[POV Fany]
-----
Hening kuburan ruang apartemen, padahal ada empat manusia di sini. Semua karena kenakalan Adrian. Oh Tuhan, nyaris saja telur gorengku gosong.
Adrian dan Alfred, walau mereka bersaudara sikap mereka utara dan selatan. Adrian urakan impulsif sementara Alfred lebih dewasa.
Bagiku Alfred adalah satu dari beberapa sumber kebahagiaan. Sementara Adrian, kunci yang membuatku mampu mendekati Alfred. Itu dulu, sekarang … entahlah, aku bingung.
Anyway, kejadian ini pasti berat bagi Alfred. Aku dengar Melisa anak gadis tunggal seorang pemegang saham terbesar di kantor tempatnya bekerja. Mungkin jika pertunangan ini gagal karir Al sebagai CEO bisa hancur. Sebenarnya tidak masalah. Dia bisa bekerja di kantor Ayahku. Perusahaan Reine lebih besar dari tempatnya bekerja sekarang. Hanya saja Alfred ... entah apa alasannya enggan untuk melamar pekerjaan di kantor ayah.
Demi Alfred aku 'harus' beramah tamah dengan gadis ini. Urgh, aku ingin membungkus wajahnya dengan plastik berisi tinta. Sabar, sabar.
Aku menyorong segelas jus jeruk dan sepiring telor goreng setengah gosong mendekati Melisa yang sedang duduk di stool bar, seperti boneka Annabelle. "Ayo, sarapan dulu."
Pandangan matanya padaku seperti bocah tujuh tahun tidak dibelikan mainan dan itu membuat tanganku semakin gatal ingin … sabar Fan, sabar.
Melisa bicara, "Kamu tadi malam datang ke acara pertunangan kami untuk mengacau, akui itu. Sekarang kamu datang membawa Alfred kemari untuk menghancurkan hubungan kami.”
Tepat--maksudku dia salah. Ya, baiklah, tadi malam aku datang untuk mengacau dan sukses, tapi pagi ini diluar rencana. Aku bukan Tuhan yang bisa melihat masa depan, atau cenayang.
Aku berusaha membuatnya mengerti dengan memberi alasan relevan. "Melisa dengar, setiap pagi aku datang kemari untuk membangunkan Adrian. Kami berangkat bersama menuju kampus. Masalahnya bukan aku, tapi kamu. Kenapa kamu tega mengkhianati Alfred?"
Dia menggeleng pelan lalu mendengus seperti dengusan kuda. Dengan mudahnya menjawab, "Kamu masalah utama di sini. Kamu menjijikkan, hina, jalang, wanita murahan--"
Aku sela ucapannya. "Kenapa? Apa salahku? Katakan, buat aku mengerti."
Dia diam sesaat, lalu berbisik, "Menjauhlah darinya, kamu merusak segalanya tadi malam, mengerti?"
"Terserah kamu mau menganggapku sebagai apa, tapi yang jelas kamu salah sangka. Alfred hanya mengantarku pulang--"
“Pelacur,” gumamnya.
Jika tidak berdosa, kutampar dia lalu merendam wajahnya ke sapitang. Ya Tuhan, maafkan pikiran jahatku. Aku hanya tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Gadis ini salah, tapi malah menyalahkan orang lain? Dia jelas bukan gadis baik. Alfred bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dari Melisa.
Aku beralih pada Alfred.
"Al." Suaraku membuatnya mengangkat kepala tersenyum lembut.
Aku menaruh sarapan ke meja bufet dapur. "Ayo sarapan dulu."
Alfred menggeleng lemah. Mungkin karena terpukul melihat apa yang terjadi, hingga nafsu makannya lenyap.
Aku menaruh sarapannya ke Tupperware supaya bisa dibawa ke tempatnya kerja, menghampirinya yang terduduk tanpa gairah bersandar tembok.
Ini sama seperti dulu. Adrian mengacau dan Alfred sedih. Sama seperti dulu aku ada untuk menarik senyumnya kembali.
"Ayo semangat. Kamu harus bekerja untuk membiayai Kim, juga Bibi."
Alfred tetap membeku menerawang lurus ke dinding hampa.
"Adrian keluar!" Dia bangkit menuju kamar mandi.
"Alfred jangan!" Aku berlari menangkap linggang kerasnya yang kotak-kotak, berusaha menarik mundur, tapi hulk terlalu kuat, malah badanku yang terseret.
Dia menggedor pintu kamar mandi sampai membuat gantungan pintu jatuh. Tenagaku bjkan tandingannya.
Aku menoleh ke dapur, mendapati Annabele duduk kehabisan baterai. "Melisa, bantu. Kumohon bantu!"
Dia menoleh sesaat lalu kembali mencabik-cabik telur pakai garpu. Oh Tuhan, apa dia sadar jika semua ini terjadi lantaran kebodohannya.
Tidak ada cara lain. Aku melepas pelukan padanya, lalu menjatuhkan diri. "Auh, kakiku."
Seketika Alfred berbalik menolongku. Perhatiannya seperti suami pada istri. "Kamu tidak apa-apa?"
Aku menggeleng. Perhatiannya selalu full untukku. Ini yang membuat cintaku awet, membuatnya patut dipertahankan.
Suara dengus terdengar dari arah dapur. "Pelacur." Aku menangkap suara kecil dengki Melisa. Ya Tuhan, maafkan mulut hinanya itu.
Alfred membantuku berdiri, merapikan pakaianku. "Maaf, aku--"
"Tidak masalah. Sekarang pergilah kerja. Bawa tunanganmu pergi dari sini."
Alfred mengangguk, memungut gaun satin hitam kusut, melempar ke meja bar. "Pakai, kita pulang."
Melisa tetap menusuk-nusuk telur di meja.
"Pakai, atau aku tinggal kau di sini." Suaranya dingin, rendah, sempat membuat bulu kudukku berdiri.
Kesal Melisa menyambar gaun, memakai benda itu tanpa dalaman. Apa tidak panas?
Aku membantu Melisa memakai gaun, gaun yang Bibi Nicole puji sebagai gaun bidadari tadi malam, sekarang kusut dan berbau anyir. Setelah selesai, aku giring dia keluar.
"Terima kasih," ucap Melisa tanpa memandangku. Huh, dia bisa bicara rupanya.
Alfred menggiring sampah itu keluar dari sini, menuruni anak tangga.
Aku menutup pintu apartemen. Kakaknya beres, tinggal si adik. Ya Tuhan, beri aku kekuatan.
****
[POV Fany] ----- Aku lupa sejak kapan menjadi Ibu bagi bayi kawak, bayi raksasa yang nenderita penyakit 'playboy kronis'. Parahnya, dia bersenandung diiringi suara gemercik shower. Apa dia tidak merasa bersalah karena menodai tunangan Alfred? Ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi sosok setan tampan penggoda hati itu. Kandang babi ini bau apek, terlebih kasur. Sprei basah, lengket, dan kumal. Entah apa yang dia lakukan dengan gadis murahan itu. Jika bukan aku yang merapikan, siapa lagi? Tuhan, entah sampai kapan aku bisa bertahan. Jaket kulit hitam yang menjadi trademarknya membalut tubuh kekar yang berlapis kaos putih, sementara celana jeans hitam dan sepatu ket hitam membuat penampilan Raja tato tambah macho.
[POV Adrian] ----- Dari UCLA ke Glendale butuh waktu sekitar lima jam, itu jika mobil ini tidak merengek. Alfred sialan, dia berumur dua puluh tujuh dan bibirnya masih ember. Masalah wanita saja mengadu ke ibu. Gara-gara dia, terpaksa aku mengemudi ke lubang neraka. Aku bisa datang sendiri menemui Ibu, tapi beliau pasti marah, lalu sedih, ditambah Alfred mengompori. Jika ada Fany, setidaknya tukang mengadu itu bisa mengontrol diri untuk tidak menyudutkanku. "Fany, apa menurutmu Ibu akan mencoret namaku dari daftar keluarga?" Dengan santainya dia mengangguk. "Masalah kali ini berbeda dengan yang biasa. Kamu bukan meniduri anak gadis tetangga, tapi tunangan Alfred. Kamu bisa m
[POV Adrian] ----- Aku beri tinju yang mampu merobohkan pohon pinus di pada botak biadab, hingga dia jatuh. Aku injak tangan kotor yang berani memegang Fany. Suara teriakannya seperti meongan kucing. Teman-temannya tam tinggal diam, seperti semut mengeroyok gula. Mereka memukul, mendorong, gagal. "Cukup Ad, hentikan! Adrian Bened, aku bilang hentikan!" pinta Fany. Sahabat Tuhan selaku begini, padahal aku berusaha memberi pelajaran pada binatang yang mengganggunya. "Apa kau dengar? Aku bilang cu-kup!" “Mereka harus meminta maaf kepadamu. Tidak ada yang boleh menghinamu,” jawabku, sepatuku menggiling tangan si botak. "Tidak perlu, yang terpenting kamu tidak kenapa-napa,"
[POV Fany] ----- Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu. Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya. "Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku
[POV Fany] ----- Aku harap punya kekuatan melompati waktu, untuk kembali ke beberapa menit yang lalu. Saat semua hening. Tiada kalimat mengalah di kamus para Bened, mungkin malaikat pun sulit memisahkan mereka sekarang. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong beri keajaiban supaya mereka tenang. Tiba-tiba cahaya menyusup melalui jendela dapur. Suara mobil tetangga sebelah terdengar cukup jelas. "Hei lihat, tetangga sebelah baru pulang." Kim jawaban Tuhan akan doaku. Dia membuat semua tenang. Mungkin para Bened malu kalau tetangga mendengar ribut-ribut mereka. Keheningan terjaga, bahkan setelah tetangga sebelah r
[POV Adrian] ----- Ke mana kamu pergi ketika dunia mengecewakanmu? Kalau aku, suka menyendiri di tempat sepi seorang diri. Kakiku mendarat ke atas setir mobil, menetap sementara di sana. Bintang di langit gelap seperti gula tumpah di meja, tak beraturan. Sama seperti masalahku, terlalu berantakan. Aku tidak suka banyak bicara, tapi tadi terpaksa karena mereka berkomplot menyudutkanku … sudahlah. Ok, aku salah, aku meniduri Melisa, tapi apa Ibu pernah memikirkanku? Setelah kematian Ayah, sikap Ibu berubah total. Dia seperti menganaktirikanku. Yang ada di hatinya hanya Alfred. Aku tidak membenci mereka, hanya tidak suka sikap mereka yang seperti tadi. 
[POV Adrian] ----- Semua ini hanya formalitas. Kapanpun, dimanapun dia mau, dia bisa melakukan apapun tanpa izin. Kasar dia menepis lenganku di atas pintu, membuka pintu mobil, lalu duduk di jok membanting benda itu. Seperti kucing yang datang di tempat baru, hal pertama yang dia lakukan adalah mengendus. "Kau merokok?" Tuduhnya. Pasti karena aroma rokok yang Alfred curi. Sialan, harusnya kuusir king kong itu pergi. Dia merusak suasana hati Fany dan aku yang menanggung "Alfred yang merokok." "Kamu kira aku percaya?" Netra berbulu mata lentik menyeran
[POV Fany] ----- Gunung yang kupanggul lenyap. Sekarang aku bisa bersenandung lepas tanpa khawatir akan kakak beradik itu. Mereka seperti Tom dan Jerry, cepat akur setelah saling baku hantam. Selain itu aku berhasil membuatnya berjanji. Aku tahu janjinya seperti angin musim panas, hangat tanpa bisa dipegang, tapi setidaknya bisa kupakai untuk senjata mendesaknya menjadi sosok yang lebih baik kelak. Tiba-tiba Kim mencegatku di tangga. Dia berdiri seperti superhero bersila tangan di depan dada. Suaranya terdengar ketus. "Mana bantal dan selimut tadi?" Ya Tuhan, dia melihatku membawa benda-benda itu? “Uhm, aku tinggal di luar. Kenapa?" Wajah cemberut Kimberly bertah
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du