Taruna turun perlahan dari becaknya, menghapus keringat di kening dengan lengan bajunya yang lusuh. Topi usang yang biasanya melindungi kepala dari teriknya matahari kini ia lepaskan, seolah memberi penghormatan pada sesuatu yang besar, bukan karena rasa segan, tetapi karena beban berat yang ia bawa di hatinya. Pemuda berkulit cokelat dan berambut sedikit gondrong itu menatap lurus ke arah bangunan megah di hadapannya. Rumah neneknya. Rumah yang pernah menjadi saksi luka lama yang tak pernah sembuh.
Bangunan besar itu masih terlihat sama, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Pilar-pilar tinggi yang menjulang, dinding bercat putih gading yang memancarkan kesan angkuh, serta taman depan yang tertata rapi, seolah sengaja menegaskan batasan antara kelas sosial mereka. Satu sisi rumah ini penuh kemewahan, namun di sisi lain, bagi Taruna, rumah ini tak lebih dari sekadar simbol dari rasa sakit dan penolakan. Sebelum meninggal, ibunya sempat memberi pesan yang ia pegang erat-erat hingga saat ini. “Datanglah ke rumah nenekmu. Ada hal yang harus kamu ketahui. Jangan takut, Nak. Itu hakmu.” Kata-kata terakhir yang meluncur dari bibir sang ibu terasa berat, seakan penuh makna yang tersembunyi di baliknya. Itu adalah pesan terakhir, sebuah amanah yang tak mungkin ia abaikan. Itulah sebabnya, meski hatinya dipenuhi keraguan, Taruna tetap berdiri di sini, di depan gerbang masa lalu yang telah lama ia coba lupakan. Kenangan pahit tiba-tiba mengalir kembali, mengisi setiap sudut pikirannya. Dulu, saat dia masih kecil, rumah ini hanya menyisakan kepahitan. Tak ada tawa, tak ada sambutan hangat, hanya tatapan dingin dan hinaan yang menusuk. Ibunya, yang kala itu sudah terlanjur menikah dengan almarhum ayahnya, seorang tukang becak yang hanya memiliki cinta dan ketulusan, diusir keluar tanpa ampun. Meski sudah ada dirinya yang kala itu masih kecil, tetapi tak melunakkan hati kakeknya untuk mengusir mereka. Alasan mereka sederhana namun menyakitkan, ayahnya tidak layak, tidak pantas menjadi bagian dari keluarga terhormat ini. Salah satunya kenangan yang tersisa dari ayahnya kini adalah becak tua yang ia bawa. Becak itulah yang dulu ayahnya kayuh siang malam, menjadi sumber penghidupan mereka, menjadi saksi bisu perjuangan seorang lelaki sederhana yang tak pernah menyerah mencintai keluarganya. Kini, becak itu beralih tangan pada Taruna, menjadi warisan paling berharga yang menyimpan banyak kenangan. Bagi orang lain, itu hanyalah alat transportasi tua yang reot, tetapi bagi Taruna, becak itu adalah lambang kebanggaan dan kasih sayang yang tak ternilai harganya. Meski sekarang, dirinya tak lagi bergantung hidup pada becak tua itu. Taruna menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang mulai berdegup kencang. Perlahan, dia melangkah ke depan, melewati gerbang besar yang terbuat dari besi kokoh. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki-kakinya terbelenggu oleh masa lalu yang ingin ia tinggalkan. Setelah beberapa saat, Taruna sampai di pintu besar berukir rumit, lambang kemewahan dan prestise keluarga yang dulu mengusirnya. Dia mengetuk pelan. Ketukan pertama nyaris tak terdengar, hanya getaran halus yang mengalir melalui pintu kayu tebal itu. Hening. Taruna menarik napas lagi, kali ini mengetuk lebih keras. Ketukan itu bergema, dan detik demi detik berlalu sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul di ambang pintu, dengan tatapan yang tajam dan penuh selidik. Wajahnya memancarkan kesan ketidakramahan dan kecurigaan. Rambutnya disanggul rapi, pakaian rumahnya tetap terlihat mewah. Dia adalah Sekar, menantu pemilik rumah ini, istri Suwondo, Pakde Taruna. Mata Sekar menyipit tajam, menelisik pemuda yang berdiri di hadapannya. “Kau siapa?” Suaranya terdengar ketus, tak ada keramahan sedikitpun. Pandangannya menyapu dari ujung kepala hingga ujung kaki Taruna, seolah menilai apakah pemuda dengan pakaian sederhana ini pantas berada di tempat semegah ini. Meskipun sudah bertahun-tahun tak bertemu, Sekar tetap mengenalinya. Dia hanya berpura-pura tak tahu, mempermainkan Taruna seolah-olah dirinya hanyalah orang asing yang tak berhak menapakkan kaki di rumah ini. “Saya Taruna,” jawab pemuda itu dengan tenang, meski hatinya bergejolak. “Cucu Bu Salma.” Sekar mendengus pelan, nyaris seperti tawa kecil yang menghina. “Oh, jadi kau kembali lagi? Apa yang kau inginkan di sini, hah? Mau mengemis belas kasihan?” Tatapan matanya yang dingin seakan menantang Taruna untuk menjelaskan dirinya, untuk membenarkan eksistensinya di depan pintu rumah ini. Taruna menggeleng pelan. “Saya datang untuk memenuhi pesan Ibu. Saya tidak akan lama, hanya ingin bicara dengan Nenek.” Sekar terdiam sejenak, lalu melipat tangannya di dada, menciptakan jarak yang tak terlihat tapi jelas terasa. “Nenekmu tidak ingin bertemu orang luar. Pergilah! Jangan membuat masalah! Kecuali kalau kau mau jadi benalu di rumah ini.” Namun, Taruna bergeming. Dia menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah. “Saya bukan orang luar. Saya cucunya. Cucu kandungnya. Saya bukan benalu. Dan ini bukan permintaan. Ini hak saya untuk bertemu dengannya!” Kata-katanya keluar dengan ketegasan yang mengejutkan, membuat Sekar terdiam sejenak. Sebelum wanita itu sempat bereaksi, Taruna melangkah maju, melewati ambang pintu tanpa menunggu izin. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi semakin dalam dia memasuki rumah itu, hatinya semakin mengeras. Dia tahu, meskipun tubuhnya sudah di dalam, dirinya masih dianggap orang asing. Tapi itu tak masalah. Dia akan menemukan neneknya. Dia akan menjalankan amanah ibunya, tak peduli seberapa banyak penghinaan yang harus ia terima. ~~~~Mendengar ada keributan di rumahnya, Suwondo bergegas datang dari arah belakang rumah dengan langkah lebar dan cepat. Rambutnya yang mulai memutih bergerak mengikuti irama langkahnya yang penuh wibawa. Tatapannya tajam menyapu sekitar, hingga matanya tertuju pada sosok pemuda asing yang berdiri dengan tatapan menantang pada istrinya. “Siapa dia, Ma?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan, pada Sekar, istrinya. “Katanya, dia anak Gendis, Pa,” jawab Sekar dengan nada ketus, dan pandangan yang diarahkan pada Taruna.Mendengar nama itu, alis Suwondo langsung berkerut. Wajahnya berubah serius. Gendis adalah nama satu-satunya adiknya. Matanya meneliti pemuda yang berdiri di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Pemuda itu tidak berusaha menunduk atau menghindari tatapannya. Sebaliknya, dia balas menatap Suwondo. “Mau apa kau kemari?” bentak Suwondo, suaranya bergema di dalam rumah yang hening. Ada kilatan amarah yang menyala di balik sorot matanya.Taruna, pemuda itu, meneg
“Sekarang kamu pergi! Tak ada yang mau kamu di sini!” teriak Suwondo, suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruangan. Tangan kanannya menunjuk pintu depan, sementara tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam seperti harimau yang murka di sarangnya. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Di balik matanya yang tajam, tergambar kemarahan bercampur kebencian yang mendalam.Taruna tak beranjak. Tubuhnya yang tegap berdiri kokoh di tengah ruangan. Tak sedikit pun dia bergerak meski kemarahan Suwondo menghantamnya seperti badai. Pandangannya tak berubah, tetap lurus menatap pria di depannya, pakdenya sendiri. Rasa takut dan gentar seakan tidak punya tempat dalam dirinya. Baginya, kehadirannya di sini lebih dari sekadar keberanian Ini adalah tanggung jawab yang ia emban demi satu alasan. Janji terakhir yang ia ucapkan di hadapan ibunya yang kini telah tiada. Janji yang tak akan ia khianati, bahkan jika itu berarti menghadapi caci maki atau penghinaan dari keluarganya
“Maaf, Nek. Kita bicara di tempat lain, ya? Kalau bisa, ke kamar Nenek saja,” kata Taruna dengan nada pelan, berusaha menjaga suasana hati neneknya. Pemuda itu bergerak hendak mendorong kursi roda Bu Salma. Suwondo, yang mendengar kata-kata itu, seketika marah. Ia melangkah maju, menarik kerah baju Taruna yang sudah longgar, dan menatap pemuda itu dengan marah. “Lan cang kamu!” teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah. Taruna merasakan aliran darahnya mendidih. Dengan kasar, ia menepis tangan Suwondo. “Pakde tak ada hak mengusir saya!” katanya dengan tatapan tajam yang menantang, mencerminkan keberaniannya yang tak tergoyahkan. “Berani kamu!” Suwondo membentak, wajahnya merona karena amarah. “Ibu saya juga berhak atas rumah ini,” ujarnya dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Apalagi Nenek masih hidup. Kalau Nenek yang ingin saya pergi, baru saya akan pergi!” balas Taruna dengan tenang. Suwondo terdiam sejenak, terkejut oleh ketegasan pemuda berambut go
Bu Salma hanya bisa menatap punggung cucunya dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Matanya menyipit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Taruna. Meski usianya sudah renta, Bu Salma tak buta terhadap apa yang dirasakan oleh cucunya itu. Taruna berjalan dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang, dan rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang berat. Ada kemarahan yang jelas di balik setiap gerakannya."Taruna …." Bu Salma ingin memanggil, tetapi suaranya tertahan. Ia terlalu lemah untuk menghentikannya.Taruna terus melangkah keluar kamar, tatapannya lurus ke depan, dengan tangan yang mengepal kuat. Ia tak bisa lagi menahan perasaan sesak di dadanya. Neneknya yang dulu begitu dihormati dan dilindungi, kini terlupakan di rumahnya sendiri, membuat darahnya mendidih. Bagaimana mungkin mereka memperlakukan Bu Salma seperti ini? Neneknya tidak layak diabaikan dan ditempatkan di kamar yang begitu tak layak.“Dimana kamar tamu?” tanya Taruna dengan suara tegas, ma
Sontak, semua kepala menoleh ke sumber suara. Di sana, tampak seorang gadis kecil dalam seragam TK, dengan langkah kecilnya masuk ke rumah sambil menggandeng seorang wanita berparas ayu, dibalut hijab yang manis dan anggun. Senyumnya tenang, membawa kehangatan yang anehnya meredakan ketegangan di ruangan itu. “Kok nggak ada yang jawab?” tanya Kayra, gadis kecil berwajah imut dengan hijabnya yang rapi, matanya yang besar menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. “Waalaikumsalam,” jawab Bu Salma dengan senyum lembut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. “Yuk, Bu Hilya. Katanya mau lihat Buyut,” ajak Kayra, dengan manis menarik tangan wanita berparas lembut di sampingnya. Wanita itu, Hilya, tampak ragu sejenak, langkahnya perlahan ketika mengikuti Kayra menuju nenek Taruna. Hilya tersenyum, menyapa dengan penuh hormat, “Assalamu'alaikum, Nek,” ucapnya sambil menyalami Bu Salma, sosok y
Taruna menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan barang-barang Sandi dari kamar. Bajunya, sepatu-sepatunya, hingga foto-foto Sandi ia lempar ke lantai tanpa ampun. Hatinya terasa berat, tetapi sudah saatnya neneknya kembali di tempat yang seharusnya. Bukan di kamar pembantu yang lebih layak disebut gudang, karena Bu Salma tidur bersama tumpukan barang tak terpakai. Suwondo dan Sekar masuk, terkejut melihat kekacauan yang dibuat oleh Taruna di kamar putranya. "Apa yang kamu lakukan, Taruna?!" Suwondo langsung berteriak, suaranya bergetar penuh kemarahan. Wajahnya merah padam, sulit mempercayai apa yang dilihatnya."Taruna! Kamu gila? Ini kamar Sandi! Siapa yang memberi hak padamu untuk mengusirnya begitu saja?" Suara Sekar tinggi, nyaris pecah.Taruna tidak menoleh. Ia terus merapikan barang-barang Sandi ke dalam tas besar yang didapat di atas lemari. Sebagian dibiarkan berserakan di lantai.