Sontak, semua kepala menoleh ke sumber suara. Di sana, tampak seorang gadis kecil dalam seragam TK, dengan langkah kecilnya masuk ke rumah sambil menggandeng seorang wanita berparas ayu, dibalut hijab yang manis dan anggun. Senyumnya tenang, membawa kehangatan yang anehnya meredakan ketegangan di ruangan itu.
“Kok nggak ada yang jawab?” tanya Kayra, gadis kecil berwajah imut dengan hijabnya yang rapi, matanya yang besar menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu. “Waalaikumsalam,” jawab Bu Salma dengan senyum lembut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan. “Yuk, Bu Hilya. Katanya mau lihat Buyut,” ajak Kayra, dengan manis menarik tangan wanita berparas lembut di sampingnya. Wanita itu, Hilya, tampak ragu sejenak, langkahnya perlahan ketika mengikuti Kayra menuju nenek Taruna. Hilya tersenyum, menyapa dengan penuh hormat, “Assalamu'alaikum, Nek,” ucapnya sambil menyalami Bu Salma, sosok yang selama ini dihormatinya. “Waalaikumsalam, Bu Hilya,” jawab Bu Salma dengan senyum yang hangat, menatap Hilya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih sudah mengantar Kayra, Nak.” Taruna, yang berdiri tak jauh, memperhatikan semuanya dalam diam. Ada sesuatu yang berubah dalam tatapan neneknya. Pancaran mata Bu Salma saat melihat Hilya tampak berbeda, lebih lembut, dan hangat. Neneknya tampak bahagia melihat gadis itu. Hilya membalas tatapan itu dengan senyum tulus, sementara Kayra, yang polos dan ceria, berdiri di antara mereka, mempertemukan dua generasi dengan kehangatan yang sederhana. Taruna merasakan perasaan yang aneh di dadanya. Ada sesuatu yang manis di momen ini. Kehadiran Hilya dan Kayra membuat rumah yang dingin itu terasa lebih hangat. "Bu Hilya, terima kasih sudah mengantarkan Kayra. Saya rasa Ibu nggak ada kepentingan lagi, kan? Sebaiknya Ibu pulang. Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan," kata Sekar dengan nada datar, wajahnya pun tampak tak bersahabat. Suasana yang tadinya terasa hangat mendadak berubah dingin kembali. Hilya menelan ludah, merasa tak nyaman dengan cara Sekar bicara. Matanya mencari-cari arah lain, berusaha menjaga sopan santun meski hatinya sedikit tersinggung. "Oh, iya, Bu. Maaf kalau saya mengganggu. Kalau begitu, saya pamit," jawabnya pelan, berusaha tetap ramah meski suasana hatinya mulai tak karuan. Sesaat, tatapannya bertemu dengan mata Taruna. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Taruna hanya berdiri, menatap Hilya dengan mata yang menyiratkan perasaan aneh, namun tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Hilya tersenyum tipis, lalu beralih pada Bu Salma yang duduk di sampingnya. "Hilya pulang dulu ya, Nek," ucapnya lembut, sambil menggenggam tangan Bu Salma. Bu Salma balas menatap dengan pandangan penuh kasih sayang dan sedikit kesedihan. "Iya, Nak. Maaf ya," ucapnya, dengan nada yang nyaris berbisik. Ia merasa tak enak hati atas perlakuan Sekar, tapi terlalu lemah untuk membantah menantunya. Kayra yang berdiri di tengah, memandang Hilya dengan wajah kecewa. “Yah, kok cepat banget, sih, pulangnya, Bu Hilya? Katanya mau cerita-cerita sama Buyut,” keluh Kayra. Namun, sebelum Hilya bisa menjawab, Sekar langsung menarik tangan Kayra dengan kasar. “Kayra, ayo sama Oma. Ganti baju, terus makan. Habis itu tidur siang. Nanti Papa kamu marah kalau kamu main terus!” Sekar berbicara dengan nada tegas, tak peduli dengan protes kecil Kayra yang berusaha meraih Hilya lagi ketika dia menarik paksa tangan gadis kecil itu. Hati Hilya terasa berat saat mendengar tangisan Kayra yang memanggil namanya. Jeritan itu menghantam perasaannya, namun Hilya tahu, ini rumah Sekar. Sekar adalah orang yang lebih berhak atas Kayra. Ia mempercepat langkahnya, menahan diri agar tidak berbalik, meskipun hatinya ingin sekali menenangkan gadis kecil itu. Air mata Kayra membekas di ingatannya, tapi Hilya sadar, ini bukan tempatnya untuk ikut campur. Di dalam rumah, Bu Salma memandang penuh kasihan ke arah kamar Kayra. Jeritan gadis itu terdengar sangat menyayat hati. Wajahnya terlihat lelah dan sedih, tapi ia tahu, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Suwondo, sebagai suami Sekar pun tidak pernah menegur tindakan kasar Sekar terhadap cucu mereka. Seolah sikap keras itu adalah hal yang sudah biasa. Taruna, yang sedari tadi mengamati, dapat merasakan perasaan neneknya. Dia tahu betapa beratnya melihat cicitnya diperlakukan seperti itu. Namun, Taruna memilih fokus pada niatnya semula. Ia kembali menempelkan tangannya ke pegangan pintu kamar yang ingin dia buka, kamar yang katanya milik Sandi. “Kamu nggak boleh pakai kamar itu!” Suwondo, yang sejak tadi diam, kini bicara langsung kepada Taruna, suaranya tegas dan keras. Dia memandang Bu Salma sejenak. Tangan Taruna yang baru saja menyentuh gagang pintu, berhenti bergerak. Namun, sebelum Taruna sempat membalas, Bu Salma bicara, suaranya lembut namun penuh kebijaksanaan. “Nak, kita balik saja ke kamar tadi. Nenek nyaman di kamar itu,” katanya pelan, memilih untuk mengalah. Bu Salma tak ingin ada keributan lagi. Dia tahu betul, perdebatan lebih lanjut hanya akan menambah luka di hati semua orang. Taruna memandang neneknya, hatinya terasa perih. Dia tahu, itu hanya di bibir neneknya saja. “Bukan Taruna nggak mau nurut sama Nenek. Salah satu amanah Ibu, adalah menjaga Nenek, dan memastikan Nenek baik-baik saja. Nenek tetap pindah ke kamar ini,” kata Taruna. Taruna menatap Suwondo, tak gentar sedikitpun. Tatapannya seperti menantang. Apa Suwondo atau Sekar berani mencegahnya lagi?Taruna menghela napas panjang, tangannya gemetar saat ia mengeluarkan barang-barang Sandi dari kamar. Bajunya, sepatu-sepatunya, hingga foto-foto Sandi ia lempar ke lantai tanpa ampun. Hatinya terasa berat, tetapi sudah saatnya neneknya kembali di tempat yang seharusnya. Bukan di kamar pembantu yang lebih layak disebut gudang, karena Bu Salma tidur bersama tumpukan barang tak terpakai. Suwondo dan Sekar masuk, terkejut melihat kekacauan yang dibuat oleh Taruna di kamar putranya. "Apa yang kamu lakukan, Taruna?!" Suwondo langsung berteriak, suaranya bergetar penuh kemarahan. Wajahnya merah padam, sulit mempercayai apa yang dilihatnya."Taruna! Kamu gila? Ini kamar Sandi! Siapa yang memberi hak padamu untuk mengusirnya begitu saja?" Suara Sekar tinggi, nyaris pecah.Taruna tidak menoleh. Ia terus merapikan barang-barang Sandi ke dalam tas besar yang didapat di atas lemari. Sebagian dibiarkan berserakan di lantai.
Sandi baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja. Laki-laki berusia tiga puluhan itu keluar dari mobilnya dengan raut wajah lelah, tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada sebuah becak motor yang terparkir di halaman, dahinya mengernyit.“Becak siapa ini?” gumamnya heran.Tidak ingin berlarut-larut memikirkannya, Sandi berjalan cepat menuju pintu rumah. Ketika ia masuk, suara keributan terdengar dari lantai atas, tepatnya dari kamarnya. Suara yang tidak asing, tapi membuat alisnya naik.“Papa!” teriak Kayra, putri kecilnya, sambil berlari mendekat. Wajah gadis kecil itu memerah, matanya berkaca-kaca.“Oma jahat, Pa! Kayra nggak dibolehin main sama Buyut,” adunya dengan suara lirih, penuh emosi. Tangannya yang mungil menggenggam erat ujung baju Sandi, seolah memohon perlindungan.Sandi menunduk, sekilas menatap Kayra, namun pikirannya terganggu oleh suara keributan dari kamarnya. Ada sesuatu yang lebih mendesak untuk diperiksa.“Papa dengar nanti, ya,” katanya lembut, menepuk ke
Taruna terbangun ketika suara adzan berkumandang dari toa Mesjid yang berada di simpang jalan. Matanya terbuka perlahan, dan ia menoleh ke arah Bu Salma, neneknya, yang juga baru saja terjaga. Dengan tatapan penuh kasih, ia melihat wanita tua itu berusaha duduk di tepi ranjang. Tak banyak ingatan masa kecil tentang neneknya. Hanya satu yang diingat, cuma neneknya yang menerima keluarganya dengan tangan terbuka. Sayangnya, sikap otoriter kakeknya, memisahkan mereka.Pemuda berambut sebahu itu sengaja tidur di lantai kamar neneknya, beralaskan kasur lipat sederhana, demi memastikan Bu Salma selalu terjaga dan dibantu kapanpun dibutuhkan. Kondisi neneknya yang kian lemah membuatnya merasa wajib ada di sisinya, terutama di waktu-waktu seperti ini.“Nenek mau sholat?” tanyanya lembut, sambil duduk di samping neneknya.Senyuman tipis menghiasi wajah Bu Salma, menandakan semangat yang masih tersisa meski tubuhnya mulai renta. Ia mengangguk pelan, lalu berusaha berdiri dengan tangan berpegang
“Kayra cepat! Papa harus hadir di acara penting,” ujar Sandi sambil melirik jam di pergelangan tangannya, nada suaranya sedikit tegang.“Ikut Papa ya. Lain kali, biar Om yang antar, atau nanti pulangnya Om jemput,” Taruna mencoba membujuk lembut, berharap Kayra mau keluar dari kamar.Setelah ragu sejenak, akhirnya gadis kecil itu melangkah keluar dengan langkah perlahan, mengikuti papanya. Meski baru mengenal Taruna, Kayra merasa ada kehangatan dalam sikap pria itu yang membuatnya nyaman. Tak seperti papanya yang dingin dan tak acuh padanya. “Cepat!” tegas Sandi lalu jalan lebih dulu. Padahal Kayra berharap, Sandi mau menggenggam jemarinya. Gadis kecil itu memang kurang mendapat perhatian di rumahnya, padahal anggota keluarga di rumah itu lengkap, kecuali mamanya. Kayra tak pernah mengenal mamanya. Entah masih hidup atau sudah meninggal. “Nek, Taruna buatkan teh dulu ya. Setelah itu, kita jalan-jalan,” ucap Taruna lembut, sambil tersenyum penuh perhatian pada neneknya setelah Kayra
“Kamu ngintipin apa?” teguran Sekar mengejutkan gadis itu, membuatnya mundur selangkah. Matanya masih terfokus pada sosok Taruna. “Itu siapa, Ma?” tanya gadis itu sambil menunjuk Taruna, yang sudah bersiap di atas becaknya untuk membawa Bu Salma pergi. Sekar mendengus sinis. “Benalu!” ucapnya dingin. “Benalu? Maksudnya apa, Ma?” Gadis itu semakin bingung, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Taruna tampak tidak seperti orang jahat. “Dia itu benalu. Datang ke sini hanya untuk nuntut warisan dari Kakek. Dia pikir bisa menguasai semuanya,” jelas Sekar, berjalan kembali ke meja makan dengan langkah tergesa.Gadis itu terus mengikuti ibunya sampai ke dapur, rasa penasarannya semakin membuncah. “Tapi ... siapa dia sebenarnya, Ma? Kok bisa mau minta warisan? Kayaknya nggak pernah dengar tentang dia,” tanya gadis bernama Rere itu penasaran. "Sudahlah, tak usah bahas soal dia," sela Suwondo dengan wajah tegang, sambil meneguk teh panas di tangannya. Matanya menghindari tatapan anaknya.
Suasana pagi yang damai terasa begitu kontras dengan perasaan gugup yang menghinggapi hati Bu Salma. Wanita paruh baya berpakaian rapi keluar dari rumah besar di hadapan mereka, senyumnya lebar, namun ada kehangatan tersirat dalam sorot matanya.“Nak, kita sebaiknya pergi saja. Yang punya rumah sudah keluar,” bisik Bu Salma panik, suaranya gemetar. Takut mengganggu pemilik rumah megah tersebut. "Nggak apa-apa, Nek. Kita nggak akan lama. Taruna janji,” kata Taruna sambil menunjukkan senyum penuh arti. Satpam yang tadi ada di pos jaga, tampak berlari mendekati becak itu. “Saya bantu, Mas,” katanya. Ada kesan hormat terhadap Taruna dari suaranya. Bu Salma tertegun melihatnya. Setelah kursi roda disiapkan, Taruna langsung mengangkat tubuh lemah neneknya dengan penuh hati-hati. “Nek, tenang aja ya,” katanya sambil meletakkan Bu Salma ke kursi roda dengan lembut.“Kita mau ngapain di sini?” tanya Bu Salma masih kebingungan. “Nanti Nenek tau,” kata Taruna. Taruna mengangguk pada satpa
“Itu sekolah Kayra,” kata Bu Salma, sambil menunjuk sebuah bangunan berwarna cerah dengan papan nama bertuliskan ‘Taman Kanak-kanak Pelangi’.Taruna memperhatikan sekolah itu dari atas becaknya, matanya menyusuri taman bermain di halaman depan. Ada ayunan yang bergerak pelan tertiup angin. Jungkat-jungkit, juga perosotan berwarna cerah. “Biasanya kalau pulang, Kayra selalu diantar sama Hilya, gurunya di sekolah,” lanjut Bu Salma. Taruna menoleh, tertarik dengan nama yang disebutkan.“Rumah Hilya bersebelahan dengan rumah Nenek, tapi terhalang tembok tinggi. Kalau dari lantai dua, baru kelihatan,” jelas Bu Salma sambil tersenyum tipis.Hilya. Nama itu langsung membangkitkan memori Taruna, tentang gadis berhijab yang kemarin datang mengantar Kayra pulang. Tatapan matanya yang tenang, senyumnya yang sederhana namun memikat, dan cara ia berbicara yang penuh kelembutan, terngiang kembali di benaknya.Taruna merasakan sesuatu bergetar dalam hatinya. Apakah ini hanya kesan singkat, atau ad
Beberapa hari berlalu, tanpa rintangan yang begitu berarti. Tak ada yang berani mengusik Taruna. Hubungan antara Taruna dengan Hilya juga semakin dekat. Taruna selalu menemukan cara agar bisa dekat dengan Hilya. “Nek, kira-kira malam ini, Nenek mau Hilya datang ke sini apa nggak?” tanya Taruna pelan, seraya duduk di teras bersama Bu Bu Salma, sore ini.Bu Salma menoleh, matanya menyipit, menatap cucunya penuh tanya. “Mau apa?” Taruna terdiam sejenak, memainkan ujung baju kaosnya. “Ya, nemani Nenek ngobrol. Barangkali Nenek bosan sendirian,” katanya.Bu Salma tersenyum tipis, menunduk sebentar, lalu menatap cucunya lagi. “Bukan Nenek yang bosan, kayaknya kamu yang ingin jumpa.”Taruna langsung menggaruk rambutnya yang tak gatal, mencoba menyembunyikan rasa malu di balik senyum lebar yang muncul di wajahnya. “Kalau kamu suka sama dia, langsung aja bilang. Mumpung dia juga masih sendiri. Jangan sampai keduluan orang lain,” kata Bu Salma, suaranya lembut tetapi seolah menantang Taruna
“Gimana, kamu berhasil bikin Hilya batal nerima lamarannya Bunga?” tanya Sandi penuh harap pada adiknya.“Gagal,” gumam Rere dengan wajah kesal.“Gagal? Kok bisa?” Sandi tampak kecewa.“Aku udah nyoba jebak Taruna, bilang kalau aku hamil,” jawab Rere dengan nada lemah.“Apa? Kamu gi la?” Sandi terperangah mendengar rencana itu.“Hanya itu cara supaya Hilya nggak jadi lamar dia,” jelas Rere, berusaha membenarkan tindakannya.“Tapi, kalau berhasil, kamu malah bakal dinikahin sama Taruna.”“Itu kan yang aku mau,” sahut Rere tegas. “Tapi rencanaku berantakan.”“Berantakan gimana?”“Nenek ternyata lebih cerdas dari yang aku kira. Dia tahu aku bohong, Taruna nggak ada hubungannya sama ini,” kata Rere, menunduk lesu.Sandi terdiam sesaat sebelum bertanya dengan suara rendah, “Tunggu ... maksudmu, kamu beneran hamil?”Rere mengangguk pelan, lalu menyandarkan tubuhnya di sofa, menghela napas panjang.“Sama siapa?” selidik Sandi. “Ridho lah, siapa lagi?”“Kamu kok bisa sesantai ini? Kamu harus
"Kehamilan kamu sehat," kata dokter andrian. Seketika mata Taruna membeliak mendengarnya. Begitu juga dengan Bunga.'Apa? Aku beneran hamil?' batinnya. Rere mencoba mengatur napasnya yang sempat tertahan mendengar ucapan dokter. Wajahnya menunjukkan keterkejutan yang hampir tak bisa disembunyikan. Namun, ia segera menguasai diri, memasang ekspresi datar untuk menyempurnakan kebohongannya. Dalam hati, ia masih berusaha mencerna kenyataan bahwa dirinya benar-benar hamil.Taruna, yang sedari tadi berdiri dengan tenang, kini melangkah mendekat. Wajahnya menjadi terlihat gusar. “Apa maksud dokter?” tanyanya dengan wajah bingung. Dokter Andrian menatap Taruna dengan tenang, lalu mengangguk pelan. “Mbak Rere memang hamil. Dari hasil pemeriksaan USG, usia kehamilannya sekitar enam minggu,” jelasnya. “Kehamilannya dalam kondisi sehat, meskipun perlu dipastikan untuk kontrol rutin ke depannya.”Taruna menelan ludah. Ia memalingkan wajah sejenak, seolah mencari udara segar di tengah ruangan
‘Mati aku, kalau sampai diperiksa’ katanya dalam hati. “Gimana? Mau kan?” tanya Bu Salma. Bu Salma memberi kode pada asisten rumah tangga untuk mendorong kursi rodanya agar mendekat pada Rere dan Taruna. Setelah dekat, Bu Salma memberi kode untuk berhenti. “Nenek nggak percaya sama Rere?” tanya Rere, mulai dengan akting menangisnya. “Bukan Nenek nggak percaya, Nenek hanya mau semua jelas,” kata Bu Salma dengan tegas. “Sama aja, Nenek nggak percaya sama Rere. Nenek tega. Padahal, selama ini Rere nggak pernah jahat sama Nenek. Pasti Nenek mau membalas kami kan,” kata Rere mulai menangis. “Kamu kok malah ngelantur ngomongnya. Nenek hanya mau semua jelas. Nenek yakin, kalau benar kamu hamil, Taruna pasti akan tanggung jawab,” kata Bu Salma. Rere menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri di tengah desakan emosinya. Matanya memandang Bu Salma yang tetap tenang, meski ucapan tegasnya seolah menelan jangi kebohongan Rere.“Nenek nggak ngerti,” kata Rere dengan suara bergetar. “R
“Pakde, Bude, Taruna ingin melamar Hilya malam Minggu nanti. Taruna harap, Pakde sama Bude mau menemani,” kata Taruna pagi ini pada Suwondo dan Sekar. Dia sengaja datang pagi bersama Bu Salma agar bisa bertemu semua anggota keluarga. Hanya Rere yang tak ada, seperti biasa, dia lebih suka tinggal di kamar yang ada di restoran. Sandi yang juga ada di tempat itu, terkejut mendengar Taruna ingin melamar Hilya. Padahal, Hilya adalah gadis incarannya. Wajahnya berubah panik, apalagi saat Sekar melihatnya. “Kenapa mendadak?” tanya Suwondoa. “Taruna tak mau berlama-lama. Lagipula niat baik harus segera dilaksanakan,” jawab Taruna. “Tapi semua butuh persiapan,” kata Sekar. Raut wajahnya tampak judes, seperti biasa. “Kamu tenang aja, semua sudah ada yang urus. Taruna bicara sama kalian, karena menganggap kalian keluarganya,” kata Bu Salma. Sekar tak menanggapi. “Bisa kan, Pakde?” tanya Taruna. “Bisa,” kata Suwondo akhirnya setelah mempertimbangkan. Sandi sangat tak suka, tetapi dia tak
Beberapa hari berlalu, keadaan masih sangat canggung. Terutama Sekar yang masih belum bisa menerima kenyataan. Dia lebih banyak berdiam diri di kamarnya. Sandi dan Rere juga tetap mengelola restoran seperti biasa, meskipun sekarang mereka harus memberikan laporan rutin pada Taruna. Taruna juga memutuskan membawa Bu Salma untuk tinggal bersamanya, dan membiarkan keluarga Suwondo menempati rumah kakeknya. Setelah selesai memimpin rapat direksi di perusahaan, Taruna bergegas ke sekolah Kayra. Dia sudah janji pada gadis kecil itu untuk menjemputnya, sekaligus ingin menemui Hilya. Taruna naik mobil sport yang sudah diparkir di halaman perusahaan, melaju menuju sekolah Kayra.Sesampainya di sekolah, Taruna melihat Kayra sedang berdiri di depan gerbang, menunggu dengan wajah ceria. Tanpa ragu, ia melangkah keluar dan menyapa Kayra, yang langsung berlari menghampirinya.“Om Ganteng,” seru gadis kecil itu. Taruna segera menggendong keponakannya itu. “Om, kok Om Ganteng pake jas?” tanya K
“Bapakmu tau, keserakahanmu. Berulang kali kamu mau mencelakai Gendis, itu sebabnya, Bapak menjauhkan Gendis dari keluarga ini, agar dia aman. Kamu sangka, Bapak nggak memantau Gendis dari jauh. Suami Gendis itu pekerja keras. Semua terbukti, saat Bapak meminta temannya membantu Ayah Taruna. Ayahnya berhasil bangkit dan menjadi seorang pengusaha sukses, yang sekarang perusahaannya diwariskan pada Taruna.”Ruangan itu menjadi hening setelah Bu Salma mengatakan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa selama ini Suwondo bukan anak kandung Bu Salma dari pernikahan resmi ditambah kenyataan kalau ternyata sejak lama orang tuanya tau apa yang dia lakukan, membuatnya merasa kehilangan pijakan. Dia memegangi dadanya yang masih terasa sesak.Taruna, yang sejak tadi tenang, berdiri di samping neneknya, Bu Salma. Ia menatap Suwondo dengan pandangan tajam, tapi tidak ada tanda-tanda kebencian. Sebaliknya, ada rasa kasihan di matanya. Bagaimana juga, sejak Suwondo bayi, dia lah yang mengurus. Suwondo bes
Semua wajah orang yang berkumpul di ruang tamu tampak tegang, terutama Suwondo, Sekar dan anak-anaknya. Tampak seorang laki-laki yang merupakan pengacara ada di antara mereka. “Ibu sengaja mengumpulkan semuanya di sini, untuk membicarakan pembagian harta warisan,” kata Bu Salma. “Apa lagi yang mau dibagi, Bu? Anak Bapak sama Ibu kan cuma Mas Suwondo. Sejak Gendhis pergi, Bapak sudah tidak lagi menganggapnya anak.” Sekar tampak gusar dan menutupi kegusaran hatinya dengan protes. “Tidak menganggapnya anak, bukan berarti Gendis bukan anak kami. Bapak hanya sedang emosi. Buktinya, Bapak tak pernah bilang kan, kalau nama Gendis dihapus dari ahli waris?” Perkataan Bu Salma membuat wajah Sekar melengos. “Bapak sudah bilang akan memberikan restoran buat Wondo, Bu,” kata Suwondo mencoba agak melunak karena aada pengacara yang menilai perilaku mereka. “Kamu dengar aja dulu, apa yang akan disampaikan sama Pak Jaya. Jangan ngomong terus. Ibu ini sudah tua, Ibu nggak mau, kalau nanti Ibu meni
“Hilya, tukang becak mana yang dimaksud Sandi tadi?” tanya Ayah Hilya setelah tamunya yang beradab pulang. Hilya menelan ludah. Takut ayahnya akan marah. “Apa Taruna?” tanya Ibu Hilya yang pernah melihat Taruna membawa becak motor. “Ayah nggak melarang kamu berteman dekat sama siapa aja. Tapi kalau bisa jangan ada yang berhubungan dengan keluarga mereka. Apalagi sama Taruna, kamu bisa makan hati kalau berurusan sama keluarga mereka. Ayah bukan memandang Taruna sebelah mata, tapi kamu anak kami satu-satunya, kami nggak mau nanti melihat hidupmu menderita.” Hilya hanya bisa termangu mendengar nasehat ayahnya. Sebagai tetangga sebelah rumah, tentunya keluarga Hilya juga tau mengenai sepak terjang keluarga Suwondo. ~~~~~“Pa, semua aset Nenek kalo bisa segera diganti ke nama kita. Papa udah janji kan, kalau dua restoran buat Sandi,” kata Sandi pada Suwondo ketika mereka di ruang khusus di restoran. “Tapi nenekmu belum mau tanda tangan,” ucap Suwondo. “Kenapa sih Nenek suka sekali m
"Itu anaknya sudah pulang," kata Ibu Hilya dengan nada lembut ketika suara motor Hilya terdengar memasuki halaman.Sandi, yang sejak tadi duduk menunggu dengan canggung, tak bisa menahan senyum malu-malu. Hatinya berdebar-debar berharap Hilya akan menerima pinangannya. "Assalamualaikum.” Terdengar suara Hilya mengucap salam. Saat melangkah masuk, Hilya sedikit terkejut melihat Sandi, bersama kedua orang tuanya, duduk di ruang tamu rumahnya.Ini jelas tak biasa. Meski rumah mereka berdekatan, namun kunjungan seperti ini jarang terjadi. Ada aura yang berbeda hari ini, dan itu membuat jantung Hilya berdebar apalagi dia melihat senyum Sandi semakin tak bisa disembunyikan.Tanpa perlu disuruh, Hilya langsung menghampiri dan menyalami Suwondo dan Sekar dengan sopan.“Hilya masuk dulu ya, Om, Tante,” ucap Hilya dengan senyum ramah, mengira kunjungan tetangga mereka hanya untuk urusan dengan orang tuanya.Namun sebelum ia sempat berbalik, suara ayahnya menghentikannya. “Duduk dulu, Hilya,” k