Mas Gibran berhenti melangkah, "Mas gak tau, sayang, nanti kita cari tau lagi. Sekarang lebih baik Mas antar kamu pulang dulu, baru setelah itu Mas kembali kerja. Kalau ada apa-apa, ingat kamu harus hubungi mas, ok!"
"Iya, Mas." Aku menjawab patuh.
Saat aku turun dari motor mas Gibran, aku bertemu Dvina yang terlihat baru keluar dari dalam rumahnya. Lagi-lagi Devina memandang baby Aydan dengan tatapan yang menurutku aneh, tapi segera kutepis pemikiran buruk yang mampir ke pemikiranku.
"Mbak Las, dari mana?" Devina bertanya sambil tersenyum tipis. Namun, aku tahu sesekali dia selalu curi-curi pandang pada baby Aydan dipangkuanku.
"Habis dari klinik, Vin." Jawabku apa adanya.
Aku menangkap raut terkejut dari wajah Devina. Namun, itu hanya sekilas karena Devina sangat apik menyembunyikan ekspresinya itu.
Devina kembali mengulas senyuman tipis, "siapa yang sakit, Mbak Las?"
Devina ini anak pendiam, mendapati dia bertanya-tanya seperti sekarang membuat aku sedikit aneh dan curiga. "Oh, gak ada yang sakit kok. Mbak cuma lagi periksa baby Aydan doang."
"Syukurlah," Devina menghembuskan napas lega.
Aku melihat Devina yang sudah rapi seperti hendak bepergian. Namun, fokusku sedikit teralihkan saat melihat payudara Devina yang tampak agak besar. Padahal Devina ini masih anak SMA kelas 11. Bukan sok tahu, memang ada sebagian anak sesusia Devina ini yang payudaranya sudah tumbuh besar, tapi kebanyakan pasti baru tumbuh. Apa mungkin kalau Devina ini sebenarnya ibu yang melahirkan baby Ayadan? Kalau diperhatikan lagi, memang wajah Devina ini ada mirip-miripnya dengan baby Aydan.
Aku menatap Devina penasaran, "kamu mau ke mana? Kayak mau keluar, memangnya kamu sudah sembuh?"
"Vina ada janji sama teman, Mbak Las. Sakitnya juga sudah mendingan. Kalau gitu, Vina duluan ya Mbak Las, Mas Gibran."
"Ya, Vin." Aku mengangguk saat Devina melewati aku dan mas Gibran.
Aku masih menatap Devina sampai menghilang di belokan jalan, lalu menghembuskan napas sedikit lelah. Kenapa aku semakin curiga dengan gerak gerik Devina? Ditambah lagi dia pergi menemui seseorang dengan keadaan tubuh masih sakit. Apa bu Yulis tidak khawatir pada anaknya yang bepergian dengan kondisi seperti itu?
"Sudah! Jangan dipandang mulu! Nanti mata kamu perih kalau tidak kedip-kedip dari tadi."
Aku melirik mas Gibran yang tengah nyengir geli sambil melihatku. Aku manyun sebal, lalu meninggalkan mas Gibran yang masih terkikik di belakang.
"Mas berangkat ya, sayang."
Aku berhenti dan sedikit menyampingkan badan untuk melihat dengan jelas mas Gibran, "iya, hati-hati."
Setelah mas Gibran berangkat, aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti barusan guna masuk ke dalam rumah.
Tibalah waktu saatnya aku memberikan baby Aydan minum susu. Namun, ternyata prediksi bu Bidan memang benar, baby Aydan mau menyusu setelah waktunya dia lapar. Berarti memang ada yang sengaja memberi baby Aydan minum susu sebelumnya.
Aku menelan saliva susah payah. Apa mungkin yang memberi minum susu baby Aydan itu ibu kandungnya? Kalau memang benar dugaanku itu, bebarti ibu kandung baby Aydan ada di sekitar sini waktu tadi aku menjemur pakaian.
Segera aku mengecek semua jendela yang ada di kamar ini. Benar, ada satu jendela yang selotnya terbuka. Berarti orang itu masuk lewat sini tadi. Ya Allah, kenapa hatiku malah makin tidak tenang. Hamba takut ibu kandung baby Aydan ada niat untuk mengambil kembali anaknya, sedangkan hamba dan suami hamba sudah terlanjur menyayangi babay Aydan.
"Aku harus menelpon mas Gibran."
Segera kuambil handphon-ku untuk menelpon mas Gibran. Aku kembali menyimpan handphon-ku karena mas Gibran tidak mengangangkat telponku. Sekarang aku hanya bisa menenangkan diri, nanti setelah mas Gibran pulang akan kuveritakan.
Waktu yang kutunggu akhirnya tiba. Jam menunjukan pukul lima dan sebentar lagi mas Gibran pulang. Aku mendengar pintu diketuk. Aku mengernyit heran karena tidak biasanya mas Gibran kalau pulang suka ketuk pintu dulu. Biasanya kan dia langsung masuk.
Saat aku membuka pintu, ternyata kecurigaanku benar. Yang datang bukan mas Gibran, melainkan mamah mertua dengan seorang wanita yang tidak aku kenali.
Aku memindai penampilan wanita ini yang terlihat seperti toko emas berjalan. Bagaimana tidak, dari mulai gelang, anting, kalung, gelang kaki, sampai hidungnya pun di tindik pakai emas.
Aku menggeser badan karena takut terseret badan mamah dan wanita ini. Dengan lembut dan sopan mamah mempersilahkan wanita yang datang bersamanya ini untuk duduk di sopa ruang tamu.
"Ini loh rumahnya Gibran. Gimana menurut Fika? Sederhana banget, ya?" Mamah meringis seolah tidak enak karena memperkenalkan rumah butut pada wanita yang baru aku ketahui bernama Fika ini.
Sedangkan aku sengaja masih berdiri di ambang pintu untuk melihat sampai sejauh mana mereka tak menganggapku ada.
"Kalau masalah rumah sederhana mah aku sama sekali gak masalah loh, Tan. Lagian aku punya banyak uang, rumah ini nantinya bisa aku renovasi jadi tiga tingkat."
Sombong sekali, aku mencibir dalam hati.
Mamah tertawa renyah, "ih, kamu memang calon menantu idaman banget. Gak salah Tante jodohkan kamu dengan Gibran anak Tante. Sudah baik, punya penghasilan sendiri, cantik lagi. Pasti Gibran tidak akan menolak kamu."
Mamah meliriku dengan seringaian puas. Namun, aku sama sekali tidak terpengaruh. Mau bagaimanapun mamah berusaha, karena aku tahu mas Gibran tidaka akan pernah mau dijodohkan lagi.
"Ya, pastikan juga Fika ini tidak mandul. Kalau mandul, nanti mamah dapat zonk, dong." Aku ikut mendudukan tubuh di sopa tunggal yang berhadapan langsung dengan mamah dan Fika.
"Yang sopan kalau bicara!" Mamah memelototiku. Namun, aku hanya mengangkat bahu acuh.
"Lihatkan kelakuan istri pertama Gibran ini! Gak ada sopan santunnya bicara di hadapan mertua. Bagaimana bisa saya menyukai orang seperti dia. Jauh banget sama kamu." Mamah menoleh ke arah Fika sambil tersenyum manis.
Fika melemparkan seringaian sinis ke arahku, lalu merubah raut wajahnya saat menghadap mamah. "Tentu saja beda, Tan. Orang pendidikan saya lebih tinggi dari dia, jelas kelakuannya juga akan beda. Tante juga tenang saja, saya ini subur, tidak mandul seperti menantu Tante saat ini."
"Iya, semoga saja setelah kamu menikah dengan Gibran nanti, kalian cepat dikasih momongan. Sudah tidak sabar rasanya Tante ini ingin segera menggending cucu sendiri, bukan malah mungut bayi haram."
Ya, kalau mas Gibrannya mau sama Fika. Kalau mas Gibran nolak, mau dikata apa? Aku menyeringai dalam hati.
"Assalamualaikum."
Aku menoleh ke arah suara mas Gibran yang baru saja datang. "Waalaikum sallam." Aku menjawabnya. Namun, ketika aku hendak menghampiri mas Gibran, Fika sidah mendahuluiku. Dengan menampilkan senyum manis yang malah berakhir terlalu lebar, Fika mengasongkan tangan hendak meminta tangan mas Gibran untuk dia cium.
Ck, kasihan sekali Fika ini, aku membatin iba. Aku tertawa puas dalam hati saat mas Gibran melengos dari hadapan Fika dan menghampiri mamah untuk mencium tangannya. Selanjutnya mas Gibran menghampiriku yang langsung menerima tangannya aku cium, setelah itu barulah mas Gibran mencium keningku.
Aku melirik Fika yang masih mematung di depan pintu. Kulemparkan seringaian ke arahnya untuk mentertawakan kekalahannya. Huh, mamah saja berani aku lawan, apalagi kamu yang bukan siapa-siapanya mas Gibran. Masih ada hati ingin merebut mas Gibran, dasar pelakor!
***
Kini kami berempat sudah duduk di atas sopa. Tidak, lebih tepatnya kami bertiga karena mas Gibran memilih duduk di lengan kursi tunggal yang aku duduki sambil sebelah tangannya bertengger di pundaku."Jadi ada urusan apa mamah datang ke sini?" Tanpa menunggu lama mas Gibran langsung menanyai tujuan mamah menemuinya. Sebenarnya aku yakin mas Gibran sudah mengetahui tujuan mamah datang ke sini, hanya saja mungkin mas Gibran cuma ingin basa basi saja."Menemui kamu lah, memangnya apa lagi?" Mamah menjawab agak ketus. Mamah melirik tangan mas Gibran di pubdakku, lalu melengoskan wajah seperti tidak rela tangan anaknya ini bersentuhan dengan tubuhku.Mas Gibran melirik Fika yang duduk di samping mamah, "lalu ngapain dia di sini?"Berbanding terbalik saat mamah melihatku dengan jutek, waktu mamah memnoleh ke arah Fika, wajahnya berubah bersinar seolah Fika ini calon menantu idaman semua mertua. "Mamah ingin memperkenalkannya pada kamu. Namanya Fika Anindita. Kamu bisa lihat orangnya cantik
Devina langsung menoleh terkejut ke arahku. Dengan tergesa-gesa dia melepas puting payudaranya dari mulut baby Aydan. Baby Aydan langsung menangis, mungkin karena belum kenyang menyusu. Dengan gesit aku berlari mengejar Devina yang hendak kabur. Untung saja aku sudah mengunci pintu kamar ini sesuai arahan mas Gibran, kalau tidak Devina pasti sudah melarikan diri."Ternyata benar kecurigaan Mbak selama ini, kalau kamu adalah ibu kandungnya baby Aydan. Sekarang kamu bisa menjelaskan apa mengenai hal ini, Vina?"Langsung saja aku todong dia dengan pertanyaan. Tidak akan kubiarkan Devina lolos begitu saja. Aku akan meminta kejelasan atas perbuatannya. Sebelum aku dapat penjelasannya, maka Devina akan tetap aku tahan.Devina sangat gelisah terlihat dari gerakaan tangannya yang terus berusaha melepaskan diri. Bukan Lastri namaku kalau mengalah begitu saja. Langsung saja kueratkakn genggaman tanganku pada pergelangan tangan Devina hingga membuat Devina meringis kesakitan. "Mau mencoba kabu
"Mbak Las, gimana ini. Ibu tahu akau ada di rimahnya Mbak Las, padahal aku sudah pergi seapik mungkin agar ibu tidak mengetahuinya. Mbak Las, tolong aku!" Devina memohon-mohon supaya aku membantunya. "Kamu yang tenang, Vina! Biar Mbak yang buka pintu, kamu jangan panik dulu!." Aku menenangkan Devina yang sudah menangis ketakutan.Setelah mendapat anggukan dari Devina, bergegas aku membuka kunci kamar. Setelah menarik napas, kubuka pintu depan rumahku. "Ada apa Bu Yulis gedor-gedor pintu aku?" Aku bertanya seolah tidak tahu tujuan bu Yulis datang ke rumahnya untuk mencari Devina.Bu Yulis curi-curi pandang ke dalam rumahku. Namun, secepatnya aku menutupi pandangan bu Yulis. Bu Yulis mencebikan bibir kesal, "Vina ada di rumah kamu, bukan?""Ada apa emangnya bu Yulis cari Vina?" Aku memasang senyum polos dan ramah. Bu Yulis menatapku sinis. "Sudah deh, kamu gak usah sok baik gini. Aku sudah tahu kalau anaku Vina ada di rumah kamu. Bisa-bisanya kamu deketin anak saya, pasti buat disuruh
Kualihkan pandanganku pada laki-laki yang dari tadi diam menyimak pembicaraanku dengan Fika. Terlihat Fika mulai memaang sikap waspda. "Ngomong-ngomong, Mas ini siapanya Fika?""Saya Calon Suaminya Fika."Kubulatkan bibir sambil perlahan menggulirkan tatapan ke arah Fika yang sudah diam membeku.***"Calon suami? Bukankah kamu masih sendiri?" Tanyaku pada Fika.Fika makin gelagapan saat laki-laki yang mengaku calon suaminya ini menatap tajam Fika. Kelihatan sekali Fika ini memaksakan senyum saat menatap balik laki-laki ini. "Dia memang belum tahu kalau kita mau nikah, Mas Ferdi.""Oh, begitu." Raut laki-laki yang bernama Ferdi ini mulai melembut kembali."Sudah Mas, ayo kita pergi." Tanpa persetujuan Ferdi, Fika langsung menyeretnya pergi meninggalkan aku yang menyeringai di belakang. Samar kudengar perseturuan antara dua sejoli itu. Namun, karena jaraknya sudah mulai jauh, aku tidak jelas mendengarnya. Hanya Ferdi yang sesekali melirikku dan Fika yang terus memasang wajah memelas.K
Mamah berdiri diikuti Fika, aku, dan mas Gibran. Saat ini tatapan mamah begitu tajam saat melihat Fika. Dan, PlakSatu tamparan mendarat mulus di pipi Fika.Aku dan mas Gibran saling pandang dan berbicara lewat mata seakan saling berbicara dengan ungkapan. Kami sama-sama meringis seakan merasakan nyerinya tamparan yang Fika dapat dari mamah."Kamu berani bohongin saya?" Mamah meraung marah. Mungkin karena teramat kesal telah dibohongi, mamah menyeret Fika ke luar rumah dan membantingnya hingga jatuh di teras rumahku."Tante, itu semua bohong. Pasti foto itu editan." Fika masih berkelit. Dia enggan mengakui kesalahannya. Aku jadi ingin tahu, sebenarnya kenapa Fika sampai rela berlutut begitu demi meyakinkan mamah? Apa yang Fika harapkan? Padahal dia sudah mempunyai calon suami."Mah, sudah! Malu sama orang-orang yang pada lihatin. Tahan emosi mamah!" Mas Gibran buru-buru menghentikan mamah yang kembali akan mendorong Fika yang saat ini tengah berlutut sambil memegangi kaki mamah.M
"Vina, sebelumnya Mbak minta maaf kalau membahas ini lagi, tapi saat Mbak dan mas Gibran tadi bermusyawarah, kami memutuska untuk kembali menanyakan apakah Vina mau kembai meminta pertanggung jawaban pada Aryo?"Aku menambahkan, "kalau Vina mau tahu, sebenranya bu Yulis sudah mengetahui selama ini mengenai kehamilan Vina."Mata bulat Devina melebar terkejut. "APA?"***Aku mengangguk membenarkan, "bu Yulis memang sudah mengetahuinya. Kamu ingat saat bu Yulis datang ke rumah Mbak?"Devina mengangguk."Itu karena bu Yulis tahu kamu masuk diam-diam ke ruamah Mbak untuk menemui baby Aydan. Mungkin saat itu rencananya bu Yulis ingin melihat kamu. Namun, entah karena di kamar ini ada Mbak atau ada hal yang lainnya, bu Yulis cepat-cepat ke luar kembali. Akhirnya bu Yulis memanggil-manggil kamu untuk menyuruh kamu keluar."Aku menambahkan, "coba, kalau bukan karena bu Yulis sudah tahu kamu ada di kamar Mbak, tidak mungkin kan ucapan Mbak kemarin yang lumayan bernada tinggi sampai terdengar ke
Setelah terdiam cukup lama, bu Yulis menghembusakan napas kasar. Dia memandangi Devina rumit, mungkin memikirkan egonya yang akan tercoreng bila salah mengambil keputusan."Kamu maunya gimana, Vina?" Bu Yulis menatap Devina semrawut. Dia mengacak-acak sanggul rambutnya kasar sehingga jadi kusut.Devina menunduk menyembunyikan wajahnya dari semua orang. "Vina ngikutin Ibu saja. Kalau Ibu nersedia datangin rumahnya Aryo, Vina ikut, tapi kalau Ibu tidak mau, Vina gak apa-apa selamanya gini asal Ibu tidak menanggung malu akibat perbuatan Vina ini."Bu Yulis mengusap kasar pipinya yang terdapat lelehan air mata. "Kenapa sih kamu itu harus hamil? Cape-cape Ibu biayain kamu. Kamu pikir Ibu gak cape apa cari uang sendiri buat biayain sekolah kamu? Cape Vina, Cape! Lalu apa yang kamu berikan pada Ibu? Kamu malah memberikan ibu Aib."Bahu Devina bergetar. Aku terkejut begitu Devina jatuh berlutut sambil memegangi kaki bu Yulis. "Maaf. Maaf. Maaf. Maafin Vina bu, Vina khilaf. Ibu hukum saja Vina
Aku tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah Devina. Setelah mendapat anggukan dari Devina, aku kembali meluruskan pandangan ke arah Aryo yang masih menunduk."Boleh," ucapku.Perlahan Aryo memgangkat kepalanya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri Aryo untuk menyerahkan baby Aydan. Dengan tangan bergetar, Aryo menerima baby Aydan.Terlihat sekali Aryo belum tahu cara menggendong bayi dengan benar. Aryo memangku baby Aydan seperti memegang bagi di antara dua tangannya. Aku tertawa pelan dan membenarkan letak pangkuan Aryo pada baby Aydan, barulah baby Aydan terlihat nyaman dalam gendongan ayah biologisnya.Lama sekali Aryo diam dengan pandangan menatap lekat baby Aydan dalam pangkuannya. Tangannya mengusap pelan pipi gembul kemerah-merahan baby Aydan. Sejatinya baby Aydan adalah bayi yang tidak rewel, maka saat Aryo memangkunya, baby Aydan hanya diam tenang dengan balik menatap Aryo."Kapan waktu tepatnya kita akan melaksanakan pernikahan itu?" Pak Ridwan kembali angkat suara setelah ter
Mendengar ucapan mas Gibran, Mamah diam membeku. Ia mundur satu langkah, mungkin agar dapat melihat wajah Gibran dengan lebih jelas. "Kenapa kamu bicara seperti itu?" "Mamah akan kembali menjodohkan aku dengan perempuan lain 'kan?" Tanya mas Gibran dengan suara yang tertahan amarah. Mas Gibran menggeleng pelan, tertawa lirih penuh luka ke luar dari mulutnya. "Tidak cukup kah dengan apa yang Mamah lakukan sebelumnya hampir membuatku hancur, sekarang Mamah malah lakuin hal ini lagi. Aku capek loh Mah, apa lagi Lastri yang seolah keberadaannya tak kasat mata di pandangan Mamah." "Gibran--,""Aku belum selesai bicara, Mah." Mas Gibran langsung memotong perkataan mamah, "sebelum Mamah menyuruhku untuk menikahi perempuan itu, aku tegaskan tidak akan pernah mau. Suruh mereka pulang!""Gibran, duduk dulu. Ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan." ayah mertua menimpali, dia berdiri dan menarik tangan mas Gibran dengan tak lupa membawaku juga. Setelah duduk di kursi, aku menatap perempuan
Sampai di halaman rumah, aku melihat ayah mertuaku sedang duduk di kursi yang terdapat di luar rumah. Aku menoleh ke arah Mas Gibran sekejap, sebelum kemudian membuka pintu mobil dan turun. "Assalamualaikum Papa," aku menghampiri ayah mertuaku dan langsung menyaliminya. Aku menyingkir tatkala mas Gibran mendekat, gantian menyalimi ayah mertua. "Waalaikumsalam," ayah mertuaku menjawab, pandangannya menyipit penasaran ke arah aku dan mas Gibran. "Dari mana saja kalian? Papa sudah setengah jam menunggu di sini, ada hal penting yang harus dikatakan pada kalian berdua."Aku mengeluarkan kunci dari dalam tas, lalu memasukan pada liang kunci di pintu rumah. Setelah itu aku membuka pintu dan mendorongnya masuk, menatap ayah mertuaku dengan pandangan sopan. "Ayo masuk dulu Papa, tidak enak kalau hal penting itu dibicarakan di luar rumah." "Iya, Pa mari kita bicarakan di dalam." Mas Gibran juga ikut mengajak ayah mertuaku masuk. "Tumben banget Papa datang langsung ke rumah, tanpa mamah pula.
"Sudah siap sayang?" Mas Gibran melongokkan kepalanya dari depan pintu kamar, sedangkan aku sendiri tengah memakai jilbab di depan cermin. Hari ini aku dan mas Gibran akan ke rumah sakit sesuai dengan rencana, memeriksa apakah aku ini benar-benar hamil atau tidak. Ya, semoga saja hasilnya positif. Aku berdiri, mengambil tas di atas meja rias. Sebelum itu aku mengambil ponsel dan dompet, mulai dari sekarang aku tidak ingin kejadian seperti saat di tempat makan waktu terulang kembali. Baby Aydan tidak aku bawa, ia saat ini bermain bersama Devina dan Aryo. Mereka berlibur ke pantai, sengaja membawa baby Aydan karena tahu aku dan mas Gibran hendak ke rumah sakit. "Sudah Mas," aku tersenyum ke arah mas Gibran. Menghampirinya dan menutup pintu kamar. "Semoga hasilnya positif ya, Mas. Aku berharap begitu banyak."Mas Gibran mengusap pipi aku dengan lembut, menciumnya sekilas dengan penuh sayang. Tatapannya begitu lembut, terlihat sama besarnya harapan denganku. Ia mengangguk, lalu menari
Saat membuka mata, mataku terasa besar dan berat. Semalam sepulang dari restoran, aku menangis dalam pelukan mas Gibran sampai jatuh tertidur. Nayatanya mas Ferdi hanya diam saat aku menyuruh melupakan janji itu, walau aku tahu dia tengah menangis terlihat dari bahunya yang bergetar. Aku menutup mata atas kesedihan mas Ferdi, mau bagaimanapun mas Ferdi adalah orang istimewa di masa laluku. Namun, karena keegoisannya, rumah tanggaku yang sudah kuperjuangkan selama ini hampir saja kandas. "Sudah bangun," mas Gibran datang dari arah pintu. Di tangannya terdapat nampan berisi mangkuk dan se gelas air putih. Aku mengangguk mengiyakan, meumgsut bangun dari baringan menjadi senderan pada tepian ranjang. Aku sedikit mendongak kepala agar bisamelohat Waja mas Gibran, tersenyum tipis saat melihat mas Gibran menatapku teduh sambil menyunggingkan senyuman. "Mas bawa apa?" Aku bertanya sambil menatap mangkuk di atas nampan yang di bawa mas Gibran. Mas Gibran meletakan nampan di atas nakas, la
Dan di sinilah sekarang aku bersama mas Gibran, duduk di restoran milik mas Ferdi. Kami memesan ruang khusus privat, di depan aku dan mas Gibran sudah ada mas Ferdi yang memasang wajah datar. Aku menatap lekat wajah mas Ferdi. Memang iya, mas Ferdi ada kemiripan wajah dengan teman lamaku itu. Hanya saja siapa yang akan percaya laki-laki kurus kecil dulu bisa berubah menjadi tinggi dan memiliki badan kekar begini. Jadi pantas bukan kalau aku tidak mengenalinya? "Mas Ferdi," aku memanggil pelan. Mas Ferdi balik menatap aku. "Ya.""Adinab," ucapku dengan serak. Terasa tangan mas Gibran yang berada di bawah meja menggenggam tanganku dengan erat. Begitu aku menyebut nama laki-laki yang dulu menjadi teman dekatku, raut wajah mas Ferdi beriak. "Itu kan nama mas Ferdi dulu?"Mas Ferdi menatap mas Gibran sekilas, sebelum kemudian menatap aku kembali. "Ya, itu memang namaku. Ferdi Adinab Jaya. Kamu mengingatnya karena saya sebelumnya sudah mengingatkanmu bukan?" Aku mengangguk membenarkan,
Mas Gibran mulai menjalankan mobil, meninggalkan taman dengan wajah keruh. Sampai di rumah pun aku tetap diam, sebab jujur saja hati ini masih meragu tentang siapa itu mas Ferdi.Mas Gibran menoleh ke arahku setelah mobil berhenti di halaman rumah. Pancaran matanya penuh tuntutan, aku tau ia menginginkan penjelasan yang harus ke luar dari dalam mulutku. "Lastri," mas Gibran menunggu jawaban. Aku menatap ke arah mas Gibran, tersenyum tipis karena merasa tidak enak. "kita bicara di dalam ya Mas, kalau di dalam mobil seperti ini takutnya banyak mata yang melihat dan banyak telinga yang sengaja mendengar."Mas Gibran menghembuskan napas dengan kasar, mengangguk walau aku tahu ia melakukan itu sangat berat. Melihat mas Gibran sudah turun dari dalam mobil, aku pun ikut turun menyusulnya. Kami berdua masuk ke dalam rumah, duduk di kursi tamu saling berdampingan. "Sekarang coba kamu jelaskan dengan sejujurnya!" Mas Gibran memegang tanganku dengan erat. Sorot matanya begitu sayu, membuatku
"kamu masih berani bertanya?" Mas Gibran menggertakkan gigi marah. Ia menatap mas Ferdi nyalang, kilat kemarahan membara pada mata mas Gibran. Baru kali ini aku melihat mas Gibran semarah ini, sudah seperti layaknya orang kesetanan. "Mas Gibran," aku memanggil pelan. "Tahan emosi, Mas."Mas Gibran menoleh ke arah aku, "dari awal laki-laki ini memang terlihat tidak baik, itu sebabnya Mas gak suka saat melihatnya berkunjung ke rumah kita. Tatapan dia penuh maksud, apa lagi saat menatap kamu sayang. Sebagai laki-laki, Mas jelas tahu tatapan yang laki-laki ini berikan saat menatap kamu adalah tatapan cinta." Aku terdiam, mencerna ucapan mas Gibran. Apa katanya tadi? Cinta. Namun, sejak kapan? Aku dan mas Ferdi saja baru bertemu belum lama, yaitu saat di mall saat bersama Fika. Tidak mungkin kan kalau mas Ferdi ini ternyata adalah orang dari masa lalu aku? Ku menatap wajah mas Ferdi, mengingat-ngingat apa aku mengenalnya dulu atau tidak. Namun, sejauh aku menggali ingatan, tidak ada i
Aku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman di dada, merasa ngeri melihat mas Gibran mengemudi mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Aku melirik kecil mad Gibran, menelan ludah begitu mendapati rahang mengeras mas Gibran tampak menakutkan. "Mas apa tidak bisa pelan-pelan?" Aku mencicit ketakutan. Mas Gibran menoleh ke arah aku sekilas, langsung terlihat menyesali perbuatannya. Dengan segera mas Gibran memelankan laju mobil, lalu menghembuskan napas dengan perlahan. "Maafkan Mas sayang, Mas tadi terbawa emosi." Mas Gibran mengusap tanganku, membawanya ke depan bibir dan mengecupnya sayang. Aku mengangguk, lalu mulai meredakan jantung yang bertalu sangat kencang. Setelah menghembuskan napas lega, aku menghadap ke arah mas Gibran dengan pandangan lembut. "Dengar Mas, apa pun yang terjadi nanti aku minta Mas jangan bertindak gegabah. Kita harus menyelidiki semuanya lebih dulu, jangan sampai Mas Gibran berakhir beturusa dengan pihak berwajib." Aku menegaskan dalam berbicara, meng
Wajah si ular Novi terlihat memucat, menatap bergantian antara aku dan si OB yang kupanggil masuk. Aku melipat tangan di depan dada, memasang postur pongah atas kemenangan yang sudah mencapai persentase 80%. "Maafkan saya Bu, tapi saya tidak bisa lagi menyembunyikannya. Saya ... akan mengembalikan uang yang sudah Ibu Novi kasih, jadi jangan bawa-bawa saya lagi dalam urusan Bu Novi." Si OB menunduk sambil menjelaskan maksud dengan keberadaannya di sini. "Apa maksud semua ini?" Mamah memekik kesal, menatap antara si OB dan si ular Novi secara bergantian. "Menyembunyikan apa?" "Menyembunyikan kebohongan tentang kehamilannya yang mengaku anak aku, Mah." Mas Gibran meluruskan perkataan si OB, mungkin karena sudah muak dan gerak dengan drama queen yang dilakukan si Novi. "Bo-bohong? Maksud kamu apa? Bukankah Novi memang benar hamil anak kamu, Gibran?" Mamah mertuaku itu menatap mas Gibran penuh tuntutan, terlihat sekali hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja mas Gibran jelaskan.