Assalamualaikum, Ex-Husband!

Assalamualaikum, Ex-Husband!

last updateTerakhir Diperbarui : 2023-01-28
Oleh:  Puspitalagi Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
8 Peringkat. 8 Ulasan-ulasan
158Bab
17.8KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Anjani Rahma (32 th) tidak akan pernah mengira bisa menjadi janda di usia seperti ini. Mana diselingkuhin itu nggak enak banget! Tapi, tetap dong hidup harus berlanjut. Hingga ia harus menghadapi salah satu pesona janda, mantannya pingin balikan! Bersediakah Anjani? Atau justru dia terjebak pesona laki-laki lain yg ganteng, kaya, tapi galaknya minta ampun? Yuk baca, romance comedy ini!

Lihat lebih banyak

Bab 1

Keping 1

Apa yang sedang kulihat itu? 

Adegan yang pasti akan disensor KPAI karena tergolong dewasa banget--kembali melambai-lambai di mata. Tampak begitu jelas. 

Satu selimut berwarna kuning gading melayang separuh. Suara musik smooth jazz yang lembut. Baju-baju yang berhamburan. Suara perempuan mendesah. Tawa suka cita para setan.

Mataku mengerjap perih. Nyalang menatap eternit putih yang menghias langit-langit kamar. 

Aku memijat dahiku yang terasa berdenyut cepat. Rasa-rasanya kepalaku seperti akan meledak. Ah, itu berlebihan tentu saja. Sama seperti saat itu. Ingatan waktu yang mengembara jauh. 

Harusnya, aku sudah melupakan kejadian tersebut. Baiklah. Aku harus lupa. Mengingat hal-hal pahit tidak menyehatkan lambung dan jiwa. Aku pasti akan mengeluh nyeri di bagian perut sebelah kiri.

Ini tidak boleh terjadi. 

Aku memaksa bangkit dari ranjang. Sedikit bertumpu pada kaki yang terasa perih. Sesaat sebelum kaki mungilku melangkah, suara gawai melolong panjang. 

Bunyi tawa kuntilanak yang kupasang, memang terasa aneh untuk sebagian orang. Tapi, aku memang orang yang absurd. Tenang saja. Itu belum seberapa tentunya. 

Bunyi mengekek panjang itu terus saja melengking semakin keras. Suasana rumah pedesaan yang hening ini menjadi sedikit ribut. Cepat-cepat aku melongok ke bawah ranjang. 

Apakah gawai sialan itu ada di dalam kolom gelap tersebut? Mana ya? Tanganku meraba-raba dalam gelapnya kolong ranjang. Ini tolol sekali. Aku membatin kesal. 

Suara tawa kuntilanak ini akan sangat lucu jika terdengar di studio. Tapi, di rumah orang tua? Oh, aku pasti akan dimarahi. 

 Ini dia! Sesaat setelah aku menyibak selimut yang tergolek kusut di atas ranjang, aku tertawa kecil. Akhirnya aku bisa memijit tombol 'ok'. 

"Ya, assalamualaikum?" 

 Sebuah nomor tak dikenal. Mungkin teman-teman di studio. 

"Waalaikumsalam, Jani ini aku. Argo," suara berat yang masih terdengar seksi di telingaku. 

Namun, rasa mual mulai memenuhi kerongkongan. 

 "Jangan ditutup, Sayang. Aku mau bicara sebentar." 

Mataku kembali perih dan panas, "Kamu mau ngomong apalagi, Go? Urusan kita sudah selesai. Titik." 

"Urusan kita belum selesai, Jan. Boleh aku ke sana?" 

 "Buat apa?" 

 "Aku ingin minta maaf pada orang tuamu." 

 "Simpan maafmu, Go. Aku nggak butuh. Ortuku nggak mau ketemu kamu. Ngerti?" 

 Aku melemparkan gawai keras-keras ke atas bantal. Napasku tak beraturan. Argo masih saja meneleponku. Nomornya terus berganti. Tampaknya, ia tak mau begitu saja melepasku. 

 Ah, biarlah. Urusanku dengannya sudah selesai jauh-jauh hari. Sesaat setelah palu hakim diketuk. Dia bukan siapa pun bagiku. Hanya seorang ex-husband yang harus dicoret dari ingatan. 

 Sekelebat bayangan menari lagi di pelupuk mataku. Mencubiti hatiku yang harusnya sudah sembuh. 

 Ingatanku melayang pada hari naas tersebut. Hari ketika aku kehilangan semuanya. 

 Separuh jiwa yang pernah kukagumi itu pergi. Meninggalkan luka menganga yang tak kunjung sembuh hingga hari ini. 

 ***puspitalagi***

Enam bulan lalu

 "Baik, siaranmu sudah sangat oke, An! Jangan lupa, besok siap-siap syuting untuk live di Youtube!" 

"Siap, Mas Pram!"

Rekan kerjaku selalu memanggilku 'An' itu lebih praktis ketimbang nama lengkapku 'Anjani'. Malam ini sudah sangat larut. 

Aku berencana untuk menyelesaikan rekaman siaran program solo. Jadi tak perlu live. Tak disangka, jam sepuluh malam sudah selesai. Biasanya baru jam satu dini hari selesai. Argo akan menjemputku tentu saja. 

Saat aku akan mengirim pesan instan, Noura--penyiar muda berbakat menghampiriku. 

"Mbak An, yuk bareng. Kebetulan, arah kita sama." 

Maka, hari yang dingin itu aku menebeng Corolla mungil Noura. Menghampiri sebuah rumah mungil nan asri di pinggiran Surabaya. 

 Walau udara dan angin cukup dingin, karena biasanya suhu di kota ini sangat panas menyengat, aku merasakan hal yang aneh begitu Noura menurunkanku di depan rumah. 

Kulitku meremang tiba-tiba. Seperti merasakan hal yang menakutkan. Aku bukan penyuka film horor. Tapi, jujur saja aku juga takut kalau melihat hantu betulan. 

 Memangnya ini malam Jumat? 

Sepertinya tidak. 

Rumah tampak lengang seperti biasa. Aku membuka pagar pintu gerbang besi yang tak terkunci. Aneh. Biasanya Argo selalu waspada. 

 Dengan terburu-buru aku membuka pintu utama. Kali ini terkunci, seperti biasa aku membawa kunci cadangan. Daun pintu berkeriut memekakkan telingaku. 

 Kosong. 

Ruang tamu, ruang tengah, pantry, dan dapur tak kutemukan sosok Argo. Aku mengayunkan kaki menuju lantai dua. Menaiki tangga dengan hati-hati. 

Suara smooth jazz terdengar mendayu-dayu. Musik kesukaan Argo. 

Keningku berkerut saat telinga juga menangkap suara-suara aneh. Seperti suara erangan dan desahan. Layaknya pasangan yang sedang bercinta. 

Tunggu. Apa aku salah dengar?  Aku membuka pintu kamar utama. Jantungku seperti melorot ke dengkul saat melihat yang terjadi.  

Mereka. Argo dan perempuan yang kusegani sedang beradu kasih hingga tak tahu aku telah tiba.  

Bibirku gemetar dan wajahku panas. Napasku pendek-pendek. Aku seperti membeku di depan pintu. 

Beberapa saat yang panjang berlalu. Namun, aku seperti patung bisu yang tak bisa bergerak.

Lalu Argo menoleh. Ia memandangku dengan wajah kaget.

Sorot mata itu. Aku begitu mengenalnya. 

"Kenapa, Honey?" Suara manja penuh desahan itu terdengar tak sabar. Terganggu dengan gerakan Argo yang terhenti.  

Perempuan itu memandangku penuh tanda tanya, "An? Sedang apa di sini?" ucapnya sengau.  

Argo menelan ludah, "Diamlah." 

"Siapa dia, Honey? Dia ini kan pegawaiku," perempuan itu berdiri menyelimuti tubuhnya dengan bed cover.  

"An? Anjani?" ulangnya melengking. 

Argo seperti tercekat, "Dia istriku." 

Aku berpaling. Menutup pintu dengan hati-hati. 

Aku menuruni tangga dengan tubuh lunglai. Lalu duduk di sofa perlahan. Mencoba menelaah apa yang sedang terjadi. 

Ah, tidak. Mungkin ini mimpi. Hanya sebuah kelebat mimpi buruk karena aku mulai jarang berdoa dan berzikir. 

Ya, hanya mimpi. 

Bukan hal yang serius. 

Tanganku menggapai pintu kulkas dan mengambil air mineral dingin. Membasahi kerongkonganku yang sejak dua jam lalu terasa kering. 

Terdengar suara kaki terburu-buru, seperti berlari. Suara kaki Argo. Aku begitu mengenalnya. Sudah tujuh tahun aku menikahinya. 

 Memujanya. Mencintainya dengan hatiku. 

"Jani? Kamu baik-baik saja kan?" Argo meraih tanganku. Wajahnya merah. Matanya penuh luka. 

Sorot mata itu.

Aku masih membeku. Mulutku terkatup rapat. Mataku menerawang jauh. 

Aku sedang bermimpi. 

Ini cuma mimpi. Iya, ini mimpi. 

 Aku meneguk kembali air mineral dingin yang kemudian seperti meluncur jatuh di dalam lambung dan ususku. Membawa hawa dingin yang kosong. 

"Go?" kataku. 

Argo menoleh. Mungkin dia heran, kenapa aku tidak menyematkan kata 'Mas' di depan panggilan itu. Tidak seperti biasanya. 

Aku juga tak mengerti. Itu hanya sebuah spontanitas. Gerak reflek dari lidah dan otak bawah sadarku yang terkoneksi tanpa menunggu perintahku.

 Sudah kubilang ini mimpi. 

"Jan, maafkan aku." 

"Buat apa?"

"Jani, tolong!"

 "Apa? Sudahlah, Go. Urusi saja urusanmu. Aku mau minum air ini dulu. Tadi aku siaran dua jam. Capek," aku menjauh dari Argo menuju kamar tamu yang terletak di paviliun sebelah rumah. 

 Argo berlari mengejarku. 

 "Jani! Maafkan aku, Sayang!" Argo meraih tanganku kuat-kuat. 

 Kenapa terasa sakit ya? Bukankah aku ini sedang bermimpi? 

 Aku berhenti. Menatap mata Argo lurus-lurus. 

 "Ini mimpi kan, Go? Jangan bangunkan aku. Ini mimpi bukan?" 

Argo mematung. Wajahnya penuh tanda tanya.

 Saat itulah aku mengerti. 

 Ini bukan mimpi. []

 

Bersambung

Mohon tinggalkan jejak ya, agar Author semangat jangan lupa komen, vote, sub dan follow. Terima kasih. Love you.

 

Xoxo, Puspitalagi ♥️🥳

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

user avatar
Agus Irawan
hai kak mampir juga ke Novelku. judul "Kembang Desa Sang Miliarder" pena" Agus Irawan. Jangan lupa mampir ya.
2023-02-24 21:09:23
0
user avatar
Leny Yuliasih Eltr
lucu deh anjani..konyol tp seru karakternya
2023-01-29 01:23:37
1
user avatar
Allehandra Hill
semangat thor yg rajin up ya... ditunggu ... jangan lama... lama....
2023-01-09 13:26:18
3
user avatar
Mince Hermawan
bagus banget ni novel... harusnya penuh emosi tapi sedikit rilex dengan karakter anjani... jadi ada lucu lucunya..... bagus
2023-01-09 08:30:53
3
user avatar
Dea
Paling suka saat si Jani berduaan di lift doong wkwkw
2023-01-07 20:05:58
3
default avatar
Dea
Betul-betul nyebengin dan bikin gemesss,, walaupun diawali dg scene yg bikin hah tp bab-bab berikutnya bikin penasaran abisss,, sukkkaaak nemuin cerbung ini,,..
2022-12-29 10:39:04
2
default avatar
abel
bacanya bikin susah move on gemes jg sama jani wkwk janda muda gemoy ... suka humor dan plotnya rasanya segar gt beda banget sama cerita kebanyakan
2022-12-29 10:26:02
2
user avatar
Halabeu News
Yesss akhirnya nemuin Anjani di sini ... kangeen dan suka sekali tulisan mbak Pus. Lucu,, seru,, bapeeerrrr hellppppp me dong
2022-12-28 10:10:16
2
158 Bab
Keping 1
Apa yang sedang kulihat itu? Adegan yang pasti akan disensor KPAI karena tergolong dewasa banget--kembali melambai-lambai di mata. Tampak begitu jelas. Satu selimut berwarna kuning gading melayang separuh. Suara musik smooth jazz yang lembut. Baju-baju yang berhamburan. Suara perempuan mendesah. Tawa suka cita para setan.Mataku mengerjap perih. Nyalang menatap eternit putih yang menghias langit-langit kamar. Aku memijat dahiku yang terasa berdenyut cepat. Rasa-rasanya kepalaku seperti akan meledak. Ah, itu berlebihan tentu saja. Sama seperti saat itu. Ingatan waktu yang mengembara jauh. Harusnya, aku sudah melupakan kejadian tersebut. Baiklah. Aku harus lupa. Mengingat hal-hal pahit tidak menyehatkan lambung dan jiwa. Aku pasti akan mengeluh nyeri di bagian perut sebelah kiri.Ini tidak boleh terjadi. Aku memaksa bangkit dari ranjang. Sedikit bertumpu pada kaki yang terasa perih. Sesaat sebelum kaki mungilku melangkah, suara gawai melolong panjang. Bunyi tawa kuntilanak yang ku
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-06
Baca selengkapnya
Keping 2
Enam bulan berlalu dengan cepat. Aku menyepi di sebuah dusun nan tenang, yang agak jauh dari hiruk pikuk metropolitan seperti Surabaya yang panas, sibuk, dan berdebu. Kanigoro, hanya sebuah dusun sepi di pinggiran Pasuruan. Sawah masih membentang luas. Ibu-ibu masih banyak yang sekadar turun menjadi buruh tani. Matun, atau membantu saat panen. Jika pagi, aktivitas sudah dimulai sejak sebelum Subuh. Anak kecil dan bapak-bapak mengumandangkan pujian dari langgar atau mushola kecil terdekat. Suasana begitu riuh. Ramah namun terkadang juga sedikit mengganggu, itu karena aku sangat tidak suka jika privasiku terganggu. Di dusun, berita cepat sekali menyebar. Bisik-bisik pun akan mengular seperti api melalap rumput kering. "Lho, An. Katanya kamu cerai ya? Sayang banget, An. Namanya juga lelaki kadang khilaf." "An, sepertinya kamu kelamaan di desa, apa nggak kerja jadi penyiar lagi di Surabaya?" "Kok bisa, Mas Argo yang ngganteng itu selingkuh ya, padahal orangnya kayak sopan pint
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-06
Baca selengkapnya
Keping 3
Aku menyeret koper besarku dengan malas. Sudah menjelang senja sebenarnya. Biasanya, aku suka dengan warna jingga yang menghiasi langit di kota metropolis ini. Sesaat menjelang Maghrib.Kali ini rasanya langit tak berwarna jingga. Tapi, cokelat. Mirip kopi instan creamer yang biasa kuseduh di studio, setelah menghabiskan seporsi bakso. Hem, perutku terasa keroncongan.Aku menatap kembali layar gawai yang berkedip-kedip hampir kehabisan baterai. Mana ini taksi online yang kupesan 30 menit lalu?Sekarang, kota ini mungkin lebih seperti apa yang dideskripsikan Pramudya Ananta Toer, dalam novel legendarisnya, Bumi Manusia. Hanya saja, tentu lebih modern, ramai, rapi, dan rindang.Pabrik-pabrik dengan cerobong asap tinggi, memang ada di sisi kota, mirip dengan London di abad kesembilan lalu, tentu saja minus kereta kuda. Trotoar penuh orang. Tapak-tapak kaki dan sepatu terdengar khas. Kendaraan-kendaraan bermotor lalu lalang dengan cepat dan rapat. Menyemburkan asap knalpot yang pekat da
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-06
Baca selengkapnya
Keping 4
Alunan gending Lingsir Wengi versi asli, yang tidak ada bau-bau Kuntilanak seperti film-film Julie Estelle menemani makan malamku di sebuah restoran kecil di sebuah Mal Surabaya.Memang sih, uangku semakin menipis. Namun, hari ini aku ingin merayakan keberuntunganku. Keberuntungan apa kemalangan ya? Aku—Anjani si janda muda yang masih belum jelas masa depannya ini akhirnya dipanggil interview beberapa perusahaan.Bayangkan saja, pemirsa!Besok lusa, aku akan menemui staf HRD setempat yang konon lebih seram daripada drakula. Jadi, mengabiskan beberapa ratus ribu di tempat ini rasanya tidak mengapa kan?"Sendirian, saja nih Mbak?" sapa seorang pramusaji pria dengan wajah ramah.Aku mengangguk. Tanpa tersenyum tentu saja. Karena pertanyaan itu seperti menyindirku sedemikian tajam."Pesan apa, Mbak?"Lalu, aku menyebut beberapa menu dan minuman. Secara cepat dan sigap pramusaji pria itu kemudian menghilang. Menggantikan pandangan mataku dengan keriuhan di malam ini.Kok begitu ramai?Ohya
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-06
Baca selengkapnya
Keping 5
Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan. Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”“Anda suka anak kecil?”“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.Salah ya ngomong begitu? Hasil: zonk. “Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-06
Baca selengkapnya
Keping 6
Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun. Mungkin dikiranya aku boneka beruang. Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih? Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda. Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani! Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar. Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati. Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-26
Baca selengkapnya
Keping 7
"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.Hus.Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-26
Baca selengkapnya
Keping 8
“Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-26
Baca selengkapnya
Keping 9
Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-26
Baca selengkapnya
Keping 10
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
last updateTerakhir Diperbarui : 2022-12-26
Baca selengkapnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status