Enam bulan berlalu dengan cepat. Aku menyepi di sebuah dusun nan tenang, yang agak jauh dari hiruk pikuk metropolitan seperti Surabaya yang panas, sibuk, dan berdebu.
Kanigoro, hanya sebuah dusun sepi di pinggiran Pasuruan. Sawah masih membentang luas. Ibu-ibu masih banyak yang sekadar turun menjadi buruh tani. Matun, atau membantu saat panen.
Jika pagi, aktivitas sudah dimulai sejak sebelum Subuh. Anak kecil dan bapak-bapak mengumandangkan pujian dari langgar atau mushola kecil terdekat.
Suasana begitu riuh. Ramah namun terkadang juga sedikit mengganggu, itu karena aku sangat tidak suka jika privasiku terganggu. Di dusun, berita cepat sekali menyebar. Bisik-bisik pun akan mengular seperti api melalap rumput kering.
"Lho, An. Katanya kamu cerai ya? Sayang banget, An. Namanya juga lelaki kadang khilaf."
"An, sepertinya kamu kelamaan di desa, apa nggak kerja jadi penyiar lagi di Surabaya?"
"Kok bisa, Mas Argo yang ngganteng itu selingkuh ya, padahal orangnya kayak sopan pinter gitu."
"Apa mungkin kamu yang kurang maksimal melayani Mas Argo yang ngganteng banget itu, An?"
"Nggak pengen rujuk An? Susah lo cari suami keren kayak Mas Argomu, itu."
"Mungkin Anjani ini pingin suami yang sugeeh (kaya banget), iya tho An? Seperti Romlah yang dapat jodoh Ustaz Said, lelaki Arab yang kaya raya itu."
Kaya raya dan berumur enampuluh tiga tahun. Koreksiku dalam hati.
Romlah yang malang. Tapi ia tampak bahagia. Romlah baru berusia duapuluh tiga dan dianggap perawan tua di dusunku ini. Ya, begitulah.
Apalagi, aku yang menjanda di usia tigapuluhan. Mungkin mereka menganggapku fosil t-rex.
Aku hanya tersenyum masam. Iya, cuma itu yang bisa kulakukan.
"Kadang yang kita dengar nggak perlu harus diomongkan, nggih Ibu-Ibu yang cantik," tukasku sesaat saat aku bertemu pasukan ghibah itu di warung sayur.
"Ya, pantesan saja Mas Argo yang nggantengnya sundul langit itu ninggalin kamu, An. Lha wong kamu modelnya judes begini. Mana tahan kupingnya tiap hari, ya nggak Buk-Ibuk?" Yu Sumi melirik sengit ke arahku yang sedang mengangsur lembaran uang limapuluh ribu ke Ummi Maryam--pemilik warung.
"Iya, Yu Sumi. Betul itu. Dari dulu kan Anjani ini pinter ngoceh. Kalau nggak begitu, mana bisa dia jadi penyiar. Penyiar yang nganggur ya sekarang, An?" Onah menatap wajahku dengan mata beloknya yang terkesan melotot setiap waktu.
"Permisi nggih, saya banyak kerjaan," tukasku cepat. Lalu bersegera menjauh dari warung sayur neraka itu.
Dasar tukang ghibah! Teriakku dalam hati memacu langkah menuju rumah.
"Anjani? Makin ayu saja, sekarang, Neng," Pak Untung yang sedang menuntun kerbau raksasa di pematang sawah masih sempat-sempatnya menyapaku dengan bahasa seperti itu.
Aku hanya menutup rapat mulutku. Aku baru memahami, kenapa Pak Untung bertubuh tambun itu terkesan begitu genit padaku. Juga beberapa laki-laki kadaluarsa di dusunku. Semua bermanis-manis muka.
Padahal, sebelumnya mereka sama sekali tak akan mau menoleh padaku. Karena aku dianggap terlalu modern di kampung udik dan terpencil di ujung dunia ini. Terlalu keminter dan susah diatur. Beda dengan perempuan desa yang nerimo dan patuh.
"Neng, An. Butuh tumpangan nggak?" Kini giliran Mang Agus, ojol depan rumahku yang sibuk dengan pekerjaannya di kecamatan terdekat.
Aku menggeleng kuat.
"Jauh loh, Neng An. Bisa bengkak kakinya entar," goda Mang Agus sekali lagi.
Aku nyengir mendengar kata-kata yang keluar dari mulutnya. Bagaimana kalau Yu Sumi mendengar ini? Bisa kena serangan jantung perempuan bermulut tajam itu.
"Yu Sumi masih di warung sayur, Mang. Bisa dijemput tuh katanya nunggu Mamang di sana," ucapku dusta. Sembari melangkah kuat meninggalkan jalanan berdebu. Kulihat Mang Agus menepuk jidatnya keras-keras.
"Waduh!" Teriaknya.
Aku meringis, dasar tua bangka kegenitan!
Di depan rumah yang entah kenapa semakin terasa sepi. Ibuku sedang duduk dengan Bapak, menunggu kedatanganku. Apa Ibu sudah tak sabar menumis sayur Kembang Kates (bunga Pepaya) ini ya. Kok sepertinya ada yang janggal.
"Nduk, duduklah dahulu," Bapak memberi isyarat setelah aku mencium tangan beliau. Agak was-was aku duduk dengan khidmat.
"Nggih, Bapak," sahutku perlahan. Aku melirik Ibu yang terdiam seperti berpikir sangat keras.
"Sudah setengah tahun, Jani di rumah saja, Nduk." Bapak memulai pembicaraan. Pipinya yang berkerut dalam tampak menua, semakin hari. Tubuh Bapak juga seperti kehilangan daging, apa Bapak merasa sedih punya anak yang gagal dalam pernikahan seperti aku?
"Bapak nggak keberatan, Jani di rumah saja. Karena ini juga rumah Jani. Selain Masmu yang kerja di Jakarta. Bapak dan Ibu sayang sama Jani," Bapak berhenti sejenak.
"Tapi Jani juga harus tetap hidup. Ndak apa-apa gagal sementara. Kelak Jani akan menemukan pengganti lain. Jani, bakatmu tidak bisa dikembangkan di dusun sepi dan berdebu seperti ini, Nduk."
"Maafkan Jani, Pak, Bu. Jani hanya menyusahkan," racauku perlahan, sementara tanpa dibendung air mataku menetes satu-satu membasahi kerudung abu-abuku yang kusut dan lepek.
Apa Bapak dan Ibu mengusirku dari rumah ini? Apa beliau ini malu memiliki anak gadis seorang janda sepertiku?
"Kamu kudu (harus) move on, Nduk!" Ibu yang sedari tadi terdiam meremas tanganku, "itu kan yang dulu kamu bilang sama Marina, teman kecilmu yang dulu pernah menjanda?"
Aku mengusap mataku yang tiba-tiba berembun. Tak bisa jelas kulihat wajah Bapak dan Ibuku. Sepertinya duniaku hancur oleh peristiwa laknat itu. Lalu aku terus menerus bersembunyi di dusun terpencil ini.
Menghilang dari dunia. Duniaku dahulu yang riuh dan dinamis. Aku hanya bersembunyi begitu saja, hingga setengah tahun seperti sekejap mata.
"Jani nggak sanggup kalau harus ke Surabaya lagi, Jani nggak pingin ketemu Mas Argo lagi, Bu." Aku terisak begitu keras hingga Ibu menepuk-nepuk tubuhku kemudian menarikku di pelukannya.
"Argo itu masa lalu, Nduk. Kamu nggak perlu takut sama masa lalu. Hanya bagian dari episode hidup. Ndak perlu disesali, cukup dijadikan kenangan," Bapak menghembuskan napas dalam-dalam.
Ah, Bapak. Bagaimana mungkin aku tidak mengingat laki-laki yang pernah bersamaku selama tujuh tahun? Berbagi duka dan selimut. Berbagi tawa dan tangis. Namun, dengan tega membelah hatiku hingga berkeping-keping.
Hingga kini pun rasa nyeri masih menghantuiku demikian jelas. Aku merasa tak memiliki jiwa. Kosong melompong seperti rumah tua.
"Jani, nggak kangen siaran lagi, Nduk?" Wajah Ibuku yang masih tampak ayu di usia lima puluh tujuh tersenyum menatapku dalam.
Bunyi gemerisik angin meniup pohon-pohon randu yang berjajar di halaman masuk rumahku. Ada jalan khusus setapak yang agak panjang. Di kanan kiri tanaman perdu terawat rapi sebagai pagar hidup.
Aku menghirup udara di sekitarku yang terasa menyesakkan. Kedua orang tuaku tak menginginkan aku berada di sini. Aku mencoba memahami jalan pikiran Bapak dan Ibuku.
Aku tidak sakit hati. Aku cuma sedih. Menyandang predikat janda tanpa anak di usia yang tidak muda lagi memang menyulitkan. Aku merasa semakin simpati pada para perempuan tak beruntung di luar sana.
Apakah aku hanya mengasihani kondisiku saat ini? Oh, aku tidak tahu. Aku tidak mengerti. Mungkin aku ini perempuan penuh dosa yang harus disucikan sedemikian rupa dengan ujian seperti ini.
Ya. Aku memang banyak dosa. Pendosa menjijikkan yang suaminya harus tidur dengan orang lain.
"Kangen, Bu. Tapi Jani juga nggak mungkin siaran di Pro Blue lagi. Bisa-bisa Jani ketemu selingkuhan Mas Argo, Bu."
Bibir Bapak dan Ibu berdesis seperti mengucapkan kata-kata istighfar.
"Kenapa harus terpenjara gara-gara Argo? Itu cuma alasan kamu ndak bisa move on, Nduk. Kamu susah melepas laki-laki itu dari ingatanmu. Kamu masih kepikiran terus. Masih nggak mau nerima kenyataan kalau Argo itu cuma masa lalumu," Ibuku seperti mengomel panjang.
Ya. Mungkin begitu Bu. Keadaanku sekarang. Aku tidak bisa berdamai dengan siapapun, bahkan dengan hatiku ini.
"Nggih, Bu. Maafin Jani," aku kembali tersedu sampai bahuku berguncang lagi. Ibu menarikku di pelukannya.
"Bangun, Nduk. Hadapi kenyataan. Jangan sembunyi terus."
"Ya, sudah. Sudah, mending Dhuha dulu sana, Nduk," Bapak akhirnya menutup dialog yang membuat posisiku serba salah itu.
Aku berjalan menyusuri lorong rumah tua berarsitektur Joglo ini. Orang tuaku tidak kaya, hanya keluarga biasa. Dulu Bapak bekerja sebagai kepala madrasah menengah dan kini sudah pensiun. Harusnya, aku tidak merepotkan mereka dengan masalahku yang serba rumit dan ruwet.
Harusnya, aku menjadi anak yang tahu diri dan mandiri seperti Kangmasku yang sekarang kerja di Jakarta. Saudaraku satu-satunya.
OOO
Dulu, saat aku membaca novel ataupun menonton film tentang perjuangan perempuan single, rasanya tampak mudah dan indah.
Julia Roberts dalam Erin Brockovich begitu mengesankan. Janda muda beranak tiga yang bisa membongkar skandal limbah. Sementara aku?
Ah. Tak terkatakan dalam posisi ini.
Aku merasa seluruh dunia menelanjangiku. Mengarahkan telunjuk padaku.
Kini, ketika aku merasakannya sendiri. Rasa-rasanya aku tidak bisa menerima semua ini begitu saja terjadi.
Kenapa harus aku? Kenapa rumah tanggaku hancur? Apa salahku?
Begitu pikiranku hingga bulan mungkin tak berbentuk bulat lagi. Aku tertawa pahit. Menertawakan diri sendiri yang lemah dan tak kuat menatap kenyataan di depan mata. Aku mengambil kudapan di ujung nakas.
Sekarang September, beratku 62 kg dengan tinggi 160 cm. Gendut dan gemuk. Single, ditinggal suami tercinta selingkuh. Tak punya pekerjaan. Menganggur menumpang di rumah orang tua yang hidup sederhana.
Sungguh tak tahu diri.
Aku mengunyah kue dan gorengan yang dibuat Ibuku. Membayangkan mungkin nasibku akan jadi perempuan tua, sendirian, lalu mati tanpa siapa-siapa. Sungguh mengerikan.
Aku bergidik.
Sesaat berlalu, hingga gawaiku yang saat ini sudah lama sekali tak berbunyi, tiba-tiba menyalak demikian keras. Ohya, aku sudah mengganti ringtonenya dengan suara kucing, menurut Bapak akan aneh jika orang dusun mendengar suara kuntilanak dari gawaiku.
Kubuka dengan cepat. Sebait pesan mengambang di layarnya yang jernih.
"Jani, bagaimana kabarmu? Apa kau butuh pekerjaan? Ini Argo. Sahabatmu. Mohon dibalas."
Jantungku berdentam begitu keras. Sementara, tanganku gemetaran. Ya, Tuhan. Apa yang harus kulakukan? []
Bersambung, Dear. Tinggalkan jejak dan love ya. 🥰Aku menyeret koper besarku dengan malas. Sudah menjelang senja sebenarnya. Biasanya, aku suka dengan warna jingga yang menghiasi langit di kota metropolis ini. Sesaat menjelang Maghrib.Kali ini rasanya langit tak berwarna jingga. Tapi, cokelat. Mirip kopi instan creamer yang biasa kuseduh di studio, setelah menghabiskan seporsi bakso. Hem, perutku terasa keroncongan.Aku menatap kembali layar gawai yang berkedip-kedip hampir kehabisan baterai. Mana ini taksi online yang kupesan 30 menit lalu?Sekarang, kota ini mungkin lebih seperti apa yang dideskripsikan Pramudya Ananta Toer, dalam novel legendarisnya, Bumi Manusia. Hanya saja, tentu lebih modern, ramai, rapi, dan rindang.Pabrik-pabrik dengan cerobong asap tinggi, memang ada di sisi kota, mirip dengan London di abad kesembilan lalu, tentu saja minus kereta kuda. Trotoar penuh orang. Tapak-tapak kaki dan sepatu terdengar khas. Kendaraan-kendaraan bermotor lalu lalang dengan cepat dan rapat. Menyemburkan asap knalpot yang pekat da
Alunan gending Lingsir Wengi versi asli, yang tidak ada bau-bau Kuntilanak seperti film-film Julie Estelle menemani makan malamku di sebuah restoran kecil di sebuah Mal Surabaya.Memang sih, uangku semakin menipis. Namun, hari ini aku ingin merayakan keberuntunganku. Keberuntungan apa kemalangan ya? Aku—Anjani si janda muda yang masih belum jelas masa depannya ini akhirnya dipanggil interview beberapa perusahaan.Bayangkan saja, pemirsa!Besok lusa, aku akan menemui staf HRD setempat yang konon lebih seram daripada drakula. Jadi, mengabiskan beberapa ratus ribu di tempat ini rasanya tidak mengapa kan?"Sendirian, saja nih Mbak?" sapa seorang pramusaji pria dengan wajah ramah.Aku mengangguk. Tanpa tersenyum tentu saja. Karena pertanyaan itu seperti menyindirku sedemikian tajam."Pesan apa, Mbak?"Lalu, aku menyebut beberapa menu dan minuman. Secara cepat dan sigap pramusaji pria itu kemudian menghilang. Menggantikan pandangan mataku dengan keriuhan di malam ini.Kok begitu ramai?Ohya
Seandainya tes dan interview semudah menghabiskan secangkir moccachino yang hangat dan manis, pasti aku sudah lulus dan siap bekerja. Sayangnya, itu tidaklah semudah anganku.Well, aku sudah mencoba mengirimkan beberapa lamaran disertai daftar riwayat hidup yang mengesankan. Beberapa perusahaan memanggilku. Beberapa sekolah dan kampus juga memanggilku. Namun, aku selalu saja gagal di sesi wawancara.“Kenapa Anda berhenti dan keluar dari pekerjaan lama?”“Karena passion saya rasanya bukan di bidang penyiaran.”“Kenapa tertarik di bidang edukasi?”“Saya suka mengajar, melihat anak-anak begitu menggemaskan, bukan?”“Anda suka anak kecil?”“Ah, gimana ya. Rasanya repot ya kalau ada anak kecil, ingus dan pipisnya berceceran di mana-mana.” Lalu aku tertawa garing.Salah ya ngomong begitu? Hasil: zonk. “Menurut Anda bagaimana dengan berita di televisi dan perkembangan dunia digital sekarang?”“Dua-duanya penting dan bisa saling bersinergi. Masyarakat membutuhkan berita yang kredibel walau
Sesuatu mengenai kepalaku, aku meringis sakit. Rasa-rasanya tadi aku cukup berhati-hati melangkah di rumah besar yang penuh sesak dengan tamu dan keluarga ini. Aku memutar pandangan, menoleh dan kulihat seseorang melewatiku tanpa menoleh sedetik pun. Mungkin dikiranya aku boneka beruang. Sesuatu itu ternyata cukup besar dan membuat kepalaku berdenging pusing. Memangnya tadi apa sih? Aku mengerang lirih. Merasakan ubun-ubunku terasa begitu nyeri dan berat. Gawat, jangan sampai aku tumbang di dalam keriuhan acara. Nanti dikira cari perhatian begitu. Ibu sudah bersama Bulik Sri tampak begitu sibuk di belakang dan di kamar Winda. Aku mengusap kepalaku yang terasa berkedut. Sedikit ada benjolan kecil. Aih, belum-belum sudah benjol saja Jani! Ketika aku menoleh, samar-samar kulihat seorang lelaki tergopoh dan merunduk sembari mencangklong tas besar. Siapa itu? Sales kosmetik? Umpatku kesal. Tentu saja masih dalam hati. Lelaki itu merunduk dan bersikap begitu sopan bergerak menjauh ke
"Kamu kenapa Jani, kok pucat begitu?" komentar Paklik Broto dengan mata menyelidik penuh rasa ingin tahu.Mungkin sekarang, wajahku pucat seperti mayat. Duh, kok serem sih. Tapi, bisa jadi. Aku sendiri merasa begitu pias mendengar musik favorit Argo mengalun lembut. Apa tidak ada jenis musik lainnya yang lebih ceria?Ini kan acara pertunangan. Memang apa yang salah dengan jazz, Jani?Terlalu classy. Sama sekali tidak membumi. Ibarat berada di sebuah tempat yang salah. Kecamku dalam hati.Inikan masih di Surabaya, bukannya London. Kalau mau nyetel musik, mending gending Jawa kayak Lingsir Wengi begitu. Mengundang para kuntilanak beraksi di sini. Kasihan Winda sih.Kuntilanak secantik Julie Estelle? Mau dong.Hus.Termakan dogma salah kaprah. Lingsir Wengi itu lirik lagu campursari yang dulu pernah ditulis Kanjeng Sunan Kalijaga untuk media dakwah. Pengingat saat salat malam. Jadi, arti lingsir wengi itu menjelang tengah malam. Isi lirik yang asli dari Kanjeng Sunan penuh dengan munajat
“Suka baca puisi?” sahut Biru begitu saja, saat aku mengomentari namanya.Aku tentu menggeleng. Aku suka membaca, tapi bukan tipe melankolis melambai-lambai.“Kok tahu kalau ada puisi dengan judul namaku?” tiba-tiba wajah Biru tampak menahan rasa geli, dia melirik penuh arti Ibu yang sedari tadi mengawasi kami.“Aku pernah bikin puisi saat SD dulu, judulnya Langit Biru,” jawabku begitu saja. Tak begitu menghiraukan bagaimana reaksi Biru tadi.“Oh, begitu. Aku jadi tersanjung,” katanya, “berarti namaku menginspirasi.”“Iya, mungkin ya Nak Biru. Biasanya kalau orang nulis itu kan sesuai alam bawah sadar. Seperti Jani ini,” Ibu tiba-tiba mencolek lenganku, tersenyum begitu lebar.Aku meringis. Kenapa? Ada-ada saja sih.Aku menoleh ke arah pintu gerbang di samping taman. Tampak begitu ramai, mungkin ada beberapa rombongan tamu datang. Semakin senja tamu-tamu begitu saja berjubel di halaman dan memenuhi seisi rumah.“Senang bertemu denganmu lagi, Jani.” Katanya lagi.“Terima kasih,” jawabk
Pagi ini aku tersaruk-saruk dari meja kopi setelah menghabiskan sarapan pagiku, sepiring nasi pecel dan kopi. Aku perlu tenaga untuk mengawali hari pertama masuk kerja. Di sebuah studio televisi.Memang sih, nanti pekerjaanku akan membuat aku banyak berada di luar studio karena menurut bos baruku—yang aku lupa namanya, tapi yang kuingat dia memiliki rambut setipis tissue, aku akan bekerja sebagai reporter.Aku mengenakan rok hitam, dan atasan berupa blus kerja abu-abu. Serta hijab bercorak lembut. Penampilanku masih mirip-mirip anak magang ketimbang reporter professional. Yah, tak mengapa kan?Aku mengendarai ojek online agar tak terkena macet, seperti biasanya. Karena jam-jam seperti ini rawan kemacetan. Akhirnya aku tiba di sebuah gedung tinggi bertingkat.Sungguh jauh beda dengan tempat kerjaku dahulu.Aku bertekad, kali ini harus berhasil dan sukses. Atau tidak muluk-muluk sih, aku ingin hari pertama kerja ini aku tak banyak menimbulkan masalah.Biasanya, seorang Anjani terkenal a
Aduh! Tadi kenapa aku harus salto seperti itu sih?Macam film laga saja, ini kan liputan berita olah raga, kalau nggak salah sih. Tapi, kata Martin ini liputan untuk acara live acara Aneh Tapi Langka. Beda bukan ya?Apa Bos Tissue bakal marah nanti?Begitu pikirku setelah Bang Napi memamerkan senyum seribu dollarnya, dan mengajakku untuk mewawancarai beberapa atlit dayung yang sedang berkerumun di sebuah sudut dekat panggung untuk penyematan hadiah.Aku menyeruak di antara kerumunan orang dan tergesa-gesa mencari narasumber untuk diwawancarai. Ini tentu saja memakan banyak waktu. Namun, aku harus tangguh, lagipula Bang Napi ada di sampingku. Jadi, tidak ada yang perlu aku takutkan, bukan?Saat aku selesai mewawancarai salah satu atlit dengan tinggi 180 cm dan begitu besar, sehingga aku sulit untuk menatap wajahnya yang tampak jauh di atasku—pandanganku tiba-tiba berkerlip seperti melihat hantu.Bukan hantu siang bolong, tapi hantu penunggu radio tempat aku bekerja dulu.Hem. Apakah ad
Anjani RahmaSangat menawan dengan jas putih sempurna. Dengan bunga kecil di saku atas jasnya. Rambutnya tampak berkilau ditimpa sinar lampu, aku mengingat rambut itu. Mirip rambut aktor Jepang. Dulu, saat aku kecil, aku merasa ia penjelmaan tokoh manga.Ketika aku sudah mendekat padanya. Aku mengenali wangi parfum kesukaannya. Ketika pandangan kami bertemu, beberapa detik waktu membeku. Seolah ada yang lepas begitu saja dari dalam diriku. Seperti gumpalan kertas yang menggelinding. Ada kelegaan dan rasa nyaman.Tentu saja, kami akan selalu bersama-sama, iya kan?Kami akan baik-baik saja.Aku tersenyum, ia pun demikian. Lalu, ia membimbingku.Aku menyerahkan buket bungaku pada Lupita. Jemari Biru meremas tanganku lembut. Aku menatapnya, seperti sedang kecanduan sesuatu.Jani, ingat ini di hall masih banyak orang."Mas.""Sst, jangan ngobrol dulu, Jani. Ini masih jalan.""Eh, iya.""Kamu cantik."Aku tersipu-sipu, dan seketika itu semua orang di dalam hall terasa lenyap.Baiklah, aku h
Anjani RahmaTentu saja aku terperangah. Itu aku. Iya, itu aku.Perempuan dalam balutan kebaya dengan ekor dua meter itu, aku. Nyaris saja aku lupa bagaimana wajahku. Ya, bagaimana sih. Ini seperti tampilan artis begitu. Tampaknya terlalu cantik dan glamour. Namun, begitulah aku sekarang.Sebentar lagi, aku akan turun di hall utama Plaza Athena. Ada ribuan pasang mata yang akan mengamati gerak gerikku. Tentu saja mungkin ada yang penasaran karyawan seperti apa yang bisa memikat bos CEO-nya. Apakah kejadian itu ada di alam nyata, tidak sekadar dalam cerita-cerita fiksi ala platform?Setidaknya, tadi sudah hampir satu jam aku berada di suite mempelai perempuan. Menyiapkan diri untuk tampil sebaik mungkin di malam bersejarah ini.Aku menelan ludah canggung.Rasa-rasanya mustahil rencanaku berhasil, tapi sejauh ini kurasa cukup lancar. Aku masih belum membayangkan bagaimana reaksi Biru, karena kata Ibu tidak boleh bertemu dulu dengan mempelai laki—biar nggak sial. Padahal, kata Ibu juga i
Anjani Rahma "Sabar, Jani. Nanti giliranmu keluar, kita menunggu aba-aba dari sekretaris EO ya," Ibu seperti mengerti pikiranku.Semua ini terasa begitu glamour, memang ini bukan gayaku. Namun, ini adalah lifestyle relasi Biru dan budaya di kalangan mereka. Jadi, menurutku tidak mengapa. Hal yang masih kupikirkan adalah adanya pesan dari Mbak Wati, yang sedang menunggu Pak Menkes di halaman kantor Gubernur.Well, iya. Aku masih minta bantuan divisi Aneh Tapi Nyata, kan mereka juga sahabat sejati. Ada juga tim dari acara Talk Show Kesehatan yang sudah bersiap di rooftop yang disulap seperti studio tertutup yang sangat lux, agar kalau Pak Menkes datang. Saat acara berlangsung angin besar tidak mengganggu."Keluarga Biru sudah datang, Nduk," Ibu tersenyum begitu manis.Aku merasa kaget, "Siapa saja Bu?""Lho ya keluarga Biru, semua anggota keluarganya.""Papa juga?""Ya harus to. Kan ini putra kesayangan Dokter Mada."Kesayangan. Ya, semoga saja deh Bu. Aku sedikit nyengir, namun hatiku
Anjani RahmaBaik. Baiklah. Aku tidak boleh panik.Rencana ini akan berhasil, namun sebenarnya aku cemas juga."Jani, aku rasa rencana itu terlalu berani," bisik Lupita di telingaku.Aku sedang menggenggam gawai, dan jemariku berkeringat karena udara dingin dalam ruangan di tepi langit ini. Bukan, ini bukan apartemen atap langit. Melainkan, Plaza Athena, tempat resepsi pernikahan kami berlangsung malam ini.Beberapa hari kemarin, semua sudah dirancang dengan baik oleh EO dan juga beberapa kerabat yang datang dari seluruh nusantara. Tentu saja, Ibu dan Bapak, serta Mas Seno ikut membantu. Karena, Biru seorang diri di sini. Maksudku, kerabatnya sudah diundang, hanya saja sepertinya tidak ada budaya rewang ya. Sebab itu, Biru sangat mengandalkan EO. Tapi, kan selalu ada yang harus dibenahi ini dan itu."Jangan pesimis begitu dong, Pit." Kataku sedikit kesal, kalau aku sedang dirias mungkin MUA, mungkin dia akan terbelalak melihat ekspresiku ini. Karena bisa-bisa merusak riasan.Oh iya,
Anjani Rahma Maka, karena aku tidak punya siapa-siapa yang bisa diganggu di jam begini. Aku menelpon Lupita."Jani, ampun dah, jam berapa ini?" katanya serak sembari menguap di telepon yang kugenggam."Dah, ah. Kamu kan masih jones, jadi sesekali bantu aku kan nggak apa-apa, Pit.""Jones sih jones, Jani. Tapi besok aku kerja. Belum ada yang ngasih aku nafkah kayak kamu begitu. Aku masih berbentuk dendeng yang harus terus berimprovisasi agar survive di sini," keluhnya."Lha sekarang, kok malah kamu yang curhat sih, Pit?"Dia terdiam, "Eh, iya juga sih ya." Lalu ia tertawa terbahak-bahak sampai telingaku sakit."Jangan ngikik kayak kuntilanak begitu dong, Pit. Bayiku nanti nggak bisa tidur.""Heleh, bayimu masih di perut."Aku bersimpuh di karpet tebal yang terletak di ruang tengah. "Gini, Pit. Sepertinya Papa Biru itu nggak bisa datang. Padahal, kan Biru ngarepin banget ortunya datang semua.""Oh, kok begitu sih?""Ya, kan aku pernah cerita.""Sekilas.""Iya, memang. Sekilas saja sih.
Anjani RahmaAku terpaku menatap Biru yang terlelap di sampingku. Ini sudah agak larut sebenarnya, tadi pukul sembilan, Biru baru pulang. Sedikit terlambat tidak seperti hari biasanya memang. Konon, proyek pembukaan cabang baru JMTV begitu menyita perhatiannya. Ia tampak lelah. Tidak mudah untuk membuka dua cabang sekaligus, di Batam dan Jakarta.Ia pulang dengan wajah kusut, lalu begitu saja ia berbicara perlahan, "Jani, kalau nanti orang tuaku tidak bisa datang. Tidak apa-apa ya. Kan kemarin kita juga sudah bertemu mereka di pernikahan Samu."Lalu Biru meneguk segelas air di meja makannya. Aku hanya terdiam lama mendengarkan hal tersebut, bagaimana ya. Aku sebenarnya tidak kaget, tapi kalau mertuaku turut hadir rasa-rasanya akan istimewa. Bukankah dulu, di Kanigoro orang tua Biru juga tidak menampakkan diri?"Mas, apa Papa dan Mama tahu kalau aku juga sedang hamil?""Iya.""Mereka senang tidak sih mau punya cucu?""Mama sangat bahagia, tapi Mama tidak bisa ke sini.""Papa kenapa?""
Anjani Rahma Tanpa kusadari sejak kehamilan ini, aku jadi sering melupakan hal-hal penting. Karena sepertinya aku terlampau fokus, bisa jadi karena euphoria sudah begitu lama menginginkan bayi, dan bayi itu dari benih Biru!Ups, jangan begitu. Namanya juga takdir, tapi ini juga cara Allah menunjukkan kalau aku memang sebaiknya berjodoh dengan Biru kan ya?"Piit, aku udahan ya," aku menutup gawai dan meletakkan punggungku yang pegal di atas sofa putih keabuan yang besar dan empuk. Pikiranku melayang pada orang tuaku dan Mas Seno.Oh, no! Kenapa aku belum menelpon mereka ya?Aku mengetik pesan instan karena sedikit malas menelpon. Aku tentu saja akan melepon Ibu karena aku harus yakin, kalau sudah memberitahu mereka. Mengundang juga keluarga dari Kanigoro.Kemudian kunyalakan televisi, dan kulihat iklan-iklan popok bayi berseliweran ke sana ke mari. Kembali aku mengingat Nawang dan bayinya. Persalinannya yang heboh, rahim kecil yang bisa terbuka lebar ketika kepala bayi keluar.Oh, ter
Anjani RahmaAku bergegas menaiki tangga menuju lift ke atas atap langit. Itu sebutan untuk penthouse kami, sebenarnya menyebut penthouse juga kurang menyenangkan bisa mengundang orang-orang jahat dan sok tahu. Jadi, kami—maksudku aku dan Biru memutuskan untuk menyebutnya rumah atap langit. Seperti nama kesayanganku, Biru. Duh, aku bucin nggak sih!Setelah seminggu kemarin aku membantu Nawang bersalin, lalu kembali pulih karena Biru merawatku—bayangkan suami yang membantumu pulih. Bagaimana bisa aku tidak jatuh hati padanya? Hanya saja, ya begitulah. Terkadang, aku agak kesulitan menebak apa yang diinginkan Biru. Apa rencananya. Apa juga yang dia inginkan.Bagiku, bahkan hingga aku menjadi istrinya—Biru masih tetap misterius dan penuh teka teki. Bukan—bukannya aku tidak memercayai Biru ya. Tapi, aku merasa ia agak kesulitan membuka diri. Apa karena trauma masa kecil, atau bagaimana. Tumbuh menjadi itik buruk rupa di rumahnya. Padahal, kan dia itu kan ganteng banget! Kalau dibandingin
Langit Biru"Harusnya Mama dan Papa datang.""Tapi, Mama bisa kan?""Insya Allah Mama bisa, Sayang.""Kalau Papa?"Terdengar hening sebentar di ujung sana.Aku sudah terbiasa dengan ini semua, jadi aku tidak merasa sedih ataupun sakit hati jika Papa tidak bersedia datang. Aku memang bukan anak emas Papa. Entahlah, mungkin karena secara genetik bakatku tidak mirip Papa dan Mama."Semoga Papa bisa datang ya Nak."Tentu saja, selalu perkataan itu. Seperti halnya pernikahan pertamaku dahulu, Papa telat datang—kalau-kalau ia tidak tahu itu adalah anak dari relasinya, seorang tokoh politik yang sekarang juga menjadi besannya."Baik, Ma. Tidak apa-apa."Aku menelan ludahku, dan merasa kesal setengah mati. Tapi, biarkan saja. Aku harus kembali bekerja, ada berderet meeting di hari ini, sampai sore mungkin hingga malam menjelang. Itu akan lebih baik ketimbang bayangan Papa dan semua hal tentangnya menghantuiku setelah percakapan pahit ini. OOO"Menurut Mas terapi apa si Argo?" tanya Anjani d