Kini kami berempat sudah duduk di atas sopa. Tidak, lebih tepatnya kami bertiga karena mas Gibran memilih duduk di lengan kursi tunggal yang aku duduki sambil sebelah tangannya bertengger di pundaku.
"Jadi ada urusan apa mamah datang ke sini?" Tanpa menunggu lama mas Gibran langsung menanyai tujuan mamah menemuinya. Sebenarnya aku yakin mas Gibran sudah mengetahui tujuan mamah datang ke sini, hanya saja mungkin mas Gibran cuma ingin basa basi saja."Menemui kamu lah, memangnya apa lagi?" Mamah menjawab agak ketus. Mamah melirik tangan mas Gibran di pubdakku, lalu melengoskan wajah seperti tidak rela tangan anaknya ini bersentuhan dengan tubuhku.Mas Gibran melirik Fika yang duduk di samping mamah, "lalu ngapain dia di sini?"Berbanding terbalik saat mamah melihatku dengan jutek, waktu mamah memnoleh ke arah Fika, wajahnya berubah bersinar seolah Fika ini calon menantu idaman semua mertua. "Mamah ingin memperkenalkannya pada kamu. Namanya Fika Anindita. Kamu bisa lihat orangnya cantik dan baik, jadi mamah harap kamu bisa berkenalan dengan baik sama Fika ini.""Tujuan mamah apa ngenalin aku sama Fika ini?" Jelas nada suara mas Gibran menyiratkan ketidak sukaan yang kentara. Aku terkikik dalam hati. Apa aku bilang, mas Gibran mana mau modelan kaya si Fika yang seperti toko emas berjalan.Terlihat mamah menghela napas lelah. Lihatkan, mas Gibran malah sudah menunjukan penolakannya. Kan, ngeyel sih jadi orang."Ya, kenalan saja. Siapa yang tahu kamu cocok dan kalian berdua menikah. Fika ini subur orangnya, tidak mandul kayak si Lastri istri kamu ini." Mamah meliriku sinis.Kulihat Fika juga ikut menyeringai ke arahku yang kubalas dengan menaikan sebelah alis guna meanntangnya. Dia pikir dengan hanya mengandalkan promosian mamah, mas Gibran akan tertarik? Kamu belum tahu saja karakter mas Gibran yang sesungguhnya dalam menolak perempuan yang mendekatinya.Ya, aku juga sebenarnya tidak bisa menyalahkan para perempuan yang berlomba untuk mendapatkan mas Gibran, soalnya mas Gibran itu orangnya tampan abis dengan badan atletis dan terlihat ramah pula. Namun, di balik semua itu, tersimpan sifat blak-blakan dan bermulut pedas."Cukup, Mah! Sudah berapa kali aku bilang, jangan pernah sebut Lastri mandul lagi. Lastri tidak mandul, hanya saja Allah SWT. belum mempercayakan kami untuk memilikinya. Kalau mmah masih mau bilang Lastri mandul, lebih baik mamah sekarang pulang. Sekalian bawa juga perempuan tidak tahu malu ini."Ho ho ho, apa aku bilang? Mulut mas Gibran ini pedas. Dia tidak segan mengusir mamahnya sendiri bila hanya datang untuk mengganggunya. Apalagi Fika, sekalian dihina 'kan.Mamah berdiri sambil menatap mas Gibran nyalang, "demi wanita ini," mamah menunjuk wjahku. "kamu tega ngusir mamah. Memangnya kamu lupa siapa yang mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu hingga sesukses sekarang? Mamah Gibran, bukan si Lastri. Jadi anak kok gak tahu diri banget."Terdengar helaan napas kasar mas Gibran. Lalu mas Gibran berdiri mendekati mamah, "bukan gitu, mah. Maksud aku itu cuma ingin mamah mengerti kalau Lastri itu tidak mandul. Kalau mamah tidak percaya, ayo kita cek ke Dokter. Aku pastikan ucapan aku benar. Jadi, mulai sekarang mamah gak usah carika aku calon istri lagi. Paham, kan?""Terserah apa kata kamu! Pokonya mamah tetap tidak setuju kamu mengangkat anak, apalagi anak haram. Ayo, Fika kita pergi!" Tanpa salam mamah melengos begitu saja diikuti Fika yang cemberut di belakangnya."Apa ada ucapan mamah yang masuk ke dalam hati kamu?" Mas Gibran memandangku lembut penuh penyesalan yang langsung kujawab dengan gelengan kepala."Gak ada kok, Mas." Aku balas tersenyum menenangkan. Bagaimana bisa aku sakit hati dengan ucapan wanita yang melahirkan suamiku ini, sedangkan mas Gibran sendiri sangat menjadikanku ratu dalam hidupnya."Syukurlah." Mas Gibran menghembuskan napas lega. "Oh, iya. Tadi kamu telepon ada apa? Maaf, ya. Handphon Mas tadi gak kebawa saat Mas pengecekan di lapangan.""Iya, Mas gak apa-apa. Tadi itu aku ingin memberitahu Mas kalau baby Aydan ternyata mau minum susu setelah dia lapar. Berarti kemungkinan ucapan bu Bidan itu benar, kalau sebelumnya baby Aydan sudah kenyang. Lalu siapa yang memberi minum susu pada baby Aydan?"Lama mas Gibran termenung. Mungkin karena sama bingungnya seperti aku. Kalau memang ibu kandung babay Aydan itu menyayangi anaknya, kenapa pula dia sampai tega meletakan anaknya di depan pintu rumahku? Dengan keadaan tidak di selimuti dan belum dibersihkan sama sekali."Apa mungkin itu ibu kandungnya baby Aydan?" Ucapan mas Gibran barusan ternyata sepemikiran denganku.Kuusap belakang leherku yang bulunya tiba-tiba meremang, "Mas, kok aku jadi merinding ya? Tadi juga pas aku cek jendela satu persatu, ternyata ada satu jendela yang kuncinya ke buka.""Gak usah takut, Mas sudah punya rencana kok." Mas Gibran tersenyum penuh arti, "sini Mas bisikin."Setelah mendengar rencana mas Gibran, aku menatap wajah mas Gibran kurang yakin. "Apa Mas yakin dengan rencan ini?"Mas Gibran menganggukan kepala. Sebenarnya aku kurang setuju dengan ide mas Gibran. Namun, aku juga tidak ada ide lain untuk memergoki orang yang kuperkirakan sudah menyusup ke kamarku dan mas Gibran itu."Bagaimana? Apa kamu setuju?""Baiklah, besok kita jalankan rencanya." Ucapku berusaha untuk yakin. Aku hanya perlu berjaga-jaga takut orang itu berniat macam-macam pada dirinya dan baby Aydan.Keesokan paginya pun tiba di mana aku dan mas Gibran akan menjalankan rencana kami. Mas Gibran sudah berangkat kerja seperti hari-hari biasanya dan aku juga langsung beberes rumah setelah memastikan baby Aydan terlelap sehabis dimandikan.Kulirik jendela yang kemarin terbuka dan hari ini sengaja aku buka kembali. Aku tidak tahu rencana mas Gibran akan berhasil atau tidak, tapi aku berharap mau gimana ke depannya rencana ini, baby Aydan tidak kenapa-napa.Aku mulai melangkah ke luar untuk menjemur pakaian yang banyak karena memang babay Aydan sering ganti. Seolah aku melakukan aktivitasku seperti hari biasanya, aku tidak terlalu menaruh curiga agar tidak ketahuan. Setelah beberapa saat, kuhentikan acara menjemur baju, lalu aku berjalan ke arah belakang rumah yang bertepatan dengan kamarku.Kuintip melalui celah jendela yang sengaja kusibak sedikit tadi sebelum keluar. Aku langsung menutup mulut karena terkejut. Dugaanku benar, ternyata ada orang yang memberikan Asi pada baby Aydan. Namun, yang membuatku makin terkejut adalah orang yang menyusui baby Aydan. Ternyata kecurigaanku dan mas Gibran selama ini benar, kalau dialah ibu kandungnya baby Aydan.***Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu. Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri."Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan. "Mau mencoba kabu
"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya. "Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah. Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh
Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mamah berdiri diikuti Fika, aku, dan mas Gibran. Saat ini tatapan mamah begitu tajam saat melihat Fika. Dan, PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi Fika.Aku dan mas Gibran saling pandang dan berbicara lewat mata seakan saling berbicara dengan ungkapan. Kami sama-sama meringis seakan merasakan nyerinya tamparan yang Fika dapat dari mamah."Kamu berani bohongin saya?" Mamah meraung marah. Mungkin karena teramat kesal telah dibohongi, mamah menyeret Fika ke luar rumah dan membantingnya hingga jatuh di teras rumahku."Tante, itu semua bohong. Pasti foto itu editan." Fika masih berkelit. Dia enggan mengakui kesalahannya. Aku jadi ingin tahu, sebenarnya kenapa Fika sampai rela berlutut begitu demi meyakinkan mamah? Apa yang Fika harapkan? Padahal dia sudah mempunyai calon suami."Mah, sudah! Malu sama orang-orang yang pada lihatin. Tahan emosi mamah!" Mas Gibran buru-buru menghentikan mamah yang kembali akan mendorong Fika yang saat ini tengah berlutut sambil memegangi kaki mamah.M
"Vina, sebelumnya Mbak minta maaf kalau membahas ini lagi, tapi saat Mbak dan mas Gibran tadi bermusyawarah, kami memutuska untuk kembali menanyakan apakah Vina mau kembai meminta pertanggung jawaban pada Aryo?"Aku menambahkan, "kalau Vina mau tahu, sebenranya bu Yulis sudah mengetahui selama ini mengenai kehamilan Vina."Mata bulat Devina melebar terkejut. "APA?"***Aku mengangguk membenarkan, "bu Yulis memang sudah mengetahuinya. Kamu ingat saat bu Yulis datang ke rumah Mbak?"Devina mengangguk."Itu karena bu Yulis tahu kamu masuk diam-diam ke ruamah Mbak untuk menemui baby Aydan. Mungkin saat itu rencananya bu Yulis ingin melihat kamu. Namun, entah karena di kamar ini ada Mbak atau ada hal yang lainnya, bu Yulis cepat-cepat ke luar kembali. Akhirnya bu Yulis memanggil-manggil kamu untuk menyuruh kamu keluar."Aku menambahkan, "coba, kalau bukan karena bu Yulis sudah tahu kamu ada di kamar Mbak, tidak mungkin kan ucapan Mbak kemarin yang lumayan bernada tinggi sampai terdengar ke
Setelah terdiam cukup lama, bu Yulis menghembusakan napas kasar. Dia memandangi Devina rumit, mungkin memikirkan egonya yang akan tercoreng bila salah mengambil keputusan."Kamu maunya gimana, Vina?" Bu Yulis menatap Devina semrawut. Dia mengacak-acak sanggul rambutnya kasar sehingga jadi kusut.Devina menunduk menyembunyikan wajahnya dari semua orang. "Vina ngikutin Ibu saja. Kalau Ibu nersedia datangin rumahnya Aryo, Vina ikut, tapi kalau Ibu tidak mau, Vina gak apa-apa selamanya gini asal Ibu tidak menanggung malu akibat perbuatan Vina ini."Bu Yulis mengusap kasar pipinya yang terdapat lelehan air mata. "Kenapa sih kamu itu harus hamil? Cape-cape Ibu biayain kamu. Kamu pikir Ibu gak cape apa cari uang sendiri buat biayain sekolah kamu? Cape Vina, Cape! Lalu apa yang kamu berikan pada Ibu? Kamu malah memberikan ibu Aib."Bahu Devina bergetar. Aku terkejut begitu Devina jatuh berlutut sambil memegangi kaki bu Yulis. "Maaf. Maaf. Maaf. Maafin Vina bu, Vina khilaf. Ibu hukum saja Vina
Aku tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Devina. Setelah mendapat anggukan dari Devina, aku kembali meluruskan pandangan ke arah Aryo yang masih menunduk."Boleh," ucapku.Perlahan Aryo memgangkat kepalanya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri Aryo untuk menyerahkan baby Aydan. Dengan tangan bergetar, Aryo menerima baby Aydan.Terlihat sekali Aryo belum tahu cara menggendong bayi dengan benar. Aryo memangku baby Aydan seperti memegang bagi di antara dua tangannya. Aku tertawa pelan dan membenarkan letak pangkuan Aryo pada baby Aydan, barulah baby Aydan terlihat nyaman dalam gendongan ayah biologisnya.Lama sekali Aryo diam dengan pandangan menatap lekat baby Aydan dalam pangkuannya. Tangannya mengusap pelan pipi gembul kemerah-merahan baby Aydan. Sejatinya baby Aydan adalah bayi yang tidak rewel, maka saat Aryo memangkunya, baby Aydan hanya diam tenang dengan balik menatap Aryo."Kapan waktu tepatnya kita akan melaksanakan pernikahan itu?" Pak Ridwan kembali angkat suara setelah ter
"Mas," aku menatap mas Gibran penuh peringatan. Kenapa nada suaranya malah jadi tidak bersahabat begitu? Cemburunya tak beralasan. Mas Gibran menatapku jengkel sekaligus kesal. Aku tahu alasan kenapa mas Gibran menatapku begitu, apalagi kalau bukan bentuk protes dari peringatanku."Silahkan masuk, Mas Ferdi." Dengan sopan kupersilahkan masuk tamuku yang datang di waktu tidak tepat itu.Ferdi masuk ke dalam rumah dan duduk dengan nyaman di atas sopa. Namun, saat aku ingin menghampirinya, mas Gibran menahan pergelangan tanganku. Aku mengangkat sebelah alisku menunggu mas Gibran bicara."Siapa dia?"Ingin sekali aku memutar bola mataku ini kalau tidak takut dosa karena mencela suami sendiri. "Mas, apa kamu lupa? Dia itu laki-laki yang ada di foto yang aku tunjukan beberapa hari lalu. Dia itu tunangannya Fika. Apa sekarang Mas sudah ingat?"Mas Gibran menepuk jidatnya saat ingatan itu kembali. Dia cengengesan karena sudah salah mencemburui orang. Dengan wajah yang kembali normal, mas Gib
Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la
Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,
Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku
"kamu masih berani bertanya?" Mas Gibran menggertakkan gigi marah. Ia menatap mas Ferdi nyalang, kilat kemarahan membara pada mata mas Gibran. Baru kali ini aku melihat mas Gibran semarah ini, sudah seperti layaknya orang kesetanan. "Mas Gibran," aku memanggil pelan. "Tahan emosi, Mas."Mas Gibran menoleh ke arah aku, "dari awal laki-laki ini memang terlihat tidak baik, itu sebabnya Mas gak suka saat melihatnya berkunjung ke rumah kita. Tatapan dia penuh maksud, apa lagi saat menatap kamu sayang. Sebagai laki-laki, Mas jelas tahu tatapan yang laki-laki ini berikan saat menatap kamu adalah tatapan cinta." Aku terdiam, mencerna ucapan mas Gibran. Apa katanya tadi? Cinta. Namun, sejak kapan? Aku dan mas Ferdi saja baru bertemu belum lama, yaitu saat di mall saat bersama Fika. Tidak mungkin kan kalau mas Ferdi ini ternyata adalah orang dari masa lalu aku? Ku menatap wajah mas Ferdi, mengingat-ngingat apa aku mengenalnya dulu atau tidak. Namun, sejauh aku menggali ingatan, tidak ada i
Aku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman di dada, merasa ngeri melihat mas Gibran mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melirik kecil mad Gibran, menelan ludah begitu mendapati rahang mengeras mas Gibran tampak menakutkan. "Mas apa tidak bisa pelan-pelan?" Aku mencicit ketakutan. Mas Gibran menoleh ke arah aku sekilas, langsung terlihat menyesali perbuatannya. Dengan segera mas Gibran memelankan laju mobil, lalu menghembuskan napas dengan perlahan. "Maafkan Mas sayang, Mas tadi terbawa emosi." Mas Gibran mengusap tanganku, membawanya ke depan bibir dan mengecupnya sayang. Aku mengangguk, lalu mulai meredakan jantung yang bertalu sangat kencang. Setelah menghembuskan napas lega, aku menghadap ke arah mas Gibran dengan pandangan lembut. "Dengar Mas, apa pun yang terjadi nanti aku minta Mas jangan bertindak gegabah. Kita harus menyelidiki semuanya lebih dulu, jangan sampai Mas Gibran berakhir beturusa dengan pihak berwajib." Aku menegaskan dalam berbicara, meng
Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.