Beranda / Pernikahan / Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku / Bab 14. Cemburunya Gibran bikin dongkol

Share

Bab 14. Cemburunya Gibran bikin dongkol

Penulis: Irna flo
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Mas," aku menatap mas Gibran penuh peringatan. Kenapa nada suaranya malah jadi tidak bersahabat begitu? Cemburunya tak beralasan.

Mas Gibran menatapku jengkel sekaligus kesal. Aku tahu alasan kenapa mas Gibran menatapku begitu, apalagi kalau bukan bentuk protes dari peringatanku.

"Silahkan masuk, Mas Ferdi." Dengan sopan kupersilahkan masuk tamuku yang datang di waktu tidak tepat itu.

Ferdi masuk ke dalam rumah dan duduk dengan nyaman di atas sopa. Namun, saat aku ingin menghampirinya, mas Gibran menahan pergelangan tanganku. Aku mengangkat sebelah alisku menunggu mas Gibran bicara.

"Siapa dia?"

Ingin sekali aku memutar bola mataku ini kalau tidak takut dosa karena mencela suami sendiri. "Mas, apa kamu lupa? Dia itu laki-laki yang ada di foto yang aku tunjukan beberapa hari lalu. Dia itu tunangannya Fika. Apa sekarang Mas sudah ingat?"

Mas Gibran menepuk jidatnya saat ingatan itu kembali. Dia cengengesan karena sudah salah mencemburui orang. Dengan wajah yang kembali normal, mas Gib
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 15. Mas Gibran yang mencurigakan

    Mas Gibran mendongak, "perasaan Mas saja atau bukan, kamu tidak pernah ada datang bulan lagi sekitar dari tiga bualan yang lalu. Benar tidak?"Aku tertegun. Benar juga, memang dua bulan terakhir ini aku tidak datang bulan. Namun, dulu juga pernah gitu. Aku sudah bahagia karena menyangka hamil, tapi pas aku cek pakai testpack ternyata hasilnya negativ. "Apa mau diperiksa dulu, pakai testpak gitu?" Mas Gibran menatapku berbinar. Kentara sekali dia begitu mengharapkan seorang anak tumbuh di rahimku, tapi aku takut hasilnya negatif lagi. Kecewanya tak bisa aku bayangkan."Aku..., takut hasilnya kayak dulu." Aku menunduk balas menatap mata mas Gibran dengan sorot merasa bersalah. Mas Gibran tersenyum menenangkan. Dia bangun dari tiduran di atas pahaku, lalu membawa aku ke dalam pelukannya. "Kalau kamu tidak mau, Mas tidak akan memaksa. Jadi kamu tidak perlu memikirkan ucapan Mas yang tadi!""Iya, Mas.""Sekarang ayo kita bersiap, bukankah Mas sudah bilang kita akan makan malam di luar? B

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 16. Perasaan tidak nyaman

    Aku menggoyangkan mulut, menimbang tawaran mas Ferdi. Kalau menolak, bagaimana dengan baby Aydan yang akan kehujanan? Tapi kalau mengiyakan, aku takut ada orang salah faham dan berburuk sangka. Mendapati situasi sulit seperti ini, membuat aku makin kesel saja pada mas Gibran. Memangnya sepenting apa pekerjaan dia itu sampai nekat meninggalkan istri dan anak di restoran gini? Mana tidak nyimpen uang lagi. Mau bagaimana lagi, aku harus mengutamakan baby Aydan. Kalau sampai dia kehujanan nanti dia bisa sakit. Aky menoleh ke arah mas Ferdi, mengangguk sebagai jawaban dari tawarannya tadi."Kalau begitu mari, mobil saya ada di sana." Mas Ferdi menunjuk sebuah mobil putih yang terparkir sejauh 15 meter dari tempat aku berdiri sekarang. "Ya, mari." Aku menjawab. Aku mengikuti mas Ferdi menuju mobilnya. Entah kenapa perasaan aku menjadi tidak enak, punggung terasa dingin. Mungkin hanya karena udara malam, aku mengenyahkan pikiran buruk itu segera. Saat masuk ke dalam mobil, mas Ferdi me

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 17. Perempuan yang mengaku hamil anak mas Gibran

    Adzan berkumandang, aku menggeliat dan bangun. Saat meraba tempat yang selalu menjadi kebiasaan mas Gibran tidur, ternyata kosong dan terasa dingin. Itu artinya mas Gibran tidak tidur di sambungnya atau juga mungkin tidak pulang sama sekali. Aku mengusap dada, rasa tidak nyaman itu semakin melanda. Untuk menghilangkannya, mungkin aku harus berwudhu dan shalat dulu. Setelah itu berdoa memohon pada yang maha kuasa untuk memberi perlindungan pada mas Gibran di manapun dia berada. Selesai menunaikan ibadah serta berdoa, aku melihat baby Aydan yang masih tertidur lelap. Aku memutuskan untuk membersihkan rumah dulu, setelah itu memasak dengan harapan mas Gibran akan pulang pagi. Namun, ternyata harapan tinggal harapan, mas Gibran tak kunjung pulang. Bergegas aky kembali ke kamar, mengecek ponsel mudah-mudahan mas Gibran ada mengabari aku lewat benda pipih itu. "Kok gak ada, pesanku juga cuma di baca doang. Tidak biasanya mas Gibran seperti ini, ada apa? Perasaan aku benar-benar tidak ny

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 18. Antara tega dan tidak tega

    Aku tidak pulang ke rumah, karena tahu mas Gibran pasti menyusul ke sana. Kali ini aku pulang ke rumah yang sudah tiga tahun ini aku tinggalkan. Semenjak menikah dengan mas Gibran, aku memang tidak pernah datang lagi ke sini. Rumah lamaku yang sangat aku sayangi. Walau tahu kemungkinan mas Gibran juga akan datang menyusul ke sini, tapi setidaknya kami akan membahas masalah yang terjadi jauh dari orang-orang. Hanya kami berdua, sejujurnya aku belum bisa kalau harus ada orang lain yang ikut campur pada masalah ini. Ku tidurkan baby Aydan di atas ranjang sempit milikku. Ku usap dahi dan pipinya dengan sayang, lalu menangis di sampingnya. Posisiku sekarang adalah duduk di bawah ranjang, sedangkan baby Aydan terlelap tidur di atas ranjang. Entah berapa lama aku menangis, tapi yang jelas sampai membuatku ketiduran. Saat matahari sudah meninggi, pertanda siang hari sudah datang. Bergegas aku pergi ke kamar mandi yang terletak di dapur, mengambil wudhu dan menunaikan shalat dengan khusu.

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 19. Tidak perlu obat, hanya butuh pelukan

    "Jawab mas!" "Ma-mas ... sayang, Mas ... gak tahu," mas Gibran menunduk. Aku menghembuskan napas dengan kasar. "Ke mana sikap tegas Mas Gibran? Kenapa malah menunduk seperti ini? Yang aku butuhkan adalah jawaban pasti, bukan keragu-raguan seperti ini. Sekarang aku tanya sekali lagi, apa Mas Gibran Yakin pernah tidur dengan perempuan itu? Tidak mungkin kan seorang laki-laki bisa tanpa sadar melakukan sesuatu pada perempuan tanpa bisa dia mengingatnya, kecuali kalau saat itu Mas Gibran mabuk dengan tingkat kesadaran yang sangat minim." "Mas yakin saat itu gak mabuk," mas Gibran langsung membantah tuduhan ku. "Minuman yang diberikan Novi hanya kopi, tidak mengandung alkohol." Aku menyipitkan mata, "apa setelah meminum kopi itu Mas Gibran merasakan perubahan pada suhu tubuh atau apapun selain itu?" Mas Gibran tampak termenung sesaat, sebelum kemudian menggeleng. Aku makin menyipitkan mata begitu persoalan yang dialami mas Gibran mulai menemukan titik temu. Ku dekati mas Gibran dan m

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 20. Rencana Lastri

    Mas Gibran tampak termenung beberapa saat. Mungkin sedang memikirkan perkataan aku barusan. Dengan sabar aku menunggu, hingga akhirnya mas Gibran menatapku dengan pandangan kurang yakin.Mas Gibran menghela napas perlahan, menatap aku pasrah. "Kalau ruang kerja Mas ada CCTV, tapi untuk kamar itu gak ada. Kamu sendiri tahu, kamar itu Mas gunakan untuk istirahat di kala penat dari pekerjaan. Mana mungkin Mas pasang CCTV di sana, bisa malu Mas sama penjaga keamanan yang memantau CCTV."Aku menjentikkan jari dengan semangat. "Nah, dari sana bisa kita selidiki Mas."Mas Gibran mengernyitkan dahi, tidak mengerti dengan jalan pikiranku. Aku berdecak kesal, menampar pelan pipi mas Gibran agar pikirannya yang sudah stres dan ruwet bisa tegang sedikit. Sebenarnya ... Tidak ada hubungannya sih, antara pikiran ruwet sama tamparan, tapi kan aku hanya mencoba mencairkan suasana. "Kata kamu kita cuma mencari bukti dari lokasi, kok malah bahas CCTV di ruangan Mas. Di ruangan Mas, gak ada bukti CCTV

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 21. Hilangnya rekaman CCTV

    Semua karyawan kantor tempat di mana mas Gibran mendirikannya langsung menunduk hormat begitu sang CEO beserta istrinya yaitu aku masuk melewati pintu. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman, tapi mas Gibran hanya membalasnya dengan anggukan kepala saja. Aku dan mas Gibran masuk ke dalam lift khusus para petinggi perusahaan, karena memang di kantor ini ada dua lift. Satu lift khusus para petinggi perusahaan dan satu lift lagi khusus karyawan. Begitu lift tertutup, mas Gibran menoleh ke arahku. Pandangan matanya penuh keingin tahuan, mungkin karena penasaran dengan apa yang akan aku rencanakan sekarang. Aku hanya tersenyum tenang, balik menatap mas Gibran dengan satu alis terangkat. "Aku tahu kalau aku ini cantik, tapi jangan juga terus menatapku. Lihat ke depan, sebentar lagi lift akan berhenti.""Apa rencanamu, sayang? Mas penasaran sekali." Mas Gibran menatapku dengan pandangan memelas, ingin tahu apa yang sedang kurencanakan. Aku hanya tertawa pelan, menepuk pipi mas Gibran

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 22. Saatnya beraksi

    "Ada apa dengan wajahmu, kenapa mendadak pucat begitu? Juga denga suaramu, kamu terlihat gugup terkesan ke arah takut. Apa aku semenyeramkan itu?" Aku melipat tangan di depan dada, tersenyum tipis sambil menatap OB di depanku dengan pandangan penuh guyon. "Ti-tidak sama sekali, I-ibu cantik." Jawab OB di depanku dengan tetap tergagap. Aku mengangguk, "oh ya, lalu cantikkan mana aku sama si Novi?" "I-ibu lah."Kaki sang OB langsung gelisah, tangannya juga saling meremas satu sama lain. Bahkan aku mendengar napasnya yang memburu. Tidak salah lagi, pasti OB ini tahu sesutu. Aku menggeleng pelan, lalu bergerak melangkah ke arah pintu. Semua gerak-gerikku aku tahu OB ini perhatikan, tapi aku sengaja acuh dan langsung mengunci pintu.Aku mencabut kunci, berbalik menghadap ke arah sang OB. "Kamu tahu sesutu bukan tentang insiden saat itu. Di mana si Novi memberikan kopi pada suamiku hingga langsung jatuh tertidur. Jawab dengan jujur! kalau tidak akan aku suruh Mas Gibran memecatmu sekaran

Bab terbaru

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 32. Akhir kisah

    Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 31. Ketegasan Gibran pada mamah

    Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 30. Positif hamil

    "Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 29. Kisah cinta

    Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 28. Melupakan

    Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 27. Janji di masa lalu

    Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 26. Laki-laki dari masa lalu

    "kamu masih berani bertanya?" Mas Gibran menggertakkan gigi marah. Ia menatap mas Ferdi nyalang, kilat kemarahan membara pada mata mas Gibran. Baru kali ini aku melihat mas Gibran semarah ini, sudah seperti layaknya orang kesetanan. "Mas Gibran," aku memanggil pelan. "Tahan emosi, Mas."Mas Gibran menoleh ke arah aku, "dari awal laki-laki ini memang terlihat tidak baik, itu sebabnya Mas gak suka saat melihatnya berkunjung ke rumah kita. Tatapan dia penuh maksud, apa lagi saat menatap kamu sayang. Sebagai laki-laki, Mas jelas tahu tatapan yang laki-laki ini berikan saat menatap kamu adalah tatapan cinta." Aku terdiam, mencerna ucapan mas Gibran. Apa katanya tadi? Cinta. Namun, sejak kapan? Aku dan mas Ferdi saja baru bertemu belum lama, yaitu saat di mall saat bersama Fika. Tidak mungkin kan kalau mas Ferdi ini ternyata adalah orang dari masa lalu aku? Ku menatap wajah mas Ferdi, mengingat-ngingat apa aku mengenalnya dulu atau tidak. Namun, sejauh aku menggali ingatan, tidak ada i

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 25. Kemarahan mas Gibran

    Aku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman di dada, merasa ngeri melihat mas Gibran mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melirik kecil mad Gibran, menelan ludah begitu mendapati rahang mengeras mas Gibran tampak menakutkan. "Mas apa tidak bisa pelan-pelan?" Aku mencicit ketakutan. Mas Gibran menoleh ke arah aku sekilas, langsung terlihat menyesali perbuatannya. Dengan segera mas Gibran memelankan laju mobil, lalu menghembuskan napas dengan perlahan. "Maafkan Mas sayang, Mas tadi terbawa emosi." Mas Gibran mengusap tanganku, membawanya ke depan bibir dan mengecupnya sayang. Aku mengangguk, lalu mulai meredakan jantung yang bertalu sangat kencang. Setelah menghembuskan napas lega, aku menghadap ke arah mas Gibran dengan pandangan lembut. "Dengar Mas, apa pun yang terjadi nanti aku minta Mas jangan bertindak gegabah. Kita harus menyelidiki semuanya lebih dulu, jangan sampai Mas Gibran berakhir beturusa dengan pihak berwajib." Aku menegaskan dalam berbicara, meng

  • Tangisan Bayi Di Depan Pintu Rumahku   Bab 24. pengakuan Novi

    Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.

DMCA.com Protection Status