[POV Fany]
-----
Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu.
Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya.
"Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku di sini karena masalah besar yang Adrian buat, bukan untuk tamasya memori.
Suara air kran mengalir menyambutku. ampu redup menyinari dapur dan ruang makan makan. Alfred duduk di anak tangga tak jauh dari meja, sementara Kim menyibukkan diri mencuci piring di dapur.
Bibi Nicole mendorong pelan kursi supaya tidak berderit. Senyum di wajah tirus membentuk pisang ketika menyambutku. Bukan dengan salaman, tapi langsung memeluk hangat mengelus punggung. Bagian hitam netranya semakin memudar. Kulit kendur tak menyembunyikan sisa kejayaan masa mudanya dulu.
"Nak Fany, kamu tambah cantik." Elusan di pipiku terhenti. "Mana Adrian?"
Bagus, ke mana bocah itu sekarang? Jangan bilang dia kabur ke apartemen.
"Mungkin dia sedang meniduri gadis tetangga," sahut Kim kecil. Serangan telak untuk Adrian.
Bibi melirik tajam pada punggung gadis itu yang tertutup tali celemek dan tangtop kuning longgar. “Jangan berkata seperti itu pada Kakakmu. Lekas panggil dia."
"Aku sibuk mencuci, Bu,” keluh Kim. “Nanti juga kalau lapar dia datang sendiri."
Kami ke sini untuk menyelesaikan masalah, bukan membuat yang baru.
"Biar aku saja."
Apa dia belum bisa membaca situasi? Berapa kali harus kubilang bersikaplah baik selama berada di sini.
Asap putih terlihat melambai dari teras. Aroma tak sedap menjadi dinding penghalang bagi langkahku. Ya Tuhan, beri aku kekuatan melawan bayi kawak.
Aku menyambar puntung rokok dari tangannya, melempar ke halaman depan. Dia tetap santai, menyeringai dalam remang.
Dengan polosnya dia berucap, "Kamu tahu, di musim panas puntung rokok yang menyala bisa menimbulkan kebakaran."
"Dan kamu tahu, jika tidak segera masuk aku bisa mencakar mukamu?"
Ancamanku mendarat ke telinga tuli. Dia merenggangkan badan, bermalas-malasan seperti kucing bongsor. Kucing lucu, smeentara dia tidak.
“Adrian Bened, lekas masuk!" bentakku, menunjuk pintu yang terbuka. "Temui Ibumu atau aku tidak akan mau bicara denganmu lagi."
Ini seperti permainan tahan-tahanan untuk tidak berkedip, tapi aku bermain sendiri. Entah berapa menit, tapi aku menang. Dia berdiri mengumpat tak jelas.
"Senang sekarang?"
Aku mengangguk, mendorong punggung lapang keras menuju ruang makan. Butuh kesabaran untuk meladeni Adrian.
Kami sampai di tempat tujuan. Aku duduk ke kursi makan dan Adrian duduk di sebelahku. Semua mulut terkunci selama … entahlah, mungkin beberapa menit. Tidak nyaman terkurung dalam belenggu hening, tali mau bagaimana lagi?
Handphone adrian mendarat ke pahaku. Di layar nampak pesan singkat yang dia tulis Ini cara kami untuk bicara dalam hening ketika berada di sekolah dulu.
Aku membaca tulisannya. [Sekarang bagaimana?]
Aku menulis, [Cobalah memulai pembicaraan dengan caramu sendiri] lalu mengembalikan benda itu.
Dia membaca, lalu memandangku dengan satu alis terangkat. Jangan bilang dia tidak paham. Bagus, dia menulis lagi, Lalu memberi gawai kepadaku. [Bagaimana?]
Ya Tuhan, lebih mudah mengajari bayi bicara papa. Aku tulis, [Terserah!] lalu membiarkannya membaca.
Syukurlah kali ini dia tidak menulis, tapi berdeham. Ini dia momentum Adrian membuka perbincangan serius.
Adrian berdeham, memaksa seluruh mata di rumah fokus padanya.
"Boleh aku makan?"
Oh Tuhan, begini cara Adrian memulai perbincangan? Aku salah memberi kalimat 'terserah', harusnya aku tulis, 'aku salah, aku menyesal, aku minta maaf, beri tahu cara memperbaiki kesalahan'.
Alfred tertawa lepas melihat tingkah adiknya, suaranya menyindir keras. "Isi kepalamu hanya ada wanita, makan, dan pesta ya?"
Adrian menyeringai nakal, menjawab, "Ada yang lain. Seperti memikirkan bagaimana cara menjadi lelaki yang tidak mengadu."
"Kalian berdua, hentikan." ujar Bibi, berhasil melerai. "Adrian, kenapa kamu melakukan hal itu? Kamu tahu Melisa tunangan Kakakmu, dia akan menjadi Kakak iparmu kelak."
Adrian menjawab, "Kenapa calon suaminya membiarkan calon istrinya pergi bersama pria brengsek sepertiku, Bu?"
Bibi menghela napas. "Adrian, kamu menghancurkan segalanya, kamu membuat karir Alfred--"
Adrian tertawa, menjawab dengan santai. "Ibu hanya memikirkan kepentingan Alfred. Bagaimana denganku?"
Bibi mencoba memotong ucapan itu. "Adrian diam--"
"Selalu aku yang salah, ya kan?" tanya Adrian.
"Karena kamu selalu salah!" sentak Alfred. "Dan sebaiknya kamu mulai merubah diri."
"Kamu bukan Ayahku, jangan sok ngatur!"
Sudah aku duga semua ini bakal menjadi perdebatan pepsi dan coca cola.
****
[POV Fany] ----- Aku harap punya kekuatan melompati waktu, untuk kembali ke beberapa menit yang lalu. Saat semua hening. Tiada kalimat mengalah di kamus para Bened, mungkin malaikat pun sulit memisahkan mereka sekarang. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong beri keajaiban supaya mereka tenang. Tiba-tiba cahaya menyusup melalui jendela dapur. Suara mobil tetangga sebelah terdengar cukup jelas. "Hei lihat, tetangga sebelah baru pulang." Kim jawaban Tuhan akan doaku. Dia membuat semua tenang. Mungkin para Bened malu kalau tetangga mendengar ribut-ribut mereka. Keheningan terjaga, bahkan setelah tetangga sebelah r
[POV Adrian] ----- Ke mana kamu pergi ketika dunia mengecewakanmu? Kalau aku, suka menyendiri di tempat sepi seorang diri. Kakiku mendarat ke atas setir mobil, menetap sementara di sana. Bintang di langit gelap seperti gula tumpah di meja, tak beraturan. Sama seperti masalahku, terlalu berantakan. Aku tidak suka banyak bicara, tapi tadi terpaksa karena mereka berkomplot menyudutkanku … sudahlah. Ok, aku salah, aku meniduri Melisa, tapi apa Ibu pernah memikirkanku? Setelah kematian Ayah, sikap Ibu berubah total. Dia seperti menganaktirikanku. Yang ada di hatinya hanya Alfred. Aku tidak membenci mereka, hanya tidak suka sikap mereka yang seperti tadi. 
[POV Adrian] ----- Semua ini hanya formalitas. Kapanpun, dimanapun dia mau, dia bisa melakukan apapun tanpa izin. Kasar dia menepis lenganku di atas pintu, membuka pintu mobil, lalu duduk di jok membanting benda itu. Seperti kucing yang datang di tempat baru, hal pertama yang dia lakukan adalah mengendus. "Kau merokok?" Tuduhnya. Pasti karena aroma rokok yang Alfred curi. Sialan, harusnya kuusir king kong itu pergi. Dia merusak suasana hati Fany dan aku yang menanggung "Alfred yang merokok." "Kamu kira aku percaya?" Netra berbulu mata lentik menyeran
[POV Fany] ----- Gunung yang kupanggul lenyap. Sekarang aku bisa bersenandung lepas tanpa khawatir akan kakak beradik itu. Mereka seperti Tom dan Jerry, cepat akur setelah saling baku hantam. Selain itu aku berhasil membuatnya berjanji. Aku tahu janjinya seperti angin musim panas, hangat tanpa bisa dipegang, tapi setidaknya bisa kupakai untuk senjata mendesaknya menjadi sosok yang lebih baik kelak. Tiba-tiba Kim mencegatku di tangga. Dia berdiri seperti superhero bersila tangan di depan dada. Suaranya terdengar ketus. "Mana bantal dan selimut tadi?" Ya Tuhan, dia melihatku membawa benda-benda itu? “Uhm, aku tinggal di luar. Kenapa?" Wajah cemberut Kimberly bertah
[POV Fany] ----- Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan langkah ini. Dia harus mau, harus, bagaimana pun juga harus. Rencanaku simpel. Mendiang Paman sukses membuat Adrian menepati janji untuk tidak menunggang motocross gila lagi hanya dengan menyuruhnya bersumpah sambil mencium kaki Bunda Maria. Beruntung, kalung yang kupakai berkepala Bunda Maria. Aku ada rencana nanti. "Fany, kau diet?" suara Adrian, kembali normal seperti dahulu. "Sebentar, aku turun!" Dia mana tahu betapa susahnya berdandan. Aku hanya ingin memakai make up tipis supaya Bibi bisa melihat kecantikanku. "Cepatlah, atau kuhabiskan sarapan punyamu!"
[POV Adrian] ----- Dia sukses mendorongku masuk ke jurang. Ya, jurang. Gara-gara sumpah bodoh tempo hari, sekarang aku--entahlah, bukan diriku lagi? Membujukku dengan rayu, dia memaksa mencium kepala kalung. Sudahlah, toh aku memang harus berubah. Aku berusaha selama beberapa hari untuk menjadi dewasa. Mencari kerja, menjauhi seks bebas, mengurangi minum minuman keras, dan membuang rokok, senua kujalani Hari ini aku 'libur berusaha', aku ingin sesekali menikmati dunia. Pembelaanku, perubahan tidak bisa instan. Perubahan yang baik bertahap, berasal dari dalam diri. Aku mencoba untuk itu. Sehabis jogging sore, aku menenteng sepatu. Butiran pasir pantai terasa lembut di telapak kaki. Hangat cahaya matahari yang malu di ujung horizon sor
[POV Adrian] ----- Para gadis begitu setia pada pasangan, terutama jika pasangan mereka setampan diriku. Minerva ngotot ingin menemaniku sampai akhir di club 777. Dia bersedia, tapi aku tidak. Tidak enak jika ada yang mendengar perbincanganku dengan Carl. Selain itu Minerva … bagiku seorang gadis harus dijaga. Menaruh kunci mobil ke meja, kuberi kode lirikan ke mobil supaya dia pergi ke sana. "Aku tidak ingin kamu sakit karena udara dingin. Atau kamu tidak mau karena mobilku tua?" Dia menggeleng, mengambilkunci. "Kamu tidak takut jika mobilmu kubawa kabur?" "Mobil itu bisa lari?" Mwneouk meja, tawa Carl pecah. "Pacarmu lucu, Ad."
[POV Fany] ----- Dia menterorku beberapa hari ini, sungguh, dia merusak bukan hanya hari tapi jiwa dan ketenanganku. Aku enggan menanggapi pesan atau mengangkat telepon dari setan tua itu, aku tidak ingin membuka kotak pandora. Dari dulu dia tak peduli padaku, kenapa sekarang peduli? Perasaanku tidak enak dan maaf saja jika aku enggan berurusan dengan Ibu, Nyonya besar Reine. Lagipula ada masalah penting lain yang jauh lebih butuh perhatianku. Yup, masalah merubah Adrian. Beberapa hari ini aroma menjijikan rokok dan aroma sisa permainan cinta perlahan sirna dari tubuhnya. Aku harus mendorong momentum ini supaya manfaatnya lebih terasa. Rencanaku hari Minggu ini ingin membawa Adrian ke g
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du