Melihat mata nyalang Mega yang penuh dendam, Zara menciut nyalinya. Dia tak mau lagi bertanya-tanya, karena ngeri bila mood ibunya jadi berantakan. Apalagi, dia sedari tadi sudah deg-degan takut kena marah karena sudah hamil duluan. “Baik, Bu. Kalau begitu, aku akan bilang Mas Farhaaz kalau Ibu sama Ayah mau ketemu sama dia.” “Kasih tahu ke Farhaaz kalau dia nggak perlu takut dicaci maki sama kami berdua. Ibu dan Ayah senang kalian menikah meskipun dengan cara begini. Titip salam ke dia juga, bilang kalau Ibu dan Ayah nggak sabar lagi buat melihat kalian berdua bersanding di atas pelaminan.” Senyuman Mega yang penuh kelicikan itu kini terulas sangat lebar. Seandainya saja Agni mendengar, mungkin hati gadis malang itu bakal hancur berkeping-keping. Sungguh, Mega telah berlaku zalim kepada anak angkatnya sendiri. *** Kejadian sore hari setelah uang Rp. 125.000.000., diserahkan …. Petang semakin pekat. Matahari telah terbena
Aku dipaksa memesan banyak makanan oleh Pak GM. Dengan menahan rasa malu sekaligus tak enak hati yang mendalam, aku pun melaksanakan perintahnya. Cukup banyak yang kupesan siang itu. Ada kare udon, tempura, dimsum seafood, salad buah, es campur kacang merah, dan es rujak timun. Perutku sampai mau pecah gara-gara kekenyangan. “Kamu mau bungkus nggak buat di kostan nanti?” tawar Pak GM setelah kami selesai makan. Pak GM curang. Aku yang ditugaskannya makan banyak, sementara dia sendiri, hanya makan kare udon dan es rujak timun saja. “Nggak usah, Mas Nat. Lagian, aku udah kenyang banget. Kayanya nggak makan lagi sampe besok pagi,” sahutku sambil tersandar di dinding belakang sofaku. Ergh! Suara sendawaku kencang sekali. Sialan! Betapa malunya aku gara-gara suara sendawa yang begitu lancang keluar dari mulut tanpa permisi tersebut. “Hahaha! Lucu amat kamu sendawa, Ag? Udah kaya suara halilint
“M-mas Nat, maafin aku,” gagapku tak enak hati. “Santai aja. Nggak apa-apa, kok. Cuma kamu orang kantor yang tahu masalah ini.” Jantungku makin deg-degan. Rahasia besar ini harus kujaga baik-baik. Pada siapa pun, termasuk Sandra yang sahabat karib di kantor juga tak akan kuberi tahu. “Kalau kamu mau nyebarin ke anak-anak, ya, silakan. Bukan aib. Sekarang aku bukan ODGJ lagi. Tapi, mantan ODGJ. Hahaha!” Pak GM tertawa geli lagi. Wajahnya makin memerah. Apakah di balik tawa gelinya itu tersimpan sebuah kesedihan yang mendalam? “Maaf, Mas. Aku bukan tipikal tukang gosip yang bakalan nyebarin ke orang-orang tentang rahasianya orang lain,” sahutku tegas demi meyakinkan kepada Pak GM bahwa rahasianya akan aman sentosa. “Aku tahu kok, Ag. Dari sekian banyak cewek di kantor, kamu yang paling unik. Nggak suka gosip, kerjanya cepat, dan nggak pernah itung-itungan tenaga sama perusahaan. Makanya kar
“Bu, ada apa?” Zulkifli yang semula berada di dapur sambil merenungi tudung saji yang kosong itu pun buru-buru mendatangi istrinya setelah mendengar suara teriakan yang cukup kencang. Dia syok melihat Mega tengah terduduk lemas di depan lemari pakaiannya Agni yang sudah sisa sedikit lagi pakaian yang tertinggal. Gegas Zulkifli menghambur pada Mega. Istrinya itu kini tengah tergugu kencang. “Yah, Agni kabur! Dia minggat dari rumah, Yah!” jerit Mega histeris sambil menunjuk ke arah lemari pakaian anak angkat mereka. Zulkifli pun cepat berdiri lalu mengecek isi setiap lemari milik Agni. Apa yang dikatakan istrinya sangat benar. Dari tanda-tanda lemari pakaian yang tak lagi penuh isi, sepertinya Agni memang kabur dari rumah. “Sialan!” gumam Zulkifli jengkel. “Bisa-bisanya anak itu kabur, Bu!” jerit Zulkifli mendendam seraya mengangkat kedua tangan sang istri supaya buru-buru bangkit dari duduknya.
Pak GM yang kini kusapa sebagai Mas Nat itu nyatanya tidak hanya membawaku ke supplier ATK alias alat tulis kerja yang biasa kami pakai jasanya untuk pengadaan di kantor. Setelah itu, beliau malah membawaku lagi ke mal. Hal yang sangat di luar eskpektasiku. “Nggak langsung balik ke kantor, Mas?” tanyaku resah saat mobil telah berhasil dia parkirkan ke basement mal Fortuna. “Nggak. Aku mau beli tas buat pergi undangan nikahannya sepupuku. Bisa kan, kalau kamu nemenin dulu?” Sorot mata Mas Nat kelihatan setajam elang. Tentu aku tidak bisa menolak. Hanya anggukan saja yang kusuguhkan pada pria dengan hidung mancung tersebut. Mas Nat yang memiliki tubuh tinggi dan proporsional dengan tatanan rambut cepak khas militer itu pun keluar dari mobilnya. Sudah seharian kami bersama hingga jelang sore ini, tubuhnya sama sekali tidak berbau keringat. “Mas, aku boleh nggak sih, mampir salat bentar? Waktu Zuhur udah mau habis sepul
Mega dan Zulkifli sibuk mempersiapkan diri mereka untuk makan ke luar bersama calon menantunya. Yang paling bersemangat penuh gegap gempita adalah Mega. Mulai dari pakaian, hijab, hingga sandal yang dia pakai, semuanya mentereng dengan warna merah. Bagai orang yang mau berangkat hajatan Mega berdandan. Jilbabnya bling-bling merah, gamisnya juga merah dengan payet warna emas di dada, lalu sandalnya tinggi dan berhias mutiara tiruan di bagian atasnya. Pasangan suami istri mata duitan itu pun langsung menungg kedatangan Farhaaz dan Zara di teras. Tak lama kemudian, mobil HRV abu-abu milik mantan pacar dari Agni itu pun tiba di depan gerbang rumahnya Zulkifli. “Bu, ayo! Itu Farhaaz udah datang!” seru Zulkifli sambil bangkit dari duduknya. Zulkifli sama menterengnya dengan sang istri. Sepatu pantofel hitam mengkilap yang hanya dipakai untuk pergi hajatan itu akhirnya keluar dari kotaknya. Celana bahan dan kemeja warna merah darah juga
“Oh, ini? Ng … ini dibeliin sama Pak GM, San. Tapi aku bayar ke dia lagi nyicil, kok. Dipotong gaji,” gagapku berbohong pada Sandra.Wajah Sandra yang semula tegang dan seperti orang yang mau marah itu, langsung berubah tersenyum.“Oh, aku kirain Pak GM beliin cuma-cuma buat hadiah ke kamu gitu. Tapi, enak juga kalau dibeliin kaya gitu bisa potong gaji, Ag. Reward apa gimana, Ag?” tanya Sandra masih kelihatan penasaran.“Iya, San. Reward karena udah stay delapan tahun kerja di perusahaan.”Huhft! Sumpah, ini rasanya sangat menegangkan. Yang aku bingung, kenapa juga aku harus berbohong kepada sahabatku sendiri? Tapi, yang lebih membingungkan lagi, kenapa juga Sandra harus pasang wajah tak terima saat memergoki Pak GM mengantar dan membelikanku sebuah tas mahal? Sungguh, masih menjadi misteri besar di kepalaku.“Keren! Aku ikut seneng, Ag. Ayo, naik! Kita masuk ke dalam,” ajak Sandra sambil menyuruhku naik ke atas motornya.Aku pun membonceng di belakang dengan seabrek barang di
“Selamat pagi, Pak GM. Maaf ya, Pak, saya agak telat ke sini. Tadi, saya harus memeriksa beberapa dokumen penting dari staf,” ujar Farhaaz dengan memperlihatkan senyuman palsunya kepada Irmansyah, atasan langsungnya alias Pak GM.Pria berusia 46 tahun yang bertubuh tinggi besar dengan raut wajah yang masih fresh berkat rutin berangkat ke gym tersebut langsung mengangkat wajahnya dari layar laptop. Senyuman Irmansyah pun melebar saat memperhatikan kedatangan Farhaaz. “Oh, silakan duduk, Pak Farhaaz,” sahut Irmansyah sembari menunjuk ke kursi di depannya.“Ada apa ya, Pak? Saya jadi deg-degan karena pagi-pagi begini sudah disuruh menghadap ke ruangan,” kata Farhaaz sambil duduk di depan sang bos.Farhaaz sebenarnya santai saja. Dia hanya berpura-pura punya beban moral karena dipanggil oleh sang bos yang dinilainya orang paling selow sedunia tersebut. Bagaimana tidak selow, wong Farhaaz sering tidak ada di tempat saat jam kerja saja, Irmansyah tak pernah protes.“Nggak, cuma kepen
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it