Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun.
Mungkin dikiranya aku boneka beruang.
Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih?
Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda.
Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani!
Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar.
Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati.
Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke arah samping rumah. Tanpa menghiraukan korbannya di sini. Meringis dengan kepala benjol.
Aku menggelengkan kepala. Kembali berdiri tegak, sembari menata langkah gemulai karena sekarang aku sudah memakai kebaya seragam untuk keluarga. Kebaya ini sedikit terlalu kecil, sehingga badanku yang gemuk—eh montok maksudnya terlihat begitu penuh dan terasa sesak.
Aku berdehem. Mengatur diri sedemikian rupa. Sembari melepas senyuman termanis yang aku miliki ke seluruh tamu. Walau mereka tidak memerhatikanku.
Kursi-kursi tertata begitu rapi di halaman rumah Bulik Sri. Berhias pita dan kain satin. Aku membawa beberapa bunga ke ruang depan. Menatanya di panggung mini kecil tempat dua calon pengantin menukar cincin nantinya.
Duh, dadaku berdesir perih. Mengingat kenangan selintas bersama Argo dahulu. Cincin berlian mungil delapan karat, hadiah dari Argo masih menghias jari manisku. Aku sampai sekarang tak bisa mengenyahkan benda kenangan itu.
Sudah beberapa kali aku ingin menjualnya. Atau menyedekahkannya, tapi tak kuasa. Dulu, cincin ini didapatkan Argo dengan menabung berbulan-bulan, saat ia belum menduduki posisi general manager di sebuah perusahaan kontruksi.
Namun, sekilas kenangan itu telah berubah menjadi abu. Hanya cincin yang menghias jari manisku ini yang tidak berubah menjadi apapun.
Aku mengelus cincin mungil yang bersinar-sinar karena sinar matahari yang tampak sedikit menyembul dari awan-awan kelabu di langit. Cuaca cukup cerah, dan udara lebih segar sebenarnya.
Tetapi, kenapa ya aku merasa begitu sesak dan rapuh sekarang. Sampai-sampai rasanya aku harus menopang lututku agar tidak oleng.
Biarlah.
Aku menata tulip-tulip putih, dan mawar putih di beberapa sisi. Sebelum nanti, sore acara Winda dimulai, memang ada beberapa sudut yang perlu dibenahi.
"An?"
Aku mendongak, mengerjapkan mata. Memerhatikan gadis dengan senyum manis dan tampak begitu senang menatapku di sini. Lupita? Ngapain dia di sini?
"Lho, Pit? Kamu kok di sini sih?" gumamku kurang jelas.
"Ini acara Winda, calonnya itu sepupuku An," Lupita tertawa menatapku yang terbengong melihatnya berdiri dengan kebaya berwarna kuning dan jarik cokelat.
"Seragammu kuning begitu ya?" komentarku tersenyum.
"Sepupuku itu suka warna kuning. Katanya bisa bikin happy dan bahagia terus. Belum tahu dia nanti kalau sudah nikah. Iya kalau mulus kayak jalan tol. Kalau misalnya kayak kamu begini bagaimana? Aduh, maaf An. Jadi keceplosan," sungut Lupita.
Aku manyun, "Iya sih, tapi jangan doain sepupu kamu bakal ngalamin kayak aku dong, Pit. Jangan deh. Kasihan Winda juga nanti."
Lupita menyedekapkan kedua tangan di depan dada, lalu mengetukkan jemarinya, "Aku kan lagi patah hati, An. Jadi bawaannya sewot melulu."
"Iya, iya. Tahu deh yang patah hati."
"Aku sih pinginnya di rumah, sama nyemil cokelat terus nonton drakor yang sedih-sedih begitu. Nangis sampai mata bengkak. Tapi, Mama nyuruh ke sini. Bagaimana lagi?"
Lupita bukan gadis jelek, cuma nasibnya saja yang nggak mujur. Ditinggal menikah oleh orang yang disayanginya—tunangannya, bukan perkara mudah, sebenarnya. Tapi, masih mending ketimbang sudah nikah bertahun-tahun lalu berpisah karena perselingkuhan.
Aku melangkah mendekati Lupita, "Kamu ini masak lupa sih, Pit. Aku kan juga habis cerai, jadi masih ada broken-brokennya. Jadi jangan curhat begitu," kataku.
Lupita tertawa terkekeh, "Aduh, masalahku sebenarnya sepele kalau dibanding dirimu ya An. Sepuluh tahun mengenal Argo bukan waktu yang singkat sih."
"Dah, ah. Jangan sebut nama itu lagi."
"Iya, iya Cantik."
"Jangan ngeledek."
"Kamu sebenarnya cocok kok pakai kebaya warna pastel begitu ketimbang aku yang pakai kuning begini. Kata sepupuku terilhami dengan kisah Potre Koneng."
"Apaan itu."
"Legenda orang Madura, An. Masak nggak tahu?"
Aku mengedikkan bahu. Tersenyum lebar, lalu melangkah ke dalam.
OOO
"Hei, hei Jani. Penyiar kita yang ceriwis dan bersuara merdu sudah datang rupanya."
Aduh, siapa lagi sih ini?
Aku meringis dan melempar senyum kering, sembari menjawil tangan Lupita yang bergerak menjauh. Tapi, tampaknya tidak begitu berhasil. Gadis itu sudah melangkah menjauh menyisir lautan manusia yang berjubel setelah acara penyematan cincin untuk Winda selesai dengan sukses tanpa tragedi apapun.
Lalu acara berfoto bersama yang menghabiskan setidaknya empat puluh menit dalam pose tersenyum, hingga aku betul-betul lelah dan letih. Bibirku terasa pegal, mulutku kering, dan bahuku terasa ngilu.
Duh, kayak sudah nenek-nenek saja, Jani!
Aku kembali mengulum senyum masam.
Rasa-rasanya aku merasa begitu rapuh dan tak begitu bisa merasa bahagia di sini. Apa kabar masa depan?
Bahuku melorot dan menatap Paklik Broto tertawa lebar kepadaku. Lelaki itu adalah adik ibuku, namun entah kenapa pamanku ini begitu usil dan menyebalkan. Memang sih tingkahnya konyol.
"Eh, Paklik," aku menyalaminya dan mencium punggung tangan, sebagai bukti bahwa aku adalah keponakan yang baik dan tidak sombong.
"Kok, Paklikmu ini nggak pernah dengar kamu siaran sih?"
"Sudah nggak kerja di sana Paklik."
"Lho kok bisa? Penggemarmu itu sudah banyak Jani. Mana bisa kamu berhenti begitu. Pantas Paklik nunggu-nunggu suaramu nggak ada. Diganti sama siapa itu, penyiar apa sih itu. Suaranya melengking begitu. Nggak seperti suaramu renyah dan ada kriuk-kriuknya," katanya panjang lebar.
"Sudah lama resign-nya Paklik."
"Begitu. Kenapa kok resign? Apa nggak sayang sama penggemarmu yang ribuan itu? Banyak lho yang cari-cari kamu, Jani. Kayak Paklik-mu ini. Kalau kerja di mobil ada suaramu kan seneng begitu. Sama nunggu lampu merah, bisa request lagu-lagu nostalgia," Paklik Broto mengamatiku. Kumisnya yang besar dan melintang mengingatkanku pada Pak Raden dari serial televisi jadul TVRI dulu.
"Cuma ingin saja, Paklik."
"Aneh sekali Jani. Eh, apa benar gosip yang dimongin sepupumu itu. Kamu ini sudah cerai sama Argo, begitu?"
Duh. Bagaimana ya, aku bingung menjawabnya. Nanti, malah-malah pada berkerumun di sini untuk mewawancarai masalah rumah tanggaku. Jadi, sembari menunggu ilham agar aku bisa menjawab apa. Aku hanya tersenyum masam.
"Paklik Broto tahu dari siapa?"
"Nah, kan? Bener begitu?"
Aku mengangguk, sembari menahan-nahan air mataku agar tidak jatuh begitu saja. Kepalaku pusing karena insiden tadi siang, belum lagi rasa lelah karena membantu persiapan pertunangan Winda. Serta lirikan ingin tahu para kerabat dan tamu.
Aku tidak mau dikasihani.
Aku tidak ingin orang memandangku penuh iba dan rasa jijik.
Aku juga tak mau mereka mengorek tragedi keluargaku. Itu aib, kan?
Kenapa sih tidak ada yang mengerti?
Tapi, iya sih. Aku memang menyedihkan begini. Padahal, sedari tadi aku sudah berusaha bersikap begitu ceria. Membantu ini dan itu. Menyapa dan berbasa-basi seperlunya.
Tetap saja, kisah perceraianku menjadi headline tersembunyi di pertunangan Winda ini.
Ada apa dengan semua orang? Kenapa masih harus selalu mengorek kisah hidupku yang sebenarnya tidak ada indah-indahnya sama sekali.
"Kenapa nggak cerita sama Paklik-mu ini?" tanya Paklik Broto dengan nada tinggi, seperti memahami kalau aku sebenarnya tidak ingin melewati proses perceraian atau menyaksikan selimut Argo dan Shely melayang-layang di kamar pribadiku.
Tiba-tiba perutku merasa mual.
Alunan suara musik smooth jazz mengalun lembut dari arah depan. Mengingatkanku pada siapa yang menggilai musik ini. Aku menyipitkan mata. Tidak, tidak mungkin. Ini tidak akan terjadi. []
Bersambung ♥️🥳"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.Hus.Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat
“Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk
Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
Tring!Jantungku terasa meledak begitu mendengar lift berhenti di lantai ke-30.Ini beneran kan? Bukan adegan di Fifty Shades of Grey?Aku memiringkan kepala, menggetoknya perlahan agar tidak berhalusinasi menjadi Anastasia Steele, yang sedang bersiap bertemu Mr. Grey.Halah.Ini mungkin efek badan yang terlalu lelah dan letih setelah hari yang demikian berat. Punggungku terasa kaku dan pegal, sementara kakiku sakit.Aku sekarang tentu saja tidak sedang memakai sepatu olah ragaku yang penuh dengan lumpur dan pasir. Setelah mengitari kota dan berlarian bersama kru dan Bang Napi berburu berita.Aku berjuang melewati pintu lift, dan segera saja menemukan ruang lobi yang begitu mewah, penuh kaca, berlantai granit, dan terasa begitu bersih. Berbeda sekali dengan ruang-ruang di bawah. Tempat berkumpulnya para kacung korporat sepertiku ini.Aku menahan senyum geli, menyadari bahwa aku sekarang pun ternyata telah menjadi salah satu kacung korporat di media terbesar di Surabaya ini. Aku tak men
Aku perlahan-lahan membuka mataku yang tadi begitu saja kupejamkan begitu erat. Perempuan di depanku tiba-tiba memasang wajah kemayu dan manja, ada apa sih ini? "Oh, enggak. Tadi aku mau ngucapin selamat sama pegawai barumu ini, Honey," katanya dengan suara dibuat-buat. Aku hanya bengong. "Betulkan? Eh ... ehm, Anja—Anjani?" kata perempuan itu dengan wajah seperti ingin ditabok. Aku lalu mengangguk, tak berani mengangkat wajah. Mungkin yang sedang berada di belakangku ini adalah CEO JMTV. Oh, ngerinya! Kenapa aku masuk ke dalam skandal mereka ini sih? "Mbak Anjani, silakan masuk ke dalam ruangan. Bapak sudah menunggu!" sekretaris berbaju licin dan berdandan prima itu tiba-tiba menarikku dan membawaku ke sebuah ruangan. Aku menurut. Aku masih bingung tentu. OOO Tiba-tiba aku merasa menjadi orang paling tolol dan bodoh sedunia. Bagaimana tidak? Tadi itu kenapa sih sebenarnya? Oh, ya Allah. Ya Tuhanku, tolong bisikkan pada CEO JMTV agar tidak memecatku karena mengetahui skanda
Sialan. Sialan besar tentu saja. Aku dan dua kakiku ini seperti terpaku di atas lantai karpet tebal. Ini karpet dari mana? Lebih mirip rumput golf saking tebalnya. Duh, kok kamu mikirin karpet sih Jani! Aku tersedak dengan ludahku sendiri. Menggeleng lemah saat menemukan kondisi kalau aku kembali jatuh. Jahatnya pula, tersandung kakiku sendiri. Kalau sekiranya ada yang menjegal kakiku ini tentu itu lebih heroik, ada tokoh antagonis yang yang mengindimidasiku. Tapi ini tidak. Justru kakiku ini. Kaki kananku yang semampai (maksudnya semeter tak sampai) inilah yang menyebabkan aku jatuh terjerembab, dengan posisi kepala merunduk ke dalam kantor. Aku tentunya sedikit malu dong. Koreksi, malu yang begitu banyak. Karena ini kantor CEO JMTV yang mulia, agung, dan mewah! Norak banget sih aku ini? Ya, Tuhan. Tolong bisikkan kalimat sakti agar Pak CEO tidak menyadari kegugupanku. Atau setidaknya ia tak marah dengan perilaku konyolku ini. Aku mencoba bangkit, merangkak tentunya. Duh, aku
"Kalau kau sedang gugup, maka kau akan jatuh. Mungkin terjerembab atau tersuruk ke depan. Itu yang bisa kulihat," jelas Biru dengan suara begitu tenang. Sangat tenang sehingga aku merasa begitu ngeri.Entahlah, aku merasa seperti dikuliti di sini. Bisa jadi malah merasa ditelanjangi. Diletakkan di bawah mikroskop, lalu Biru atau what the hell—CEO JMTV ini mengamatiku dengan begitu cermat.Aku diteliti. Seperti subyek penelitian di sebuah lab ilmuwan gila yang mungkin tidak pernah kukenal sebelumnya.Oh, my God. Apa Biru mau balas dendam karena kemarin di pesta Winda aku tidak ramah padanya?Oh, No!Jangan dong."Kenapa Anda ingin bekerja di media visual, Bu Anjani?" itu pertanyaan Biru, tanpa menghiraukan diriku yang seperti terpaku di atas kursi ini.Ini tentu pertanyaan yang begitu mudah bukan?Jadi aku dengan santainya (untuk menutupi kegugupanku) berkata bijak, "Dulu saya bekerja di radio, saya menyukai jurnalisme elektronik. Di media visual ini pun, saya bisa bekerja sesuai passi
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d