang kuterima pas-pasan, tapi aku bahagia, Luis. Mungkin terkesan
"Hai, Emma! Sudah buat kue hari ini? Aku rindu mendengar alasanmu yang selalu sama tiap kali kuajak mampir ke rumah. Sekarang kau tidak bisa menggunakan alasan itu lagi, apa lain waktu kau akan bilang jika kau hendak membantu Daniel?Kursi penumpangku sudah lama kosong. Rasanya selalu dingin, Em. Cepatlah pulang, aku menunggumu. Berkendara bersama siaran radio tidak cukup menyenangkan, dia tidak bisa tertawa seperti dirimu.Sial, Em. Ketua Dean mencalonkan diri sebagai walikota. Aku melihat kabarnya di TV baru-baru ini. Jika menurutmu, aku harus mendukungnya karena dia pemilik sekolah, nyatanya tidak, Emma. Meski dia satu-satunya calon yang maju, aku lebih memilih menggiring orang-orang untuk abstain. Kita tidak bisa membiarkan orang yang membuatmu menderita meraih keinginannya. Dan, Ed sudah tidak menggangguku lagi. Jangan cemas, dia tidak berani macam-macam denganku lagi. Aku memberinya pelajaran, Em. Aku tidak takut.Jaga kesehatanmu, jangan terlalu lelah. Tidurlah yang cukup, delap
"Kompensasi untuk pacarmu?!" pekik Dean di sudut tanah lapang dekat panggung deklarasi. Orang-orang di sana sibuk membongkar panggung, sementara rombongan Dean jauh di depan. Jadi, tidak akan ada yang menguping pembicaraan mereka."Kau pikir aku datang untuk mengelu-elukanmu, Pak? Itu hal yang tidak akan pernah aku lakukan.""Pacarmu bukan tanggung jawabku. Buat apa aku mengurusnya, dia punya keluarga. Memangnya aku ini donatur? Kalaupun iya, akan kusalurkan dana ke pihak yang layak menerima.""Hei, Pak! Kau bilang keluarga? Kakaknya masih kuliah, sementara pamannya menderita leukimia. Wanita selingkuhanmu meninggal hari Minggu kemarin. Keluarga mereka hancur! Emma harus mencari nafkah, kakaknya terancam putus kuliah, dan pamannya terancam mati karena tidak mampu berobat! Kau sebut itu tidak layak diberikan donasi?""Apa katamu? M-Mary ... meninggal?" Dean nampak terkejut. "Aku sama sekali tidak tahu kabar itu!""Tepat setelah kau meninggalkannya. Itu efek dari kebejatanmu. Sudah tahu
"Sial!" Luis membasuh muka di wastafel toilet sekolah. Melihat tampangnya ada luka di sudut bibir, ia merasa sangat kesal. Masih saja kalah dari Edward. Andai anak itu tidak main curang, Luis optimis pasti dia yang menang. Kekalahan barusan melukai harga dirinya. Tidak, dia bukan Luis yang dulu lagi—si pasrah dengan keadaan, yang tidak melawan meski ditindas. Luis yang sekarang adalah seorang pemberani, tidak takut, dan tidak suka dikalahkan.Emerald kedatangan tuan rumah dengan kesan masam di wajah. Luis membanting pintu mobil kesayangan yang biasanya diperlakukan halus, sudah seperti kekasih sendiri. Rasa sayangnya terkalahkan oleh tsunami amarah. Kalau sudah kesal, sulit diredam. Begitulah Luis, tak puas kalau penyebab kekesalannya belum menerima akibat. Pembalasan adalah hal wajib.Dari ruang administrasi, George melihat anaknya nampak gusar. Ia pun sengaja meneriaki sang putra, "Hei, Luis! Kemari!"Luis mendengkus, ia sangat ingin rebahan di kamar, tapi panggilan sang ayah tak bis
"Iya, ini aku.""Kau sudah terima suratku?" Luis berubah semangat. Rasa kantuknya seketika lenyap tatkala mendengar Emma berbicara. Akhirnya ia mendengar alunan indah itu lagi usai berhari-hari merindukannya."Sudah kuterima pagi tadi. Kau sudah tidur, ya? Maaf kalau terlalu larut. Aku sengaja menunggu bibiku tertidur, biar dia tidak menguping.""Aku senang kau menelepon. Tidak apa, malam begini justru enak. Aku juga tidak ada yang mengganggu, ayahku sudah tidur di kamar," balas Luis. "Oh ya, kau sudah pakai cincin yang kukirim?""Sudah. Cantik sekali. Ukurannya sangat pas di jari manisku."Luis tengah membayangkan bagaimana cincin itu melingkar di jari Emma. Sekarang ia membayangkan sang kekasih mengenakan gaun pengantin—tidak, tidak, terlalu dini, belum saatnya."Lu? Kau masih di sana?""Uh, hmm, iya, aku masih terjaga.""Kukira kau ketiduran, habisnya diam saja.""Tidak, kok. Aku hanya memikirkanmu terlalu dalam.""Ya ampun, Luis. Kau membuatku tersipu. Bisa-bisa aku tidak bisa tid
Luis berkendara dengan lesu pagi ini. Moodnya kacau gara-gara Emma tak kunjung memberi kabar. Katanya bakal menelepon kalau sempat, masa sudah berhari-hari tidak pernah sempat? Sesibuk apa pekerjaannya? Luis terus mendesah berulang kali, sesekali memukul pelan setir mobil. Ia baru saja mengirim surat untuk Emma sebelum ke sekolah, menanyakan kabar serta minta balasan—ditelepon atau dibalas surat. Harapnya semoga sang kekasih bisa segera menghubungi Luis setelah menerima pesan darinya."Padahal aku ingin memberinya uang agar dia tidak perlu repot-repot bekerja lagi," gumam Luis seraya menarik ransel dari jok penumpang di sebelahnya. Ia membuka pintu, tiba-tiba saja membentur sesuatu. "Ada apa ini?" bisiknya."Punya mata tidak!" bentak Edward seraya berdiri sambil mengusap-usap kepala belakang. Dia sedang berjongkok, mengecek ban depan sepedanya sewaktu Luis memarkir mobil dan membuka pintu sembarangan."Oh, kau rupanya." Luis tidak bergairah cari ribut. Ia hanya menatap malas musuh beb
Luis mengantar Reiner pulang dengan rupa berdarah-darah. Sebagian wajahnya telah bersih diusap tisu basah, namun tetap meninggalkan noda. Cipratan titik merah di kemeja putih seragam sekolah juga masih tersisa, mulai mengering. Luis menepikan mobil di ambang gerbang. "Masuklah. Bersihkan dirimu," perintah Luis."Kau tidak masuk?""Tidak, aku harus pergi ke tempat lain."Tatapan Reiner masih menyisakan trauma. Luis peka, ia menyentuh bahu sang putra."Kau harus melawan ketakutanmu. Jangan biarkan rasa takut menghalangimu," ucapnya bijak."Menghilangkan nyawa tidak termasuk dalam hal yang kau ucapkan. Kau hanya menyuruhku melakukan perbuatan keji dengan dalih melawan rasa takut."Luis menyeringai. "Lakukan saja perintahku. Aku lebih tahu apa yang perlu dan tidak perlu kau lakukan. Kau tidak akan menyesal dengan apa yang kuajarkan selama ini. Suatu hari nanti kau akan menyadarinya."Reiner menatap datar. Entahlah,
“Reiner!” Charlotte mencari anak itu hampir ke seluruh rumah, meneriaki namanya berkali-kali namun nihil. “Di mana anak itu?”Charlotte beralih ke halaman rumah, ia melihat tukang kebun memberi isyarat bahwa pria kecil yang dicarinya berada di semak-semak. Tangan Charlotte menyingkap kumpulan ranting dan daun-daun, “Reiner!”“Ibu!” seru bocah itu dengan ceria tatkala sang ibu berhasil menemukannya.“Apa yang kau lakukan di situ, Nak?”“Aku sedang main.”“Main apa?” Charlotte tidak bisa melihat dengan jelas sebab terhalang dedaunan.“Main ini ....” Reiner menunjukkan sesuatu di telapak tangan.Mata Charlotte hampir melompat saat melihat darah menyelimuti telapak tangan anak itu dan sebuah benda di atasnya. Ia tidak yakin, tapi itu terlihat seperti bola mata.“A-apa itu, Sayang?” Charlotte terbata-bata.“Matanya Mickey. Lucu, kan?” ucap Reiner disertai tawa kecil khas anak-anak.“Hah?!” Tubuh Cha
Sekujur tubuh Charlotte menegang hebat. Ia bersembunyi di belakang pagar, mengintip dari celah pada pagar itu. Tubuhnya keringat dingin dengan napas tersengal-sengal, Charlotte menatap nyalang sambil menutup mulut tatkala menyaksikan pemandangan luar biasa menakutkan. Suara tembakan baru saja menggema, Charlotte tersentak dan mengeluarkan air mata. Kedua tangannya menutup mulut rapat-rapat agar tidak ada suara yang lolos."Aku harus pergi dari sini!" batinnya.Charlotte merangkak mundur dari lokasi, tetapi sepasang kaki jenjang menghalanginya. Ia mendongak melihat pria dengan sebuah pistol di tangannya. Benda itu kini diarahkan tepat di tengah-tengah dahi Charlotte, ia menangis ketakutan. Yang lebih menakutkan, pemilik senjata api itu adalah orang yang sangat ia cintai melebihi apapun."Ibu sudah melihat terlalu banyak. Sekarang saatnya ... giliranmu!"***Charlotte siuman di tengah ruang rawat inap yang lebih pantas disebut hotel berbint
Sudah berhari-hari Reiner tidak pulang, semakin mirip Luis. Kendati begitu, ia tetap berbalas pesan dengan sang ibu yang kekhawatirannya tidak kunjung reda.[Hari ini aku menginap di rumah Ivan. Mau mengerjakan tugas kelompok,] dalih Reiner dalam sebuah pesan yang dikirimkan untuk Charlotte.Saat ini ia sedang berbaring di atas kursi-kursi gimnasium lama—markas gengnya. Pesan itu telah terkirim lima menit lalu, tetapi belum ada tanda pesan telah dibaca.“Tumben selama ini,” batin Reiner, “mungkin dia sedang buat kue.”Tak mau ambil pusing, Reiner melanjutkan niatnya untuk tidur siang sejenak sebab semalam ia dan Niguel main di ruang bermain di rumah teman berkulit eksotis itu sampai pagi. Namun, keinginannya tidak bisa berjalan tenang.“Ahhh!” Baru saja Reiner berpejam, suara teriakan murid pindahan yang jadi mainan gengnya memekik kencang.Ivan dan Niguel sedang bersenang-senang, menaruh sebuah apel merah sebesar genggaman telap
“Selamat siang, Tuan Muda!” Sapaan menyambut Reiner tatkala ia berjalan mengendap-endap masuk ke dalam rumah.Ia baru pulang, pukul 11 siang. Beruntung Merry yang menyambut Reiner, bukan ibu apalagi ayahnya.“Di mana ayahku?” Reiner celingak-celinguk dengan perasaan cemas.“Semalam Tuan pergi dan belum pulang sampai sekarang.”Reiner bisa bernapas lega. “Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu.”Untuk sesaat ia merasa aman. Jika Luis tidak ada di rumah, setidaknya satu beban telah berkurang. Namun, belum berhasil menyelesaikan langkah, saat berbalik badan hendak menaiki tangga, seseorang tengah menghadang. Sang malaikat kini berganti rupa menjadi menyeramkan.“Dari mana saja kau? Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada kabar? Ibu mencemaskanmu semalaman. Teleponku bahkan tidak diangkat!” Charlotte mengomel dengan tatapan murka.Reiner teramat takut dengan sorot mata tidak biasa dari ibunya. “Aku— eh ... aku—“ Reiner terbata-bata.
“Kau habis mandi minyak wangi?” Reiner sontak menjepit hidung. Aroma Niguel sangat menusuk, rasanya ingin muntah.“Ivan, aku ikut denganmu,” pinta Niguel.“Eh—tidak, tidak! Kali ini menumpang dengan yang lain saja!” Ivan menolak, tidak tahan dengan wangi berlebihan itu.Carl telah mengunci pintu dari dalam. Sedangkan Reiner belum berpindah tempat, masih bersandar di sisi mobilnya. Niguel segera menyelinap masuk ke dalam mobil Reiner sebelum si empunya mampu menghentikan.“Astaga! Kenapa aku?!” Reiner menduga perjalanannya tidak akan terasa baik.“Ayo, pergi! Ivan dan Carl sudah meninggalkan kita.” Niguel memberi instruksi tanpa peduli perasaan temannya.Reiner masuk dengan geram. Ya ampun, ia benar-benar harus menyumpal hidung!Reiner berusaha dengan keras untuk konsentrasi menyetir. Aroma ini sungguh mengganggu penciuman dan pikirannya.Beberapa kilometer dan akhirnya sampai. Reiner melihat plang nama tempat it
Sabtu—akhirnya tiba. Setelah banyak hal yang terjadi kemarin, juga banyak membuatnya berpikir, hari ini Reiner mendedikasikan diri untuk pemulihan. Menyenangkan diri sepanjang hari, mungkin dengan lego ataupun berlatih taekwondo juga terdengar asyik. Kendati hari libur bukan berarti ia bangun terlambat. Pukul lima tepat alarm alami di alam bawah sadarnya selalu membangunkan Reiner dari tidur—selain dentingan jam besar di kamarnya. Ia tidak pernah merasa keberatan maupun terbebani, sudah terbiasa dilakukan sejak belia jadi Reiner tidak pernah kesulitan untuk bangun pagi.Hari masih fajar namun Reiner telah menginjak rumput-rumput di halaman, berlarian merasakan embun membasahi kaki telanjang. Ia mengatur pernapasan dengan baik, terus berlari hingga matahari mulai menyingsing. Aktivitas berganti setelahnya, memasang sikap sempurna, membungkuk meski tanpa lawan dan mulai menggerakkan badan melakukan gerakan-gerakan bela diri yang dikuasainya. Reiner melawan udara pagi, anggap
Restoran Italia bernuansa mewah di tengah kota, berornamen klasik dengan lampu kristal besar menggantung di tengah langit-langit. Atmosfernya tidak jauh berbeda jika disandingkan dengan hunian tempat tinggal Reiner. Mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa Charlotte sangat ingin berkunjung lagi ke tempat ini. Selain gaya bangunan, rasa hidangannya juga patut dipertimbangkan. Ravioli di tengah piring Reiner serta tortelini di atas piring Charlotte begitu kaya akan cita rasa. Juga segelas wine mahal disuguhkan untuk ibunda tercinta, sementara gelas milik Reiner terisi mocktail—bebas alkohol.Reiner senang bisa membuat wanita kesayangannya berekspresi cerah. Ide makan malam yang ia gagas tampaknya berhasil mengubah tema dalam benak sang ibu yang lagi-lagi ditinggal oleh suami-keparat-bekunya sejak kemarin. Reiner justru bersyukur alih-alih bersedih hati, sebab rencana ini bisa terlaksana lancar tanpa gangguan dan pertanyaan. Reiner mengamati wanita empat puluh tahunan yan
Empat sekawan tengah berkumpul di markas mereka, masing-masing berbaring di tengah-tengah lapangan basket yang sudah tidak terpakai dengan bantalan tas mengganjal kepala. Gawai menyibukkan tangan dari setiap pemuda, tidak ada pembicaraan untuk sekian lama—sampai Carl mengubah posisi. Ia duduk bersila lantas menarik sesuatu dari dalam tas. Sebuah lintingan yang tampak seperti rokok, tetapi ketika dibakar menimbulkan aroma khas.Indra penciuman Ivan terpancing, aroma ini membuatnya sontak menegakkan posisi. Ia melihat Carl menghisap benda yang diapit jarinya dengan santai, sementara Ivan masih melongo.“Hei, kau bawa barang itu ke sekolah?” sontak Ivan.“Tidak masalah. Tidak ada pemeriksaan juga,” balas Carl santai.Niguel sebenarnya tahu apa yang Ivan dan Carl ributkan. Namun, ia memilih tidak ikut-ikutan seperti Reiner.“Benar juga. Lagipula tidak ada yang berani menyentuh kita.” Bibir Ivan menyimpul lengkungan. “Aku minta satu, ya?”