Usia pernikahanku dengan mas Gibran sudah memasuki usia dua tahun. Namun, aku belum juga dikaruniai seorang anak dan itu membuat mamah mertua yang memang dari awal tidak menyukaiku makin membenci karena tidak bisa memberinya seorang cucu. Berbagai cara sudah mamah mertua lakukan agar aku bercerai dengan suamiku atau paling tidak suamiku mau menikah lagi dengan pilihannya sendiri, tapi jelas saja aku tidak ingin itu terjadi, jadi dengan caraku sendiri semua rencana mamah mertuaku itu gagal. Namun, pada suatu pagi aku tidak sengaja mendengar samar suara tangisan bayi, karena penasaran aku mengikuti sumber suara itu. Selagi langkahku mendekati suara tangisan bayi itu, aku mengingat-ngingat tidak ada rumah tetangga yang mempunyai seorang bayi. Lalu suara tangisan bayi siapa itu? Saat membuka pintu, betapa terkejutnya aku karena menemukan seorang bayi dalam kardus lengkap dengan tali pusarnya yang masih menggantung. Bayi siapa ini? ***
View MoreMendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la
Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,
Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku
"kamu masih berani bertanya?" Mas Gibran menggertakkan gigi marah. Ia menatap mas Ferdi nyalang, kilat kemarahan membara pada mata mas Gibran. Baru kali ini aku melihat mas Gibran semarah ini, sudah seperti layaknya orang kesetanan. "Mas Gibran," aku memanggil pelan. "Tahan emosi, Mas."Mas Gibran menoleh ke arah aku, "dari awal laki-laki ini memang terlihat tidak baik, itu sebabnya Mas gak suka saat melihatnya berkunjung ke rumah kita. Tatapan dia penuh maksud, apa lagi saat menatap kamu sayang. Sebagai laki-laki, Mas jelas tahu tatapan yang laki-laki ini berikan saat menatap kamu adalah tatapan cinta." Aku terdiam, mencerna ucapan mas Gibran. Apa katanya tadi? Cinta. Namun, sejak kapan? Aku dan mas Ferdi saja baru bertemu belum lama, yaitu saat di mall saat bersama Fika. Tidak mungkin kan kalau mas Ferdi ini ternyata adalah orang dari masa lalu aku? Ku menatap wajah mas Ferdi, mengingat-ngingat apa aku mengenalnya dulu atau tidak. Namun, sejauh aku menggali ingatan, tidak ada i
Aku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman di dada, merasa ngeri melihat mas Gibran mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melirik kecil mad Gibran, menelan ludah begitu mendapati rahang mengeras mas Gibran tampak menakutkan. "Mas apa tidak bisa pelan-pelan?" Aku mencicit ketakutan. Mas Gibran menoleh ke arah aku sekilas, langsung terlihat menyesali perbuatannya. Dengan segera mas Gibran memelankan laju mobil, lalu menghembuskan napas dengan perlahan. "Maafkan Mas sayang, Mas tadi terbawa emosi." Mas Gibran mengusap tanganku, membawanya ke depan bibir dan mengecupnya sayang. Aku mengangguk, lalu mulai meredakan jantung yang bertalu sangat kencang. Setelah menghembuskan napas lega, aku menghadap ke arah mas Gibran dengan pandangan lembut. "Dengar Mas, apa pun yang terjadi nanti aku minta Mas jangan bertindak gegabah. Kita harus menyelidiki semuanya lebih dulu, jangan sampai Mas Gibran berakhir beturusa dengan pihak berwajib." Aku menegaskan dalam berbicara, meng
Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.
Ku intip pembicaraan suamiku dengan mamah dan papa mertua di ruang tamu. Ternyata mereka tengah membicarakan aku yang tak kunjung hamil juga. Terlihat mas Gibran menatap mamah tak suka dan mamah yang balik memandang mas Gibran nyalang, sedangkan papa hanya diam tidak nampak memihak sang istri ataupun sang anak."Udahlah Gib, kalau istrimu tidak bisa memberi kami cucu, ceraikan saja dia! Toh, di luaran sana masih banyak wanita subur yang bisa memberi kamu anak. Si Lastri itu mandul, kalau tidak mana mingkin dua tahun pernikahan kalian tidak dikaruniai anak juga. Kamu itu tampan dan mapan, pasti banyak wanita yang antri ingin dipersunting olehmu."Terlihat mamah menunjuk-nunjuk mas Gibran kesal."Mah, jangan kenceng-kenceng bicaranya! Nanti Lastri dengar, aku gak mau sampai dia sakit hati karena mendengar ucapan mamah. Mau bagaimana pun keadaan Lastri, Gibran tetap cinta sama dia. Mau Lastri ngasih anak ataupun tidak, Gibran tidak akan menceraikan dia."Mamah menghempaskan tubuh dengan ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments