Estefany Reine kecewa dengan lelaki yang dia sukai karena memilih bertunangan dengan gadis lain. Di saat yang sama, Fany menghadapi perjodohan yang tidak dia inginkan. Adrian Bened, adik dari lelaki yang pernah Fany sukai, maju menggantikan peran Kakaknya dan berusaha mengisi kekosongan dalam hati Fany. Ketika cinta mulai bersemi, Alex, calon menantu pilihan Ibunya Fany berusaha memisahkan mereka. Seakan belum cukup rintangan, masa lalu Adrian mulai terbuka dan misteri masa lalu datang menjadi jurang pemisah di antara Fany dan Bened. Apa pilihan mereka akan rintangan cinta?
View MoreMobilku berenang di jalan penuh lautan cahaya kawasan pantai Manhattan, California. Aku tidak sendiri, dia bersamaku di kursi sebelah. Tiada musik selain suaranya.
"Kau tahu, Kakakmu benar-benar menyebalkan. Bagaimana mungkin dia melakukan hal ini kepadaku di malam spesial kami. Dia lebih memilih jalang itu ketimbang diriku. Kau dengar Adrian?"
"Dia bukan jalang, dia Estefany Reine dan yeah, Alfred memang idiot." Kau yang jalang, wanita sialan. Percuma, dia tak mendengar dan terus berkicau seperti burung beo baru bisa bicara.
Sesekali aku mengamati wajahnya yang seperti barbie. Bibir sensual, mata kecil beralis lentik indah, hidung mancung, wajah tirus nan menawan. Alfred sialan, kau sungguh beruntung mengenal gadis ini dan begitu tolol untuk tidak membawanya keranjang, malah menyuruhku mengantarnya pulang ke apartemen.
Sambil mengemudi mobil aku mengangguk merespon semua keluh kesalnya sembari sesekali memberi respon. "Ya, kau benar. Alfred memang tolol." Respon sama untuk kelima kalinya.
Tapi sesekali ucapan si blonde menyayat hati, seperti sekarang. "Gara-gara dia aku terpaksa naik mobil tua karatan!" Dia menendang dashboard hingga pintu terbuka, menumpahkan air dalam botol membasahi gaun malam satin hitamnya.
Aku melambatkan mobil menepi ke bahu jalan. Menoleh ke arahnya. "Kau tak apa-apa?" Awas saja kalau sampai dashboard-ku rusak. Aku buang dia ke laut.
"Urggh! Apa perlu kujawab?" Dia mengangkat tangan dengan jijik meratapi bagian bawah gaun dan paha mulusnya. "Lihat gaun mahalku, rusak karena air!"
"Malam yang menyebalkan." Aku beri sedikit senyum untuknya, kembali memacu mobil. Itu bir murah yang kusimpan untuk cadangan kala haus. "Mau ke bar, minum-minum sedikit sebelum pulang ke apartemen?"
Dadanya membesar lalu kempes mendadak. Jari-jarinya memijat pelipis. Aku yakin malam ini benar-benar malam istimewa untuknya dan Kakakku, tapi hancur karena kehadiran Fany. Kasihan gadis ini dan mubazir jika Sang sosialita menganggur malam ini.
Aku mengambil sapu tangan hitam yang kontras dengan kulit putih pahanya, mengusap lembut noda air di sana. Tiada perlawanan darinya, membuatku semakin berani mengelus semakin naik ke atas hingga gaun sedikit terangkat. Dia sadar, mengusir tanganku.
Aku beri saran baginya. "Bagaimana dengan pub di depan apartemenku? Kita bisa minum-minum sampai pagi."
"Baiklah, badboy, kau menang. Malam ini, buat aku melayang ke angkasa, ok."
"Akan kubuat kau melayang ke surga."
Wanita selalu memberi kode yang bertentangan. Tadi dia menolak, sekarang dengan tawa nakalnya pertanda jika dia menginginkannya juga. Mungkin marah membuat otaknya terganggu, atau hatinya kalut, terserah, bukan urusanku.
Terus terang bukan hanya dia yang terendam dalam api amarah dengki, aku pun ingin menggilas Alfred memakai traktor. Aku pikir malam ini akan menjadi akhir hubungannya dengan Fany, nyatanya malah menjadi babak baru.
Ketika dua insan dilanda kecewa, sedikit bir dan ketabahan telinga pria mendengar curhat kesal, akan berakhir dengan surga dunia. Itu yang biasanya terjadi dan sedang aku usahakan untuk terjadi.
Mobilku berhenti di depan apartemen, kami menyeberang masuk pub, menghabiskan tiga brandi lalu masuk ke apartemen.
"Adrian, apa ini akan baik-baik saja? Maksudku, kamu adik kandung Alfred, ini bisa menjadi--"
"Skandal memacu adrenalin sayang, kujamin rasanya akan berkali-kali lebih nikmat."
"Tapi ... tidak, lebih baik kita batalkan saja Ad, ayo, antar aku pulang sekarang juga. Mumpung ini belum terlambat."
Aku genggam jari-jari lentik berkuku merah delima, membimbing guna meraba perutku, lalu kupandu naik ke dada, ke pipi. "Jika kau mundur, tiada kesempatan kedua untuk mencoba hubungan ini. Kamu sangat cantik hingga membuat bidadari malu, kamu terlalu berharga untuk disakiti. Aku tidak tega melihatmu menangis, ijinkan aku menghiburmu malam ini, bidadari tanpa sayap."
Jarinya bergetar. Senyum tulus menyeruak ketika pipinya perlahan memerah seperti plum. "Tapi--"
Aku tertunduk menyembunyikan netra, melepas tangannya, lalu menggapai jari tangan lain, memberi elus penuh harap. "Baiklah, ayo kuantar--"
Dia menjawab, "Nah, kau benar. Jika dia bisa bersama jalang itu, kenapa aku tidak bisa bersamamu?"
"Namanya Fany, bukan jalang." Aku buka pintu apartemen menggandengnya masuk ke sarang cintaku. "Semua akan baik-baik saja. Kita akan ke surga dunia, sayang."
"Bagaimana jika Kakakmu tahu?"
"Ini akan menjadi rahasia kecil kita, sayang." Sambil menutup pintu kuyakinkan dia. "Alfred sedang bersama Fany. Apa kau tidak ingin bersamaku?"
"Bukan, bukan begitu. Tapi kamu tahu kan, aku dan Kakakmu sudah--"
Persetan dengan semua itu. Aku desak badannya dengan milikku, mengunci bibir kenyal seksi dengan punyaku, hingga kami mendarat ke kasur lebar dengan penuh birahi. Ya, persetan dengan wanita ini atau Alfred. Malam ini dia milikku. Setidaknya kita impas, Alfred Bened.
****
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments