[POV Adrian]
-----
Aku beri tinju yang mampu merobohkan pohon pinus di pada botak biadab, hingga dia jatuh. Aku injak tangan kotor yang berani memegang Fany. Suara teriakannya seperti meongan kucing.
Teman-temannya tam tinggal diam, seperti semut mengeroyok gula. Mereka memukul, mendorong, gagal.
"Cukup Ad, hentikan! Adrian Bened, aku bilang hentikan!" pinta Fany. Sahabat Tuhan selaku begini, padahal aku berusaha memberi pelajaran pada binatang yang mengganggunya. "Apa kau dengar? Aku bilang cu-kup!"
“Mereka harus meminta maaf kepadamu. Tidak ada yang boleh menghinamu,” jawabku, sepatuku menggiling tangan si botak.
"Tidak perlu, yang terpenting kamu tidak kenapa-napa," jawab Fany, membuatku tersentak diam. Perhatian seperti ini yang selalu membuat hatiku meleleh.
Kutarik kaki membiarkan teman-temannya menolong si botak, membawa pria itu menjauh.
Aku ingin mereka, “Minta maaf karena menghina gadisku.” tapi mereka malah berbicara bahasa alien.
Mungkin mengomentari telapak tangan yang seperti omelet telur bercampur saus tomat itu.
Salah satu dari mereka melakukan apa yang jagoan lakukan ketika terdesak. Mengeluarkan pisau lipat sambil memberi kode teman-temannya untuk mengerumuniku. Mereka pikir berapa semut dibutuhkan untuk mengalahkan gajah?
Beruntung mereka selamat oleh suara mobil polisi. Mereka mundur menjauh, sibuk menyembunyikan mainan mereka.
Sebuah mobil sedan warna panda, kendaraan patroli polisi berhenti di bahu jalan. Seorang polisi di kursi sebelah kemudi menyapa kami dengan suara berat yang terdengar santai.
"Semua baik-baik saja di sana?"
Pria yang tadi mengeluarkan pisau memamerkan jempolnya ke langit.
"Semua terkendali, Pak Polisi!" Dia dan teman-temannya memandang, mengantaginiskan diriku ketika membawa si botak pergi dari sini.
"Ayo kita kembali," bisik Fany. "Sebelum polisi menangkapmu."
"Kenapa mereka menangkapku?"
"Wajahmu menyebalkan. Sudah ayo cepat."
Dia seperti ibuku ketika menjemputku di kantor kepala sekolah dulu, ceramah sepanjang perjalanan.
Sesampainya di mobil dia ceramah sambil mengusap lukaku pakai tisu. Kasar sekali dia, sengaja menekan luka di bibir.
"Bagaimana cara untuk membuatmu mengerti dengan satu kalimat? Sekarang lihat, kau terluka. Bagaimana kalau Bibi Nicole bertanya, aku harus jawab apa?"
"Dengar, aku berusaha menolongmu dengan memberi sediit pelajaran pada mereka, meminta mereka meminta maaf--"
Dia memotong ucapanku dengan lengking. "Aku tidak peduli dengan permintaan maaf mereka!"
"Tapi aku peduli."
Situasi henning sesaat. Sekelebat senyum muncul di bibirnya lalu tertutup lagi dengan sikap dingin yang dibuat-buat. "Aku tidak peduli. Toh mereka hanya berandal dan bersikap seperti berandal."
"Jadi kau mau aku diam saja ketika hewan-kewan itu memakanmu?"
Dia menggeleng. "Cukup bawa aku pergi dari sana, tidak usah berkelahi. Kamu tahu, aku takut kamu kenapa-napa. Semakin dewasa kamu semakin liar. Setiap kali kamu berkelahi aku takut jika …" Hidungnya mampet mendadak. Air membanjiri mata, tali dia menyembunyikan itu dengan memandang ke arah lain.
Bodoh. Kenapa aku sebodoh ini. Air matanya bagai permata, tak boleh terbuang sia-sia. Aku hendak membalik badannya menghadapku, tapi suara deheman malah membuatku menoleh ke arah lain.
Seorang polisi kurus berseragam serba hitam berdiri di samping pintu mobilku. Dia menarik ikat pinggang mengawasi minimarket sejenak sebelum sunglasses-nya berpaling padaku. Kumis hitam lebatnya mirip punya Caplin, pasti Fany tertawa jika melihat ini.
"Kamu baik-baik saja, Nak?" tanya Polisi.
"Ya,” jawabku. “Hanya gadis di sebelahku sedang menangis."
"Kelilipan," sahut Fany, menoleh ke arah pandanganku. Aku kenal suaranya ketika menahan tawa, sedikit tertahan di setiap napas, mirip suara babi oink oink.
Polisi berdeham, sepertinya terusik dengan tingkah Fany. "Aku tidak pernah melihat kalian di sini. Bisa tunjukkan kartu pengenal kalian?"
Fany memberi kartu pengenalnya kepadaku untuk kuberi ke polisi. Lahi-lagi dia membuang wajah ke arah lain. Kaki ini badannya bergetar. Wanita aneh, tadi menangis sekarang tertawa.
Aku memberi kartu kami padanya untuk dibaca, lalu dia mengembalikan semuanya.
"Murid UCLA tidak biasanya berada di sini. Di sekitar sini banyak anggota gangster bersenjata tajam dan mungkin membawa senjata api. Mau ke mana kalian?"
"Glendale,” jawabku, sembari memberi tepukan di paha Fany, supaya dia berhenti bersikap aneh di depan polisi.
"Ada apa dengan temanmu?"
"Dia sedang menangis. Ayahnya menikah lagi dengan wanita seumurannya."
Syukurlah polisi percaya. "Gadis malang. Tapi itu hak ayahnya untuk menikah lagi. Kalau begitu biar kami kawal sampai keluar dari kawasan ini. Ayo."
Setelah Caplin--maksudku polisi menjauh, Fany menunjukkan sikap lainnya yang hanya diketahui segelintir orang.
Dia girang seperti kakinya digelitik pakai bulu merpati. Dadanya kembang kempis, keringatan mirip gadis yang mencapai klimaks setelah bermain denganku. "Kamu lihat polisi tadi, aku kira dia Caplin."
"Aku kira dia Mein Fuhrer."
"Caplin."
Suara sirine polisi memberitahu kami untuk mengikuti para polisi baik hati.
Aku memacu mobil mengikuti mobil patroli menuju Glendale. Beberapa menit mobil Polisi memberi kode kedip lampu dan suara sirine, berbelok di perempatan sementara kami lurus.
"Terima kasih, Pak!" Karena membuat Fany berhenti bersedih, menabur kebahagiaan dalam kendaraan ini.
Selama perjalanan kami membahas Caplin. Tak terasa langit semakin gelap ketika lampu mobilku menyorot papan di pinggir jalan bertulis 'Glendale'. Walau situasi lebih ramai oleh banyaknya rumah tipe modern berdiri di sisi kiri dan kanan jalan, tetap saja papan itu membuka kenangan lama.
Kabut hitam menyelimuti hati. Tepat di sini beberapa tahun yang lalu Ayah meregang nyawa. Orang-orang kulit hitam menembakinya tanpa belas kasih.
"Adrian lihat, mobil Alfred." Mobil SUV hitam mahal bertengger di tepi jalan tepat di depan rumah kayu dua tingkat yang dikelilingi pagar hijau tanaman hias.
Setelah memarkir mobil di depan mobil si tukang ngadu, kami turun nyaris serentak.
"Biar aku yang bawa." Sekarang semua barang belanjaannya berada di tanganku.
Sambil melangkah aku memeriksa isi kantong plastik. Benar-benar wanita, selain membeli buah, dia membeli kosmetik dan perlengkapan mandi, bahkan ada handuk baru.
Sesampainya di teras rumah, Fany memencet bel. "Ingat, bersikaplah baik di depan Bibi Nicole. Jadilah lelaki. Akui kesalahanmu walau tidak salah."
Prinsip Fany, lelaki selalu salah. Terutama jika lelaki itu diriku.
Kimberly membuka pintu. Gadis yang masih bersekolah di sekolah menengah ke atas, grade 12. Dia adikku, gadis paling cantik dan manis di Glendale.
"Kak Fany!" Riang dia memeluk Fany, mencium pipi kiri dan kanan lalu cemberut memandangku. "Ibu menunggu di dalam. Ayo masuk."
Aku membiarkan Fany masuk. Lalu berbelok duduk di kursi santai teras berselonjor kaki, menikmati suara jangkrik menjelang musim panas juga aroma cedar yang terbawa hembusan angin hangat.
Aku takut melihat Ibu sedih. Ternyata aku hanya seorang pengecut kecil. Sekarang apa yang harus aku lakukan, Ayah.
****
[POV Fany] ----- Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu. Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya. "Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku
[POV Fany] ----- Aku harap punya kekuatan melompati waktu, untuk kembali ke beberapa menit yang lalu. Saat semua hening. Tiada kalimat mengalah di kamus para Bened, mungkin malaikat pun sulit memisahkan mereka sekarang. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong beri keajaiban supaya mereka tenang. Tiba-tiba cahaya menyusup melalui jendela dapur. Suara mobil tetangga sebelah terdengar cukup jelas. "Hei lihat, tetangga sebelah baru pulang." Kim jawaban Tuhan akan doaku. Dia membuat semua tenang. Mungkin para Bened malu kalau tetangga mendengar ribut-ribut mereka. Keheningan terjaga, bahkan setelah tetangga sebelah r
[POV Adrian] ----- Ke mana kamu pergi ketika dunia mengecewakanmu? Kalau aku, suka menyendiri di tempat sepi seorang diri. Kakiku mendarat ke atas setir mobil, menetap sementara di sana. Bintang di langit gelap seperti gula tumpah di meja, tak beraturan. Sama seperti masalahku, terlalu berantakan. Aku tidak suka banyak bicara, tapi tadi terpaksa karena mereka berkomplot menyudutkanku … sudahlah. Ok, aku salah, aku meniduri Melisa, tapi apa Ibu pernah memikirkanku? Setelah kematian Ayah, sikap Ibu berubah total. Dia seperti menganaktirikanku. Yang ada di hatinya hanya Alfred. Aku tidak membenci mereka, hanya tidak suka sikap mereka yang seperti tadi. 
[POV Adrian] ----- Semua ini hanya formalitas. Kapanpun, dimanapun dia mau, dia bisa melakukan apapun tanpa izin. Kasar dia menepis lenganku di atas pintu, membuka pintu mobil, lalu duduk di jok membanting benda itu. Seperti kucing yang datang di tempat baru, hal pertama yang dia lakukan adalah mengendus. "Kau merokok?" Tuduhnya. Pasti karena aroma rokok yang Alfred curi. Sialan, harusnya kuusir king kong itu pergi. Dia merusak suasana hati Fany dan aku yang menanggung "Alfred yang merokok." "Kamu kira aku percaya?" Netra berbulu mata lentik menyeran
[POV Fany] ----- Gunung yang kupanggul lenyap. Sekarang aku bisa bersenandung lepas tanpa khawatir akan kakak beradik itu. Mereka seperti Tom dan Jerry, cepat akur setelah saling baku hantam. Selain itu aku berhasil membuatnya berjanji. Aku tahu janjinya seperti angin musim panas, hangat tanpa bisa dipegang, tapi setidaknya bisa kupakai untuk senjata mendesaknya menjadi sosok yang lebih baik kelak. Tiba-tiba Kim mencegatku di tangga. Dia berdiri seperti superhero bersila tangan di depan dada. Suaranya terdengar ketus. "Mana bantal dan selimut tadi?" Ya Tuhan, dia melihatku membawa benda-benda itu? “Uhm, aku tinggal di luar. Kenapa?" Wajah cemberut Kimberly bertah
[POV Fany] ----- Aku harus bisa memanfaatkan kesempatan langkah ini. Dia harus mau, harus, bagaimana pun juga harus. Rencanaku simpel. Mendiang Paman sukses membuat Adrian menepati janji untuk tidak menunggang motocross gila lagi hanya dengan menyuruhnya bersumpah sambil mencium kaki Bunda Maria. Beruntung, kalung yang kupakai berkepala Bunda Maria. Aku ada rencana nanti. "Fany, kau diet?" suara Adrian, kembali normal seperti dahulu. "Sebentar, aku turun!" Dia mana tahu betapa susahnya berdandan. Aku hanya ingin memakai make up tipis supaya Bibi bisa melihat kecantikanku. "Cepatlah, atau kuhabiskan sarapan punyamu!"
[POV Adrian] ----- Dia sukses mendorongku masuk ke jurang. Ya, jurang. Gara-gara sumpah bodoh tempo hari, sekarang aku--entahlah, bukan diriku lagi? Membujukku dengan rayu, dia memaksa mencium kepala kalung. Sudahlah, toh aku memang harus berubah. Aku berusaha selama beberapa hari untuk menjadi dewasa. Mencari kerja, menjauhi seks bebas, mengurangi minum minuman keras, dan membuang rokok, senua kujalani Hari ini aku 'libur berusaha', aku ingin sesekali menikmati dunia. Pembelaanku, perubahan tidak bisa instan. Perubahan yang baik bertahap, berasal dari dalam diri. Aku mencoba untuk itu. Sehabis jogging sore, aku menenteng sepatu. Butiran pasir pantai terasa lembut di telapak kaki. Hangat cahaya matahari yang malu di ujung horizon sor
[POV Adrian] ----- Para gadis begitu setia pada pasangan, terutama jika pasangan mereka setampan diriku. Minerva ngotot ingin menemaniku sampai akhir di club 777. Dia bersedia, tapi aku tidak. Tidak enak jika ada yang mendengar perbincanganku dengan Carl. Selain itu Minerva … bagiku seorang gadis harus dijaga. Menaruh kunci mobil ke meja, kuberi kode lirikan ke mobil supaya dia pergi ke sana. "Aku tidak ingin kamu sakit karena udara dingin. Atau kamu tidak mau karena mobilku tua?" Dia menggeleng, mengambilkunci. "Kamu tidak takut jika mobilmu kubawa kabur?" "Mobil itu bisa lari?" Mwneouk meja, tawa Carl pecah. "Pacarmu lucu, Ad."
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du