Share

Keping 4

Author: Puspitalagi
last update Last Updated: 2022-12-06 12:17:52

Alunan gending Lingsir Wengi versi asli, yang tidak ada bau-bau Kuntilanak seperti film-film Julie Estelle menemani makan malamku di sebuah restoran kecil di sebuah Mal Surabaya.

Memang sih, uangku semakin menipis. Namun, hari ini aku ingin merayakan keberuntunganku. Keberuntungan apa kemalangan ya? Aku—Anjani si janda muda yang masih belum jelas masa depannya ini akhirnya dipanggil interview beberapa perusahaan.

Bayangkan saja, pemirsa!

Besok lusa, aku akan menemui staf HRD setempat yang konon lebih seram daripada drakula. Jadi, mengabiskan beberapa ratus ribu di tempat ini rasanya tidak mengapa kan?

"Sendirian, saja nih Mbak?" sapa seorang pramusaji pria dengan wajah ramah.

Aku mengangguk. Tanpa tersenyum tentu saja. Karena pertanyaan itu seperti menyindirku sedemikian tajam.

"Pesan apa, Mbak?"

Lalu, aku menyebut beberapa menu dan minuman. Secara cepat dan sigap pramusaji pria itu kemudian menghilang. Menggantikan pandangan mataku dengan keriuhan di malam ini.

Kok begitu ramai?

Ohya, ini kan Sabtu malam. Jadi, malam romantis dan malam kencan.

Aku mengamati sekeliling dengan wajah pilu. Menatap iri beberapa pasangan yang datang dengan bergandengan tangan, anak-anak kecil yang menggelayut manja pada orang tua mereka—para mamah muda dengan bentuk tubuh seksi hasil perawatan dan Zumba berjam-jam. 

Juga muda mudi yang memiliki kursi di pojokan. Mereka seperti bersembunyi dan sengaja memilih kursi paling gelap dan paling pojok.

Aku mengekeh geli.

Lalu, aku dengan siapa?

Sendirian tentu saja.

Teman-temanku—yang mereka ini semua sudah memiliki pasangan kecuali satu orang—tentu saja tidak bisa datang hari ini. Mereka sibuk dengan keluarga dan pasangan masing-masing.

Nawang menghadiri acara ulang tahun teman anaknya di Malang. Reina sedang melakukan perjalanan dinas ke Pulau Komodo, dan Lupita sedang tidak enak badan karena baru saja putus cinta dengan kekasihnya.

Begitulah. Aku pun sendiri lagi malam ini.

Jadi, aku mulai mengambil foto beberapa menu yang belum kusentuh. Bebek goreng, lalapan, dan jus jeruk kesukaanku. Kemudian kuposting di media sosial berlogo biru—Facebook.

Sembari mengunyah bebek yang enaknya sampai ke hati—beberapa notifikasi memenuhi gawaiku. Tapi, aku sengaja tidak menjawabnya. Malas, nanti saja.

Lagipula perutku lapar sekali.

Kemudian gawaiku kembali berbunyi. Langsung saja aku memasang tampang waspada, melihat sekeliling dan memeriksa wajah-wajah asing yang keluar masuk melalui pintu utama yang terbuat dari kaca.

Aku khawatir, Argo membuntutiku. Jangan sampai. Aku bergidik ngeri.

Di layar gawai yang sebenarnya, menurut aturan pertama tak boleh kubaca selama makan malam ini—tapi tetap saja benda sialan itu mencuri waktuku.

Jani, ini Bulek Sri. Besok datang ya, ada acara pertunangan sepupumu—Winda.

Aku membaca pesan itu dengan hati nestapa. Ah, aku tak akan datang. Lagipula siapa mau datang di acara engagement sepupunya sementara dirinya baru menyandang status janda?

Enak saja.

Aku mencomot kembali bebekku dengan ukuran lebih besar dan segera saja gawaiku berbunyi.

Dari Ibu. Tentu saja, aku akan menjadi anak durhaka jika mengabaikan telepon dari pemilik surgaku ini.

"Waalaikum salam, nggih Bu. Jani lagi makan malam."

"Nduk, besok datang ya ke acara Winda. Jangan lupa, lho. Harus datang. Diusahakan ya, Nduk."

Pasti begitu.

"Nggih, Bu. Insyaallah."

"Jangan lupa dandan yang cantik ya."

"Tentu, Bu. Masak ke sana pakai daster."

"Lho, kamu kalau nggak diingetin biasanya pakai baju sembarangan lho. Menyalahi dresscode acara."

Alamak, ngomingin dresscode juga si Kanjeng Mami ini.

"Memang dresscode-nya apa sih, Bu?"

"Pakai baju warna pastel, gitu kata Bulekmu."

"Nggih, pun Bu."

Lalu pembicaraan itu kembali berlanjut hingga tiga puluh menit berikutnya hingga bebekku kedinginan di atas meja.

Dengan sebal, kumasukkan gawaiku ke dalam tas. Dan kembali menyesap jus jeruk favoritku hingga tandas tak bersisa.

Perutku terasa begitu penuh hingga seseorang di sebelah mejaku, yang duduk begitu dekat tadi menegurku dengan jenaka.

"Mbak, itu tadi bebek saya lho."

Kata lelaki di sebelah mejaku sembari menahan geli.

"Hah? Yang benar saja?" sepertinya mataku melotot.

Apa? Aduh, masak sih?

Aku melihat mejaku dan memang sih bebekku sudah habis tak bersisa. Lalu, ternyata aku juga mengambil bebek di piring meja sebelahku. Jadi ada dua piring yang begitu bersih di mejaku. Piring si bebek tadi.

Kok bisa sih?

Segera saja wajahku terasa panas.

"Saya pesankan menu bebek lagi ya, Mas. Maaf tadi saya asyik ngobrol dengan ibu saya, sampai lupa ngambil dari piring mana," jelasku berapi-api.

"Nggak perlu, anggap saja itu salah makan. Bukan rezeki saya," kata lelaki itu santai, kemudian dia melambaikan tangan ke pramusaji.

"Maaf banget nggih, Mas."

"Nggak papa."

"Nanti bill-nya saya ganti ya," tawarku dengan manis dan gugup. Mengingat lembar ratusan ribu di dompetku sepertinya segera kering.

"Kenapa begitu?"

"Kan tadi bebeknya saya makan," jawabku lagi.

"Itu tidak sengaja. Tidak terhitung dosa, Mbak," ucapnya santai, "jadi tak perlu diganti."

Aku menatap lelaki itu tak berkedip. Sampai lupa kalau dia adalah lelaki paling tampan yang pernah kutemui semingguan ini. Apa dia tidak takut uangnya habis untuk memesan bebek lagi.

Ah, dasar si bebek ini!

Pramusaji kembali menyambangi meja di sebelahku. Meletakkan sepiring bebek goreng yang masih mengepulkan asap. Lelaki itu kemudian mencubit daging bebek dengan garpu dan melahapnya—di bawah pengawasanku.

Entah kenapa aku tak bisa memaling wajah darinya. Apa karena aku merasa tak enak hati?

"Kok saya dilihatin terus, Mbak?"

Aku segera memalingkan pandangan menatap lalu lalang orang dari balik pintu kaca utama. Mencoba menerka kenapa situasi ini jadi aneh. Rasanya aku tak ingin makan bebek lagi seumur hidupku kelak.

Aku mematikan gawai.

Lalu memanggil pramusaji untuk mengisi kembali gelas jus jerukku. Kan tidak mungkin aku melarikan diri setelah insiden ini. Bisa jadi, laki-laki ini berubah pikiran dan meminta tanggung jawabku.

Jadi, aku masih duduk di mejaku. Sembari mendengar lagu-lagu melankolis dari grup band negeri yang senang sekali menyanyikan lagu patah hati.

Hebat betul di situasi seperti ini?

Lelaki itu sepertinya tak mengindahkanku lagi. Jadi, aku mengeluarkan buku andalan dari tas dan mencoba membuka-buka halamannya. Sembari sesekali melirik ke sebelah meja, siapa tahu dia pergi.

Namun, tentu saja dia tidak pergi. Aku melihatnya mengeluarkan ipad besar. Lalu, ia menggulung lengan kemejanya dan mulai membaca. Seperti membaca media-media bisnis.

Mungkin dia ini eksekutif muda—seperti Argo yang bekerja di ranah bisnis dan tetek bengeknya. Tapi, rasa malu membuatku tak bisa bergerak banyak.

Lagipula, lelaki itu seperti sengaja tak ingin berkenalan. Ah, siapa juga yang ingin berkenalan dengan lelaki bertampang cuek dan seperti masa bodoh dengan semua hal.

Aduh. Harusnya aku tadi tak ke sini. 

Lalu, aku melihat lelaki itu berdiri. Ia cukup jangkung dan tegap—omong-omong. Seperti kaum pria yang gemar pergi ke gym dan mengangkat beban.

Tiba-tiba ia menoleh padaku. Mata kami bertemu. Tentu saja aku malu dan kaget, karena seperti memandanginya dengan lancang sedari tadi.

"Saya ada urusan, permisi." Katanya dingin—sedingin freezer.

Ia segera berlalu, dengan langkah tegap dan penuh percaya diri seolah-olah ini adalah restoran nenek moyangnya. Kemudian ia menyambangi kasir.

Huf. Syukurlah.

Akhirnya aku bisa keluar juga dari restoran ini dengan bebas merdeka, yes!

Kok, nggak dari tadi sih Mas keluarnya?

Jadi, penuh suka cita aku mengangkat bokongku yang terasa kebas dan bengkak karena sudah duduk berjam-jam sedari tadi.

Melenggangg menuju kasir sembari mengangsur kartu debitku yang sebenarnya agak sekarat.

"Tak usah Mbak. Mas yang duduk di sebelah tadi, sudah melunasi semua bill-nya."

Ah, yang beneeer?

Aku mendelik tak percaya. [] 

Bersambung 

Tinggalkan jejak love dan komentar ya, Dears. 💗

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tini Wartini
cerita yg menarik..lanjutt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 5

    Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan. Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”“Anda suka anak kecil?”“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.Salah ya ngomong begitu? Hasil: zonk. “Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau

    Last Updated : 2022-12-06
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 6

    Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun. Mungkin dikiranya aku boneka beruang. Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih? Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda. Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani! Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar. Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati. Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke

    Last Updated : 2022-12-26
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 7

    "Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.Hus.Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat

    Last Updated : 2022-12-26
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 8

    “Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk

    Last Updated : 2022-12-26
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 9

    Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a

    Last Updated : 2022-12-26
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 10

    Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad

    Last Updated : 2022-12-26
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 11a

    Tring!Jantungku terasa meledak begitu mendengar lift berhenti di lantai ke-30.Ini beneran kan? Bukan adegan di Fifty Shades of Grey?Aku memiringkan kepala, menggetoknya perlahan agar tidak berhalusinasi menjadi Anastasia Steele, yang sedang bersiap bertemu Mr. Grey.Halah.Ini mungkin efek badan yang terlalu lelah dan letih setelah hari yang demikian berat. Punggungku terasa kaku dan pegal, sementara kakiku sakit.Aku sekarang tentu saja tidak sedang memakai sepatu olah ragaku yang penuh dengan lumpur dan pasir. Setelah mengitari kota dan berlarian bersama kru dan Bang Napi berburu berita.Aku berjuang melewati pintu lift, dan segera saja menemukan ruang lobi yang begitu mewah, penuh kaca, berlantai granit, dan terasa begitu bersih. Berbeda sekali dengan ruang-ruang di bawah. Tempat berkumpulnya para kacung korporat sepertiku ini.Aku menahan senyum geli, menyadari bahwa aku sekarang pun ternyata telah menjadi salah satu kacung korporat di media terbesar di Surabaya ini. Aku tak men

    Last Updated : 2022-12-26
  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 11b

    Aku perlahan-lahan membuka mataku yang tadi begitu saja kupejamkan begitu erat. Perempuan di depanku tiba-tiba memasang wajah kemayu dan manja, ada apa sih ini? "Oh, enggak. Tadi aku mau ngucapin selamat sama pegawai barumu ini, Honey," katanya dengan suara dibuat-buat. Aku hanya bengong. "Betulkan? Eh ... ehm, Anja—Anjani?" kata perempuan itu dengan wajah seperti ingin ditabok. Aku lalu mengangguk, tak berani mengangkat wajah. Mungkin yang sedang berada di belakangku ini adalah CEO JMTV. Oh, ngerinya! Kenapa aku masuk ke dalam skandal mereka ini sih? "Mbak Anjani, silakan masuk ke dalam ruangan. Bapak sudah menunggu!" sekretaris berbaju licin dan berdandan prima itu tiba-tiba menarikku dan membawaku ke sebuah ruangan. Aku menurut. Aku masih bingung tentu. OOO Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling tolol dan bodoh sedunia. Bagaimana tidak? Tadi itu kenapa sih sebenarnya? Oh, ya Allah. Ya Tuhanku, tolong bisikkan pada CEO JMTV agar tidak memecatku karena mengetahui skanda

    Last Updated : 2022-12-26

Latest chapter

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84b

    Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 84a

    Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83b

    Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 83a

    Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82b

    Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 82a

    Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 81b

    Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 81a

    Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin

  • Assalamualaikum, Ex-Husband!   Keping 80b

    Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status