Share

BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)
BUKAN BENALU (Pewaris sesungguhnya)
Penulis: KARTIKA DEKA

Datang ke rumah Nenek, sebagai tukang becak

Taruna turun perlahan dari becaknya, menghapus keringat di kening dengan lengan bajunya yang lusuh. Topi usang yang biasanya melindungi kepala dari teriknya matahari kini ia lepaskan, seolah memberi penghormatan pada sesuatu yang besar, bukan karena rasa segan, tetapi karena beban berat yang ia bawa di hatinya. Pemuda berkulit cokelat dan berambut sedikit gondrong itu menatap lurus ke arah bangunan megah di hadapannya. Rumah neneknya. Rumah yang pernah menjadi saksi luka lama yang tak pernah sembuh.

Bangunan besar itu masih terlihat sama, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Pilar-pilar tinggi yang menjulang, dinding bercat putih gading yang memancarkan kesan angkuh, serta taman depan yang tertata rapi, seolah sengaja menegaskan batasan antara kelas sosial mereka. Satu sisi rumah ini penuh kemewahan, namun di sisi lain, bagi Taruna, rumah ini tak lebih dari sekadar simbol dari rasa sakit dan penolakan.

Sebelum meninggal, ibunya sempat memberi pesan yang ia pegang erat-erat hingga saat ini.

“Datanglah ke rumah nenekmu. Ada hal yang harus kamu ketahui. Jangan takut, Nak. Itu hakmu.” Kata-kata terakhir yang meluncur dari bibir sang ibu terasa berat, seakan penuh makna yang tersembunyi di baliknya.

Itu adalah pesan terakhir, sebuah amanah yang tak mungkin ia abaikan. Itulah sebabnya, meski hatinya dipenuhi keraguan, Taruna tetap berdiri di sini, di depan gerbang masa lalu yang telah lama ia coba lupakan.

Kenangan pahit tiba-tiba mengalir kembali, mengisi setiap sudut pikirannya. Dulu, saat dia masih kecil, rumah ini hanya menyisakan kepahitan. Tak ada tawa, tak ada sambutan hangat, hanya tatapan dingin dan hinaan yang menusuk. Ibunya, yang kala itu sudah terlanjur menikah dengan almarhum ayahnya, seorang tukang becak yang hanya memiliki cinta dan ketulusan, diusir keluar tanpa ampun. Meski sudah ada dirinya yang kala itu masih kecil, tetapi tak melunakkan hati kakeknya untuk mengusir mereka. Alasan mereka sederhana namun menyakitkan, ayahnya tidak layak, tidak pantas menjadi bagian dari keluarga terhormat ini.

Salah satunya kenangan yang tersisa dari ayahnya kini adalah becak tua yang ia bawa. Becak itulah yang dulu ayahnya kayuh siang malam, menjadi sumber penghidupan mereka, menjadi saksi bisu perjuangan seorang lelaki sederhana yang tak pernah menyerah mencintai keluarganya. Kini, becak itu beralih tangan pada Taruna, menjadi warisan paling berharga yang menyimpan banyak kenangan. Bagi orang lain, itu hanyalah alat transportasi tua yang reot, tetapi bagi Taruna, becak itu adalah lambang kebanggaan dan kasih sayang yang tak ternilai harganya. Meski sekarang, dirinya tak lagi bergantung hidup pada becak tua itu.

Taruna menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang mulai berdegup kencang. Perlahan, dia melangkah ke depan, melewati gerbang besar yang terbuat dari besi kokoh. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki-kakinya terbelenggu oleh masa lalu yang ingin ia tinggalkan. Setelah beberapa saat, Taruna sampai di pintu besar berukir rumit, lambang kemewahan dan prestise keluarga yang dulu mengusirnya.

Dia mengetuk pelan. Ketukan pertama nyaris tak terdengar, hanya getaran halus yang mengalir melalui pintu kayu tebal itu. Hening. Taruna menarik napas lagi, kali ini mengetuk lebih keras. Ketukan itu bergema, dan detik demi detik berlalu sebelum akhirnya pintu itu terbuka.

Seorang wanita paruh baya muncul di ambang pintu, dengan tatapan yang tajam dan penuh selidik. Wajahnya memancarkan kesan ketidakramahan dan kecurigaan. Rambutnya disanggul rapi, pakaian rumahnya tetap terlihat mewah. Dia adalah Sekar, menantu pemilik rumah ini, istri Suwondo, Pakde Taruna. Mata Sekar menyipit tajam, menelisik pemuda yang berdiri di hadapannya.

“Kau siapa?” Suaranya terdengar ketus, tak ada keramahan sedikitpun.

Pandangannya menyapu dari ujung kepala hingga ujung kaki Taruna, seolah menilai apakah pemuda dengan pakaian sederhana ini pantas berada di tempat semegah ini. Meskipun sudah bertahun-tahun tak bertemu, Sekar tetap mengenalinya. Dia hanya berpura-pura tak tahu, mempermainkan Taruna seolah-olah dirinya hanyalah orang asing yang tak berhak menapakkan kaki di rumah ini.

“Saya Taruna,” jawab pemuda itu dengan tenang, meski hatinya bergejolak. “Cucu Bu Salma.”

Sekar mendengus pelan, nyaris seperti tawa kecil yang menghina.

“Oh, jadi kau kembali lagi? Apa yang kau inginkan di sini, hah? Mau mengemis belas kasihan?” Tatapan matanya yang dingin seakan menantang Taruna untuk menjelaskan dirinya, untuk membenarkan eksistensinya di depan pintu rumah ini.

Taruna menggeleng pelan. “Saya datang untuk memenuhi pesan Ibu. Saya tidak akan lama, hanya ingin bicara dengan Nenek.”

Sekar terdiam sejenak, lalu melipat tangannya di dada, menciptakan jarak yang tak terlihat tapi jelas terasa. “Nenekmu tidak ingin bertemu orang luar. Pergilah! Jangan membuat masalah! Kecuali kalau kau mau jadi benalu di rumah ini.”

Namun, Taruna bergeming. Dia menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah.

“Saya bukan orang luar. Saya cucunya. Cucu kandungnya. Saya bukan benalu. Dan ini bukan permintaan. Ini hak saya untuk bertemu dengannya!” Kata-katanya keluar dengan ketegasan yang mengejutkan, membuat Sekar terdiam sejenak.

Sebelum wanita itu sempat bereaksi, Taruna melangkah maju, melewati ambang pintu tanpa menunggu izin. Setiap langkahnya terasa berat, tetapi semakin dalam dia memasuki rumah itu, hatinya semakin mengeras. Dia tahu, meskipun tubuhnya sudah di dalam, dirinya masih dianggap orang asing. Tapi itu tak masalah. Dia akan menemukan neneknya. Dia akan menjalankan amanah ibunya, tak peduli seberapa banyak penghinaan yang harus ia terima.

~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status