“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya.
“Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang.
“Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi.
Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan.
Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukkan data-dataku ke dalam layar komputer miliknya. Hanya menunggu sekitar sepuluh menitan, sebuah surat yang keluar dari mesin printer pun diberikan kepadaku buat ditanda tangani.
“Bu, menurut luas tanah dan bangunan, beserta tahun surat kendaraan beserta model kendaraannya, Ibu Agnia hanya bisa mendapatkan pinjaman sebesar seratus dua puluh lima juta rupiah saja. Bagaimana, Bu? Seandainya saja ada surat kuasa dari pemilik aslinya, bisa dapat pinjaman sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah. Bagaimana?”
Anita berulang kali memberikan penawaran kepadaku agar aku mengambil opsi yang dia berikan pertama, yaitu menyertakan surat kuasa. Mana mungkin, pikirku. Kalau buat memalsukan suratnya, aku tak bisa karena pemalsuan tanda tangan di atas materai sangat berat sanksinya nanti.
“Nggak usah, Mbak. Saya setuju dapat segitu. Masalah cicilan bagaimana, Mbak?”
“Tergantung tenor, Bu Agnia. Ibu mau ambil tenor berapa?”
“Kalau satu tahun?”
“Wah, agak berat kalau satu tahun. Kalau setahun, cicilannya jadi tiga belas juta lima ratus empat puluh dua ribu rupiah.”
Aku langsung mengeluarkan ponselku dan membuka aplikasi kalkulator. Setalah kuhitung-hitung, aku terkejut dengan bunga pinjamannya. Kurang lebih tiga puluh persen banyaknya!
Wow! Lintah darat sekali finance ini ternyata. Ya, sudah. Masa bodohlah. Bukan barangku ini.
“Ya, sudah, Mbak. Aku setuju. Nggak apa-apa.”
“Oke, kalau begitu, Bu. Sudah fix, ya?”
“Sudah!” jawabku sangat mantap.
“Baik. Sebentar, saya buatkan lagi surat peminjamannya sekaligus dengan nota angsuran.”
Anita pun mulai mengetik-ngetik lagi. Aku sudah semakin tak sabaran buat menerima uang segepok itu. Sudah terbayang di depan mataku, betapa semringahnya senyum Ibu dan Ayah ketika dihadiahi uang ratusan juta rupiah.
Suara mesin printer yang mengeluarkan kertas itu pun membuat mataku berbinar-binar. Semoga setelah ini, uangnya pun akan diberikan kepadaku.
“Silakan tanda tangan di sini ya, Bu. Semua yang saya kasih titik-titik ini silakan ditanda tangani.”
Aku pun menurut. Sekitar sepuluh lembar surat perjanjian aku tanda tangani. Tak cuma menandatangani surat perjanjian dan segala tetek bengeknya, aku juga diminta untuk berfoto sambil memegang KTP-ku segala.
“Mbak, semisal saya gagal mencicil, bagaimana?”
“Rumah dan motornya langsung kami sita, Bu.”
Jawaban dari Anita sangat menohok. “Setelah itu, apakah namaku sebagai peminjam dihapuskan dari BI checking?” tanyaku lagi dengan jantung yang berdebar-debar.
“Kalau rumah dan motornya sudah kami sita, nama Ibu Agnia akan kami hapus dari daftar peminjam di finance kami. Data Ibu bersih, baik sebagai peminjam maupun sebagai peminjam yang menunggak. Bagaimana, Bu? Apakah Ibu terima dengan semua konsekuensinya?”
Kutarik napas dalam-dalam. Oke. Aku terima segal risikonya.
“Baik, Mbak. Nggak masalah.”
Aku tersenyum puas. Silakan ambil rumah dan motor itu. Toh, semua uangnya juga buat mereka.
Hitung-hitung aku yang pinjamkan nama baikku buat meminjam di finance lintah darat ini. Siapa suruh meminta uangku sampai memaksa agar aku batal umrah saja? Enak betul! Mereka kira, mereka siapa?
“Sebentar ya, Mbak. Uangnya saya ambil dulu.”
Anita pun bergerak ke belakang. Sekitar lima menitan, perempuan itu keluar dari pintu berwarna krem sembari menenteng sebuah kresek hitam.
Dia lalu menghitung uang tersebut melalui mesin penghitung. Kuperhatikan dengan seksama hingga uang tersebut pas seratus dua puluh lima juta rupiah.
“Sudah pas ya, Mbak. Bulan depan sudah mulai berjalan cicilannya.”
“Apakah ditagih langsung ke rumahku, Mbak Anita?”
“Lewat ponsel dan kami akan surati ke alamat yang tertera di KTP, Mbak. Jika tidak membayar angsuran enam kali berturut-turut, maka debt collector kami akan turun buat mengambil rumah maupun motor yang dijaminkan.”
“Oke. Terima kasih atas penjelasannya, Mbak Anita,” sahutku seraya menerima sekresek uang yang sebenarnya tak seberapa nilainya ketimbang rumah dan tanah yang digadai.
“Jika ada yang kurang jelas, bisa hubungi nomor saya, Bu Agnia.”
Anita menyodorkan kartu namanya dan kuterima juga. Semuanya gegas kusimpan ke dalam tas ransel milikku. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ponselku berdering dari dalam saku depan ransel.
Kurogoh saku ransel tersebut dan agak kaget melihat siapa yang menelepon. Ternyata Ibu! Efek obat tidurnya ternyata sudah berakhir.
“Halo, Bu,” sahutku manis sambil masih duduk di depan meja kerjanya Anita.
“Agni, kamu udah ngantor?” tanya Ibu dengan suara yang diseret. Terdengar perempuan cantik berkulit putih bening itu menguap di seberang sana. Cie, masih ngantuk nih, ye!
“Iya, Bu. Kenapa?”
“Kapan kamu ambil uang di rekeningmu? Ibu butuhnya sekarang!” sahut Ibu masih dengan nada yang mengantuk.
“Mau sekarang juga, Bu? Emangnya mau dibuat apa uangnya?”
“Dih, kamu ini kebanyakan tanya! Nyangkem ae! Heran, Ibu!” bentaknya menggelegar.
“Iya, maafin Agni, Bu. Bentar, ya. Sebentar lagi Agni pulang,” sahutku sambil senyam senyum sendiri.
“Buruan! Ini Ibu rasanya ngantuk banget, padahal bangun juga udah kesiangan. Makanan yang kamu siapin udah Ibu makan, tapi perut rasanya masih keroncongan. Kalau pulang, tolong bawain nasi padang. Eh, iya. Zara tolong dibeliin rujak cingur. Kemarin malam dia katanya kepengen banget makan itu.”
“Kaya orang ngidam aja, Bu,” celetukku.
“Lha, kalau ngidam juga kenapa emangnya? Masalah buat kamu, Ag? Orang dia mau nikah juga!”
“Terus, kalau mau nikah, udah boleh hamil duluan gitu, maksudnya?” Aku sinis menyindir Ibu.
“Masa bodoh kamu mau ngomong apa, Agni! Bilang aja kamu sirik sama adekmu! Makanya, kalau punya badan itu dipelihara! Jangan kaya drum solar, dong. Wajar kalau kamu ditinggal sama Farhaaz! Orang bodimu kaya gentong! Udah, ah. Buruan ambil uangnya dan beliin kita makanan. Paham nggak kamu?!”
Ada yang nyeri di dadaku. Semakin geram aku mendengar kalimat Ibu yang tak ada habis-habisnya menghinaku. Sabar, Agni. Permainan baru akan dimulai.
“Baik, Bu. Aku paham.”
“Bagus! Kalau kamu nggak paham, berarti kamu bego! B-E-G-O!”
Klik.
Sambungan telepon pun dimatikan. Aku langsung menaruh kembali ponselku ke dalam tas dan menatap Anita sambil tersenyum buat berpamitan.
“Mbak Anita, kalau semisal dalam sebulan aku nggak bayar cicilan, suruh aja debt collector-nya langsung ke rumah buat ambil rumah sama motornya. Nggak apa-apa. Aku emang nggak niat buat bayar, Mbak,” kataku santai tanpa rasa berdosa sedikit pun.
“Ini sudah dipikirkan, Bu Agni?”
“Ya, aku sudah pikirkan, Mbak. Nggak apa-apa. Ambil aja rumah sama motornya.”
Aku pun bangkit dari tempat dudukku. Dendamku masih belum penuh terbalaskan sebenarnya. Namun, kini aku merasa sangat-sangat bahagia setelah berhasil menikam orangtua dan adik angkatku dari belakang.
“Posisi kita sekarang satu sama. Besok, akan kubuat kalian kalah dan jauh lebih menderita daripada apa yang kualami saat ini!”
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias
Aku kaget. Apa? Mau dikenalkan sama anaknya yang punya kostan? “Aduh, saya gendut begini, Bu. Belum percaya diri buat kenalan sama cowok. Malu. Takutnya Mas Bagas ilfeel lihat badan saya yang sebesar toren air,” kataku rendah diri. “Nggak apa-apa, Mbak Agni! Nanti ya, Ibu kenalin malam ini juga kalau Mbak nggak ada acara. Nanti malam, datang ke rumah, ya. Kita makan malam sama-sama. Ajak Mbak Sandra juga kalau dia nggak ada kesibukan. Bagaimana, Mbak?” tanya Bu Sri bersemangat. Belum sempat aku menjawab tawarannya Bu Sri, tiba-tiba ponselku malah berdering dari saku depan ranselku. Buru-buru aku membalik posisi ransel dan Bu Sri pun segera melepaskan rangkulannya. “Diangkat dulu, Mbak, teleponnya!” kata Bu Sri ikut panik melihat ekspresiku yang agak kelabakan. Ketika ponsel berhasil kuraih, betapa syoknya aku saat melihat nama yang tertera di layar. Ternyata telepon tersebut dari Pak GM alias si genera
Nada Pak GM seperti orang yang menginterogasi. Apa dia pikir aku ke kostannya pacarku? “Kostanku, Pak,” sahutku pelan. “Lah, kamu kan, orang asli sini. Ngapain kamu ngekost segala? Ada masalah keluarga yang kamu bilang di telepon tadi? Emangnya masalah apa?” Pak GM bertanya tanpa henti sampai membuat kepalaku pusing sendiri. Aku menunduk sejenak. Bingung harus menjawab seperti apa. Di satu sisi, ini adalah aib keluargaku. Namun, di sisi lain, tidak mungkin aku sembunyikan saat Pak GM sudah telanjur tahu jika alasan keterlambatanku adalah karena masalah keluarga. “S-sebenarnya ….” Aku masih menggantung kalimatku. Tak enak mau memulai cerita ini. “Sebenarnya apa? Kamu kalau cerita, yang lengkap, dong!” desak Pak GM yang memiliki manik mata kecokelatan dan rambut pendek yang ditata dengan potongan cepak.Rambut beliau kemarin sempat gondrong, tapi karena diledek anak-anak mirip perempuan, tak lama langsung dia potong
Aku makin terkejut saja dengan ucapan Pak GM. Makin tidak masuk akal, pikirku. “Kenapa kamu bengong aja? Ini buku menunya. Pesan sekarang! Awas kalau nggak!” ancam Pak GM sambil menyambar buku menu di samping laptopnya, lalu melemparkan buku tersebut ke arahku. Aku sampai gelagapan saat menangkap buku tersebut. “P-pak, eh, Mas, saya disuruh ke sini bukan buat ikut meeting?” tanyaku resah. “Yang bilang mau meeting itu siapa? Orang aku ngajak makan! Cepetan! Perutku udah lapar!” Astaghfirullah! Mimpi apa aku semalam? Aku bela-belakan naik motor ngebut, ternyata cuma buat diajak makan oleh lelaki aneh di sebelahku ini. “Makasih, Mas,” lirihku sambil membuka lembaran buku menu. “Sama-sama. Nggak usah cerita sama yang lain. Nanti yang lain kepengen juga!” “Siap.” “Jadi, kamu kost di tempatnya Sandra? Kapan-kapan, nanti kalau berangkat ngantornya bareng, kamu
Melihat mata nyalang Mega yang penuh dendam, Zara menciut nyalinya. Dia tak mau lagi bertanya-tanya, karena ngeri bila mood ibunya jadi berantakan. Apalagi, dia sedari tadi sudah deg-degan takut kena marah karena sudah hamil duluan. “Baik, Bu. Kalau begitu, aku akan bilang Mas Farhaaz kalau Ibu sama Ayah mau ketemu sama dia.” “Kasih tahu ke Farhaaz kalau dia nggak perlu takut dicaci maki sama kami berdua. Ibu dan Ayah senang kalian menikah meskipun dengan cara begini. Titip salam ke dia juga, bilang kalau Ibu dan Ayah nggak sabar lagi buat melihat kalian berdua bersanding di atas pelaminan.” Senyuman Mega yang penuh kelicikan itu kini terulas sangat lebar. Seandainya saja Agni mendengar, mungkin hati gadis malang itu bakal hancur berkeping-keping. Sungguh, Mega telah berlaku zalim kepada anak angkatnya sendiri. *** Kejadian sore hari setelah uang Rp. 125.000.000., diserahkan …. Petang semakin pekat. Matahari telah terbena