Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam.
Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya?
Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut.
Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut.
“Jahat kalian berdua, Bu, Yah! Ternyata, selama tiga puluh satu tahun ini, kalian berdusta padaku! Kalian pikir semuanya tidak akan ada balasan? Maaf, aku sudah lelah jadi orang baik!” gumamku seraya menatap sengit kepada keduanya.
Kubawa sertifikat rumah beserta BPKB itu keluar kamar. Kututup kembali pintu kamar orangtuaku rapat-rapat. Aku pun melenggang kangkung ke kamarku, tanpa rasa bersalah sama sekali.
Setibanya di kamar, surat menyurat berharga itu kumasukkan ke dalam ransel kerjaku. Besok kita lihat sendiri, apa yang bisa kulakukan dengan dua lembar surat-surat tersebut. Ayah dan Ibu dijamin tak akan menduga dengan apa yang kuhadiahkan kepada keduanya kelak.
Saat aku hendak mengistirahatkan tubuhku yang sudah sangat lelah, tiba-tiba ponsel yang kuletakkann di atas tempat tidur bergetar. Kusambar ponsel itu sambil masih berbaring. Mataku kembali segar tatkala menerima telepon dari Mas Farhaaz, pacar yang tiba-tiba memutuskan hubungan kami dengan alasan ingin menikahi Zara.
“Kenapa lagi dia?” gumamku kesal.
Aku pun mengangkat telepon tersebut. Kegeraman itu kembali membubung tinggi di dada. Tapi, aku berusaha buat tetap tenang. Jangan sampai Mas Farhaaz kesenangan karena mendengarku sedih gara-gara mau ditinggal kawin!
“Halo.” Kujawab santai telepon itu meski jantungku berdebar-debar kencang.
“Dek, kamu lagi sibuk?”
Deg!
Apa kata Mas Farhaaz? Lelaki itu memanggilku dengan sebutan ‘dek’ lagi? Bukannya dia bilang sore tadi bahwa kami harus putus karena dia akan menikahi adikku?
“Apa maksudmu panggil dak dek segala? Kita udah nggak punya hubungan!” sentakku akhirnya memuntahkan kegeraman.
“Dek Agni, sabar! Mas bisa jelasin semuanya,” rengek Mas Farhaaz seperti orang gelisah.
“Apanya yang dijelasin? Kamu kan, mau nikahin adikku. Lantas, apalagi yang harus dijelasin? Kamu mau jelasin kalau kalian ternyata udah selingkuh di belakangku? Basi! Aku udah nggak perlu lagi pengakuanmu itu!” kataku penuh emosi.
“Dek Agni, sebenarnya … ini emang salahku. Aku udah ceroboh. Tiga bulan yang lalu, semua dimulai dari Zara yang sering W******p aku. Awalnya nggak aku gubris, tapi dia udah ngejebak aku, Dek.”
“Ngejebak? Maksudmu?” tanyaku penasaran.
“Dia ajak aku ke kelab malam dan di situ kami minum sama-sama, Dek.”
“Apa? Kamu minum? Sejak kapan kamu jadi peminum, Mas?” Aku terenyak. Gila! Banyak sekali kebohongannya Mas Farhaaz yang selama ini dia sembunyikan padaku.
“Aku emang pernah minum waktu kuliah dulu, Dek. Cuma, aku emang stop semuanya sejak lama. Apalagi pas pacaran sama kamu. Tapi, semua jadi kambuh lagi pas Zara ngajak aku kelab. Awalnya dia cuma ngajak nonton konser Grands Band. Tapi, dia malah ngajak aku minum katanya buat rekreasi doang. Pas aku mabuk, dia ternyata bawa aku ke hotel, Dek.”
“Omong kosong kamu, Mas! Sehebat apa Zara sampai bisa ngebawa kamu ke hotel tanpa kamu sadari? Badanmu lebih besar dari dia! Stop mengkarang cerita! Ceritamu bikin aku eneg!” tepisku jijik dengan pria yang kukenali saat kami sama-sama bekerja di PT Mentari Jaya.
Mas Farhaaz dulunya adalah managerku ketika aku masih menjabat sebagai asisten manager. Dia lalu pindah ke perusahaan lain yakni PT Alam Semesta yang bergerak di bidang penjualan alat berat. Hingga sekarang dia masih bekerja di sana dan menjabat sebagai senior manager dengan gaji yang lumayan. Di usianya yang telah menginjak 38 tahun, pria itu memang sudah sepatutnya menikah. Makanya kami berdua sama-sama sepakat buat segera bertunangan dalam bulan-bulan dekat ini. Eh, ternyata dia malah berkhianat!
“Bukan begitu, Dek. Mungkin karena waktu itu aku mabuk, jadi aku iya-iya saja.”
“Halah! Sudahlah! Makin lama bicaramu makin ngelantur!”
“Iya, Dek. Maafkan aku. Intinya, di situ kami berhubungan badan. Hanya sekali. Kejadian itu bulan lalu, Dek.”
“Terus?” tanyaku makin muak.
“Seminggu lalu dia bilang kalau dia positif hamil. Orang yang menyentuhnya adalah aku. Cuma aku. Aku terpaksa harus tanggung jawab. Dia bahkan menyimpan video saat kami berhubungan. Aku nggak tahu apa aku ini sebenarnya lagi dijebak atau gimana oleh adikmu, Dek.”
Aku lantas menghela napas dalam. Jujur saja, aku sudah enggan berbicara pada Mas Farhaaz. Apalagi buat berkata yang sebenarnya tentang Zara yang sudah ribuan kali berhubungan badan dengan pacarnya, Andra. Andra sendiri tahu jika pacarnya itu telah hamil.
“Ya, sudah. Menikahlah dengan adikku. Dia lebih cantik. Lebih langsing, lebih putih, dan lebih lemah lembut. Sedangkan aku, sudahlah tua, gembrot, makin buluk lagi gara-gara sibuk bekerja,” sahutku pasrah. Aku sudah enggan bersama Mas Farhaaz apalagi meneruskan hubungan dengannya.
“Iya, Dek Agni. Aku akan menikahi Zara. Tapi, hanya sampai dia lahiran. Setelah itu aku akan menceraikannya. Aku mau menikahimu, Dek.”
Aku sontak tertawa. Gelinya aku mendengar permintaan Mas Farhaaz.
“Maaf ya, Mas. Aku sudah nggak sudi sama kamu. Mau kamu punya jabatan senior manager kek, mau menjabat sebagai general manager kek! Aku nggak peduli! Paham?!” sentakku sinis.
“Ya Allah, Dek! Aku cintanya ke kamu. Aku sayangnya ke kamu, Dek!” Mas Farhaaz terdengar terisak-isak di seberang sana.
“Kalau kamu cinta, kamu nggak akan berpaling ke adikku. Apalagi sampai hubungan badan segala!”
“Aku khilaf! Demi Allah aku khilaf!” Mas Farhaaz makin menangis. Dia tersedu-sedu seakan menyesali perbuatannya.
“Kalau nggak diancam adik sama orangtuamu, aku nggak akan mau ninggalin kamu, Dek. Apalagi harus menikahi Zara segala. Aku tahu kalau dia bukan perempuan yang baik buat dijadikan istri,” ucap Mas Farhaaz lagi terus menerus mencari pembelaan diri.
“Halah! Nggak baik kok, kamu ladenin sih? Orang udah tiga bulan kamu berhubungan, kok! Artinya kamu nyaman, kan? Nggak mungkin kamu cuma sekali tidur sama dia! Udahlah, Mas. Jangan hubungin aku lagi. Aku mau fokus sama karierku. Jangan takut. Aku ikhlas kok, kalau kamu sama Zara!” cetusku muak.
“Jangan gitu, Dek. Ucapanmu bikin aku sakit!”
“Besok aku juga akan kasih uang buat dia supaya pesta kalian semakin meriah, Mas! Jangan khawatir. Aku udah kebal disakitin orang, apalagi dikecewain keluarga sendiri. Udah makanan sehari-hariku, kok!”
“Dek Agni, please ngertiin Mas, Dek! Setelah ini Mas akan ceraikan dia. Please!”
Klik!
“Banyak bacot,” gumamku gemas.
Setelah kuputuskan sambungan telepon, aku pun mematikan daya ponselku. Jijik sekali aku mendengar suaranya Mas Farhaaz. Apalagi tangisannya itu.
“Nggak akan ada kesempatan kedua buat manusia bejat kaya kalian!” desisku murka.
Aku pun kemudian berbaring. Tanpa terasa, kantukku yang berlebih telah membuatku tertidur pulas. Meski tanpa obat tidur, ternyata aku masih bisa terlelap, bahkan tanpa mimpi buruk sama sekali. Terima kasih Tuhan, Kau telah sangat sayang kepadaku!
***
Pagi-pagi buta aku bangun dari tidur. Sudah kusiapkan sarapan di atas meja dengan menu sederhana. Nasi panas, orek tempe, dan cah toge dengan irisan cabai merah.
Hingga pukul tujuh pagi, keluargaku tak juga kunjung bangun. Biarkan saja. Kalau perlu, mereka mati saja sekalian, pikirku.
Aku sudah izin ke HRD kalau hari ini aku telat datang ke kantor. Alasanku ada urusan keluarga penting. Untungnya, HRD menerima alasanku dan memberikan izin hingga jam sembilan.
Gegas aku memacu sepeda motorku ke kantor sebuah finance yang dengar-dengar bisa memberikan pinjaman hanya dengan modal sertifikat rumah atau BPKB kendaraan. Caranya mudah, tapi kata orang bunganya tinggi. Tidak masalah! Aku tidak keberatan.
WFI alias Wijaya Finance Indonesia. Itulah nama perusahaan finance tersebut. Aku cepat-cepat masuk dan mengambil nomor antrean, kemudian dalam waktu singkat, nomorku dipanggil oleh customer service-nya.
“Selamat pagi, Bu. Saya Anita, yang akan melayani Ibu. Ada yang bisa saya bantu?”
“Mbak, saya mau tanya. Bisa nggak saya gadaikan sertifikat rumah dan BPKB motor, tapi sayangnya bukan atas nama saya,” ucapku terburu-buru dengan muka yang agak pias.
“Atas nama siapa ya, Bu, kalau saya boleh tahu?” tanya CS bernama Anita tersebut.
“Orangtua saya. Ayah saya, Mbak. Gimana?”
“Ibu bawa fotokopi KTP dan KK?” tanya Anita lagi dengan senyum ramahnya.
“Bawa, Mbak. Terus syaratnya apalagi?”
“Ada surat kuasa?”
Aku langsung lemas. Aduh, bagaimana ini?
“N-nggak ada, Mbak. Kalau nggak ada surat kuasa, apa nggak bisa?”
Anita terdiam. Gadis muda dengan stelan blazer warna magenta itu terlihat keberatan.
Ya ampun, bagaimana ini? Masa aku tidak jadi memberikan kejutan buat kedua orangtua dan adik angkatku yang bejat itu?
“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias
Aku kaget. Apa? Mau dikenalkan sama anaknya yang punya kostan? “Aduh, saya gendut begini, Bu. Belum percaya diri buat kenalan sama cowok. Malu. Takutnya Mas Bagas ilfeel lihat badan saya yang sebesar toren air,” kataku rendah diri. “Nggak apa-apa, Mbak Agni! Nanti ya, Ibu kenalin malam ini juga kalau Mbak nggak ada acara. Nanti malam, datang ke rumah, ya. Kita makan malam sama-sama. Ajak Mbak Sandra juga kalau dia nggak ada kesibukan. Bagaimana, Mbak?” tanya Bu Sri bersemangat. Belum sempat aku menjawab tawarannya Bu Sri, tiba-tiba ponselku malah berdering dari saku depan ranselku. Buru-buru aku membalik posisi ransel dan Bu Sri pun segera melepaskan rangkulannya. “Diangkat dulu, Mbak, teleponnya!” kata Bu Sri ikut panik melihat ekspresiku yang agak kelabakan. Ketika ponsel berhasil kuraih, betapa syoknya aku saat melihat nama yang tertera di layar. Ternyata telepon tersebut dari Pak GM alias si genera
Nada Pak GM seperti orang yang menginterogasi. Apa dia pikir aku ke kostannya pacarku? “Kostanku, Pak,” sahutku pelan. “Lah, kamu kan, orang asli sini. Ngapain kamu ngekost segala? Ada masalah keluarga yang kamu bilang di telepon tadi? Emangnya masalah apa?” Pak GM bertanya tanpa henti sampai membuat kepalaku pusing sendiri. Aku menunduk sejenak. Bingung harus menjawab seperti apa. Di satu sisi, ini adalah aib keluargaku. Namun, di sisi lain, tidak mungkin aku sembunyikan saat Pak GM sudah telanjur tahu jika alasan keterlambatanku adalah karena masalah keluarga. “S-sebenarnya ….” Aku masih menggantung kalimatku. Tak enak mau memulai cerita ini. “Sebenarnya apa? Kamu kalau cerita, yang lengkap, dong!” desak Pak GM yang memiliki manik mata kecokelatan dan rambut pendek yang ditata dengan potongan cepak.Rambut beliau kemarin sempat gondrong, tapi karena diledek anak-anak mirip perempuan, tak lama langsung dia potong
Aku makin terkejut saja dengan ucapan Pak GM. Makin tidak masuk akal, pikirku. “Kenapa kamu bengong aja? Ini buku menunya. Pesan sekarang! Awas kalau nggak!” ancam Pak GM sambil menyambar buku menu di samping laptopnya, lalu melemparkan buku tersebut ke arahku. Aku sampai gelagapan saat menangkap buku tersebut. “P-pak, eh, Mas, saya disuruh ke sini bukan buat ikut meeting?” tanyaku resah. “Yang bilang mau meeting itu siapa? Orang aku ngajak makan! Cepetan! Perutku udah lapar!” Astaghfirullah! Mimpi apa aku semalam? Aku bela-belakan naik motor ngebut, ternyata cuma buat diajak makan oleh lelaki aneh di sebelahku ini. “Makasih, Mas,” lirihku sambil membuka lembaran buku menu. “Sama-sama. Nggak usah cerita sama yang lain. Nanti yang lain kepengen juga!” “Siap.” “Jadi, kamu kost di tempatnya Sandra? Kapan-kapan, nanti kalau berangkat ngantornya bareng, kamu