Sontak, semua kepala menoleh ke sumber suara. Di sana, tampak seorang gadis kecil dalam seragam TK, dengan langkah kecilnya masuk ke rumah sambil menggandeng seorang wanita berparas ayu, dibalut hijab yang manis dan anggun. Senyumnya tenang, membawa kehangatan yang anehnya meredakan ketegangan di ruangan itu.
“Kok nggak ada yang jawab?” tanya Kayra, gadis kecil berwajah imut dengan hijabnya yang rapi, matanya yang besar menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. “Waalaikumsalam,” jawab Bu Salma dengan senyum lembut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. “Yuk, Bu Hilya. Katanya mau lihat Buyut,” ajak Kayra, dengan manis menarik tangan wanita berparas lembut di sampingnya. Wanita itu, Hilya, tampak ragu sejenak, langkahnya perlahan ketika mengikuti Kayra menuju nenek Taruna. Hilya tersenyum, menyapa dengan penuh hormat, “Assalamu'alaikum, Nek,” ucapnya sambil menyalami Bu Salma, sosok yang selama ini dihormatinya. “Waalaikumsalam, Bu Hilya,” jawab Bu Salma dengan senyum yang hangat, menatap Hilya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih sudah mengantar Kayra, Nak.” Taruna, yang berdiri tak jauh, memperhatikan semuanya dalam diam. Ada sesuatu yang berubah dalam tatapan neneknya. Pancaran mata Bu Salma saat melihat Hilya tampak berbeda, lebih lembut, dan hangat. Neneknya tampak bahagia melihat gadis itu. Hilya membalas tatapan itu dengan senyum tulus, sementara Kayra, yang polos dan ceria, berdiri di antara mereka, mempertemukan dua generasi dengan kehangatan yang sederhana. Taruna merasakan perasaan yang aneh di dadanya. Ada sesuatu yang manis di momen ini. Kehadiran Hilya dan Kayra membuat rumah yang dingin itu terasa lebih hangat. "Bu Hilya, terima kasih sudah mengantarkan Kayra. Saya rasa Ibu nggak ada kepentingan lagi, kan? Sebaiknya Ibu pulang. Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan," kata Sekar dengan nada datar, wajahnya pun tampak tak bersahabat. Suasana yang tadinya terasa hangat mendadak berubah dingin kembali. Hilya menelan ludah, merasa tak nyaman dengan cara Sekar bicara. Matanya mencari-cari arah lain, berusaha menjaga sopan santun meski hatinya sedikit tersinggung. "Oh, iya, Bu. Maaf kalau saya mengganggu. Kalau begitu, saya pamit," jawabnya pelan, berusaha tetap ramah meski suasana hatinya mulai tak karuan. Sesaat, tatapannya bertemu dengan mata Taruna. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Taruna hanya berdiri, menatap Hilya dengan mata yang menyiratkan perasaan aneh, namun tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hilya tersenyum tipis, lalu beralih pada Bu Salma yang duduk di sampingnya. "Hilya pulang dulu ya, Nek," ucapnya lembut, sambil menggenggam tangan Bu Salma. Bu Salma balas menatap dengan pandangan penuh kasih sayang dan sedikit kesedihan. "Iya, Nak. Maaf ya," ucapnya, dengan nada yang nyaris berbisik. Ia merasa tak enak hati atas perlakuan Sekar, tapi terlalu lemah untuk membantah menantunya. Kayra yang berdiri di tengah, memandang Hilya dengan wajah kecewa. “Yah, kok cepat banget, sih, pulangnya, Bu Hilya? Katanya mau cerita-cerita sama Buyut,” keluh Kayra. Namun, sebelum Hilya bisa menjawab, Sekar langsung menarik tangan Kayra dengan kasar. “Kayra, ayo sama Oma. Ganti baju, terus makan. Habis itu tidur siang. Nanti Papa kamu marah kalau kamu main terus!” Sekar berbicara dengan nada tegas, tak peduli dengan protes kecil Kayra yang berusaha meraih Hilya lagi ketika dia menarik paksa tangan gadis kecil itu. Hati Hilya terasa berat saat mendengar tangisan Kayra yang memanggil namanya. Jeritan itu menghantam perasaannya, namun Hilya tahu, ini rumah Sekar. Sekar adalah orang yang lebih berhak atas Kayra. Ia mempercepat langkahnya, menahan diri agar tidak berbalik, meskipun hatinya ingin sekali menenangkan gadis kecil itu. Air mata Kayra membekas di ingatannya, tapi Hilya sadar, ini bukan tempatnya untuk ikut campur. Di dalam rumah, Bu Salma memandang penuh kasihan ke arah kamar Kayra. Jeritan gadis itu terdengar sangat menyayat hati. Wajahnya terlihat lelah dan sedih, tapi ia tahu, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Suwondo, sebagai suami Sekar pun tidak pernah menegur tindakan kasar Sekar terhadap cucu mereka. Seolah sikap keras itu adalah hal yang sudah biasa. Taruna, yang sedari tadi mengamati, dapat merasakan perasaan neneknya. Dia tahu betapa beratnya melihat cicitnya diperlakukan seperti itu. Namun, Taruna memilih fokus pada niatnya semula. Ia kembali menempelkan tangannya ke pegangan pintu kamar yang ingin dia buka, kamar yang katanya milik Sandi. “Kamu nggak boleh pakai kamar itu!” Suwondo, yang sejak tadi diam, kini bicara langsung kepada Taruna, suaranya tegas dan keras. Dia memandang Bu Salma sejenak. Tangan Taruna yang baru saja menyentuh gagang pintu, berhenti bergerak. Namun, sebelum Taruna sempat membalas, Bu Salma bicara, suaranya lembut namun penuh kebijaksanaan. “Nak, kita balik saja ke kamar tadi. Nenek nyaman di kamar itu,” katanya pelan, memilih untuk mengalah. Bu Salma tak ingin ada keributan lagi. Dia tahu betul, perdebatan lebih lanjut hanya akan menambah luka di hati semua orang. Taruna memandang neneknya, hatinya terasa perih. Dia tahu, itu hanya di bibir neneknya saja. “Bukan Taruna nggak mau nurut sama Nenek. Salah satu amanah Ibu, adalah menjaga Nenek, dan memastikan Nenek baik-baik saja. Nenek tetap pindah ke kamar ini,” kata Taruna. Taruna menatap Suwondo, tak gentar sedikitpun. Tatapannya seperti menantang. Apa Suwondo atau Sekar berani mencegahnya lagi?Taruna menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan barang-barang Sandi dari kamar. Bajunya, sepatu-sepatunya, hingga foto-foto Sandi ia lempar ke lantai tanpa ampun. Hatinya terasa berat, tetapi sudah saatnya neneknya kembali di tempat yang seharusnya. Bukan di kamar pembantu yang lebih layak disebut gudang, karena Bu Salma tidur bersama tumpukan barang tak terpakai. Suwondo dan Sekar masuk, terkejut melihat kekacauan yang dibuat oleh Taruna di kamar putranya. "Apa yang kamu lakukan, Taruna?!" Suwondo langsung berteriak, suaranya bergetar penuh kemarahan. Wajahnya merah padam, sulit mempercayai apa yang dilihatnya."Taruna! Kamu gila? Ini kamar Sandi! Siapa yang memberi hak padamu untuk mengusirnya begitu saja?" Suara Sekar tinggi, nyaris pecah.Taruna tidak menoleh. Ia terus merapikan barang-barang Sandi ke dalam tas besar yang didapat di atas lemari. Sebagian dibiarkan berserakan di lantai.
Taruna turun perlahan dari becaknya, menghapus keringat di kening dengan lengan bajunya yang lusuh. Topi usang yang biasanya melindungi kepala dari teriknya matahari kini ia lepaskan, seolah memberi penghormatan pada sesuatu yang besar, bukan karena rasa segan, tetapi karena beban berat yang ia bawa di hatinya. Pemuda berkulit cokelat dan berambut sedikit gondrong itu menatap lurus ke arah bangunan megah di hadapannya. Rumah neneknya. Rumah yang pernah menjadi saksi luka lama yang tak pernah sembuh.Bangunan besar itu masih terlihat sama, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Pilar-pilar tinggi yang menjulang, dinding bercat putih gading yang memancarkan kesan angkuh, serta taman depan yang tertata rapi, seolah sengaja menegaskan batasan antara kelas sosial mereka. Satu sisi rumah ini penuh kemewahan, namun di sisi lain, bagi Taruna, rumah ini tak lebih dari sekadar simbol dari rasa sakit dan penolakan.Sebelum meninggal, ibunya sempat memberi pesan yang ia pegang erat-erat hingga sa
Mendengar ada keributan di rumahnya, Suwondo bergegas datang dari arah belakang rumah dengan langkah lebar dan cepat. Rambutnya yang mulai memutih bergerak mengikuti irama langkahnya yang penuh wibawa. Tatapannya tajam menyapu sekitar, hingga matanya tertuju pada sosok pemuda asing yang berdiri dengan tatapan menantang pada istrinya. “Siapa dia, Ma?” tanyanya dengan suara rendah, namun penuh tekanan, pada Sekar, istrinya. “Katanya, dia anak Gendis, Pa,” jawab Sekar dengan nada ketus, dan pandangan yang diarahkan pada Taruna.Mendengar nama itu, alis Suwondo langsung berkerut. Wajahnya berubah serius. Gendis adalah nama satu-satunya adiknya. Matanya meneliti pemuda yang berdiri di depannya dari ujung kepala hingga kaki. Pemuda itu tidak berusaha menunduk atau menghindari tatapannya. Sebaliknya, dia balas menatap Suwondo. “Mau apa kau kemari?” bentak Suwondo, suaranya bergema di dalam rumah yang hening. Ada kilatan amarah yang menyala di balik sorot matanya.Taruna, pemuda itu, meneg
“Sekarang kamu pergi! Tak ada yang mau kamu di sini!” teriak Suwondo, suaranya menggelegar, memantul di setiap sudut ruangan. Tangan kanannya menunjuk pintu depan, sementara tubuhnya condong ke depan, seolah siap menerkam seperti harimau yang murka di sarangnya. Wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menegang. Di balik matanya yang tajam, tergambar kemarahan bercampur kebencian yang mendalam.Taruna tak beranjak. Tubuhnya yang tegap berdiri kokoh di tengah ruangan. Tak sedikit pun dia bergerak meski kemarahan Suwondo menghantamnya seperti badai. Pandangannya tak berubah, tetap lurus menatap pria di depannya, pakdenya sendiri. Rasa takut dan gentar seakan tidak punya tempat dalam dirinya. Baginya, kehadirannya di sini lebih dari sekadar keberanian Ini adalah tanggung jawab yang ia emban demi satu alasan. Janji terakhir yang ia ucapkan di hadapan ibunya yang kini telah tiada. Janji yang tak akan ia khianati, bahkan jika itu berarti menghadapi caci maki atau penghinaan dari keluarganya
“Maaf, Nek. Kita bicara di tempat lain, ya? Kalau bisa, ke kamar Nenek saja,” kata Taruna dengan nada pelan, berusaha menjaga suasana hati neneknya. Pemuda itu bergerak hendak mendorong kursi roda Bu Salma. Suwondo, yang mendengar kata-kata itu, seketika marah. Ia melangkah maju, menarik kerah baju Taruna yang sudah longgar, dan menatap pemuda itu dengan marah. “Lan cang kamu!” teriaknya, suaranya menggema di dalam rumah. Taruna merasakan aliran darahnya mendidih. Dengan kasar, ia menepis tangan Suwondo. “Pakde tak ada hak mengusir saya!” katanya dengan tatapan tajam yang menantang, mencerminkan keberaniannya yang tak tergoyahkan. “Berani kamu!” Suwondo membentak, wajahnya merona karena amarah. “Ibu saya juga berhak atas rumah ini,” ujarnya dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Apalagi Nenek masih hidup. Kalau Nenek yang ingin saya pergi, baru saya akan pergi!” balas Taruna dengan tenang. Suwondo terdiam sejenak, terkejut oleh ketegasan pemuda berambut go
Bu Salma hanya bisa menatap punggung cucunya dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran. Matanya menyipit, mencoba memahami apa yang sedang terjadi di pikiran Taruna. Meski usianya sudah renta, Bu Salma tak buta terhadap apa yang dirasakan oleh cucunya itu. Taruna berjalan dengan langkah cepat, wajahnya terlihat tegang, dan rahangnya mengeras seperti menahan sesuatu yang berat. Ada kemarahan yang jelas di balik setiap gerakannya."Taruna …." Bu Salma ingin memanggil, tetapi suaranya tertahan. Ia terlalu lemah untuk menghentikannya.Taruna terus melangkah keluar kamar, tatapannya lurus ke depan, dengan tangan yang mengepal kuat. Ia tak bisa lagi menahan perasaan sesak di dadanya. Neneknya yang dulu begitu dihormati dan dilindungi, kini terlupakan di rumahnya sendiri, membuat darahnya mendidih. Bagaimana mungkin mereka memperlakukan Bu Salma seperti ini? Neneknya tidak layak diabaikan dan ditempatkan di kamar yang begitu tak layak.“Dimana kamar tamu?” tanya Taruna dengan suara tegas, ma