TERPAKSA MEMBIAYAI PESTA PERNIKAHAN ADIKKU

TERPAKSA MEMBIAYAI PESTA PERNIKAHAN ADIKKU

By:  Meisya Jasmine  Completed
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
2 ratings
49Chapters
15.8Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
Leave your review on App

Agni dikhianati oleh adiknya sendiri, Zara, yang tega merebut calon suaminya. Tak sampai di sana, ia juga mengaku ingin menikah secepatnya karena tengah berbadan dua. Agni terkejut dan marah, tetapi orang tua Agni malah membela perbuatan Zara dan Farhaaz, serta memintanya untuk membiayai pesta pernikahan mereka. Agni pun tak mau tinggal diam! Dia pun perlahan menyusun sebuah strategi ... terlebih, dia menemukan sebuah rahasia mengejutkan yang menguatkan hatinya!

View More

Latest chapter

Interesting books of the same period

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Arie Vianti
bagus.. ceritanya seru
2024-03-01 17:01:56
0
user avatar
Novi Alfin
suka bacanyaa
2023-10-19 16:40:33
0
49 Chapters

Tiba-Tiba Mau Menikah

“Agni, kemarin Ibu lihat di kamarmu ada brosur umroh. Kamu mau pergi umroh? Sejak kapan kepikiran pergi umroh segala?” Suara Ibu telah mengejutkanku. Aku yang sedang fokus menyiram tanaman hias di halaman, langsung menoleh ke sumber suara. Ibu yang telah cantik dengan dandanan lengkapnya itu terlihat gusar. “Oh, itu. Kemarin ditawarin temen, Bu. Emang tertarik pengen berangkat, sih. Biayanya juga relatif terjangkau. Mulai dari tiga puluh jutaan buat sepuluh hari di Tanah Suci.” Entah kenapa, wajah Ibu yang putih mulus berkat pertolongan skincare itu berubah memerah. Terdengar dengusan dari hidung mancungnya yang baru dua bulan lalu mendapat perawatan filler di sebuah salon mahal. Tentu aku kaget dengan ekspresi ibuku yang sangat-sangat tak terima itu. “Bisa-bisanya kamu mikirin dirimu sendiri, Agni! Kamu kepengen umroh dengan biaya sebanyak itu, apa nggak mikirin kami? Orangtua dan adik semata wayangmu masih ada
Read more

Akal Bulus

“Silakan aja kalau Ibu mau bunuh diri. Aku nggak peduli!” Aku menguatkan hati dan mengumpulkan keberanian untuk melawan Ibu. Sudah cukup selama ini diinjak-injak. Aku lelah! “Apa? Apa katamu, Agni? Apa Ibu nggak salah dengar?” Ibu terlihat naik pitam. Mata belo Ibu pun langsung membeliak besar. Lihatlah dia. Sedikit saja ucapanku, jika itu dinilainya membuat dia sakit hati, maka Ibu akan mudah sekali buat emosi. Coba kalau dia yang bicara kepadaku selama ini. Mau sekasar apa pun dan sebringas apa pun, kadang aku hanya bisa diam. Tetapi, kupikir kali ini sudah sangat keterlaluan. Sudah saatnya buatku melawan keganasan Ibu yang kian hari kian tidak masuk akal. “Nggak, Bu. Ibu nggak salah dengar, kok. Aku nggak mau ngasih buku tabunganku buat Ibu dan Zara. Pernikahan dia bukan tanggung jawabku. Tapi, aku akan kasih dana seikhlasnya buat Zara. Itu sebagai wujud sedekah dari aku buat orang yang kurang mampu seperti k
Read more

Rahasia Besar

“Dia mau nikah sama pacarku, tepatnya calon tunanganku.” “Astaghfirullah! Mbak Agni serius? Mbak nggak lagi main-main sama aku, kan?” Suara Andra terdengar gemetar di seberang sana. Aku bisa membayangkan seperti apa wajah Andra ketika mendengar kabar mengejutkan ini. Lelaki itu pasti sangat kecewa berat kepada kelakuan Zara. Apalagi, mereka berdua sudah berpacaran sejak sama-sama di bangku SMA. Meskipun kedua orangtuaku kurang senang Zara berpacaran dengan Andra karena alasan pria itu tak meneruskan kuliahnya gara-gara faktor ekonomi, Zara dan Andra tetap nekat melanjutkan hubungan mereka bahkan sampai adik semata wayangku itu lulus diploma empat. Namun, siapa yang sangka bahwa adik yang selama ini selalu kubanggakan karena wajah cantik dan otak encernya itu, ternyata malah menikung aku yang ikut membiayai kuliahnya. Tak main-main, bahkan mereka mengaku akan segera menikah. Ya Allah, rasanya aku tak ikhlas diperlakukan seperti
Read more

Obat Tidur

“H-hamil? Hamil anakmu?” gagapku tak percaya karena saking syoknya. “Nggak tahu kalau itu, Mbak. Semisal dia ternyata emang pernah berhubungan sama pacarnya Mbak Agni, bisa aja itu malahan anaknya pacar Mbak Agni.” Jantungku rasanya seperti diremas-remas oleh kenyataan pahit ini. Mas Farhaaz … tega kamu, Mas! Bagaimana mungkin hubungan kita yang selama ini tidak pernah ada masalah sama sekali, ternyata malah berujung musibah. Kamu bahkan bakal menikahi adikku yang notabene sudah ternoda oleh pria lainnya. “Ya Allah, ini benar-benar bikin aku syok, Ndra,” lirihku sambil memegangi dada sendiri. Rasanya nyeri dada sebelah kiriku. “Aku juga sama syoknya, Mbak. Aku kira, Zara itu perempuan yang setia. Asal Mbak Agni tahu aja, selama aku kerja di retail, aku bahkan lebih mengutamakan Zara ketimbang orangtuaku. Jajan kuliah dia, kebutuhan skincare, bahkan buat beli pembalut aja aku selalu tranfser buat dia. Setiap bula
Read more

Dilarang Ikut Makan Racun

Selesai mandi dan salat, aku buru-buru keluar dari kamar. Tak kutemukan siapa-siapa di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tentu saja. Makanan belum ada yang siap kecuali nasi panas di dalam magic com yang kumasak sore tadi. Enam butir kaplet obat tidur sudah kukantungi di dalam saku piyamaku. Aku pun mulai meracik bumbu-bumbu dan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam blender. Tentu saja tak lupa kutambahkan enam butir kaplet obat tidur tersebut. “Selamat menikmati hidangan tumis kangkung plus obat tidur ini, wahai manusia-manusia sampah,” lirihku sinis sambil menuangkan bumbu halus tersebut ke dalam wajan yang telah kuberikan minyak sayur. Minyak sayur yang telah kupanasi di atas kompor itu pun kini bercampur satu dengan bumbu halus buatanku tadi. Saat bumbu kuoseng-oseng dengan spatula, wangi harumnya pun langsung semerbak menguar. Siapa sangka, di dalam bumbu itu terdapat obat tidur yang akan membuat ketiga keluargaku
Read more

Surat Wasiat

Sekiranya satu jam setelah mereka bertiga makan malam, kurasakan hening yang tak biasa di rumah ini dari dalam kamarku. Biasanya, jam segini masih terdengar senda gurau antara Ayah dan Ibu yang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Kebetulan kamarku hanya bersebelahan dengan ruang keluarga, sehingga suara riuh mereka berdua bisa terdengar hingga pukul 23.00 malam. Namun, kali ini berbeda. Baru pukul setengah delapan malam, seisi rumah terasa senyap. Televisi di ruang keluarga tidak menyala. Aku malah deg-degan sendiri. Ada cemas yang menyelinap ke dada. Aku pun bertanya-tanya, mungkinkah obat tidur itu telah bereaksi pada tubuh mereka. Aku yang baru menyelesaikan tugas kantorku itu pun gegas keluar kamar. Aku lihat ke ruang keluarga. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Televisi padam. Karpet busa yang biasa dibentang Ibu untuk menonton bersama Ayah pun masih tergulung rapi. Langkahku pun langsu
Read more

Maaf Aku Jahat

Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam. Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya? Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut. Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut. “Jahat kalian berdua, Bu, Yah! T
Read more

Awal Kehancuran

“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Read more

Mereka Tertawa Bahagia

Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
Read more

Air Tuba dibalas Air Tuba

“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
Read more
DMCA.com Protection Status