Share

Tak akan pergi

“Sekarang kamu pergi! Tak ada yang mau kamu di sini!” teriak Suwondo, suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruangan. 

Tangan kanannya menunjuk pintu depan, sementara tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam seperti harimau yang murka di sarangnya. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Di balik matanya yang tajam, tergambar kemarahan bercampur kebencian yang mendalam.

Taruna tak beranjak. Tubuhnya yang tegap berdiri kokoh di tengah ruangan. Tak sedikit pun dia bergerak meski kemarahan Suwondo menghantamnya seperti badai. Pandangannya tak berubah, tetap lurus menatap pria di depannya, pakdenya sendiri. Rasa takut dan gentar seakan tidak punya tempat dalam dirinya. Baginya, kehadirannya di sini lebih dari sekadar keberanian Ini adalah tanggung jawab yang ia emban demi satu alasan. Janji terakhir yang ia ucapkan di hadapan ibunya yang kini telah tiada. Janji yang tak akan ia khianati, bahkan jika itu berarti menghadapi caci maki atau penghinaan dari keluarganya sendiri.

“Aku tidak akan pergi sebelum menyampaikan amanah Ibu,” ucap Taruna, nadanya tegas, nyaris seperti tantangan. Suaranya menggema dalam ketenangan yang mematikan, memancing kemarahan Suwondo semakin meledak-ledak.

Wajah Suwondo merah padam, matanya berkilat marah. 

“Dasar anak tak tahu diri! Beraninya kamu bicara seperti itu di depanku! Kamu. Mau jadi benalu kan?!” Suwondo berteriak sambil maju, tangan kirinya terkepal, siap menghantam. Tapi, saat itulah suara lain menghentikan langkahnya.

“Taruna tak boleh pergi.” Suara itu parau namun tegas, bagaikan bel yang menggema di tengah keheningan. Seketika semua orang menoleh ke arah sumber suara. 

Di ujung ruangan, di dekat pintu kamar belakang, tampak seorang wanita tua dengan tubuh ringkih duduk di atas kursi roda, Bu Salma, nenek Taruna. Sosok lemah itu menatap Suwondo dengan tatapan yang mengandung kekuatan tak terduga, seolah dari wanita tua ini terpancar ketegasan seorang penguasa yang menolak ditundukkan.

“Ibu, kenapa keluar dari kamar?” Sekar, istri Suwondo, langsung bergegas mendekat. 

Raut wajahnya penuh kepura-puraan, senyumnya dibuat-buat seperti topeng yang menutupi ketidaksukaannya. Dia mendorong kursi roda Bu Salma dengan paksa, berusaha memisahkan wanita tua itu dari Taruna. 

“Ibu harus istirahat. Nanti Ibu sakit lagi,” katanya manis, tetapi nada suaranya penuh kepalsuan. Tangannya yang ramping mencengkeram gagang kursi roda, mendorongnya keras-keras.

Namun, Bu Salma tidak tinggal diam. Tangannya yang kurus mencengkeram pegangan kursi dengan sisa-sisa kekuatan yang ia miliki. Taruna melihat, dalam mata neneknya yang berkabut itu, ada sesuatu yang lebih dari sekadar kerinduan. Ada permohonan, ada rasa sakit, seakan ia berjuang melawan takdir hanya untuk bertahan di sini, untuk mencegah cucunya diusir seperti an jing liar.

“Biarkan Ibu di sini!” Suara Bu Salma serak, tapi tegas. Sekar terperangah, namun dengan cepat memulihkan wajahnya. Dia berusaha mendorong kursi itu lagi, kali ini dengan tenaga yang lebih besar. 

“Ibu jangan bikin masalah!” bisik Salma dengan tatapan penuh ancaman. Giginya rapat, sementara tangannya mencubit paha Bu Salma. Dia melakukannya sedemikian rupa agar tak terlihat suaminya juga Taruna.

Tetapi Bu Salma menahan lebih kuat, menahan kursi rodanya hingga tubuh ringkihnya bergetar, juga menahan sakit akibat cubitan menantunya yang durhaka. 

“Taruna tidak boleh pergi …,” bisik Bu Salma lirih, suaranya terdengar seperti perintah terakhir dari seorang ratu yang menolak menyerah pada ketidakberdayaan. 

Taruna tak tahan lagi. Dia melangkah maju, menepis tangan Sekar dengan kasar dari kursi roda itu. 

“Bude, biarkan Nenek bicara!” katanya dingin. Matanya menatap Sekar dengan penuh ketegasan, seakan menantang wanita itu untuk mencoba melawannya.

Sekar membalas tatapan itu dengan mata menyipit. “Kau pikir kau siapa, hah? Datang ke sini, memecah keluarga kami, dan sekarang kau—”

“Sudah!” Suara Bu Salma kembali menggema, memotong ucapan Sekar. Wanita tua itu menatap Taruna dengan tatapan lembut yang begitu kontras dengan sorot matanya tadi. “Cucu Nenek tidak akan pergi,” katanya, suaranya terdengar mantap meski tubuhnya gemetar.

Taruna bersimpuh sambil menggenggam tangan neneknya yang sangat lama tak dirasakan kehangatannya. 

“Apa lagi yang Ibu inginkan? Anak ini tidak berhak ada di sini! Dia hanya ingin merebut harta yang bukan miliknya!” Suwondo yang sejak tadi diam, tiba-tiba meledak lagi. 

Dia melangkah maju, mengepalkan tinju, seolah ingin mengakhiri semua ini dengan kekerasan. Tetapi Taruna tidak mundur. Dia justru berdiri lebih tegak, menatap balik pria itu tanpa sedikit pun gentar.

“Ini bukan tentang harta,” jawab Taruna, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. “Ini tentang keluarga. Tentang pesan terakhir Ibu. Pesan yang hanya bisa saya sampaikan pada Nenek.”

Kata-kata itu sejenak menghentikan semuanya. Suwondo terdiam. Sekar menatap bingung. Dan Bu Salma, air mata menggenang di pelupuk matanya. Dengan tangan bergetar, dia semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan cucunya. 

“Apa amanah dari ibumu, Nak?” tanya Bu Salma dengan suara bergetar. 

Tatapan Taruna melembut. Perlahan, dia berlutut di hadapan neneknya, dan dalam keheningan yang penuh emosi itu, dia bersumpah dalam hati bahwa dia tidak akan pergi. Apapun yang terjadi, dia akan bertahan, meski harus menghadapi seluruh keluarga ini sendirian.

~~~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status