“H-hamil? Hamil anakmu?” gagapku tak percaya karena saking syoknya.
“Nggak tahu kalau itu, Mbak. Semisal dia ternyata emang pernah berhubungan sama pacarnya Mbak Agni, bisa aja itu malahan anaknya pacar Mbak Agni.”
Jantungku rasanya seperti diremas-remas oleh kenyataan pahit ini. Mas Farhaaz … tega kamu, Mas! Bagaimana mungkin hubungan kita yang selama ini tidak pernah ada masalah sama sekali, ternyata malah berujung musibah. Kamu bahkan bakal menikahi adikku yang notabene sudah ternoda oleh pria lainnya.
“Ya Allah, ini benar-benar bikin aku syok, Ndra,” lirihku sambil memegangi dada sendiri. Rasanya nyeri dada sebelah kiriku.
“Aku juga sama syoknya, Mbak. Aku kira, Zara itu perempuan yang setia. Asal Mbak Agni tahu aja, selama aku kerja di retail, aku bahkan lebih mengutamakan Zara ketimbang orangtuaku. Jajan kuliah dia, kebutuhan skincare, bahkan buat beli pembalut aja aku selalu tranfser buat dia. Setiap bulan separuh gajiku itu buat dia, Mbak. Aku berani kaya gitu karena dia udah aku nodai. Aku sadar diri.”
Suara Andra terdengar bergetar. Tak hanya aku yang syok dan terguncang pastinya. Mendengar pengorbanan Andra yang segitunya, lelaki itu juga tak kalah terguncangnya.
“Apa yang kalian itu sebenarnya salah, Andra. Kamu dan Zara sama-sama salah. Jadi, mulai sekarang baiknya kamu bertobat.”
“Aku akan bertobat, Mbak Agni. Tapi, aku harus pastikan dulu bahwa Zara akan menikah denganku, bukan dengan pacarnya Mbak Agni!” Terdengar rasa sakit hati yang begitu besar dari ucapan Andra barusan.
“Ya, maka dari itu, kita siapkan semuanya, Andra. Sekarang, kamu kumpulkan semua video-video kalian atau pun foto-foto yang pernah kalian miliki berdua. Kumpulkan di dalam satu flashdisk dan jangan sampai itu hilang. Usahakan sikapmu biasa saja seakan-akan tidak pernah tahu masalah pernikahan ini. Paham?” tekanku sambil berbisik kepada Andra via telepon.
“Aku paham, Mbak.” Suara Andra mulai terdengar tegar.
“Apa kamu punya bukti transfer selama ini ke Zara?”
“Semuanya tersimpan rapi di ponselku, Mbak. Aku bahkan udah back up ke emailku. Bukan buat menagih dia sebenarnya. Cuma entah kenapa aku kepikiran aja buat nyimpan semua itu. Maaf ya, Mbak, kalau kedengarannya aku kaya orang perhitungan,” sahut Andra seperti merasa bersalah.
“Nggak apa-apa! Itu memang senjata yang harus kamu punya! Kumpulkan semua itu, Ndra! Kalau udha tiba waktunya, kita mulai semua rencana kita.”
“Baik, Mbak. Makasih banyak ya, Mbak.”
“Sama-sama, Andra. Kita harus tetap bersabar. Minimal, kita udah berusaha. Kalau semisal mereka tetap menikah, itu artinya sudah takdir. Mungkin orang jahat memang harus berjodoh denga orang jahat,” ucapku sembari menahan emosi yang teramat dalam.
“Iya, Mbak Agni. Makasih sekali lagi.”
“Sama-sama. Udah dulu, ya, Ndra. Udah Magrib.”
“Iya, Mbak. Assalamualaikum.” Suara itu terdengar cukup gontai.
“Waalaikumsalam, Andra.”
Klik.
Sambungan telepon pun kuputuskan. Aku kini menempelkan ponselku ke dada. Terasa betul degupan jantung ini sangat-sangat kencang, tak seperti biasanya..
“Ya Allah, aku minta maaf kalau memang jalanku salah. Tapi, aku nggak bisa diam aja. Mereka semua harus diberikan pelajaran supaya tidak seenaknya menginjak-injak harga diri orang lagi!” lirihku sambil mengangguk-angguk mantap.
Seketika, aku teringat dengan obat tidur yang masih kusimpan di dalam lemari. Enam bulan yang lalu, aku pernah konsultasi ke psikiater karena masalah insomnia dan keluhan gejala awal depresi. Itu semua kualami setelah beberapa minggu aku diangkat menjadi manager di perusahaan tempatku bekerja, yakni perusahaan PT Mentari Jaya yang bergerak di bidang penjualan bahan material bangunan skala besar.
Setelah tiga kali temu wicara dengan psikiater, akhirnya dokter spesialis kesehatan jiwa itu pun meresepkanku lumayan banyak obat. Salah satunya adalah obat tidur. Ketika itu aku tak mau ambil risiko dengan meminum banyak obat, karena entah kenapa aku bimbang saat harus melakukan itu.
Akhirnya aku memilih jalan memperbanyak zikir, salat malam, dan berpuasa. Aku juga ikut kelas zumba dua kali seminggu selepas pulang bekerja. Alhamdulillah dalam sebulan kondisi kejiwaanku membaik. Tidurku teratur kembali dan jauh lebih pulas semenjak itu.
Namun, kegiatan zumba itu berhenti kulakukan dua bulan belakangan karena padatnya pekerjaan di perusahaanku. Trafik orderan material meningkat hingga tujuh kali lipat. Alhasil, pola makan dan istirahatku jadi berantakan lagi. Aku kerap mengemil dan makan makanan tinggi kalori, hingga akhirnya berat badanku naik drastis. Sekarang timbanganku yang awalnya sudah 63 kilogram meningkat jadi 78 kilogram.
Kusadari sekarang, mungkin itulah penyebabnya Mas Farhaaz berpaling hati kepada Zara yang jelas jauh lebih muda dan segar. Berat badan gadis cantik itu hanya 40 kilogram. Tubuhnya ramping, putih mulus, dan rambutnya hitam berkilau. Tak seperti aku yang harus terbungkus hijab saban hari, bahkan Mas Farhaaz sendiri belum kuizinkan melihat foto-foto atau wajahku tanpa hijab secara langsung sekali pun.
Aku pun bangkit dari ranjang. Langkahku agak ragu-ragu awalnya untuk mendekati lemari pakaian itu. Namun, hati kecilku terus berbisik agar segera mengambil obat itu dari dalam lemari.
Dengan hati yang sedikit gamang, aku pun membuka lemari dan menarik laci yang berada di tengahnya. Obat-obatan dari psikiater itu masih utuh di tempatnya.
Salah satu plastik pembungkus warna biru kubuka. Di depan sana tertempel etiket yang menerangkan bahwa itu adalah obat tidur. Dua papan berisi masing-masing sepuluh kaplet itu masih utuh tak tersentuh olehku. Kulihat tanggal expired-nya. Masih enam bulan lagi ternyata.
“Maaf ya, Zara, Ibu, Ayah. Kalian sudah membuatku sangat kecewa. Apa yang kalian lakukan kepadaku juga sudah kelewatan ambang batas!” lirihku sambil memandangi satu papan berisi sepuluh butir kaplet obat tidur yang kupegangi dengan tangan kanan yang agak gemetar.
“Agni! Kamu ngapain di kamar lama banget?!”
Teriakan Ibu tiba-tiba membuatku kaget. Untung saja tadi kamar sudah kukunci rapat.
“Iya, Bu! Aku mau salat!”
“Alah! Cepetan! Makan malam belum siap! Katanya kamu mau bikin cah kangkung? Kamu buat kami kelaparan apa?!” Jeritan itu beradu dengan gedoran di pintu yang membabi buta.
“Iya, Bu! Habis salat aku masak!”
“Sok suci! Pakai acara salat segala! Salat setengah mati juga tetap aja kamu bakal jadi perawan tua karena nggak kawin-kawin!”
Cacian itu membuat dadaku mencelos. Aku sontak memandangi pintu dengan tatapan yang semakin penuh akan dendam. Begitukah, menurut Ibu?
Lihat nanti, Bu, pembalasanku! Kau akan menyesali apa yang kau katakan hari ini kepadaku!
Selesai mandi dan salat, aku buru-buru keluar dari kamar. Tak kutemukan siapa-siapa di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tentu saja. Makanan belum ada yang siap kecuali nasi panas di dalam magic com yang kumasak sore tadi. Enam butir kaplet obat tidur sudah kukantungi di dalam saku piyamaku. Aku pun mulai meracik bumbu-bumbu dan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam blender. Tentu saja tak lupa kutambahkan enam butir kaplet obat tidur tersebut. “Selamat menikmati hidangan tumis kangkung plus obat tidur ini, wahai manusia-manusia sampah,” lirihku sinis sambil menuangkan bumbu halus tersebut ke dalam wajan yang telah kuberikan minyak sayur. Minyak sayur yang telah kupanasi di atas kompor itu pun kini bercampur satu dengan bumbu halus buatanku tadi. Saat bumbu kuoseng-oseng dengan spatula, wangi harumnya pun langsung semerbak menguar. Siapa sangka, di dalam bumbu itu terdapat obat tidur yang akan membuat ketiga keluargaku
Sekiranya satu jam setelah mereka bertiga makan malam, kurasakan hening yang tak biasa di rumah ini dari dalam kamarku. Biasanya, jam segini masih terdengar senda gurau antara Ayah dan Ibu yang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Kebetulan kamarku hanya bersebelahan dengan ruang keluarga, sehingga suara riuh mereka berdua bisa terdengar hingga pukul 23.00 malam. Namun, kali ini berbeda. Baru pukul setengah delapan malam, seisi rumah terasa senyap. Televisi di ruang keluarga tidak menyala. Aku malah deg-degan sendiri. Ada cemas yang menyelinap ke dada. Aku pun bertanya-tanya, mungkinkah obat tidur itu telah bereaksi pada tubuh mereka. Aku yang baru menyelesaikan tugas kantorku itu pun gegas keluar kamar. Aku lihat ke ruang keluarga. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Televisi padam. Karpet busa yang biasa dibentang Ibu untuk menonton bersama Ayah pun masih tergulung rapi. Langkahku pun langsu
Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam. Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya? Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut. Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut. “Jahat kalian berdua, Bu, Yah! T
“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias