Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu.
Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri."Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan."Mau mencoba kabur?" Tanyaku sambil menyeringai."Mbak Las, tolong lepaskan!" Devina mengiba. Tentu saja aku tidak menurutinya. Di sini yang harus nurut itu Devina, bukan aku."Tidak, sebelum kamu menjelaskan tentang perbuatanmu." Aku tetap kekeh. Namun, ternyata Devina sama keras kepalanya. Dia menggigit tanganku sehingga refleks aku melepaskan cekalan tangan pada pergelangan tangannya.Devina berlari ke arah jendela yang tidak terkunci. Namun, aku tidak kehabisan akal. Aku berteriak lantang mengancam Devina. "Kalau kamu tidak berhenti, maka aku akan memberitahu semua orang kalau ibu dari baby Aydan sekaligus yang meninggalkannya begitu saja di depan pintu rumahku adalah kamu."Kaki Devina yang sudah ingin menaiki jendela sontak terhenti. Dia berbalik memandangku takut. Aku bersorak senang dalam hati karena ucapanku barusan berhasil membuatnya tidak jadi melarikan diri.Perlahan Devina kembali menghampiri baby Aydan yang masih menangis. Dia membawa baby Aydan ke atas pahanya setelah mendudukan tubuh di atas ranjangku. Otomatis tangisan baby Aydan terhenti begitu rasa nyaman dekapan sang ibu ada pada kehangatannya.Aku benar-benar tidak menyangka gadis pendiam seperti Devina bisa hamil di usianya yang masih belia. Lalu siapa laki-laki yang sudah menghamilinya? Aku meringis sedih menyayangkan masa depannya.Devina yang aku pergoki saat tengah menyusui baby Aydan hanya bisa terdiam kaku. Mungkin dia terkejut karena tidak menyangka kelakuannya diketahui olehku.Aku melangkah mendekati Devina yang kini sudah tertunduk malu. Aku tahu Devina menangis dari bahunya yang bergetar. Setelah aku tepat berada di depannya, aku berjongkok agar tinggiku sejaajar dengan baby Aydan yang kini ada di atas paha Devina.Aku menatap Devina lembut, "kamu ibu kandung baby Aydan?" Tanyaku to the point. Walaupun aku tahu jawabannya adalah iya. Namun, aku tetap bertanya untk menghormati privasinya Devina.Devina mengusap air matanya, "iya, Mbak Las."Kuusap pipi gembul kemerahan baby Aydan. "Kamu sengaja meletakan baby Aydan di depan pintu rumah Mbak Las?"Devina menatap langsung mataku. Dari matanya aku dapat melihat sejuta penyesalan dan tatapan terluka. Aku tidak tahu apa yang sudah gadis remaja ini lewati sehingga melahirkan baby Aydan, tapi yang pasti aku akan dengan senang hati mendengarkan kisahnya bila Devina mau bercerita."Maaf, Mbak Las. Aku bingung. Aku masih sekolah dan ibu juga tidak tahu kalau aku selama ini hamil." Devina terisak disela ucapannya. "Aku tahu Mbak Las sangat menginginkan seorang anak, jadi aku berpikir dengan meletakan anak aku di depan pintu Mbak Las, maka Mbak Las sama mas Gibran mau mengurusnya."Aku berdiri dan ikut mendudukan tubuh di atas ranjang agar bersisian dengan Devina. Kupandang langit-langit kamar, lalu menghela napas perlahan. Ku tatap Devina lekat, "siapa laki-laki itu?""Dia... Aryo, teman sekelas aku, Mbak Las.""Kenapa kamu sampai melakukan hal itu?" Aku tak habis pikir, apa sebelum melakukan hal terlarang itu Devina tidak mikir bagaimna kalau hamil? Harusnya sebagai seorang pelajar, Devina memikirkan masa depannya! Bukan malah merusaknya dengan hawa napsu sesaat."Aku.., aku juga gak tahu Mbak Las. Saat itu aku terbawa suasana. Saat sudah sadar, aku tahu bahwa mahkotaku sudah terenggut. Aku menyesal Mbak, aku sangat menyesal. Namun, saat aku meminta Aryo untuk mempertanggung jawabkannya, Aryo malah menyuruhku untuk menggugurkan anak dalam perut aku. Aku menolaknya, makanya selama ini aku selalu memakai jaket tebal untuk menutupi kehamilanku."Aku membawa Devina ke dalam pelukan. "Apa kamu mau Mbak datangi Aryo itu?"Aku tentu akan menyurih Aryo mempertanggung jawabkan perbuatannya. Habis manis sepah dibuang. Aryo ini sangat keterlaluan. Bagaimana bisa dia membiarkan Devina menanggung kesalahan mereka berdua? Pokonya aku akan memperjuangkan hak untuk Devina."Tidak usah, Mbak Las. Aku takut ibu malah mengetahuinya jika sampai Mbak Las mendatangi Aryo. Aku gak mau ibu mennggung malu, cukup aku saja yang berdosa dan menanggung semuanya sendiri."Aku melepas pelukanku pada Devina. Aku tak mengerti, kenapa Devina ini tidak mengatakan hal sebenarnya saja pada bu Yulis. Alasan tidak mau bu Yulis menanggung malu, lalu apa perbuatan Devina yang menaruh sembarangan baby Aydan di depan rumahku itu tidak keterlaluan."Harusnya kamu katakan hal ini pada bu Yulis. Menaruh baby Aydan di depan pintu rumah Mbak juga tidak dapat dikatakan benar. Setidaknya kalau kamu mengatakan yang sebenarnya pada bu Yulis, baby Aydan akan diurus oleh bu Yulis. Kamu juga tidak perlu sembunyi-sembunyi mendatangi baby Aydan seperti ini."Aku tahu perkataanku ini kejam. Namun, mau bagaimana pun, aku cukup marah pada pemikiran egois Devina yang seakan-akan perlakuannya pada bbay Aydan hanya semata demi melindungi nama baik dirinya serta nama baik bu Yulis saja. Lalu apa dia tidak memikirkan nasib baby Aydan kalau dia tidak bersedia mengurusnya?Begitu mendengar perkataanku, Devina langsung menaruh baby Aydan di atas ranjang. Dia berdiri sambil menyorot aku dengan tatapan nyalang. "Jadi Mbak Las gak ikhlas ngurusin baby Aydan selama ini. Mbak Las gak ngerti. Mbak Las gak akan pernah mengerti dengan yang aku alami selama ini. Kalau sampai ibu mengetahui aku hamil, bukan hanya menyuruh untuk menggugurkannya saja, ibu juga akan menghukum aku habis-habisan. Kalau Mbak Las tidak mau mengurus anak aku, maka biarkan aku membawanya dan akan ku titipkan di panti asuhan. Setidaknya aku tahu anak aku ada di mana dan bisa melihatnya untuk memastikan dia baik-baik saja."Aku kaget dengan jawaban Devina. Segera aku berdiri dan membantah perkataannya barusan. "Bukan seperti itu maksud Mbak, Vina. Mbak sangat ikhlas mengurus baby Aydan selama ini, jadi kamu jangan menuduh yang enggak-enggak. Sekarang kamu tenangin diri dulu."Terlihat Devina melengoskan wajahnya marah. Apa perkataanku tadi benar-benar menyakiti hatinya. Aku tahu bu Yulis orang seperti apa, setidak sukanya dia saat mengetahui Devina hamil, aku yakin bu Yulis tidak akan menyuruh Devina menggugurkan kandungannya. Devina hanya terlalu dihantui ketakutan serta rasa bersalahnya yang berlebihan, makanya dia begitu parno dengan hal yang belum terjadi."Mbak minta maaf kalau perkatan Mbak tadi sudah menyinggungmu. Mbak tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Mbak serahkan semua urusan ini di tanganmu. Jadi jangan marah, ya?" Aku berucap lembut dan perlahan. Jangan lupakan, walaupun sudah punya anak, nyatanya Devina ini masih remaja dengan emosi dan pemikiran labil. Jadi satu-satunya jalan untuk meredakan emosinya, aku sebagai wanita dewasa yang harus mengalah.Devina mulai kembali melembutkan raut wajahnya. Dia mengangguk. "Iya, Mbak, tapi jangan kasih tahu ibu dulu!"Aku mengangguk demi kenyamanan bersama. Namun, gedoran pintu membuat Devina terperanjat takut bercampur gelisah. Bukan takut akan gedorannya, melainkan suara nyaring bu Yulis yang memanggil nama Devina.***"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya. "Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah. Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh
Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mamah berdiri diikuti Fika, aku, dan mas Gibran. Saat ini tatapan mamah begitu tajam saat melihat Fika. Dan, PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi Fika.Aku dan mas Gibran saling pandang dan berbicara lewat mata seakan saling berbicara dengan ungkapan. Kami sama-sama meringis seakan merasakan nyerinya tamparan yang Fika dapat dari mamah."Kamu berani bohongin saya?" Mamah meraung marah. Mungkin karena teramat kesal telah dibohongi, mamah menyeret Fika ke luar rumah dan membantingnya hingga jatuh di teras rumahku."Tante, itu semua bohong. Pasti foto itu editan." Fika masih berkelit. Dia enggan mengakui kesalahannya. Aku jadi ingin tahu, sebenarnya kenapa Fika sampai rela berlutut begitu demi meyakinkan mamah? Apa yang Fika harapkan? Padahal dia sudah mempunyai calon suami."Mah, sudah! Malu sama orang-orang yang pada lihatin. Tahan emosi mamah!" Mas Gibran buru-buru menghentikan mamah yang kembali akan mendorong Fika yang saat ini tengah berlutut sambil memegangi kaki mamah.M
"Vina, sebelumnya Mbak minta maaf kalau membahas ini lagi, tapi saat Mbak dan mas Gibran tadi bermusyawarah, kami memutuska untuk kembali menanyakan apakah Vina mau kembai meminta pertanggung jawaban pada Aryo?"Aku menambahkan, "kalau Vina mau tahu, sebenranya bu Yulis sudah mengetahui selama ini mengenai kehamilan Vina."Mata bulat Devina melebar terkejut. "APA?"***Aku mengangguk membenarkan, "bu Yulis memang sudah mengetahuinya. Kamu ingat saat bu Yulis datang ke rumah Mbak?"Devina mengangguk."Itu karena bu Yulis tahu kamu masuk diam-diam ke ruamah Mbak untuk menemui baby Aydan. Mungkin saat itu rencananya bu Yulis ingin melihat kamu. Namun, entah karena di kamar ini ada Mbak atau ada hal yang lainnya, bu Yulis cepat-cepat ke luar kembali. Akhirnya bu Yulis memanggil-manggil kamu untuk menyuruh kamu keluar."Aku menambahkan, "coba, kalau bukan karena bu Yulis sudah tahu kamu ada di kamar Mbak, tidak mungkin kan ucapan Mbak kemarin yang lumayan bernada tinggi sampai terdengar ke
Setelah terdiam cukup lama, bu Yulis menghembusakan napas kasar. Dia memandangi Devina rumit, mungkin memikirkan egonya yang akan tercoreng bila salah mengambil keputusan."Kamu maunya gimana, Vina?" Bu Yulis menatap Devina semrawut. Dia mengacak-acak sanggul rambutnya kasar sehingga jadi kusut.Devina menunduk menyembunyikan wajahnya dari semua orang. "Vina ngikutin Ibu saja. Kalau Ibu nersedia datangin rumahnya Aryo, Vina ikut, tapi kalau Ibu tidak mau, Vina gak apa-apa selamanya gini asal Ibu tidak menanggung malu akibat perbuatan Vina ini."Bu Yulis mengusap kasar pipinya yang terdapat lelehan air mata. "Kenapa sih kamu itu harus hamil? Cape-cape Ibu biayain kamu. Kamu pikir Ibu gak cape apa cari uang sendiri buat biayain sekolah kamu? Cape Vina, Cape! Lalu apa yang kamu berikan pada Ibu? Kamu malah memberikan ibu Aib."Bahu Devina bergetar. Aku terkejut begitu Devina jatuh berlutut sambil memegangi kaki bu Yulis. "Maaf. Maaf. Maaf. Maafin Vina bu, Vina khilaf. Ibu hukum saja Vina
Aku tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Devina. Setelah mendapat anggukan dari Devina, aku kembali meluruskan pandangan ke arah Aryo yang masih menunduk."Boleh," ucapku.Perlahan Aryo memgangkat kepalanya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri Aryo untuk menyerahkan baby Aydan. Dengan tangan bergetar, Aryo menerima baby Aydan.Terlihat sekali Aryo belum tahu cara menggendong bayi dengan benar. Aryo memangku baby Aydan seperti memegang bagi di antara dua tangannya. Aku tertawa pelan dan membenarkan letak pangkuan Aryo pada baby Aydan, barulah baby Aydan terlihat nyaman dalam gendongan ayah biologisnya.Lama sekali Aryo diam dengan pandangan menatap lekat baby Aydan dalam pangkuannya. Tangannya mengusap pelan pipi gembul kemerah-merahan baby Aydan. Sejatinya baby Aydan adalah bayi yang tidak rewel, maka saat Aryo memangkunya, baby Aydan hanya diam tenang dengan balik menatap Aryo."Kapan waktu tepatnya kita akan melaksanakan pernikahan itu?" Pak Ridwan kembali angkat suara setelah ter
"Mas," aku menatap mas Gibran penuh peringatan. Kenapa nada suaranya malah jadi tidak bersahabat begitu? Cemburunya tak beralasan. Mas Gibran menatapku jengkel sekaligus kesal. Aku tahu alasan kenapa mas Gibran menatapku begitu, apalagi kalau bukan bentuk protes dari peringatanku."Silahkan masuk, Mas Ferdi." Dengan sopan kupersilahkan masuk tamuku yang datang di waktu tidak tepat itu.Ferdi masuk ke dalam rumah dan duduk dengan nyaman di atas sopa. Namun, saat aku ingin menghampirinya, mas Gibran menahan pergelangan tanganku. Aku mengangkat sebelah alisku menunggu mas Gibran bicara."Siapa dia?"Ingin sekali aku memutar bola mataku ini kalau tidak takut dosa karena mencela suami sendiri. "Mas, apa kamu lupa? Dia itu laki-laki yang ada di foto yang aku tunjukan beberapa hari lalu. Dia itu tunangannya Fika. Apa sekarang Mas sudah ingat?"Mas Gibran menepuk jidatnya saat ingatan itu kembali. Dia cengengesan karena sudah salah mencemburui orang. Dengan wajah yang kembali normal, mas Gib
Mas Gibran mendongak, "perasaan Mas saja atau bukan, kamu tidak pernah ada datang bulan lagi sekitar dari tiga bualan yang lalu. Benar tidak?"Aku tertegun. Benar juga, memang dua bulan terakhir ini aku tidak datang bulan. Namun, dulu juga pernah gitu. Aku sudah bahagia karena menyangka hamil, tapi pas aku cek pakai testpack ternyata hasilnya negativ. "Apa mau diperiksa dulu, pakai testpak gitu?" Mas Gibran menatapku berbinar. Kentara sekali dia begitu mengharapkan seorang anak tumbuh di rahimku, tapi aku takut hasilnya negatif lagi. Kecewanya tak bisa aku bayangkan."Aku..., takut hasilnya kayak dulu." Aku menunduk balas menatap mata mas Gibran dengan sorot merasa bersalah. Mas Gibran tersenyum menenangkan. Dia bangun dari tiduran di atas pahaku, lalu membawa aku ke dalam pelukannya. "Kalau kamu tidak mau, Mas tidak akan memaksa. Jadi kamu tidak perlu memikirkan ucapan Mas yang tadi!""Iya, Mas.""Sekarang ayo kita bersiap, bukankah Mas sudah bilang kita akan makan malam di luar? B
Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la
Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,
Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku
"kamu masih berani bertanya?" Mas Gibran menggertakkan gigi marah. Ia menatap mas Ferdi nyalang, kilat kemarahan membara pada mata mas Gibran. Baru kali ini aku melihat mas Gibran semarah ini, sudah seperti layaknya orang kesetanan. "Mas Gibran," aku memanggil pelan. "Tahan emosi, Mas."Mas Gibran menoleh ke arah aku, "dari awal laki-laki ini memang terlihat tidak baik, itu sebabnya Mas gak suka saat melihatnya berkunjung ke rumah kita. Tatapan dia penuh maksud, apa lagi saat menatap kamu sayang. Sebagai laki-laki, Mas jelas tahu tatapan yang laki-laki ini berikan saat menatap kamu adalah tatapan cinta." Aku terdiam, mencerna ucapan mas Gibran. Apa katanya tadi? Cinta. Namun, sejak kapan? Aku dan mas Ferdi saja baru bertemu belum lama, yaitu saat di mall saat bersama Fika. Tidak mungkin kan kalau mas Ferdi ini ternyata adalah orang dari masa lalu aku? Ku menatap wajah mas Ferdi, mengingat-ngingat apa aku mengenalnya dulu atau tidak. Namun, sejauh aku menggali ingatan, tidak ada i
Aku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman di dada, merasa ngeri melihat mas Gibran mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melirik kecil mad Gibran, menelan ludah begitu mendapati rahang mengeras mas Gibran tampak menakutkan. "Mas apa tidak bisa pelan-pelan?" Aku mencicit ketakutan. Mas Gibran menoleh ke arah aku sekilas, langsung terlihat menyesali perbuatannya. Dengan segera mas Gibran memelankan laju mobil, lalu menghembuskan napas dengan perlahan. "Maafkan Mas sayang, Mas tadi terbawa emosi." Mas Gibran mengusap tanganku, membawanya ke depan bibir dan mengecupnya sayang. Aku mengangguk, lalu mulai meredakan jantung yang bertalu sangat kencang. Setelah menghembuskan napas lega, aku menghadap ke arah mas Gibran dengan pandangan lembut. "Dengar Mas, apa pun yang terjadi nanti aku minta Mas jangan bertindak gegabah. Kita harus menyelidiki semuanya lebih dulu, jangan sampai Mas Gibran berakhir beturusa dengan pihak berwajib." Aku menegaskan dalam berbicara, meng
Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.