“Kau sudah mendapatkan informasinya?” tanya seorang pria dengan kharisma yang sangat luar biasa hebat itu kepada asistennya yang sedari tadi mengiringi langkahnya di pelataran hotel berbintang tujuh tersebut.
“Sudah Tuan, istri Anda … tercatat pernah melahirkan empat bayi kembar yang sangat manis. Tapi …“ Ucapan asistennya itu terhenti seketika seolah bimbang meneruskan kalimatnya.
“Tapi apa?” ucap pria di depannya sambil menghentikan langkah demi mendengar kalimat berikutnya dari sang asisten. Tubuh tegap itu membuat siapapun yang berada di sekelilingnya seolah tengah menghadapi kematiannya.
Desiran angin kemudian menyapu pelataran tersebut dengan sangat kencang, sementara suasana mendadak senyap di sekeliling hotel tersebut. Di luar sana, sejumlah prajurit terbaik negera ini telah merancang agar langkah pria ini tak terganggu lalu lalang lainnya.
“Tapi … tidak ada informasi apapun setelah data kelahiran tersebut. Dan, istri Anda diketahui masih berada di alamat semula,” ucap asisten yang diketahui bernama Bob tersebut akhirnya menyelesaikan kalimatnya.
“Tidak ada informasi setelahnya?” gumam pria dengan mata setajam elang tersebut sambil meneruskan langkahnya.
Bukan hanya koridor dan pelataran hotel yang mendadak lengang, tapi kini jalanan di ibukota Muloz pun mendadak sunyi dan lengang. Padatnya lalu lintas yang biasa terjadi mendadak tak terlihat.
Bugatti Noire yang dikendarai Bob dengan membawa Andrew bersamanya, kini melesat di jalanan dengan tanpa hambatan. Bahkan, setiap persimpangan jalan yang dilaluinya kini tak satupun menyalakan lampu merahnya, sehingga dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba di alamat yang ditujunya.
Tetesan air dari daun maple menyambut kedatangan Andrew. Meski awan kelabu masih menggantung, itu tidak menyurutkan niat Andrew untuk pulang ke rumahnya. Rumah sederhana yang tujuh tahun lalu ditinggalkannya.
Sekelebat bayangan wanita cantik memenuhi benaknya, membuat Andrew tersenyum-senyum sendiri.
“Pergilah Bob,” ucap Andrew kepada sopirnya yang segera mengangguk sebelum kemudian membawa pergi Bugatti Noire edisi terbatas yang ditumpanginya itu.
Langkah Andrew sempat terhenti ketika rumah sederhana yang sangat diingatnya itu kini telah berubah jauh lebih baik.
‘Ayunan yang sama,’ batin Andrew saat matanya menangkap sebuah ayunan kayu masih tergantung kokoh di depan rumah tersebut.
“Kau? Menantu tak berguna yang tak becus! Untuk apa kau datang lagi kesini?” teriak seorang wanita paruh baya langsung menyambutnya.
“Ibu, aku … “ ucap Andrew terjeda.
“Ibu? Beraninya kau mengatakan hal itu? Aku bukan ibumu dan tidak akan pernah sudi menjadi ibumu! Dengar Andrew, sebaiknya kau pergi jauh seperti tujuh tahun ini, pergi yang jauh karena pria hina sepertimu tidak akan pernah pantas untuk putriku!” ucap wanita bernama Mathia itu dengan kilatan dingin di wajahnya menatap Andrew dengan penuh kebencian.
Andrew tak bergeming. Di masa lalu pun, hinaan seperti ini adalah makanan sehari-hari untuknya. Andrew yang belum mendapatkan pekerjaan dan hidup menumpang dirumah kedua orang tua Celline setelah pernikahannya ini selalu menjadi bulan-bulanan keluarga tersebut. Tentu saja, semua sikap buruk itu dilakukan secara diam-diam di belakang Celline.
“Ibu, aku datang untuk menemui Celline,” ucap Andrew tanpa memperdulikan tatapan merendahkan dari sang ibu mertua yang sedari tadi menghunusnya.
“Kau masih bersikeras? Dasar menantu tak berguna! Kau datang dengan tangan kosong seperti itu untuk menemui Celline? Jangan pernah bermimpi!” ucap Mathia sambil langsung menutup pintu rumahnya dan juga semua jendela rumah tersebut.
Andrew tetap berdiri di tempatnya, dia tak akan beranjak sampai bertemu dengan Celline-sang istri.
Hujan mendadak turun dengan lebatnya. Andrew baru saja akan naik ke teras saat sebuah Rubicon masuk ke pelataran rumah tersebut.
Segudang tanya memenuhi benak Andrew saat ini.
“Sayang, masuklah dengan Dylan. Biar Ayah yang mengurus bajingan ini,” ucap seorang pria paruh baya kepada wanita cantik bertubuh sexy yang saat ini baru saja turun dari mobil bersamanya.
“Celline,” panggil Andrew kepada wanita yang tidak lain adalah Celine-sang istri yang lima tahun lalu ditinggalkannya.
“Ayo honey,” ucap seorang pria yang baru saja turun dari kursi kemudi langsung menarik tangan Celine dan menggenggam erat wanita itu sambil melangkah masuk menuju bagian dalam rumah dimana Mathia sudah membuka pintu rumahnya.
Andrew bergeming, dia hendak melangkah menyusul Celline tapi sebuah tangan menariknya.
“Jangan membuatku kehilangan kesabaran! Kalian sudah bercerai, jadi … pergilah jauh-jauh dari putriku. Dia akan segera berbahagia dengan lelaki pilihan kami, akhirnya aku bisa benar-benar mengenyahkanmu dari hidup putriku!” ucap Tom dengan kilatan dingin yang sangat menusuk menatapnya.
“Ayah, aku tidak pernah menceraikan Celline,” ucap Andrew tak mengerti. Keningnya mengkerut sempurna dipenuhi tanya.
“Wah Wah Wah, jadi … selain kau sangat pandai mempermalukan keluargaku dengan pekerjaan serabutanmu itu, kini kau juga sudah pandai memanipulasi rupanya?” kekeh Tom sambil mendengus kesal.
Andrew semakin bingung. Dia memang dia tidak pernah menandatangani surat cerai dengan Celline selama ini meski dia menyadari jika tujuh tahun bukan waktu yang sebentar untuk dia pergi.
Dan sekarang, pertanyaan lain muncul di benaknya mengenai sosok lelaki yang baru saja masuk bersama Celline.
“Tom! Singkirkan saja sampah itu, cepatlah kemari Tom, calon menantu kita sudah menyiapkan empat puluh milyarnya!” teriak Mathia dari dalam rumah terdengar sangat jelas di antara hujan yang masih mengguyur.
“Baik sayang, tunggu sebentar,” ucap Tom kepada Mathia.
Kini dua pasang mata lelaki yang berada di halaman rumah Abellard ini saling bersitegang.
“Enyahlah dari kehidupan kami, lelaki sampah! Kau memang sudah sepatutnya berada di jalanan sebagaimana asalmu sebelumnya. Memakan sampah dan dihina semua orang. Dua hari lagi Celline akan segera menikah dan melupakanmu. Akhirnya dia menyadari jika kau tak lebih dari kutu busuk yang menggerogoti hidupnya. Lihat dirimu, kau semakin berantakan dengan luka-luka di tubuhmu ini … Kau lebih tepat menjadi anjing di jalanan yang berburu bangkai dan kotoran. Sangat jauh berbeda dengan Dylan. Dia adalah sosok yang sangat tepat untuk putriku, dia lelaki terhormat yang mapan dan juga sangat kaya yang sanggup membahagiakan kami semua. Kau dengar tadi, empat puluh milyar saja hanya uang receh untuknya, ha … ha … ha … ini undangan yang sudah kami sebar!“ ucap pria itu sambil terkekeh dengan sangat bangga. Pria itu melenggang melalui Andrew sambil mengibaskan sedikit payungnya hingga membaret kening Andrew dan melukainya.
Tapi Andrew tak bergeming. Luka di keningnya tak seberapa dibandingkan dengan luka di hati akibat hinaan dari ayah mertuanya itu.
'Tidak mungkin,' batin Andrew sambil mengepalkan kedua tangannya. Dia membuka undangan di tangannya diantara derasnya hujan. Nama Celline dan juga Dylan tertera dengan sangat jelas di sana.
Sejurus kemudian, tatapan Andrew berujung pada empat sepeda anak berwarna-warni yang terparkir dengan ditutupi terpal pada sudut garasi.
'Empat sepeda anak kecil?’ batinnya.
Andrew kemudian mengangkat wajahnya memandang ke arah lantai atas rumah dimana seharusnya kamar Celline berada.
Tepat disaat yang bersamaan, tirai jendela menutup dengan sangat cepat, seseorang di sana menutupnya mendadak karena tak ingin ketahuan oleh Andrew.
‘Celline,’ batin Andrew sambil terus memandangi ke arah atas di mana siluet tubuh sang istri terlihat jelas di balik tirai yang menutup tadi.
“Apakah seratus miliar cukup untuk membuatmu menghentikan pernikahan Celline?” ucap Andrew sambil meremas undangan di tangannya. Tapi Tom tak menggubrisnya, pria itu terus melangkah meninggalkannya.
“Apakah seratus miliar cukup?” ucap Andrew mengulangnya dengan suara yang semakin menggelegar.
Suara bariton Andrew terdengar sangat menyentak membuat langkah Tom terhenti seketika.
Tom mendecih.
“Menantu sampah! Jangan membuang waktuku dengan bualanmu! Kau kira aku bercanda? Darimana lelaki miskin sepertimu akan mendapatkan uang sebanyak itu, Hahh?” ucap Tom dengan rahang mengeras balik menyentak.
Hujan yang mulai reda membuat suara keduanya semakin jelas terdengar.
Dinginnya udara tak terasa lagi berkat atmosfer panas yang tercipta dari keruhnya emosi kedua lelaki tersebut.
“Aku akan membawakan seratus milyarnya padamu, tapi jika pernikahan itu tetap digelar … kau akan menanggung konsekuensinya Tom!” ucap Andrew sambil melenggang pergi meninggalkan pria tersebut yang kini berdiri mematung diliputi hawa dingin yang aneh yang membuatnya bergidik ngeri ketakutan.
Tom terus memandangi sang menantu yang entah kenapa aura tubuhnya terasa sangat berbeda sekali. Sesuatu di dalam diri Andrew terasa begitu menciutkan nyalinya.
Komen