[POV Adrian]
-----
Buru-buru kuputar gagang pintu untuk menyambutnya, sosok yang kujaga sebagai harta karun nomor dua.
Jaket tebal, berhias bulu wol putih di kerah. Jaket warna olive itu membalut tubuh berlekuk biola nan menggugah nafsu liar dalam jiwaku. Dia berdiri di depan pintu apartemen seperti pragawati melipat kedua tangan ke depan dada, penampilan menantang nan indah, terlebih celana jeans panjangnya begitu ketat mengikuti lekuk kaki jenjang.
Seperti biasa senyum manisku untuknya, tapi kenapa dia diam? "Ada yang salah dengan penampilanku?"
Bibir tipis manis mencibir seperti moncong kuda ketika sepasang netra berbentuk almond tertuju pada pangkal atas kaki. "Serius?"
Aduh lupa, dari tadi hanya memakai celana dalam. Sial. Tetap tenang, diaFany, dia terbiasa dengan hal ini. "Ada masalah?"
Matanya berkancing warna kuning amber berputar dalam poros
"Ayolah Fan, kamu sering melihat bagian itu, bukan masalah besar kan?"
"Ya Tuhan." Dua tangannya mendobrak badanku, masuk menuju dapur, menganggap apartemen ini seperti miliknya sendiri. "Adrian Bened. Aku tidak bisa selalu datang kemari membangunkanmu!"
Aku menutup pintu, mengekor menuju dapur.
Dia Estefany Reine. Anak teman mendiang Ayahku. Fany mengerti diriku lebih dari keluargaku sendiri. Entah kenapa dia begitu baik, setia bersusah payah datang kemari sekedar membangunkan dan mengajak pergi ke kampus bersama.
Aku singgah ke stool bar, mengagumi sosok yang pemilik jaket di atas meja dapur sibuk menggoreng telur dan sosis goreng.
"Kapan kamu akan dewasa?" Tangan sibuk, bibir berucap, multi tasking, calon istri terbaik di dunia.
Aku menjawab, "Buat apa jadi dewasa, kan ada kamu yang mengurusku?" sengaja memancing supaya dia berkicau lagi.
"Buat dirimu sendiri. Setidaknya mandi lah yang bersih, bangun pagi, bersihkan kandang babi ini."
Suaranya ketus, tapi tetap manis. Dia lanjut berucap, "Umurmu sekarang dua puluh lima tahun, setidaknya pikirkan masa depanmu."
Aku mengangguk mengambil mug berisi kopi hangat buatannya.
Dia hendak bicara, tapi urung karena suara hisak gadis di atas ranjang. Astaga, aku lupa jika kami tidak sendiri di sini.
Boneka barbie itu sadar akan kehadiran Fany. Dia menarik selimut menutupi badan, dengan bagian bawahnya seperti kain pel membersihkan lantai.
"Adrian!" Mata Fany mebyorktku, tali ujung telunjuk menunjuk gadis. "Dia--"
"Kamu mengenalnya?"
"Dia Melissa--"
"Aku tidak tahu kalau dia temanmu. Kamu bisa membawanya pulang. Aku tidak akan menemuinya lagi."
Fany mendorong pundakku mundur. "Berhenti bercanda idiot. Kamu tahu siapa dia?" Nada bicaranya mengecil seperti enggan menyapa Melisa.
Aku menanggapi sesantai mungkin, supaya tidak lahir perkara. "Apa ini sebuah pertanyaan, yang membuatku menjadi kaya raya jika menjawab dengan benar?"
"Ya Tuhan, Adrian. Dia tunangan Kakakmu!" Fany mengelus kening dan tangan yang satu berada di pinggang penuh keputus asaan. "Bagaimana kalau Kakakmu tahu? Ya Tuhan, maafkan dosa besar ini."
"Asal kita diam, dia tidak bakal tahu."
“Tuhan pasti tahu, Adrian Bened!” bentaknya.
Suara Melisa membuat kami menoleh serempak seperti bunga matahari ketika terkena hangat matahari.
"Fany? Apa yang kamu lakukan di sini? Ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Semua bisa dijelaskan."
Keduanya saling beradu argumen seperti debat pemilu. Aku tahu mereka menyukai Kakakku bahkan menyembahnya seperti menyembah Dewa dan ini merupakan tontonan yang mengasyikkan. Tunggu, mana handphone-ku? Sayang jika tidak direkam.
Samb merekam, obrolan mereka membuat ingatanku pulih. Tadi malam keluargaku dan keluarga Melisa bertemu dalam acara pertunangan Alfred dan Melisa. Tiba-tiba Fany datang, menangis di depan pintu restoran seperti kucing meminta susu.
Acara pertunangan Kakak gempar. Alfred mencoba menenangkan Fany. Keluarga Melisa bingung dan Melisa terbakar cemburu. Terlebih setelah Alfred memilih mengantar Fany, membiarkan Melisa bersamaku. Kakakku fantastik, kan?
Sisanya aku sangat ingat, berapa botok brandi membasahi kerongkongan kami, lalu berakhir di ranjang apartemen.
"Semua ini hanya kesalahan." Melisa menggenggam erat kedua telapak tangan Fanny sambil menangis tersedu-sedu. Wajah seperti kain basah yang diremas kencang. "Aku mohon jangan beritahu Alfred. Aku mencintainya lebih dari segalanya."
Apa wanita suka mengumbar cinta? Fany menggeleng pelan sembari melepas genggaman Melisa, memberi pandangan mengiba untuk gadis itu.
"Maaf Melisa, aku tidak bisa merahasiakan semua ini--"
"Tolong Fan,” rengek Melisa, hendak menyembah tali Fany menahan badannya. “Aku tidak ingin pertunangan ini berantakan. Tolong--"
"Bukan seperti itu," jawab Fany.
Pintu apartemen dibuka dari luar, memaksa kami bungkam. Sosok lelaki gagah dalam balut kemeja biru tua berbalut setelan jas hitam masuk.
Langkahnya terpaku melihat Melisa berbalut selimut tebal milikku. Mata berbentuk almond itu memandangku seperti singa memandang mangsa.
Dia pasti akan membunuhku.
"Aku mandi dulu." Aku kabur memberinya waktu berpikir jernih. Semoga.
****
[POV Fany] ----- Hening kuburan ruang apartemen, padahal ada empat manusia di sini. Semua karena kenakalan Adrian. Oh Tuhan, nyaris saja telur gorengku gosong. Adrian dan Alfred, walau mereka bersaudara sikap mereka utara dan selatan. Adrian urakan impulsif sementara Alfred lebih dewasa. Bagiku Alfred adalah satu dari beberapa sumber kebahagiaan. Sementara Adrian, kunci yang membuatku mampu mendekati Alfred. Itu dulu, sekarang … entahlah, aku bingung. Anyway, kejadian ini pasti berat bagi Alfred. Aku dengar Melisa anak gadis tunggal seorang pemegang saham terbesar di kantor tempatnya bekerja. Mungkin jika pertunangan ini gagal karir Al sebagai CEO bisa hancur. Sebenarnya tidak masalah. Dia bisa bekerja di kantor Ayahku. Perusahaan Reine lebih besar dari tempatnya bekerja
[POV Fany] ----- Aku lupa sejak kapan menjadi Ibu bagi bayi kawak, bayi raksasa yang nenderita penyakit 'playboy kronis'. Parahnya, dia bersenandung diiringi suara gemercik shower. Apa dia tidak merasa bersalah karena menodai tunangan Alfred? Ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi sosok setan tampan penggoda hati itu. Kandang babi ini bau apek, terlebih kasur. Sprei basah, lengket, dan kumal. Entah apa yang dia lakukan dengan gadis murahan itu. Jika bukan aku yang merapikan, siapa lagi? Tuhan, entah sampai kapan aku bisa bertahan. Jaket kulit hitam yang menjadi trademarknya membalut tubuh kekar yang berlapis kaos putih, sementara celana jeans hitam dan sepatu ket hitam membuat penampilan Raja tato tambah macho.
[POV Adrian] ----- Dari UCLA ke Glendale butuh waktu sekitar lima jam, itu jika mobil ini tidak merengek. Alfred sialan, dia berumur dua puluh tujuh dan bibirnya masih ember. Masalah wanita saja mengadu ke ibu. Gara-gara dia, terpaksa aku mengemudi ke lubang neraka. Aku bisa datang sendiri menemui Ibu, tapi beliau pasti marah, lalu sedih, ditambah Alfred mengompori. Jika ada Fany, setidaknya tukang mengadu itu bisa mengontrol diri untuk tidak menyudutkanku. "Fany, apa menurutmu Ibu akan mencoret namaku dari daftar keluarga?" Dengan santainya dia mengangguk. "Masalah kali ini berbeda dengan yang biasa. Kamu bukan meniduri anak gadis tetangga, tapi tunangan Alfred. Kamu bisa m
[POV Adrian] ----- Aku beri tinju yang mampu merobohkan pohon pinus di pada botak biadab, hingga dia jatuh. Aku injak tangan kotor yang berani memegang Fany. Suara teriakannya seperti meongan kucing. Teman-temannya tam tinggal diam, seperti semut mengeroyok gula. Mereka memukul, mendorong, gagal. "Cukup Ad, hentikan! Adrian Bened, aku bilang hentikan!" pinta Fany. Sahabat Tuhan selaku begini, padahal aku berusaha memberi pelajaran pada binatang yang mengganggunya. "Apa kau dengar? Aku bilang cu-kup!" “Mereka harus meminta maaf kepadamu. Tidak ada yang boleh menghinamu,” jawabku, sepatuku menggiling tangan si botak. "Tidak perlu, yang terpenting kamu tidak kenapa-napa,"
[POV Fany] ----- Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu. Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya. "Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku
[POV Fany] ----- Aku harap punya kekuatan melompati waktu, untuk kembali ke beberapa menit yang lalu. Saat semua hening. Tiada kalimat mengalah di kamus para Bened, mungkin malaikat pun sulit memisahkan mereka sekarang. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong beri keajaiban supaya mereka tenang. Tiba-tiba cahaya menyusup melalui jendela dapur. Suara mobil tetangga sebelah terdengar cukup jelas. "Hei lihat, tetangga sebelah baru pulang." Kim jawaban Tuhan akan doaku. Dia membuat semua tenang. Mungkin para Bened malu kalau tetangga mendengar ribut-ribut mereka. Keheningan terjaga, bahkan setelah tetangga sebelah r
[POV Adrian] ----- Ke mana kamu pergi ketika dunia mengecewakanmu? Kalau aku, suka menyendiri di tempat sepi seorang diri. Kakiku mendarat ke atas setir mobil, menetap sementara di sana. Bintang di langit gelap seperti gula tumpah di meja, tak beraturan. Sama seperti masalahku, terlalu berantakan. Aku tidak suka banyak bicara, tapi tadi terpaksa karena mereka berkomplot menyudutkanku … sudahlah. Ok, aku salah, aku meniduri Melisa, tapi apa Ibu pernah memikirkanku? Setelah kematian Ayah, sikap Ibu berubah total. Dia seperti menganaktirikanku. Yang ada di hatinya hanya Alfred. Aku tidak membenci mereka, hanya tidak suka sikap mereka yang seperti tadi. 
[POV Adrian] ----- Semua ini hanya formalitas. Kapanpun, dimanapun dia mau, dia bisa melakukan apapun tanpa izin. Kasar dia menepis lenganku di atas pintu, membuka pintu mobil, lalu duduk di jok membanting benda itu. Seperti kucing yang datang di tempat baru, hal pertama yang dia lakukan adalah mengendus. "Kau merokok?" Tuduhnya. Pasti karena aroma rokok yang Alfred curi. Sialan, harusnya kuusir king kong itu pergi. Dia merusak suasana hati Fany dan aku yang menanggung "Alfred yang merokok." "Kamu kira aku percaya?" Netra berbulu mata lentik menyeran
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du