Anjani Rahma (32 th) tidak akan pernah mengira bisa menjadi janda di usia seperti ini. Mana diselingkuhin itu nggak enak banget! Tapi, tetap dong hidup harus berlanjut. Hingga ia harus menghadapi salah satu pesona janda, mantannya pingin balikan! Bersediakah Anjani? Atau justru dia terjebak pesona laki-laki lain yg ganteng, kaya, tapi galaknya minta ampun? Yuk baca, romance comedy ini!
Lihat lebih banyakApa yang sedang kulihat itu?
Adegan yang pasti akan disensor KPAI karena tergolong dewasa banget--kembali melambai-lambai di mata. Tampak begitu jelas.
Satu selimut berwarna kuning gading melayang separuh. Suara musik smooth jazz yang lembut. Baju-baju yang berhamburan. Suara perempuan mendesah. Tawa suka cita para setan.
Mataku mengerjap perih. Nyalang menatap eternit putih yang menghias langit-langit kamar.
Aku memijat dahiku yang terasa berdenyut cepat. Rasa-rasanya kepalaku seperti akan meledak. Ah, itu berlebihan tentu saja. Sama seperti saat itu. Ingatan waktu yang mengembara jauh.
Harusnya, aku sudah melupakan kejadian tersebut. Baiklah. Aku harus lupa. Mengingat hal-hal pahit tidak menyehatkan lambung dan jiwa. Aku pasti akan mengeluh nyeri di bagian perut sebelah kiri.
Ini tidak boleh terjadi.
Aku memaksa bangkit dari ranjang. Sedikit bertumpu pada kaki yang terasa perih. Sesaat sebelum kaki mungilku melangkah, suara gawai melolong panjang.
Bunyi tawa kuntilanak yang kupasang, memang terasa aneh untuk sebagian orang. Tapi, aku memang orang yang absurd. Tenang saja. Itu belum seberapa tentunya.
Bunyi mengekek panjang itu terus saja melengking semakin keras. Suasana rumah pedesaan yang hening ini menjadi sedikit ribut. Cepat-cepat aku melongok ke bawah ranjang.Apakah gawai sialan itu ada di dalam kolom gelap tersebut? Mana ya? Tanganku meraba-raba dalam gelapnya kolong ranjang. Ini tolol sekali. Aku membatin kesal.
Suara tawa kuntilanak ini akan sangat lucu jika terdengar di studio. Tapi, di rumah orang tua? Oh, aku pasti akan dimarahi.
Ini dia! Sesaat setelah aku menyibak selimut yang tergolek kusut di atas ranjang, aku tertawa kecil. Akhirnya aku bisa memijit tombol 'ok'.
"Ya, assalamualaikum?"Sebuah nomor tak dikenal. Mungkin teman-teman di studio.
"Waalaikumsalam, Jani ini aku. Argo," suara berat yang masih terdengar seksi di telingaku.
Namun, rasa mual mulai memenuhi kerongkongan.
"Jangan ditutup, Sayang. Aku mau bicara sebentar."
Mataku kembali perih dan panas, "Kamu mau ngomong apalagi, Go? Urusan kita sudah selesai. Titik."
"Urusan kita belum selesai, Jan. Boleh aku ke sana?"
"Buat apa?"
"Aku ingin minta maaf pada orang tuamu."
"Simpan maafmu, Go. Aku nggak butuh. Ortuku nggak mau ketemu kamu. Ngerti?"
Aku melemparkan gawai keras-keras ke atas bantal. Napasku tak beraturan. Argo masih saja meneleponku. Nomornya terus berganti. Tampaknya, ia tak mau begitu saja melepasku.
Ah, biarlah. Urusanku dengannya sudah selesai jauh-jauh hari. Sesaat setelah palu hakim diketuk. Dia bukan siapa pun bagiku. Hanya seorang ex-husband yang harus dicoret dari ingatan.
Sekelebat bayangan menari lagi di pelupuk mataku. Mencubiti hatiku yang harusnya sudah sembuh.
Ingatanku melayang pada hari naas tersebut. Hari ketika aku kehilangan semuanya.
Separuh jiwa yang pernah kukagumi itu pergi. Meninggalkan luka menganga yang tak kunjung sembuh hingga hari ini.
***puspitalagi***Enam bulan lalu
"Baik, siaranmu sudah sangat oke, An! Jangan lupa, besok siap-siap syuting untuk live di Youtube!"
"Siap, Mas Pram!"
Rekan kerjaku selalu memanggilku 'An' itu lebih praktis ketimbang nama lengkapku 'Anjani'. Malam ini sudah sangat larut.
Aku berencana untuk menyelesaikan rekaman siaran program solo. Jadi tak perlu live. Tak disangka, jam sepuluh malam sudah selesai. Biasanya baru jam satu dini hari selesai. Argo akan menjemputku tentu saja.
Saat aku akan mengirim pesan instan, Noura--penyiar muda berbakat menghampiriku.
"Mbak An, yuk bareng. Kebetulan, arah kita sama."
Maka, hari yang dingin itu aku menebeng Corolla mungil Noura. Menghampiri sebuah rumah mungil nan asri di pinggiran Surabaya.
Walau udara dan angin cukup dingin, karena biasanya suhu di kota ini sangat panas menyengat, aku merasakan hal yang aneh begitu Noura menurunkanku di depan rumah.
Kulitku meremang tiba-tiba. Seperti merasakan hal yang menakutkan. Aku bukan penyuka film horor. Tapi, jujur saja aku juga takut kalau melihat hantu betulan.
Memangnya ini malam Jumat?
Sepertinya tidak.
Rumah tampak lengang seperti biasa. Aku membuka pagar pintu gerbang besi yang tak terkunci. Aneh. Biasanya Argo selalu waspada.
Dengan terburu-buru aku membuka pintu utama. Kali ini terkunci, seperti biasa aku membawa kunci cadangan. Daun pintu berkeriut memekakkan telingaku.
Kosong.
Ruang tamu, ruang tengah, pantry, dan dapur tak kutemukan sosok Argo. Aku mengayunkan kaki menuju lantai dua. Menaiki tangga dengan hati-hati.
Suara smooth jazz terdengar mendayu-dayu. Musik kesukaan Argo.
Keningku berkerut saat telinga juga menangkap suara-suara aneh. Seperti suara erangan dan desahan. Layaknya pasangan yang sedang bercinta.
Tunggu. Apa aku salah dengar? Aku membuka pintu kamar utama. Jantungku seperti melorot ke dengkul saat melihat yang terjadi.
Mereka. Argo dan perempuan yang kusegani sedang beradu kasih hingga tak tahu aku telah tiba.
Bibirku gemetar dan wajahku panas. Napasku pendek-pendek. Aku seperti membeku di depan pintu.
Beberapa saat yang panjang berlalu. Namun, aku seperti patung bisu yang tak bisa bergerak.
Lalu Argo menoleh. Ia memandangku dengan wajah kaget.
Sorot mata itu. Aku begitu mengenalnya.
"Kenapa, Honey?" Suara manja penuh desahan itu terdengar tak sabar. Terganggu dengan gerakan Argo yang terhenti.
Perempuan itu memandangku penuh tanda tanya, "An? Sedang apa di sini?" ucapnya sengau.
Argo menelan ludah, "Diamlah."
"Siapa dia, Honey? Dia ini kan pegawaiku," perempuan itu berdiri menyelimuti tubuhnya dengan bed cover.
"An? Anjani?" ulangnya melengking.
Argo seperti tercekat, "Dia istriku."
Aku berpaling. Menutup pintu dengan hati-hati.
Aku menuruni tangga dengan tubuh lunglai. Lalu duduk di sofa perlahan. Mencoba menelaah apa yang sedang terjadi.
Ah, tidak. Mungkin ini mimpi. Hanya sebuah kelebat mimpi buruk karena aku mulai jarang berdoa dan berzikir.
Ya, hanya mimpi.
Bukan hal yang serius.
Tanganku menggapai pintu kulkas dan mengambil air mineral dingin. Membasahi kerongkonganku yang sejak dua jam lalu terasa kering.
Terdengar suara kaki terburu-buru, seperti berlari. Suara kaki Argo. Aku begitu mengenalnya. Sudah tujuh tahun aku menikahinya.
Memujanya. Mencintainya dengan hatiku.
"Jani? Kamu baik-baik saja kan?" Argo meraih tanganku. Wajahnya merah. Matanya penuh luka.
Sorot mata itu.
Aku masih membeku. Mulutku terkatup rapat. Mataku menerawang jauh.
Aku sedang bermimpi.
Ini cuma mimpi. Iya, ini mimpi.
Aku meneguk kembali air mineral dingin yang kemudian seperti meluncur jatuh di dalam lambung dan ususku. Membawa hawa dingin yang kosong.
"Go?" kataku.
Argo menoleh. Mungkin dia heran, kenapa aku tidak menyematkan kata 'Mas' di depan panggilan itu. Tidak seperti biasanya.
Aku juga tak mengerti. Itu hanya sebuah spontanitas. Gerak reflek dari lidah dan otak bawah sadarku yang terkoneksi tanpa menunggu perintahku.
Sudah kubilang ini mimpi.
"Jan, maafkan aku."
"Buat apa?"
"Jani, tolong!"
"Apa? Sudahlah, Go. Urusi saja urusanmu. Aku mau minum air ini dulu. Tadi aku siaran dua jam. Capek," aku menjauh dari Argo menuju kamar tamu yang terletak di paviliun sebelah rumah.
Argo berlari mengejarku.
"Jani! Maafkan aku, Sayang!" Argo meraih tanganku kuat-kuat.
Kenapa terasa sakit ya? Bukankah aku ini sedang bermimpi?
Aku berhenti. Menatap mata Argo lurus-lurus.
"Ini mimpi kan, Go? Jangan bangunkan aku. Ini mimpi bukan?"
Argo mematung. Wajahnya penuh tanda tanya.
Saat itulah aku mengerti.
Ini bukan mimpi. []
Bersambung
Mohon tinggalkan jejak ya, agar Author semangat jangan lupa komen, vote, sub dan follow. Terima kasih. Love you.
Xoxo, Puspitalagi ♥️🥳
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen