Sekiranya satu jam setelah mereka bertiga makan malam, kurasakan hening yang tak biasa di rumah ini dari dalam kamarku. Biasanya, jam segini masih terdengar senda gurau antara Ayah dan Ibu yang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Kebetulan kamarku hanya bersebelahan dengan ruang keluarga, sehingga suara riuh mereka berdua bisa terdengar hingga pukul 23.00 malam.
Namun, kali ini berbeda. Baru pukul setengah delapan malam, seisi rumah terasa senyap. Televisi di ruang keluarga tidak menyala.
Aku malah deg-degan sendiri. Ada cemas yang menyelinap ke dada. Aku pun bertanya-tanya, mungkinkah obat tidur itu telah bereaksi pada tubuh mereka.
Aku yang baru menyelesaikan tugas kantorku itu pun gegas keluar kamar. Aku lihat ke ruang keluarga. Nihil.
Tak ada siapa pun di sana. Televisi padam. Karpet busa yang biasa dibentang Ibu untuk menonton bersama Ayah pun masih tergulung rapi.
Langkahku pun langsung kupacu pelan dengan mengendap-endap ke kamarnya Zara yang berada di sebelah kamarku. Saat kutarik kenopnya, terkunci dari dalam. Aku lalu menempelkan telinga ke daun pintu dan terdengar suara ngorok dari dalam sana.
Wah, Zara ternyata sudah tertidur lelap. Bahkan dia sampai mengorok segala. Senyum di bibirku pun mendadak terbit karena hal tersebut.
Aku lalu beranjak lagi ke kamar kedua orangtuaku yang berada di depan sana. Tepatnya berhadap-hadapan dengan ruang tamu. Benar saja ternyata. Lampu kamar Ibu dan Ayah sudah mati.
“Ya Allah, semoga pintunya nggak dikunci,” lirihku sambil menarik kenop.
Alhamdulillah! Pintu kamar orangtuaku tidak dikunci seperti biasanya. Yes! Aku rasanya girang bukan kepalang.
Saat pintu kudorong ke arah dalam, terlihat suasana kamar gelap gulita. Suara ngorok Ayah terdengar sangat keras. Anehnya, ibuku yang tidur di sebelahnya juga tak ada tanda-tanda gelisah atau risih dengan suara berisik tersebut.
Aku pun menyalakan lampu kamar. Sinar terang benderang itu memancar, menerangi kamar Ayah dan Ibu. Keduanya masih berada pada posisi semula. Ibu terlentang dan Ayah miring ke kanar.
Sinar seterang ini tak membuat mereka bereaksi sedikit pun. Obat tidur yang diberikan psikiater itu rupanya sangat-sangat ampuh. Wajar kalau mereka tidur hingga seperti orang pingsan begitu.
Kakiku kini berjinjit dari arah pintu ke arah lemari pakaian orangtuaku. Di sanalah semua dokumen penting di simpan. Ada sertifikat rumah, BPKB motor Ayah dan Zara, serta surat menyurat penting lainnya.
Aku hanya tahu di mana Ibu dan Ayah menaruh dokumen penting tersebut. Namun, tak sekali pun mereka mengizinkanku untuk ikut campur atas harta benda mereka itu. Ayah dan Ibu bilang, aku tidak berhak mengurusi masalah harta mereka, apalagi mereka masih sehat wal afiat. Jika pembagian harta warisan pun, aku dan Zara harus membaca surat wasiat yang kata Ayah sudah dibuat di hadapan notaris serta disimpan dengan aman di lemari pakaiannya.
Selama ini aku tidak pernah menggubris peringatan itu. Masalah harta benda Ayah dan Ibu, jujur saja aku tidak berminat sejak kecil. Bagaimana mau berminat, wong dari kecil saja aku sudah diwanti-wanti buat jadi anak mandiri.
Mereka kompak berkata bahwa keduanya hanya sanggup menyekolahkanku sampai bangku SMA saja. Kalau mau kuliah, silakan cari uangnya sendiri. Padahal, waktu itu, sebagai pedagang beras dan sembako, ekonomi orangtuaku lumayan makmur. Sayangnya, saat aku kuliah semester empat dengan biaya sendiri plus sambil bekerja di sebuah mal sebagai SPG (saat itu badanku masih sangat langsing dan semampai), warung orangtuaku ludes terbakar di pasar induk sana.
Semenjak kebakaran besar yang menimpa pasar induk dan menimbulkan kerugian untuk orangtuaku, mereka akhirnya memutuskan untuk tidak membuka warung lagi. Hanya Ayah yang akhirnya bekerja di pasar. Beliau banting setir berjualan ayam potong dan keuntungannya selalu naik turun, tak sebanjir dulu kala.
Saat aku lulus kuliah dan bekerja dengan gaji di atas UMR pada PT Mentari Jaya, Ayah malah memutuskan buat berhenti bekerja. Katanya capek. Lebih baik makan uang gaji anak saja.
Akhirnya, aku yang jadi tulang punggung keluarga. Termasuk membiayai kuliahnya Zara pun, aku juga yang tanggung semua. Eh, setelah kuberikan segala kenikmatan buat mereka, bukannya mereka bersyukur, tapi malah menikamku dari belakang.
Okelah kalau begitu. Lebih baik kuselesaikan saja malam ini juga. Capek juga terus-terusan menjadi orang baik, tapi ujung-ujungnya tidak dihargai.
Sembrononya orangtuaku, lemari pun tidak dia kunci. Kunci tersebut malah tercantel di dalam lubangnya. Maling mana yang tidak suka, pikirku.
Aku pun membuka kunci pintu lemari itu dengan agak deg-degan. Sampai pintu lemari itu terbuka, saat kutoleh ke arah tempat tidur, orangtuaku masih tetap nyenyak dalam lelapnya.
Tanganku langsung bergerilya bersama awasnya kedua mataku yang menatap teliti setiap inci sudut. Ternyata, Ayah dan Ibu menyimpan sebuah map plastik tebal berwarna hitam di bawah tumpukan baju-baju Ibu yang telah terseterika rapi.
Jantungku berdegup kencang saat mengeluarkan map plastik tersebut. Kedua tangan ini spontan gemetar. Entah kenapa, nyaliku malah terasa menciut saat berhasil memegangi map tersebut.
“Anak bajingan! Kamu itu bukan anakku!”
“Astaghfirullah!” Aku terkejut dan refleks beristighfar saat mendengar gumaman Ibu dari arah ranjangnya.
Matilah aku! Ibu terbangun! Bagaimana ini?
“Bu, maafkan aku,” lirihku sambil menoleh takut-takut ke arah ranjangnya.
Sial!
Ternyata Ibu hanya mengigau. Beliau masih memejamkan mata dengan raut wajah yang kesal. Tak seberapa lama, raut wajahnya kelihatan rileks lagi dan tiba-tiba saja Ibu ikut mendengkur seperti Ayah.
Dadaku benar-benar hampir meledak gara-gara ucapan Ibu. Ya Allah, ternyata dia cuma mengigau.
Dengarlah, di saat mengigau pun, dia masih saja marah-marah. Siapa lagi yang dia bilang bajingan tadi kalau bukan aku! Bahkan di dalam mimpinya pun, dia terlihat marah besar dan begitu membenciku.
Aku bukan anaknya Ibu? Lantas anak siapa? Anak yang terlahir dari batu? Atau … anak adopsi yang dia ambil di tong sampah?
Geram, aku pun mulai duduk sambil menaruh map plastik itu di lantai. Aku mulai membuka halaman demi halaman berlindung plastik di dalam map tersebut. Ada surat nikah Ibu dan Ayah, akte kelahirannya Zara, rapor-rapornya Zara dari TK hingga SMA. Melihat itu, ada yang nyeri di dadaku.
Sementara semua dokumen pribadiku, aku yang simpan sendiri sejak aku lulus SMP. Ibu bilang aku harus mandiri dan tidak usah merepotkan orangtua lagi buat menyimpan berkas-berkasku. Tapi, tak apa-apa. Aku jadi belajar banyak hal gara-gara tekanan dari Ibu.
Di tengah-tengah map tebal itu, kutemukan sebuah sertifikat rumah. Ini yang kucari-cari, pikirku. Setelah kubuka dan kuteliti, benar saja ini adalah sertifikat tanah dan bangunan untuk rumah yang kami tempati saat ini.
“Aku akan ambil ini,” gumamku sembari menyisihkannya.
Setelah puas mendapatkan apa yang kumau, aku lalu membuka lagi lemaran yang lain. Kutemukan sebuah amplop yang sudah terlihat menguning karena termakan usia. Amplop itu kuambil dari dalam sampul plastik map.
“Surat apaan, nih?” gumamku penuh tanya.
Amplop itu tak disegel lem. Aku bisa leluasa membukanya. Saat kubuka lipatan kertas itu, maka tersentaklah aku dengan kalimat-kalimat di sana.
Mataku membulat sempurna, meneliti apakah aku salah baca atau tidak. Berkali-kali kubaca ulang dengan baik-baik, ternyata aku tak salah satu huruf pun. Ya Allah … sungguhkah surat ini dibuat dengan benar?
Surat Wasiat
Saya, yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Zulkifli Hadiansyah
Tempat tanggal lahir: (sensor)
Alamat : (sensor)
NIK : (sensor)
Pekerjaan : Pedagang
Menyatakan bahwa:
Nama : Agnia Kemilau Rembulan
Tempat tanggal lahir : (sensor)
Alamat : (sensor)
NIK : (sensor)
Pekerjaan : (pelajar)
Bukan anak kandung dari saya dan istri saya yang bernama Megawati Sutriani, melainkan anak adopsi yang kami angkat dari Yayasan Peduli Kasih pada Kamis, 27 Oktober 19xx saat usianya masih 25 hari. Saya juga menyatakan bahwa Agnia Kemilau Rembulan tidak berhak mendapatkan harta warisan apa pun jika saya kelak meninggal dunia.
Semua yang saya tinggalkan saat meninggal nanti adalah hak dari anak kandung kami yang bernama Zara Fatikha Raisshanum. Apabila anak kami juga telah meninggal dunia di saat saya meninggal, maka seluruh harta peninggalan adalah untuk istri saya, Megawati Sutriani. Namun, apabila istri saya juga telah mendahului saya, maka seluruh harta warisan akan saya wakafkan ke masjid terdekat.
Kulihat jelas pada surat wasiat itu, tertera tanda tangan Ayah, notaris, dan dua orang saksi pria yang tak lain adalah adik-adiknya Ayah yang selama ini kupanggil sebagai Om Rama dan Om Jaka. Surat itu juga dibubuhi materai dan memiliki nomor dari notaris.
Tanpa sadar, air mataku pun meleleh ke pipi. Ayah, Ibu … jadi ternyata aku hanya anak angkat di rumah ini? Namun, kenapa kalian harus menutupinya dari aku hingga aku setua ini?
Tiga puluh satu tahun usiaku, tanpa pernah kalian beri tahu fakta yang sesungguhnya. Kecewakah aku? Sakitkah perasaanku?
Entah kenapa, dendam di batinku malah semakin menjadi-jadi. Hasratku untuk menyiramkan bensin kepada bara yang tengah memerah jingga itu kian besar saja. Ya Allah, seandainya aku salah, maafkanlah aku. Kali ini, rasanya sabarku telah hilang karena puluh tahun aku hanya dijadikan orang tolol di rumah ini!
Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam. Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya? Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut. Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut. “Jahat kalian berdua, Bu, Yah! T
“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias
Aku kaget. Apa? Mau dikenalkan sama anaknya yang punya kostan? “Aduh, saya gendut begini, Bu. Belum percaya diri buat kenalan sama cowok. Malu. Takutnya Mas Bagas ilfeel lihat badan saya yang sebesar toren air,” kataku rendah diri. “Nggak apa-apa, Mbak Agni! Nanti ya, Ibu kenalin malam ini juga kalau Mbak nggak ada acara. Nanti malam, datang ke rumah, ya. Kita makan malam sama-sama. Ajak Mbak Sandra juga kalau dia nggak ada kesibukan. Bagaimana, Mbak?” tanya Bu Sri bersemangat. Belum sempat aku menjawab tawarannya Bu Sri, tiba-tiba ponselku malah berdering dari saku depan ranselku. Buru-buru aku membalik posisi ransel dan Bu Sri pun segera melepaskan rangkulannya. “Diangkat dulu, Mbak, teleponnya!” kata Bu Sri ikut panik melihat ekspresiku yang agak kelabakan. Ketika ponsel berhasil kuraih, betapa syoknya aku saat melihat nama yang tertera di layar. Ternyata telepon tersebut dari Pak GM alias si genera
Nada Pak GM seperti orang yang menginterogasi. Apa dia pikir aku ke kostannya pacarku? “Kostanku, Pak,” sahutku pelan. “Lah, kamu kan, orang asli sini. Ngapain kamu ngekost segala? Ada masalah keluarga yang kamu bilang di telepon tadi? Emangnya masalah apa?” Pak GM bertanya tanpa henti sampai membuat kepalaku pusing sendiri. Aku menunduk sejenak. Bingung harus menjawab seperti apa. Di satu sisi, ini adalah aib keluargaku. Namun, di sisi lain, tidak mungkin aku sembunyikan saat Pak GM sudah telanjur tahu jika alasan keterlambatanku adalah karena masalah keluarga. “S-sebenarnya ….” Aku masih menggantung kalimatku. Tak enak mau memulai cerita ini. “Sebenarnya apa? Kamu kalau cerita, yang lengkap, dong!” desak Pak GM yang memiliki manik mata kecokelatan dan rambut pendek yang ditata dengan potongan cepak.Rambut beliau kemarin sempat gondrong, tapi karena diledek anak-anak mirip perempuan, tak lama langsung dia potong