[POV Adrian]
-----
Aku membuka mata, mendapati diriku berada di jok belakang mobil. Tubuhku mengecil.
Aku mengintip melalui kaca jendela yang tertutup rapat. Di luar salju tebal menyelimuti jalan beku es. Papan penunjuk jalan berdiri gagah di tepi trotoar, papan itu bertulis, 'Glendale'.
Tidak, tidak! Aku mohon jangan kejadian ini lagi. Bajingan kau Tuhan, kenapa menyiksaku dengan cara seperti ini?
Aku menggila berusaha membuka pintu mobil, menggedor pintu berulang kali. "Ayah, lari ayah! Aku mohon lari!"
Kaki kecilku menendang jendela tapi tiada perubahan seakan semua ini abadi. Di luar sana Ayah dan Tuan Downson sedang bercakap-cakap, suara mereka mendengung.
Tidak, aku mohon Tuhan jangan!
Suara mesin mobil Camaro menebar terror hingga sekujur tubuhku bergidik. Suara yang sama, mobil yang sama, kejadian yang sama.
"Merunduk Adrian!" Ayah memasang badan di depan pintu mobil kami. Dia bisa kabur, bersembunyi, tapi tidak. Dia memilih menjadi tembok pelindung bagiku.
Aku berusaha mengunci telinga, membungkam mata, tapi gagal. Tuhan, kenapa? Sial, sial, sial!
Rentetan suara tembakan uzi menusuk gendang telinga. Kaca pecah berhamburan ke jok mobil. Seketika semua tenang. Badan ayah seperti seonggok daging tanpa tulang, bersimbah darah. Kepalanya menggantung seperti mangga menghadapku. Darah mengalir dari mata melewati bibir menetes membasahi jok.
"Ayah bodoh. Bangun ayah, Ayah!"
Semua memudar, hanya putih salju menguburku. Semua pergi.
****
"Ayah!"
Tubuhku berlumur keringat dingin ketika duduk di kasur empuk. Pandangan putih berangsur pulih. Cahaya matahari merangsak masuk melalui sela gorden gelap, membentur lantai parket mulus.
Wajahku basah dan lengket di kedua tangan. Sialan, kenapa mimpi berengsek itu datang lagi? Padahal nyaris sepuluh tahun kejadian itu berlalu.
"Ada apa sayang?" Gadis cantik disamping bangkit merangkulku. "Kaosmu basah semua, ada apa? Kenapa memanggil Ayah? Apa kamu rindu padanya? Adrian sayang, sini kupeluk."
Aku mendorong lembut boneka barbie, tapi dia salah menangkap kode, malah terlentang pasrah menantiku.
"Adrian, permainanmu tadi malam fantastis. Aku puas."
Aku mengangguk. Normal. Setiap gadis yang pernah menjadi lawanku di arena cinta, pasti puas.
Dia bertanya, "Apa keluargamu punya darah Italia?"
"Tidak, kenapa?" Aku bangkit menuju kamar mandi.
"Wajahmu, kemampuanmu, seperti orang Italia. Apa ya kata mereka … uhm, stallion hitam."
Dia sukses menggelitik perutku dengan ucapannya. "Orang tuaku asli Amerika."
"Adrian, kapan kau mau mengantarku pulang?"
Malas, dia bisa jalan kaki. "Maaf, aku harus kuliah."
Dan itu membuat senyumnya layu. "Tapi kau sudah berjanji."
Bah, siapa suruh percaya janji seorang lelaki. Aku mengguyur wajah tirus memakai air dingin wastafel, mengusir penat.
Sialan, luka cakar di dada, punggung, juga gigitan di leher merusak tatoku. Entah permainan gila apa yang kami lakukan, tapi tato ini harta karunku nomor tiga setelah keluarga dan 'dia'.
"Adrian, honey." Suara manja itu membuatku menoleh ke atas kasur. Dalam selimut dia seperti puteri bergaun nikah. "Walau kamu sibuk, tetap harus mengantarku pulang."
"Kamu pulang naik uber saja, ya, aku terlambat kuliah."
"Tapi kamu janji." blablabla. Dia mulai berkicau tanpa titik koma, sekali lagi, bagi wanita yang kebetulan bertemu pria brengsek sepertiku, jangan percaya pada janji-janji palsuku. Heh, mungkin sebaiknya aku menjadi politikus saja.
Apa dia pikir dirinya spesial? Nope, tentu dia secantik Dewi Athena, tapi semua gadis yang pernah menghirup udara dalam ruang ini selevel dengannya, kecuali 'dia'.
Aku akui diriku brengsek. Walau demikian aku tidak bisa keras pada wanita, tidak. Bagiku mereka adalah makhluk lembut yang harus dilindungi. Sosok yang harus disayang dengan lembut, yang harus dipuaskan saat malam.
Aku melangkah mendekati kasur, menggeledah tasnya. Ada lima ratus dollar, cukup untuknya pulang atau keliling California.
"Kamu dengar Adrian?" tanyanya, masih betah duduk di ranjang. "Adrian! Kamu dengar atau tidak?" suaranya meninggi.
"Sharone, aku tidak bisa--"
"Apa?" Dua alis kekuningannya nyaris menyatu ketika terangkat. "Siapa Sharone?"
"Kamu bukan Sharone?"
Dia tertawa kecil menyibak rambut ke belakang. "Kamu bercanda, kan?"
Sayang sekali aku lupa siapa dia. Bukan salahnya, ini hanya kebiasaanku. Melupakan gadis setelah bermain cinta satu malam.
Perlahan tawanya memudar. "Kamu serius? Ya Tuhan--tunggu, kamu juga tidak ingat siapa diriku?"
Aku memeras otak, tapi hasilnya nihil. Tidak salah jika aku menggeleng.
"Kurang ajar!" Dia menamparku, lalu memukul membabi buta dengan bringas. Aku pantas menerima kebrutalannya.
Tiba-tiba suara bel membuat kami terdiam.
Suara gedoran pintu itu semakin keras hingga membuat dadaku berdebar dan--
"Adrian Bened, bangun pemalas! Buka pintunya sebelum aku dobrak!" Suara yang kutunggu dari tadi.
Akhirnya 'dia' datang juga. Aku bergegas pergi menyambut si spesial.
****
[POV Adrian] ----- Buru-buru kuputar gagang pintu untuk menyambutnya, sosok yang kujaga sebagai harta karun nomor dua. Jaket tebal, berhias bulu wol putih di kerah. Jaket warna olive itu membalut tubuh berlekuk biola nan menggugah nafsu liar dalam jiwaku. Dia berdiri di depan pintu apartemen seperti pragawati melipat kedua tangan ke depan dada, penampilan menantang nan indah, terlebih celana jeans panjangnya begitu ketat mengikuti lekuk kaki jenjang. Seperti biasa senyum manisku untuknya, tapi kenapa dia diam? "Ada yang salah dengan penampilanku?" Bibir tipis manis mencibir seperti moncong kuda ketika sepasang netra berbentuk almond tertuju pada pangkal atas kaki. "Serius?" Aduh lupa, dari tadi hanya memakai celana dalam. Sial. Tetap te
[POV Fany] ----- Hening kuburan ruang apartemen, padahal ada empat manusia di sini. Semua karena kenakalan Adrian. Oh Tuhan, nyaris saja telur gorengku gosong. Adrian dan Alfred, walau mereka bersaudara sikap mereka utara dan selatan. Adrian urakan impulsif sementara Alfred lebih dewasa. Bagiku Alfred adalah satu dari beberapa sumber kebahagiaan. Sementara Adrian, kunci yang membuatku mampu mendekati Alfred. Itu dulu, sekarang … entahlah, aku bingung. Anyway, kejadian ini pasti berat bagi Alfred. Aku dengar Melisa anak gadis tunggal seorang pemegang saham terbesar di kantor tempatnya bekerja. Mungkin jika pertunangan ini gagal karir Al sebagai CEO bisa hancur. Sebenarnya tidak masalah. Dia bisa bekerja di kantor Ayahku. Perusahaan Reine lebih besar dari tempatnya bekerja
[POV Fany] ----- Aku lupa sejak kapan menjadi Ibu bagi bayi kawak, bayi raksasa yang nenderita penyakit 'playboy kronis'. Parahnya, dia bersenandung diiringi suara gemercik shower. Apa dia tidak merasa bersalah karena menodai tunangan Alfred? Ya Tuhan, beri aku kesabaran menghadapi sosok setan tampan penggoda hati itu. Kandang babi ini bau apek, terlebih kasur. Sprei basah, lengket, dan kumal. Entah apa yang dia lakukan dengan gadis murahan itu. Jika bukan aku yang merapikan, siapa lagi? Tuhan, entah sampai kapan aku bisa bertahan. Jaket kulit hitam yang menjadi trademarknya membalut tubuh kekar yang berlapis kaos putih, sementara celana jeans hitam dan sepatu ket hitam membuat penampilan Raja tato tambah macho.
[POV Adrian] ----- Dari UCLA ke Glendale butuh waktu sekitar lima jam, itu jika mobil ini tidak merengek. Alfred sialan, dia berumur dua puluh tujuh dan bibirnya masih ember. Masalah wanita saja mengadu ke ibu. Gara-gara dia, terpaksa aku mengemudi ke lubang neraka. Aku bisa datang sendiri menemui Ibu, tapi beliau pasti marah, lalu sedih, ditambah Alfred mengompori. Jika ada Fany, setidaknya tukang mengadu itu bisa mengontrol diri untuk tidak menyudutkanku. "Fany, apa menurutmu Ibu akan mencoret namaku dari daftar keluarga?" Dengan santainya dia mengangguk. "Masalah kali ini berbeda dengan yang biasa. Kamu bukan meniduri anak gadis tetangga, tapi tunangan Alfred. Kamu bisa m
[POV Adrian] ----- Aku beri tinju yang mampu merobohkan pohon pinus di pada botak biadab, hingga dia jatuh. Aku injak tangan kotor yang berani memegang Fany. Suara teriakannya seperti meongan kucing. Teman-temannya tam tinggal diam, seperti semut mengeroyok gula. Mereka memukul, mendorong, gagal. "Cukup Ad, hentikan! Adrian Bened, aku bilang hentikan!" pinta Fany. Sahabat Tuhan selaku begini, padahal aku berusaha memberi pelajaran pada binatang yang mengganggunya. "Apa kau dengar? Aku bilang cu-kup!" “Mereka harus meminta maaf kepadamu. Tidak ada yang boleh menghinamu,” jawabku, sepatuku menggiling tangan si botak. "Tidak perlu, yang terpenting kamu tidak kenapa-napa,"
[POV Fany] ----- Aroma kayu cedar. Decit lantai di ruang tamu. Dinding kayu kusam. Semua mengusir kabut putih yang menutupi memori hangat masa lalu. Kenangan ketika pertama kali datang ke sini di musim gugur. Aku bersembunyi di belakang kaki ayah. Adrian yang pertama kutemui. Dia yang menggandengku masuk ketika ayah mengobrol dengan paman Mike. 'Biar orang tua sibuk dengan urusan mereka, kita main saja yuk'. Lalu memperkenalkan Alfred dan Bibi Nicole, juga Kim kecil. Ya, di sini menjadi awal segalanya. "Kak Fany, ayo, Ibu menunggu kalian di meja makan." Kim tumbuh menjadi gadis periang yang manis, fashionable, dan sedikit memaksa. Dia menyeretku masuk lebih dalam, menjelajahi lebih banyak memori. Seperti ciuman pertamaku yang lepas--ya Tuhan, aku
[POV Fany] ----- Aku harap punya kekuatan melompati waktu, untuk kembali ke beberapa menit yang lalu. Saat semua hening. Tiada kalimat mengalah di kamus para Bened, mungkin malaikat pun sulit memisahkan mereka sekarang. Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Tolong beri keajaiban supaya mereka tenang. Tiba-tiba cahaya menyusup melalui jendela dapur. Suara mobil tetangga sebelah terdengar cukup jelas. "Hei lihat, tetangga sebelah baru pulang." Kim jawaban Tuhan akan doaku. Dia membuat semua tenang. Mungkin para Bened malu kalau tetangga mendengar ribut-ribut mereka. Keheningan terjaga, bahkan setelah tetangga sebelah r
[POV Adrian] ----- Ke mana kamu pergi ketika dunia mengecewakanmu? Kalau aku, suka menyendiri di tempat sepi seorang diri. Kakiku mendarat ke atas setir mobil, menetap sementara di sana. Bintang di langit gelap seperti gula tumpah di meja, tak beraturan. Sama seperti masalahku, terlalu berantakan. Aku tidak suka banyak bicara, tapi tadi terpaksa karena mereka berkomplot menyudutkanku … sudahlah. Ok, aku salah, aku meniduri Melisa, tapi apa Ibu pernah memikirkanku? Setelah kematian Ayah, sikap Ibu berubah total. Dia seperti menganaktirikanku. Yang ada di hatinya hanya Alfred. Aku tidak membenci mereka, hanya tidak suka sikap mereka yang seperti tadi. 
[Pov Adrian]-----"Terima kasih Tuhan!" Paman berpelukan dengan Bibi seperti menang undian bernilai Milyar dollar. Sesuatu yang menyentuh hati, tapi juga membuatku merasa tak enak.Alfred melangkah pergi dari ruang, membiarkan pintu terbuka tanpa berucap satu kata pun. Mungkin dia kecewa?Berdiri merapikan jas, aku sengaja tidak berkata apa pun, enggan merusak kebahagiaan Fany dan keluarganya. Mereka jarang seperti ini. Melangkah keluar, Santino dan yang kain mengikutiku."Keputusanmu sudah tepat, tapi bagaimana dengan Alfred, apa dia menerima semua ini?" selidik Santino."Itu yang ingin aku ketahui."&nb
[POV Fany] ----- Aku memeluknya dalam harap. Ya, dia harapanku satu-satunya. "Aku mohon Adrian, kabulkan permintaanku yang ini. Aku berjanji akan melayanimu selamanya." Memandang wajahnya yang datar, aku yakin dia mulai goyah. "Tolong, jangan hukum orang tuaku." Melepas hari-jariku di punggungnya, wajah Adrian lekat memandangku. Jakunnya naik lalu turun dengan berat. Dia pasti mengerti apa yang aku inginkan, karena dia Adrian. "Maaf,Fany. Aku tidak bisa." "Apa? Kenapa? Aku tahu mereka salah, tapi mereka baik, semua hanya kesalahpahaman--" "Maaf. Mike Bened ayahku, juga ayah Alfred. Akan adil jika aku menghukum mereka."
[POV Fany]-----Para bened pergi, merubah situasi menjadi sunyi seperti Texas di malam hari. Ayah dan Ibu berusaha saling menguatkan.Anak mana yang tega melihat orang tua menderita? Bahkan ketika diriku melihat Ibu terhisak seperti seorang anak kehilangan orang tua, hatiku perih. Apa aku harus ke sana? Apa aku berhak bersama mereka?Suara santino di sebelahku terdengar mengiba. Mungkin melihat situasi ini mengguncang jiwanya? "Aku mendengar banyak cerita tentangmu dari Bibi Nicole.""Apa maksudmu?"Aku perhatikan dia memandang redup ke orang tuaku. Dia pria misterius, tapi entah mengapa aku merasa dia tahu banyak hal, melebihi apa yang aku tahu.
[POV Adrian]-----Masih dalam mantra kesunyian, tiada satu pun suara dalam ruang kecuali hisak tangis Fany di lengan Alfred. Hisak yang membuat mataku basah dan tangan bergetar ingin menghampirinya untuk berkata, 'jangan menangis'.Ini pasti berat untuk Fany, mengetahui realita panas yang menyiksa dalam kurun waktu nyaris bersamaan. Bagaimana lagi, realita adalah obat dari segalanya."Aku tidak sanggup lagi."Melepas Fany, Alfred beranjak bangkit dari duduknya, membuka pintu hendak pergi dari ruang yang hampa.Fany menarik tangannya. "Al, mau ke mana?"Melepas genggaman, Alfred pergi dari ruang bersama isi hatinya yang pasti tersiksa, t
[POV Adrian]-----Hening dalam ruang menambah ketegangan yang ada. Semua menanti apa yang selanjutnya aku inginkan. Bahkan Mancini si biang gaduh berdiri di tepi meja, memandang lurus ke wajah Tuan Reine yang tertunduk.Bibi meremas tangan Paman, memandang suaminya dengan netra basah. Terdengar suara tangis yang tertahan ketika berbisik. "Yang sabar." Suara pilu yang memancing rasa ingin tahuku untuk menggali kebenaran."Paman, Bibi, mau minum sesuatu?"Mereka berdua diam tanpa memandangku, seperti diriku yang enggan mengontak mata Fany. Mereka membuatku tidak enak hati. Walau jalang tua itu murni iblis, tapi Paman baik. Entah berapa kali dia membelikan mainan kala natal tiba.
[POV Fany]-----Setelah membentak, Alfred bergumam sambil mengusap wajah. Senyumnya berat padaku. Netra yang berkaca-kaca, apa artinya? "Maaf, aku terlalu terbawa suasana."Mengangguk, aku menjawab, "Tidak apa-apa. Sebenarnya ada apa? Siapa mereka, dan kenapa Adrian seperti itu?""Aku ceritakan sambil jalan, ayo, ikut ke ruang sebelah."Sebelum kami melangkah, orang tua Alex menghampiri. Tua renta, memelas dengan wajahnya. "Nak, sebenarnya ada apa? Siapa orang-orang tidak sopan tadi?"Kasihan. Apa pun masalah yang terjadi, ayah Alex orang baik. Bagaimana jika dia jantungan. Aku memberi senyum sambil menenangkan. "Paman tenang saja, ini hanya--"
[POV Fany]-----Pintu kayu besar berukiran bunga terbuka. Suara musik organ mengiringi langkah kami di karpet merah panjang bertabur bunga menuju altar. Kiri dan kanan tamu undangan berdiri memberi senyum untuk kami. Ini dia, ini sesuatu yang penting bagi kehidupan kami.Pernikahan adalah kegiatan sakral dan disinilah aku. Memakai gaun putih nampak pundak, bagian bawah menyentuh karpet merah basilika, berdiri bersama orang yang dalam mimpi pun tidak terbayang akan menjadi suamiku. Ya Tuhan, semoga yang aku lakukan ini benar.Sesampainya di depan altar, aku menilik ke belakang, Ayah dan Ibu berpakaian setelan jas hitam duduk bersebelahan pada kursi panjang baris terdepan, menangis. Bahagia? Mungkin, bisa saja sedih. Setelah mendengar rekaman Ayah, aku yakin kemungkinan mereka sedih lebih besar dari bahagia
[POV Adrian]-----Dingin masuk melalui jendela mobil yang terbuka. Di luar sana langit batuk-batuk. Semoga tidak hujan, tidak sebelum urusanku selesai. Sepertinya ini akan menjadi hari panjang.Tidak terbayang, bahkan dalam mimpi sekalipun untuk duduk di sebelah pria yang mungkin mengirim penembak membunuh ayah.Kami berdua dalam mobil SUV. Di luar para Carlone dan Broxn mengelilingi mobil. Bisa saja aku nekat membunuhnya, tapi apa kata dunia? Aku tidak takut mati, bagaimana dengan Alfred? Bagaimana dengan Fany dan Alex? Siapa yang menjaga Ibu?Dingin kaleng bir menerpa kulit jari tangan, membuyarkan lamunan yang membuatku fokus pada ujung sepatu.Ramah Pak Tua tersenyum. "Ja
[POV Adrian]-----Kakiku membeku dalam mobil, enggan melangkah keluar. Bukan karena padatnya penjagaan di pintu gerbang mansion megah, tapi karena rasa bimbang ketika akan membuka kotak pandora."Lihat di sana." Mancini menunjuk jajaran mobil SUV hitam. "Plat nomor BL. Bronx datang ke pesta."Menoleh ke sebelah, kudapati dia tersenyum tanpa dosa. Mungkin mendekati wajahku yang bingung. "Bronx?"Dari kursi depan, Santino menjawab, "Mereka dulu berkuasa di California, tapi Carlone dan Mancini mengusir mereka. Mereka yang mengirim penembak untuk Ayahmu.""Apalagi yang kita tunggu?" Jarang Alfred gagal mengontrol emosi seperti sekarang. Berusaha mendorong Mancini keluar dari pintu Limosin, dia didorong du