Ku intip pembicaraan suamiku dengan mamah dan papa mertua di ruang tamu. Ternyata mereka tengah membicarakan aku yang tak kunjung hamil juga. Terlihat mas Gibran menatap mamah tak suka dan mamah yang balik memandang mas Gibran nyalang, sedangkan papa hanya diam tidak nampak memihak sang istri ataupun sang anak.
"Udahlah Gib, kalau istrimu tidak bisa memberi kami cucu, ceraikan saja dia! Toh, di luaran sana masih banyak wanita subur yang bisa memberi kamu anak. Si Lastri itu mandul, kalau tidak mana mingkin dua tahun pernikahan kalian tidak dikaruniai anak juga. Kamu itu tampan dan mapan, pasti banyak wanita yang antri ingin dipersunting olehmu."
Terlihat mamah menunjuk-nunjuk mas Gibran kesal.
"Mah, jangan kenceng-kenceng bicaranya! Nanti Lastri dengar, aku gak mau sampai dia sakit hati karena mendengar ucapan mamah. Mau bagaimana pun keadaan Lastri, Gibran tetap cinta sama dia. Mau Lastri ngasih anak ataupun tidak, Gibran tidak akan menceraikan dia."
Mamah menghempaskan tubuh dengan kasar ke atas sopa di samping ayah, lalu mendongak menatap Gibran malas. "Secinta apa sih kamu sama dia sampai rela tidak punya keturunan?"
Mas Gibran menggeleng tak habis pikir dengan pertanyaan mamah, dia ikut mendudukan tubuh di atas sopa singgel. "Lastri itu istri aku, mah. Cinta dan kasih sayang aku seutuhnya untuk dia. Kalau mamah mempertanyakan seberapa besar rasa cintaku untuk Lastri, maka jawabannya adalah setulus ikatan suci dari pertama aku menjabat tangan ayah Diman dua tahun lalu."
Aku menitikan air mata begitu mendengar jawaban mas Gibran tentang pertanyaan mamah. Aku tahu mas Gibran sangat mencintaiku, terlepas dari aku bisa memberi dia anak atau tidak. Mas Gibran memang suami yang baik, karena itu aku masih bertahan selama ini menjadi istrinya walau tekanan mamah mertua tidak main-main sakitnya.
Kini mamah memandang papa protes. Mungkin mamah kesal karena papa tak membelanya, malah terkesan netral antara anak dan istri.
"Papa, jangan diam saja dong! Punya anak satu-satunya nasihatin, napa. Malah diam saja dari tadi. Emangnya papa mau terus diledekin sama teman-teman arisan mamah karena punya mantu tak kunjung ngasih kita cucu?"
"Lah, papa biasa aja tuh." Papa menjawab santai.
Mamah mendelik kesal, "papa sama nak sama saja. Ayo, kita pulang! Kepala mamah makin pusing kalau lama-lama di sini. Cepat!"
Mamah berdiri diikuti papa dan mas Gibran, "Mamah pulang dulu. Ingat, pikirkan baik-baik saran Mamah!" Setelah mengatakan itu, mamah melenggang pergi.
"Sudah, jangan dipikirin apa kata mamahmu! Darah tingginya lagi kumat, makanya marah-marah terus. Papa pulang dulu, sampaikan salam dari Papa untuk istrimu. Assalamaualaikum."
"Waalaikum salam." Mas Gibran menjawab.
Kusandarkan punggung pada tembok. Saat menyusut air mata, aku terlonjak kaget karena mas Gibran sudah berdiri di sampingku. Kapan dia menghampiriku? Kenapa langkah kakinya tidak terdengar?
Tanpa kata, mas Gibran membawa tubuhku ke dalam dekapan hangatnya. Mas Gibran mengelus pelan punggungku, "maafkan perkataan mamah. Mas harap kamu tidak memasukan ucapan mamah barusan ke dalam hati. Mas mungkin terkesan egois, tapi Mas benar-benar tidak mau kamu pergi. Stay with me, tetap di samping Mas Lastri apapun yang terjadi."
Mendengar ucapan mas Gibran yang terdengar begitu tulus, aku tak kuasa menahan air mata. Aku terisak dalam dekapan mas Gibran sambil mengeratkan lingkaran tanganku pada pinggangnya.
Setelah tangusanku agak reda, mas Gibran mengurai pelukannya. Dia mengusap jejak air mata di pipiku, "udah nangisnya?"
Aku mengangguk malu.
"Tadi dapat salam dari papa."
"Waalaikum salam." Aku menjawab serak titipan salam dari papa.
"Nangis gini aja masih cantik, apalagi kalau senyum." Mas Gibran tersenyum guyon ke arahku.
Karena malu kedua sudut bibirku mau tidak mau ikut melengkung tersenyum.
"Ayo, kita tidur! Ini uidah malam."
Aku mengangguk mengiyakan, lalu kami masuk ke dalam kamar guna mengistirahatkan badan dan pikiran yang lelah seharian ini.
Adzan subub berkumandang, aku bangun terlebih dahulu. Setelah mengambil air wudu, barulah kubangunkan mas Gibran untuk shalat berjamah.
Setelah shalat mas Gibran tidur lagi karena ini hari minggu, berbeda denganku yang memilih mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, saat aku sedang memnereskan cucian piringku, aku samar-samar seperti mendengar suara tangisan bayi.
Mungkin itu suara tangisan bayi tetangga, pikirku. Namun, saat aku mengingat-ngingat kembali, semua tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumahku tidak ada yang mempunyai bayi. Lalu, tangisan bayi siapa itu? Kenapa suaranya terdengar dekat?
Bergegas ku dekati sumber suara tangisan itu. Lambat laun langkahku mendekati pintu depan. Saat kubuka pintu, betapa terkejutnya saat melihat sesosok bayi dalam kardus terletak di depan pintu rumahku.
"Astagfirullah, bayi siapa ini?" Ucapku sembari berjongkok. Saat ku lihat, aku lebih terkejut lagi karena bayi ini sepertinya baru lahir banget. Terdapat tali pusar serta di tubuhnya madih ada darahnya.
Segera ku bawa bayi itu masuk ke dalam rumah beserta kardus-kardusnya karena aku tak tahu cara memangku bayi yang benar. Ku panggil-panggil mas Gibran, "mas, mas Gibran."
Tak lama mas Gibran datang sambil mengucek matanya dan menguap, "ada apa, sayang? Kok teriak kayak orang panik gitu?"
"Mas," panggilku gelisah.
Mas Gibran lalu menurunkan tangan dari kucekan matanya, lalu menatap ke arahku. Matanya membola sama terkejutnya denganku saat pertama kali menemukan bayi ini. "Ya Allah, sayang. Bayi siapa ini?" Dengan cepat mas Gibran menghampiriku yang tengah duduk di sopa dengan bayi dalam kardus di atas meja.
"Aku gak tahu."
Mas Gibran memandangku sama gelisahnya, "kamu menemukannya di mana?"
"Di depan pintu rumah kita, Mas." Jawabku apa adanya.
"Astagfirullah, tega-teganya ada yang membuang bayi begini." Mas Gibran menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sayang, cepat ambil selimut atau kain apa saja untuk menyelimuti bayi ini!"
Aku mengangguk, lalu bergegas mencari kain atau selimut yang ku punya. Aku bersyukur saat menemukan selembar kain yang akan kubuat baju. Kuambil kain itu dan membawanya untuk kuberikan pada mas Gibran.
"Ini, Mas." Aku mengasongkan kain itu pada mas Gibran.
Dengan telaten mas Gibran membungkus bayi merah yang terlihat kedinginan itu, lalu membawanya ke dalam gendongan.
"Mas, kita harus apa sekarang? Apa melaporkannya pada pak Rt saja?" tanyaku pada mas Gibran yang sedang mengeyong-ngeyong bayi.
Mas Gibran menatap bayi itu lama. Entah apa yang dia pikirkan sehingga begitu larut dalam lamunannya sendiri. Aku menepuk pundaknya gina menyadarkan mas Gibran, "Mas," panggilku.
Perlahan mas Gibran mendongak ke arahku. Kedua sudut bibirnya melengkung menciptakan senyuman teramat manis, "mungkin ini cara Allah SWT. menitipkan amanahnya pada kita. Bagaimana kalah kita rawat saja bayi ini? Tak apa bila bayi ini bukan anak kita, Mas yakin kita bisa menjadi ibu serta ayah yang baik untuk dia."
***
Sebenarnya aku juga kepikiran hal yang sama dengan mas Gibran untuk merawat bayi ini. Namun, kalau tidak melaporkannya terlebih dahulu pada pak Rt, takutnya ke depan nanti akan mendapat masalah yang tak terduga.Kutatap balik mata mas Gibran yang memandangku dengan binar mata cerah, "apa tidak apa-apa, Mas? Soalnya kita belum laporan lada pak Rt." Tanyaku sedikit khawatir.Mas Gibran menatapku geli, "ya, kita laporan dulu sayang. Setelah laporan kita ajukan pengadopsiannya, baru setelah itu kita menjadi orang tua angkatnya yang sah."Aku tersenyum dan mengangguk mengerti."Bayi ini laki-laki, mau kamu namain siapa?" tanya mas Gibran kepadaku.Aku tersenyum dan ikut memandang bayi putih menggemaskan dalam gendongan suamiku. Setelah melihatnya lamat-lamta, satu nama melintas dipikiranku. "Bagaimana kalau 'Aydan Atthallah. Aydan memiliki arti pemuda yang penuh semangat, sedangkan Atthallah berati hadiah atau karunia Allah. Bagaimana, Mas?"Mas Gibran memandangku lembut, "itu nama yang ba
Saat ini aku lagi menjemur baby Aydan di bawah sinar matahari. Para tetangga yang kebetulan rumahnya berdampingan dengan rumahku terang-terangan melihatku dengan pandangan memgejek sekaligus hina. "Lihat si Lastri! Dia kan gak hamil-hamil, eh kesenangan nemu bayi di depan pintu ruamhnya. Walaupun itu bayi sudah bisa dipastikan bayi haram, tapi mau-mau aja dia ngerawatnya. Apa gak takut kena sial, dia?"Aku yang tengah mendunduk memandang baby Aydan dalam pangkuanku mendengar jelas suara bu Yulis tetanggaku, ibunya Vina. Namun, aku tetap acuh seolah tidak mendengar ucapannya."Memangnya itu anak haram?"Terdengar bu Gina tukang pamer perhiasan ikut nimbrung akan pertanyaan sok tahunya bu Yulis."Ya ampun, emangnya ada gitu bayi yang masih merah dengan sengaja dibuang oleh orang tuanya kalau itu bukan anak haram. Sudah jelas kali bu Gina." Bu Yulis menjawab pertanyaan bu Gina. Aku tahu, suaranya sengaja di tinggikan bair aku mendengar acara gibahnya. Namun, aku tetap berusaha tidak t
Mamah terlihat gelisa. Mungkin karena kepalang tanggung ms Gibran memergokinya tengah mau membawa beby Aydan pergi, mamah berkta jujur. "Mamah mau bawa bayi ini ke panti asuhan. Mau mamah berikan pada ibu panti. Kenapa? Kamu mau coba halangin mamah?"Terlihat wajah mas Gibran memerah marah. Giginya bergemulutuk karena beradu satu sama lain. Namun, aku tahu mas Gibran mencoba tidak terpancing dengan ucapan mamah barusan. Aku juga sama marahnya dengan mas Gibran, tapi tentu saja aku harus main cantik untuk menyelamatkan baby Aydan."Mamah, pak Rt sudah mengizinkan kami untuk mengurusnya. Kenapa mamah malah mau mengirim baby Aydan ke panti asuhan?" Ucapku dengan nada tersakiti. Terasa tangan mas Gibran yang melingkari pinggangku mengerat.Mamah mendelik sinis, "ya, biar kalian bisa fokus pada program kehamilan kalian. Kalau ada bayi ini, kapan kalian fokusnya.""Mah, kami pasti program kehamilan, tapi aku mohon sama mamah. Tolong letak balik baby Aydan ke atas kasur. Mamah jangan bawa di
Mas Gibran berhenti melangkah, "Mas gak tau, sayang, nanti kita cari tau lagi. Sekarang lebih baik Mas antar kamu pulang dulu, baru setelah itu Mas kembali kerja. Kalau ada apa-apa, ingat kamu harus hubungi mas, ok!""Iya, Mas." Aku menjawab patuh.Saat aku turun dari motor mas Gibran, aku bertemu Dvina yang terlihat baru keluar dari dalam rumahnya. Lagi-lagi Devina memandang baby Aydan dengan tatapan yang menurutku aneh, tapi segera kutepis pemikiran buruk yang mampir ke pemikiranku."Mbak Las, dari mana?" Devina bertanya sambil tersenyum tipis. Namun, aku tahu sesekali dia selalu curi-curi pandang pada baby Aydan dipangkuanku."Habis dari klinik, Vin." Jawabku apa adanya.Aku menangkap raut terkejut dari wajah Devina. Namun, itu hanya sekilas karena Devina sangat apik menyembunyikan ekspresinya itu.Devina kembali mengulas senyuman tipis, "siapa yang sakit, Mbak Las?"Devina ini anak pendiam, mendapati dia bertanya-tanya seperti sekarang membuat aku sedikit aneh dan curiga. "Oh, gak
Kini kami berempat sudah duduk di atas sopa. Tidak, lebih tepatnya kami bertiga karena mas Gibran memilih duduk di lengan kursi tunggal yang aku duduki sambil sebelah tangannya bertengger di pundaku."Jadi ada urusan apa mamah datang ke sini?" Tanpa menunggu lama mas Gibran langsung menanyai tujuan mamah menemuinya. Sebenarnya aku yakin mas Gibran sudah mengetahui tujuan mamah datang ke sini, hanya saja mungkin mas Gibran cuma ingin basa basi saja."Menemui kamu lah, memangnya apa lagi?" Mamah menjawab agak ketus. Mamah melirik tangan mas Gibran di pubdakku, lalu melengoskan wajah seperti tidak rela tangan anaknya ini bersentuhan dengan tubuhku.Mas Gibran melirik Fika yang duduk di samping mamah, "lalu ngapain dia di sini?"Berbanding terbalik saat mamah melihatku dengan jutek, waktu mamah memnoleh ke arah Fika, wajahnya berubah bersinar seolah Fika ini calon menantu idaman semua mertua. "Mamah ingin memperkenalkannya pada kamu. Namanya Fika Anindita. Kamu bisa lihat orangnya cantik
Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu. Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri."Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan. "Mau mencoba kabu
"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya. "Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah. Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh
Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la
Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,
Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku
"kamu masih berani bertanya?" Mas Gibran menggertakkan gigi marah. Ia menatap mas Ferdi nyalang, kilat kemarahan membara pada mata mas Gibran. Baru kali ini aku melihat mas Gibran semarah ini, sudah seperti layaknya orang kesetanan. "Mas Gibran," aku memanggil pelan. "Tahan emosi, Mas."Mas Gibran menoleh ke arah aku, "dari awal laki-laki ini memang terlihat tidak baik, itu sebabnya Mas gak suka saat melihatnya berkunjung ke rumah kita. Tatapan dia penuh maksud, apa lagi saat menatap kamu sayang. Sebagai laki-laki, Mas jelas tahu tatapan yang laki-laki ini berikan saat menatap kamu adalah tatapan cinta." Aku terdiam, mencerna ucapan mas Gibran. Apa katanya tadi? Cinta. Namun, sejak kapan? Aku dan mas Ferdi saja baru bertemu belum lama, yaitu saat di mall saat bersama Fika. Tidak mungkin kan kalau mas Ferdi ini ternyata adalah orang dari masa lalu aku? Ku menatap wajah mas Ferdi, mengingat-ngingat apa aku mengenalnya dulu atau tidak. Namun, sejauh aku menggali ingatan, tidak ada i
Aku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman di dada, merasa ngeri melihat mas Gibran mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melirik kecil mad Gibran, menelan ludah begitu mendapati rahang mengeras mas Gibran tampak menakutkan. "Mas apa tidak bisa pelan-pelan?" Aku mencicit ketakutan. Mas Gibran menoleh ke arah aku sekilas, langsung terlihat menyesali perbuatannya. Dengan segera mas Gibran memelankan laju mobil, lalu menghembuskan napas dengan perlahan. "Maafkan Mas sayang, Mas tadi terbawa emosi." Mas Gibran mengusap tanganku, membawanya ke depan bibir dan mengecupnya sayang. Aku mengangguk, lalu mulai meredakan jantung yang bertalu sangat kencang. Setelah menghembuskan napas lega, aku menghadap ke arah mas Gibran dengan pandangan lembut. "Dengar Mas, apa pun yang terjadi nanti aku minta Mas jangan bertindak gegabah. Kita harus menyelidiki semuanya lebih dulu, jangan sampai Mas Gibran berakhir beturusa dengan pihak berwajib." Aku menegaskan dalam berbicara, meng
Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.