[POV Adrian]
-----
Dari UCLA ke Glendale butuh waktu sekitar lima jam, itu jika mobil ini tidak merengek.
Alfred sialan, dia berumur dua puluh tujuh dan bibirnya masih ember. Masalah wanita saja mengadu ke ibu. Gara-gara dia, terpaksa aku mengemudi ke lubang neraka.
Aku bisa datang sendiri menemui Ibu, tapi beliau pasti marah, lalu sedih, ditambah Alfred mengompori. Jika ada Fany, setidaknya tukang mengadu itu bisa mengontrol diri untuk tidak menyudutkanku.
"Fany, apa menurutmu Ibu akan mencoret namaku dari daftar keluarga?"
Dengan santainya dia mengangguk. "Masalah kali ini berbeda dengan yang biasa. Kamu bukan meniduri anak gadis tetangga, tapi tunangan Alfred. Kamu bisa merusak masa depan mereka."
"Kembali lagi, semua terjadi begitu cepat dan--
"Bisa kita mampir ke minimarket?" selanya, sembari subum dengan handphone.
"Mau beli pampers?" Ya dia mau beli, tapi malu mangaku.
Dia menjawab dengan ketus. "Diamlah. Kau lelaki harusnya seperti Alfred, tenang dan dewasa."
Lapangan parkir minimarket terdekat sesak kendaraan, terpaksa aku parkir di seberang jalan.
Sebelum dia keluar dari mobil, aku menarik tangannya.
“Ada apa? Mau menitip minuman?" tanyanya.
Aku menggeleng, mataku menjelajah ke depan minimarket.
"Lihat di sana banyak preman. Apa perlu kutemani?"
Dia menggeleng. "Mengajakmu masuk malah bakal lama."
Ya aku kalau masuk ke mall selalu memilih rokok dan bir, walau tidak beli, suka saja. Mungkin itu terpatri dalam memori Fany hingga anggapan itu muncul. "Tapi bahaya--"
Dia mencubit pipiku dengan gemas. "Santai saja, jika ada apa-apa kan ada kamu."
“Hati-hati, ya,” pesanku lalu perlahan melepasnya.
Fany turun menutup pintu mobil lalu berbalik memandangku. "Tetap di sini jangan pergi terlalu jauh. Jangan ada aroma rokok."
Dia beranjak pergi ke minimarket menenteng tas lengan. Suara derap sepatu hak tingginya semakin kecil. Kalian tahu anak kecil yang ditinggal dalam mobil ketika orang tuanya belanja, seperti ini rasanya. Bagai dikandangkan.
Aku keluar duduk di kap mobil untuk menikmati rokok. Fany benci asap rokok, tapi bagiku rokok alat sempurna membunuh waktu.
Kehadiran Fany bagai bunga di tengah comberan. Para preman menggodanya dengan bersiul dan bertepuk tangan, berbicara memakai bahasa Mexican, mungkin Spanyol, entahlah.
Bukan salah mereka bersikap liar. Dengan wajah manis, dada kencang menantang, dan pinggul sekal, dengan mudah Fany memancing nafsu hewani meluap.
Bahkan fantasiku sering lepas jika melihat dia dalam keadaan menantang dan itu normal.
Kenapa aku tidak menidurinya seperti meniduri wanita lain? Simple, aku tak ingin. Aku ingin menjaganya, menjadikan dia sebagai Nyonya Bened, ibu dari anak-anakku kelak. Aku tahu Fany menyukai si mulut ember, tapi apa salahnya bersabar dan berusaha? Aku punya banyak waktu untuk itu.
Setelah habis dua puntung rokok akhirnya Fany keluar dari mini-market. Para preman mencegatnya sambil tertawa-tawa.
Tangan Fany penuh belanjaan, tidak bisa bergerak bebas. Salah satu tangan pria brengsek meremas pantatnya.
Keparat! Biar kuhajar mereka semua. Aku bangkit mendekati mereka, menepuk pundak salah satu dari pria terdekat, membuatnya menoleh ke belakang. Seketika mereka semua terdiam, memandangku dengan bingung.
Si botak bertanya, "Mau apa kau,cari masalah?"
“Kalian yang mencari masalah,” jawabku. "Dia gadisku."
Semua teman-temannya tertawa, hanya si botak yang tersenyum kecut. Matanya menantangku, bicaranya lun lantang, "Jadi, kamu mau apa?"
"Sebaiknya kau pergi sebelum kuhajar."
"Adrian cukup." Fani menarik lenganku mundur. "Ayo kita kembali ke mobil, perjalanan kita masih jauh. Adrian, ayo, sudah jangan kamu ladeni mereka."
Sebenarnya aku ingin menghajar mereka semua sampai mereka meminta maaf pada Fany. Mereka beruntung kami terburu-buru
"Turuti perkataan si jalang itu, pergilah," sahut botak menertawaiku bersama teman-temannya. Dia merasa di atas angin rupanya.
Dia membuat semua ini menjadi masalah pribadi dengan memanggil Fany jalang. Tidak ada pria yang boleh menghina Fany di depanku.
Aku memandang mereka satu persatu hingga hewan tak berktak terdiam memandang balik.
“Mau apa?” tanya si Botak, dengan sombongnya.
"Adrian cukup, ayo kita kembali ke mobil," pinta Fany yang belum putus asa menarikku mundur.
Botak terkekeh menunjukku, bicara pakai bahasa spanyol yang tidak kumengerti.
"Kenapa plontos?" tanyaku sambil menyeringai. "Berani memukulku atau tidak? Ayo, tunjukkan bagaimana cara betina sepertimu memukul orang."
Sengaja aku memancing supaya dia memukul duluan. Aku kenal bagaimana cara hukum di negara ini bekerja. Di mata hukum siapa yang memukul duluan tidak peduli siapa yang salah maka dia yang salah.
Si bodoh meninju pipiku dengan keras sampai membuat wajahku menoleh ke samping. Bagus, dia membuka pintu untuk serigala, sekarang aku bisa masuk menghabisi para domba bodoh.
****
[POV Adrian] ----- Aku beri tinju yang mampu merobohkan pohon pinus di pada botak biadab, hingga dia jatuh. Aku injak tangan kotor yang berani memegang Fany. Suara teriakannya seperti meongan kucing. Teman-temannya tam tinggal diam, seperti semut mengeroyok gula. Mereka memukul, mendorong, gagal. "Cukup Ad, hentikan! Adrian Bened, aku bilang hentikan!" pinta Fany. Sahabat Tuhan selaku begini, padahal aku berusaha memberi pelajaran pada binatang yang mengganggunya. "Apa kau dengar? Aku bilang cu-kup!" “Mereka harus meminta maaf kepadamu. Tidak ada yang boleh menghinamu,” jawabku, sepatuku menggiling tangan si botak. "Tidak perlu, yang terpenting kamu tidak kenapa-napa,"
[POV Fany] ----- Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu. Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya. "Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku
[POV Fany] ----- Aku harap punya kekuatan melompati waktu, untuk kembali ke beberapa menit yang lalu. Saat semua hening. Tiada kalimat mengalah di kamus para Bened, mungkin malaikat pun sulit memisahkan mereka sekarang. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong beri keajaiban supaya mereka tenang. Tiba-tiba cahaya menyusup melalui jendela dapur. Suara mobil tetangga sebelah terdengar cukup jelas. "Hei lihat, tetangga sebelah baru pulang." Kim jawaban Tuhan akan doaku. Dia membuat semua tenang. Mungkin para Bened malu kalau tetangga mendengar ribut-ribut mereka. Keheningan terjaga, bahkan setelah tetangga sebelah r
[POV Adrian] ----- Ke mana kamu pergi ketika dunia mengecewakanmu? Kalau aku, suka menyendiri di tempat sepi seorang diri. Kakiku mendarat ke atas setir mobil, menetap sementara di sana. Bintang di langit gelap seperti gula tumpah di meja, tak beraturan. Sama seperti masalahku, terlalu berantakan. Aku tidak suka banyak bicara, tapi tadi terpaksa karena mereka berkomplot menyudutkanku … sudahlah. Ok, aku salah, aku meniduri Melisa, tapi apa Ibu pernah memikirkanku? Setelah kematian Ayah, sikap Ibu berubah total. Dia seperti menganaktirikanku. Yang ada di hatinya hanya Alfred. Aku tidak membenci mereka, hanya tidak suka sikap mereka yang seperti tadi. 
[POV Adrian] ----- Semua ini hanya formalitas. Kapanpun, dimanapun dia mau, dia bisa melakukan apapun tanpa izin. Kasar dia menepis lenganku di atas pintu, membuka pintu mobil, lalu duduk di jok membanting benda itu. Seperti kucing yang datang di tempat baru, hal pertama yang dia lakukan adalah mengendus. "Kau merokok?" Tuduhnya. Pasti karena aroma rokok yang Alfred curi. Sialan, harusnya kuusir king kong itu pergi. Dia merusak suasana hati Fany dan aku yang menanggung "Alfred yang merokok." "Kamu kira aku percaya?" Netra berbulu mata lentik menyeran
[POV Fany] ----- Gunung yang kupanggul lenyap. Sekarang aku bisa bersenandung lepas tanpa khawatir akan kakak beradik itu. Mereka seperti Tom dan Jerry, cepat akur setelah saling baku hantam. Selain itu aku berhasil membuatnya berjanji. Aku tahu janjinya seperti angin musim panas, hangat tanpa bisa dipegang, tapi setidaknya bisa kupakai untuk senjata mendesaknya menjadi sosok yang lebih baik kelak. Tiba-tiba Kim mencegatku di tangga. Dia berdiri seperti superhero bersila tangan di depan dada. Suaranya terdengar ketus. "Mana bantal dan selimut tadi?" Ya Tuhan, dia melihatku membawa benda-benda itu? “Uhm, aku tinggal di luar. Kenapa?" Wajah cemberut Kimberly bertah
[POV Fany] ----- Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan langkah ini. Dia harus mau, harus, bagaimana pun juga harus. Rencanaku simpel. Mendiang Paman sukses membuat Adrian menepati janji untuk tidak menunggang motocross gila lagi hanya dengan menyuruhnya bersumpah sambil mencium kaki Bunda Maria. Beruntung, kalung yang kupakai berkepala Bunda Maria. Aku ada rencana nanti. "Fany, kau diet?" suara Adrian, kembali normal seperti dahulu. "Sebentar, aku turun!" Dia mana tahu betapa susahnya berdandan. Aku hanya ingin memakai make up tipis supaya Bibi bisa melihat kecantikanku. "Cepatlah, atau kuhabiskan sarapan punyamu!"
[POV Adrian] ----- Dia sukses mendorongku masuk ke jurang. Ya, jurang. Gara-gara sumpah bodoh tempo hari, sekarang aku--entahlah, bukan diriku lagi? Membujukku dengan rayu, dia memaksa mencium kepala kalung. Sudahlah, toh aku memang harus berubah. Aku berusaha selama beberapa hari untuk menjadi dewasa. Mencari kerja, menjauhi seks bebas, mengurangi minum minuman keras, dan membuang rokok, senua kujalani Hari ini aku 'libur berusaha', aku ingin sesekali menikmati dunia. Pembelaanku, perubahan tidak bisa instan. Perubahan yang baik bertahap, berasal dari dalam diri. Aku mencoba untuk itu. Sehabis jogging sore, aku menenteng sepatu. Butiran pasir pantai terasa lembut di telapak kaki. Hangat cahaya matahari yang malu di ujung horizon sor
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du