Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini.
Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka.
Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain.
Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainya minta uang resepsi. Nah, sekarang, nikmatilah uang ratusan juta ini. Meskipun bukan uang milikku, tapi setidaknya aku sudah berusaha buat membahagiakan kalian!
Tak memakan waktu banyak, aku pun tiba di rumah. Lihatlah. Dedaunan kering dari pohon nangka dan pohon ketapang di halaman sudah berguguran banyak sekali sepagi ini. Kalau bukan aku yang menyapunya, sampai kiamat pun halaman ini akan dipenuhi sampah segunung.
Sambil memasang muka santai dan cuek melihat halaman kotor, teras berpasir, dan ruang tamu yang juga belum dibereskan, aku pun berjalan terus menuju pintu kamar ibuku. Kuketuk dua kali, lalu tak lama terdengar suara derap langkah kaki dari dalam sana.
Ceklek.
Pintu kamar dibuka. Muka bantal Ibu menyeruak. Tercium aroma jigong dari mulutnya. Gila! Jam segini belum sikat gigi dan mandi!
“Mana duitnya?” Ibu menguap di ujung kalimatnya.
Kuintip sejenak ke arah ranjang sana. Ternyata Ayah masih mendengkur. Aku tak bisa berkata apa pun lagi terhadap tingkah mereka yang seenak udel tersebut.
“Bisa nggak kalau kita bicar berempat, Bu?” tanyaku sambil memegangi tali ranselku.
Ibu menaikkan sebelah alisnya yang disulam itu. “Kamu nggak lihat, ayahmu masih ngorok?”
“Ada sesuatu yang mau aku sampaikan soalnya, Bu. Bisa kan, kalau Ayah dibangunin sebentar?” pintaku mendesak.
“Dih! Kamu ini kaya mau ngasih ratusan juta aja, sih! Kebanyakan permintaan!” hujat Ibu sambil menipiskan bibirnya sinis.
“Setelah ini, aku akan kasih uangnya, Bu. Emang nggak banyak. Tapi, cukuplah buat resepsi di gedung atau ballroom hotel yang bintang dua atau tiga,” kataku membujuk dengan wajah melas.
“Ya, ya! Kakean cocot!” Ibu lagi-lagi berkata kasar padaku. Kakean cocot itu artinya terlalu banyak mulut dan bahasa itu sangatlah kasar. Tidak pantas buat dilontarkan seorang ibu kepada anaknya sendiri.
Ibu lalu membalik badannya. Dia berjalan grasa grusu dan kulihat beliau menggoyang tubuh Ayah.
“Yah, bangun! Si Agni bawa duit! Dia mau ngomong sesuatu juga!” kata Ibu dengan volume suara cukup nyaring.
“Aduh, Bu! Ayah masih ngantuk!”
“Bangun dulu, Yah! Cepetan! Ini anaknya mau ngasih duit!”
Ayah kulihat bangkit dari tempat tidurnya. Lelaki 59 tahun dengan rambut yang masih hitam karena hampir tiap hari disemir itu pun mengucek-ngucek matanya. Kelihatan sekali raut wajahnya kesal karena dibangunkan.
“Kenapa duitnya nggak dikasihin langsung, sih? Kenapa harus bangunin Ayah segala?” protes Ayah jengkel.
“Nggak tahu tuh si Agni! Bikin ribet aja!” dengus Ibu muak.
“Agni, pesenan Ibu dibawain nggak?”
“Aku pesan lewat ojek online aja, Bu. Habis ngomong serius ini aku pesenin semuanya. Tadi nggak sempat. Buru-buru langsung ke sini karena uang yang kubawa banyak. Takut ada apa-apa di jalan.”
Mendengar uang yang kubawa banyak, Ayah dan Ibu gegas berjalan keluar kamar. Muka Ayah yang semula mengantuk, sekarang jadi segar bugar. Rambutnya yang megar berantakan buru-buru dirapikannya. Ayah memang sangat mata duitan!
“Kamu mau ngomongin apa? Ayo, kita ngobrol di ruang tamu!” ajak Ayah sambil menerobos keluar dari pintu dan merangkulku.
Kutepis rangkulan itu. Muka Ayah kelihatan kaget.
“Bentar, Yah. Aku mau bangunin Zara dulu,” potongku.
“Ya, sudah. Sana bangunkan adikmu sekalian,” jawab Ayah sembari mengangguk dan membuang wajahnya dari aku. Kelihatannya Ayah malu karena rangkulannya kutolak mentah-mentah.
“Pelan-pelan bangunin adikmu, Ag! Dia nggak bisa dikagetin orangnya. Kasihan. Nanti kepalanya jadi pusing!” Ibu mengingatkanku dengan wajahnya yang separuh kesal.
Sesayang itu Ibu pada Zara. Ya, jelas. Wong Zara itu anak kandungnya! Beda dengan aku yang hanya anak pungut.
“Iya, Bu.”
Aku gegas berjalan menuju kamar Zara yang berada di sebelah kamarku. Kuketuk-ketuk pelan pintu kamarnya sambil kupanggil dia dengan nada yang sangat lembut. Ini kan, yang ibuku mau?
“Zara! Bangun, Zara! Mbak bawain kamu uang buat kamu resepsi sama Mas Farhaaz!”
Jangan tanya sesakit apa perasaanku saat mengucapkan kalimat itu. Sakit sekali! Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saking sakitnya!
“Iya, Mbak.”
Terdengar suara Zara dari dalam kamar sana. Dia sudah bangun ternyata. Syukurlah.
Saat Zara membuka pintu kamar dan keluar dari sana, kulihat gadis berambut panjang itu ternyata sedang video call. Rambut Zara masih sedikit acak-acakan. Wajahnya juga sembab habis bangun tidur. Dan kalian tahu siapa yang sedang meneleponnya itu? Siapa lagi kalau bukan Mas Farhaaz.
Bajingan memang lelaki itu! Tadi malam dia meneleponku sambil menangis-nangis. Tunggu saja kamu, Mas. Kelak, semua sandiwaramu itu akan terbongkar olehku!
“Pi, udah dulu, ya. Mimi mau mandi dulu habis ini,” ucap Zara sambil menatap layar ponselnya.
“Iya, Mi. Mandi yang wangi, yah. Kalau udah mandi, foto ke Pipi.” Suara Mas Farhaaz yang khas terdengar sangat mesra kepada adik angkatku. Sungguh menjijikan!
“Iya, Pipi sayang. Assalamualaikum, Pi.”
“Waalaikumsalam Mimi. Muah!”
“Muah juga!”
Hoek! Rasanya aku mau muntah mendengar kata-kata mereka. Mas Farhaaz yang kukenal selama ini elegan pun, ternyata semakin ‘jamet’ dan menggelikan kata-katanya. Bikin aku mual saja!
“Kenapa, Mbak?” tanya Zara dengan mata yang masih mengantuk.
“Aku mau bicara. Sekalian mau nyerahin uang buat kamu resepsi.”
“Oh.” Zara menjawab singkat. Dia lalu menguap lebar-lebar.
“Ngantuk banget rasanya. Nggak biasanya sengantuk ini. Apa gara-gara tadi malam makan kangkung, ya?” gumam Zara sambil berjalan di sebelahku.
“Bukan karena kangkung. Itu bawaan janinmu!” celetukku santai.
Kulirik, muka Zara langsung memerah padam. Dia diam saja. Tak menyahut dan malah mempercepat langkah kakinya.
Kami berempat pun berkumpul di ruang tamu. Ibu duduk di sebelah Zara. Sedang Ayah di sofa yang berada di sebelah Ibu. Aku sendiri duduk di seberang Ibu dan Zara.
“Mana duitnya, Ag?” tanya Ayah tak sabaran.
Lelaki bersarung hijau itu kelihatan menatapku tajam. Dia seolah-olah ingin menelanku hidup-hidup.
“Bentar.”
Kulepaskan ransel dari sandangan pundakku. Lalu kukeluarkan kresek berisi segepok uang tersebut. Kulihat ekspresi ketiganya. Sama-sama semringah!
“Banyak banget, Ag?” tanya Ibu takjub.
“Iya, banyak banget! Ternyata diam-diam kamu punya tabungan sebanyak ini, ya?” celetuk Ayah tak mau kalah.
“Mbak Agni ternyata kaya banget! Mbak, kok, kamu bisa punya duit sebanyak itu, sih? Kenapa kamu nggak pernah bilang ke kami?” Zara terdengar kecewa dan kesal kepadaku.
“Ini uangnya.”
Aku tak mau menjawab ocehan mereka. Langsung saja uang satu kresek itu kulemparkan ke meja. Ibu dan Ayah langsung rebutan untuk menyambarnya.
“Biar Ibu yang hitung, Yah!” bentak Ibu sambil mendelik garang.
“Iya, iya! Takut banget sih, Bu,” sahut Ayah kecewa.
Menjijikan! Tingkah bakhil, serakah, dan tamak mereka kini semakin terukir jelas di depan netraku. Ya Allah, jauhkan aku dari ketiga manusia laknat ini! Aku sungguh membenci mereka!
Ibu pun tampak langsung menyobek plastik hitam yang membungkus uang ratusan juta tersebut. Mata Ibu langsung membelalak besar setelah selesai menghitung gepok demi gepok.
“Agni! Ini seratus dua puluh lima juta? Kamu serius, Ag?!” tanya Ibu syok sekaligus bahagia.
“Serius, Bu. Ambil semuanya!” kataku dengan wajah datar.
“Ya Allah! Ini banyak banget, Mbak!” puji Zara berbinar-binar matanya.
“Agni! Kamu memang anak solehah! Ayah bangga punya anak sepertimu, Nak!” Ayah langsung bangkit dari duduknya dan menghambur ke arahku. Dia memelukku erat-erat, tapi cepat kutepis tubuhnya supaya lekas menjauh.
“Sudah, Yah. Nggak perlu segitunya,” tampikku dengan wajah muak.
“Agni, kamu kenapa, Nak? Kamu nggak ikhlas?” tanya Ayah dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca.
“Ikhlas, kok. Sangat-sangat ikhlas!”
“Makasih ya, Mbak Agni! Semoga Mbak lekas dapat jodoh!” seru Zara seraya mengusap air mata harunya di ujung pelupuk.
“Amin!” seru Ayah dan Ibu kompak.
“Nak, sering-sering begini! Khusus hari ini, kamu nggak usah masak, deh! Biar Ibu yang masakin kamu! Kamu habis pulang kerja leyeh-leyeh aja di kamar! Ibu ikhlas, Sayang!” seru Ibu ikut berkaca-kaca sambil mendekap gepok-gepok uang tersebut.
Aku pun tersenyum kecil kepada mereka. Panasnya hatiku. Begini toh, kelakuan asli mereka. Hanya sayang kepadaku jika aku banyak duitnya saja. Kenapa aku baru sadar, ya? Oh, ternyata aku selama ini memang sudah terlalu dungu karena tipu daya ketiganya.
“Ibu, Ayah, Zara. Aku mau minta satu hal ke kalian. Apa boleh?”
Mereka bertiga saling pandang. Wajah Ayah langsung menaruh curiga. Ibu juga. Entah apa yang mereka takutkan.
“Apa itu, Agni? Tapi, jangan minta yang aneh-aneh, ya!” Ibu memberikanku peringatan.
Aku pun menggelengkan kepalaku.
“Nggak, kok. Nggak aneh.”
“Apa, Nak? Cepat katakan. Ayah mau dengar,” tanya Ayah sangat halus lembut dari sofa yang dia duduki.
Kutatap dalam ke netra tuanya Ayah. Ekspresi Ayah langsung berubah semakin hangat dan kebapakan. Sungguh ekspresi yang tidak pernah dia tunjukkan kepadaku selama ini.
“Aku boleh tidak, kalau aku—”
“Kalau apa, Agni? Katakan, Anakku!” desak Ayah sambil bangkit dari kursinya dan duduk di lantai tepat di hadapanku.
Tangan Ayah lalu menggenggam jemariku erat. Matanya berkaca-kaca dan tiba-tiba saja dia menangis.
“Mintalah sesuatu, asal jangan minta pindah dari sini, Nak,” mohonnya terisak-isak.
Apa yang kalian tunjukkan ini sungguh palsu! Sungguh membuatku jijik!
“Aku mau ….”
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias
Aku kaget. Apa? Mau dikenalkan sama anaknya yang punya kostan? “Aduh, saya gendut begini, Bu. Belum percaya diri buat kenalan sama cowok. Malu. Takutnya Mas Bagas ilfeel lihat badan saya yang sebesar toren air,” kataku rendah diri. “Nggak apa-apa, Mbak Agni! Nanti ya, Ibu kenalin malam ini juga kalau Mbak nggak ada acara. Nanti malam, datang ke rumah, ya. Kita makan malam sama-sama. Ajak Mbak Sandra juga kalau dia nggak ada kesibukan. Bagaimana, Mbak?” tanya Bu Sri bersemangat. Belum sempat aku menjawab tawarannya Bu Sri, tiba-tiba ponselku malah berdering dari saku depan ranselku. Buru-buru aku membalik posisi ransel dan Bu Sri pun segera melepaskan rangkulannya. “Diangkat dulu, Mbak, teleponnya!” kata Bu Sri ikut panik melihat ekspresiku yang agak kelabakan. Ketika ponsel berhasil kuraih, betapa syoknya aku saat melihat nama yang tertera di layar. Ternyata telepon tersebut dari Pak GM alias si genera
Nada Pak GM seperti orang yang menginterogasi. Apa dia pikir aku ke kostannya pacarku? “Kostanku, Pak,” sahutku pelan. “Lah, kamu kan, orang asli sini. Ngapain kamu ngekost segala? Ada masalah keluarga yang kamu bilang di telepon tadi? Emangnya masalah apa?” Pak GM bertanya tanpa henti sampai membuat kepalaku pusing sendiri. Aku menunduk sejenak. Bingung harus menjawab seperti apa. Di satu sisi, ini adalah aib keluargaku. Namun, di sisi lain, tidak mungkin aku sembunyikan saat Pak GM sudah telanjur tahu jika alasan keterlambatanku adalah karena masalah keluarga. “S-sebenarnya ….” Aku masih menggantung kalimatku. Tak enak mau memulai cerita ini. “Sebenarnya apa? Kamu kalau cerita, yang lengkap, dong!” desak Pak GM yang memiliki manik mata kecokelatan dan rambut pendek yang ditata dengan potongan cepak.Rambut beliau kemarin sempat gondrong, tapi karena diledek anak-anak mirip perempuan, tak lama langsung dia potong
Aku makin terkejut saja dengan ucapan Pak GM. Makin tidak masuk akal, pikirku. “Kenapa kamu bengong aja? Ini buku menunya. Pesan sekarang! Awas kalau nggak!” ancam Pak GM sambil menyambar buku menu di samping laptopnya, lalu melemparkan buku tersebut ke arahku. Aku sampai gelagapan saat menangkap buku tersebut. “P-pak, eh, Mas, saya disuruh ke sini bukan buat ikut meeting?” tanyaku resah. “Yang bilang mau meeting itu siapa? Orang aku ngajak makan! Cepetan! Perutku udah lapar!” Astaghfirullah! Mimpi apa aku semalam? Aku bela-belakan naik motor ngebut, ternyata cuma buat diajak makan oleh lelaki aneh di sebelahku ini. “Makasih, Mas,” lirihku sambil membuka lembaran buku menu. “Sama-sama. Nggak usah cerita sama yang lain. Nanti yang lain kepengen juga!” “Siap.” “Jadi, kamu kost di tempatnya Sandra? Kapan-kapan, nanti kalau berangkat ngantornya bareng, kamu
Melihat mata nyalang Mega yang penuh dendam, Zara menciut nyalinya. Dia tak mau lagi bertanya-tanya, karena ngeri bila mood ibunya jadi berantakan. Apalagi, dia sedari tadi sudah deg-degan takut kena marah karena sudah hamil duluan. “Baik, Bu. Kalau begitu, aku akan bilang Mas Farhaaz kalau Ibu sama Ayah mau ketemu sama dia.” “Kasih tahu ke Farhaaz kalau dia nggak perlu takut dicaci maki sama kami berdua. Ibu dan Ayah senang kalian menikah meskipun dengan cara begini. Titip salam ke dia juga, bilang kalau Ibu dan Ayah nggak sabar lagi buat melihat kalian berdua bersanding di atas pelaminan.” Senyuman Mega yang penuh kelicikan itu kini terulas sangat lebar. Seandainya saja Agni mendengar, mungkin hati gadis malang itu bakal hancur berkeping-keping. Sungguh, Mega telah berlaku zalim kepada anak angkatnya sendiri. *** Kejadian sore hari setelah uang Rp. 125.000.000., diserahkan …. Petang semakin pekat. Matahari telah terbena
Aku dipaksa memesan banyak makanan oleh Pak GM. Dengan menahan rasa malu sekaligus tak enak hati yang mendalam, aku pun melaksanakan perintahnya. Cukup banyak yang kupesan siang itu. Ada kare udon, tempura, dimsum seafood, salad buah, es campur kacang merah, dan es rujak timun. Perutku sampai mau pecah gara-gara kekenyangan. “Kamu mau bungkus nggak buat di kostan nanti?” tawar Pak GM setelah kami selesai makan. Pak GM curang. Aku yang ditugaskannya makan banyak, sementara dia sendiri, hanya makan kare udon dan es rujak timun saja. “Nggak usah, Mas Nat. Lagian, aku udah kenyang banget. Kayanya nggak makan lagi sampe besok pagi,” sahutku sambil tersandar di dinding belakang sofaku. Ergh! Suara sendawaku kencang sekali. Sialan! Betapa malunya aku gara-gara suara sendawa yang begitu lancang keluar dari mulut tanpa permisi tersebut. “Hahaha! Lucu amat kamu sendawa, Ag? Udah kaya suara halilint
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it