Share

6

Sontak, semua kepala menoleh ke sumber suara. Di sana, tampak seorang gadis kecil dalam seragam TK, dengan langkah kecilnya masuk ke rumah sambil menggandeng seorang wanita berparas ayu, dibalut hijab yang manis dan anggun. Senyumnya tenang, membawa kehangatan yang anehnya meredakan ketegangan di ruangan itu.

“Kok nggak ada yang jawab?” tanya Kayra, gadis kecil berwajah imut dengan hijabnya yang rapi, matanya yang besar menatap sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu.

“Waalaikumsalam,” jawab Bu Salma dengan senyum lembut, memecah keheningan yang sempat menyelimuti ruangan.

“Yuk, Bu Hilya. Katanya mau lihat Buyut,” ajak Kayra, dengan manis menarik tangan wanita berparas lembut di sampingnya. Wanita itu, Hilya, tampak ragu sejenak, langkahnya perlahan ketika mengikuti Kayra menuju nenek Taruna.

Hilya tersenyum, menyapa dengan penuh hormat, “Assalamu'alaikum, Nek,” ucapnya sambil menyalami Bu Salma, sosok yang selama ini dihormatinya.

“Waalaikumsalam, Bu Hilya,” jawab Bu Salma dengan senyum yang hangat, menatap Hilya dengan penuh kasih sayang. “Terima kasih sudah mengantar Kayra, Nak.”

Taruna, yang berdiri tak jauh, memperhatikan semuanya dalam diam. Ada sesuatu yang berubah dalam tatapan neneknya. Pancaran mata Bu Salma saat melihat Hilya tampak berbeda, lebih lembut, dan hangat. Neneknya tampak bahagia melihat gadis itu.

Hilya membalas tatapan itu dengan senyum tulus, sementara Kayra, yang polos dan ceria, berdiri di antara mereka, mempertemukan dua generasi dengan kehangatan yang sederhana. Taruna merasakan perasaan yang aneh di dadanya. Ada sesuatu yang manis di momen ini. Kehadiran Hilya dan Kayra membuat rumah yang dingin itu terasa lebih hangat.

"Bu Hilya, terima kasih sudah mengantarkan Kayra. Saya rasa Ibu nggak ada kepentingan lagi, kan? Sebaiknya Ibu pulang. Ada urusan keluarga yang harus diselesaikan," kata Sekar dengan nada datar, wajahnya pun tampak tak bersahabat. Suasana yang tadinya terasa hangat mendadak berubah dingin kembali.

Hilya menelan ludah, merasa tak nyaman dengan cara Sekar bicara. Matanya mencari-cari arah lain, berusaha menjaga sopan santun meski hatinya sedikit tersinggung.

"Oh, iya, Bu. Maaf kalau saya mengganggu. Kalau begitu, saya pamit," jawabnya pelan, berusaha tetap ramah meski suasana hatinya mulai tak karuan.

Sesaat, tatapannya bertemu dengan mata Taruna. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Taruna hanya berdiri, menatap Hilya dengan mata yang menyiratkan perasaan aneh, namun tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya.

Hilya tersenyum tipis, lalu beralih pada Bu Salma yang duduk di sampingnya. "Hilya pulang dulu ya, Nek," ucapnya lembut, sambil menggenggam tangan Bu Salma.

Bu Salma balas menatap dengan pandangan penuh kasih sayang dan sedikit kesedihan. "Iya, Nak. Maaf ya," ucapnya, dengan nada yang nyaris berbisik. Ia merasa tak enak hati atas perlakuan Sekar, tapi terlalu lemah untuk membantah menantunya.

Kayra yang berdiri di tengah, memandang Hilya dengan wajah kecewa. “Yah, kok cepat banget, sih, pulangnya, Bu Hilya? Katanya mau cerita-cerita sama Buyut,” keluh Kayra.

Namun, sebelum Hilya bisa menjawab, Sekar langsung menarik tangan Kayra dengan kasar.

“Kayra, ayo sama Oma. Ganti baju, terus makan. Habis itu tidur siang. Nanti Papa kamu marah kalau kamu main terus!” Sekar berbicara dengan nada tegas, tak peduli dengan protes kecil Kayra yang berusaha meraih Hilya lagi ketika dia menarik paksa tangan gadis kecil itu.

Hati Hilya terasa berat saat mendengar tangisan Kayra yang memanggil namanya. Jeritan itu menghantam perasaannya, namun Hilya tahu, ini rumah Sekar. Sekar adalah orang yang lebih berhak atas Kayra. Ia mempercepat langkahnya, menahan diri agar tidak berbalik, meskipun hatinya ingin sekali menenangkan gadis kecil itu. Air mata Kayra membekas di ingatannya, tapi Hilya sadar, ini bukan tempatnya untuk ikut campur.

Di dalam rumah, Bu Salma memandang penuh kasihan ke arah kamar Kayra. Jeritan gadis itu terdengar sangat menyayat hati. Wajahnya terlihat lelah dan sedih, tapi ia tahu, tidak banyak yang bisa dia lakukan. Suwondo, sebagai suami Sekar pun tidak pernah menegur tindakan kasar Sekar terhadap cucu mereka. Seolah sikap keras itu adalah hal yang sudah biasa.

Taruna, yang sedari tadi mengamati, dapat merasakan perasaan neneknya. Dia tahu betapa beratnya melihat cicitnya diperlakukan seperti itu. Namun, Taruna memilih fokus pada niatnya semula. Ia kembali menempelkan tangannya ke pegangan pintu kamar yang ingin dia buka, kamar yang katanya milik Sandi.

“Kamu nggak boleh pakai kamar itu!” Suwondo, yang sejak tadi diam, kini bicara langsung kepada Taruna, suaranya tegas dan keras. Dia memandang Bu Salma sejenak.

Tangan Taruna yang baru saja menyentuh gagang pintu, berhenti bergerak.

Namun, sebelum Taruna sempat membalas, Bu Salma bicara, suaranya lembut namun penuh kebijaksanaan.

“Nak, kita balik saja ke kamar tadi. Nenek nyaman di kamar itu,” katanya pelan, memilih untuk mengalah. Bu Salma tak ingin ada keributan lagi. Dia tahu betul, perdebatan lebih lanjut hanya akan menambah luka di hati semua orang.

Taruna memandang neneknya, hatinya terasa perih. Dia tahu, itu hanya di bibir neneknya saja.

“Bukan Taruna nggak mau nurut sama Nenek. Salah satu amanah Ibu, adalah menjaga Nenek, dan memastikan Nenek baik-baik saja. Nenek tetap pindah ke kamar ini,” kata Taruna.

Taruna menatap Suwondo, tak gentar sedikitpun. Tatapannya seperti menantang. Apa Suwondo atau Sekar berani mencegahnya lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status