Suamiku tidak pernah tahu kalau selama ini aku punya rumah kontrakan yang disewakan. Jadi, aku tidak percaya kalau adikku mengatakan ia melihat suamiku bersama wanita hamil sedang melihat-lihat kontrakanku. Sampai, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan sekarang aku paham alasan perubahan sikap suamiku.
View More[ Neng, punya uang simpanan lima juta nggak? A'a baru dapet musibah kecolongan di toko. Mana saldo cuma tinggal tiga ratus ribu, ditambah akhir bulan lagi. ]
Kutatap layar ponsel dalam genggaman yang menunjukkan spam chat dari A Miftah, suamiku. Sudah dua hari sejak ponselnya tak bisa dihubungi, hari ini pesannya tiba-tiba datang tanpa menanyakan kabar dan langsung meminjam uang.[ Sebenarnya ada, tapi buat biaya check up, Akbar, A. Dua hari dia sempat demam, aku sampe harus ambil cuti, pulang-pergi sendiri nemenin anak kita yang sempet tantrum sampe bikin heboh di rumah sakit. ]Aku memang tak bisa bohong tentang apa pun pada A Miftah. Khususnya masalah keuangan. Kalau ada pasti aku katakan, begitu pun sebaliknya. Itulahh komitmen yang selalu aku jaga selama tujuh tahun pernikahan kita.Sejenak kutolehkan pandangan pada bocah berusia lima tahun yang tengah menonton tayangan kartun di TV, bersama pengasuhnya Bi Tati. Anak spesial kami, buah cintaku dan A Miftah yang kala itu selalu kami nanti. Dia hadir di tahun kedua pernikahan kami. Lahir dengan berat dan panjang di bawa rata-rata dan dalam keadaan down sindrom. Muhammad Akbar Maulana, meskipun terlahir spesial, bagiku dia tetap anugerah dari Tuhan yang tak terhingga. Perlu kesabaran extra dalam membimbing dan membesarkannya, apalagi dua tahun terakhir aku berjuang sendiri, ditengah kesibukan sebagai pegawai negeri di kecamatan Bandung Kulon, karena suamiku dipindahtugaskan dari Buah Batu ke Karawang sampai saat ini.A Miftah bekerja sebagai staf di sebuah Toserba yang cukup terkemuka, gajinya sekitar tujuh jutaan sebulan, selisih sedikit dengan gajiku sebagai PNS tingkat IV dengan gaji yang berkisar lima jutaan belum termasuk tunjangan. Sejak dipindahtugaskan dia kos di Karawang dan pulang seminggu sampai dua minggu sekali. Seharusnya komunikasi kami berjalan setiap hari. Namun, entah kenapa akhir-akhir ini dia sulit dihubungi dan selalu beralasan bila aku tanya tentang perubahan yang terjadi.[ Check up Akbar, kan bisa nanti lagi. A'a janji bulan depan pasti diganti. Maaf, ya, Sayang. Soalnya penting banget ini. ]Helaan napas panjang menandakan keputusanku saat ini. Sekali lagi, aku tak bisa menolak bila A Miftah sudah menyisipkan kata maaf dan janji di tengah kalimatnya.[ Ya, udah. Aku transfer sekarang. Lain kali kalo ada apa-apa langsung hubungin lebih awal. Aku nggak suka kalau A'a chat cuma ada butuhnya aja. Kalau bisa minggu ini pulang! Akbar udah nanyain terus. Habis hampir sebulan A'a nggak pulang. ][ Siap, Sayang. A'a pasti pulang minggu ini. Nanti kita maen ke Gazibu, ya! ]Kuabaikan pesan terakhirnya, dan langsung beralih menuju aplikasi m-banking. Men-tranfer nominal yang diinginkan A Miftah, dan menyisakan saldo sejuta rupiah untuk kebutuhan seminggu ke depan, sebelum gajihan. Setelah itu, kuletakkan ponsel di atas meja ruang tamu. Melepas jilbab yang masih melekat, sebab langsung memeriksa ponsel begitu sampai. Kemudian menghampiri Bi Tika dan Akbar."Bibi pulang aja! Nanti Akbar biar saya yang mandiin!" titahku sesaat setelah duduk di samping Akbar sembari memainkan rambut lebatnya.Wanita paruh baya berjilbab itu terlihat begitu senang."Waduh makasih banget, Neng Tika. Kebetulan Bibi baru dikasih kabar kalau anak Bibi si Teddy kecelakaan jatuh dari motor.""Innalillahi. Tapi, nggak kenapa-napa, kan, Bi?""Alhamdulillah nggak terlalu parah. Cuma lututnya sobek, perlu dijait. Kalau Neng nggak keberatan mah Bibi boleh kasbon dulu?" Memelas wajah Bi Tati membuatku tak tega untuk mengatakan tidak. Walau bagaimana pun beliau yang selalu ada di samping Akbar saat aku tengah sibuk bekerja.Kualihkan pandangan menatap tas yang bertengger di atas kursi ruang tamu. Aku baru ingat kalau tadi pagi ada yang baru bayar kontrakan. Mungkin itu memang rezekinya Bi Tati."Sebentar, ya, Bi!" Aku beranjak untuk mengambil tas di kursi. Merogoh amplop berisi uang lima ratus ribu yang tadinya hendak ditabung. "Ini! Semoga Teddy cepet sembuh, ya, Bi.""Hatur nuhun pisan, Neng. Kalau begitu bibi pamit dulu." Aku mengangguk menatap kepergian Bi Tati.***"Assalamualaikum.""Punteun, Teh Tika!"Suara ketukan pintu diiringi salam dan panggilan terdengar sesaat setelah aku selesai memandikan Akbar. Suaranya terdengar familiar."Tunggu sebentar, ya, Sayang!" Kuselimuti tubuh Akbar dengan dua handuk tebal, sebelum beranjak menuju pintu.Ceklek!"Dini." Kutatap gadis berambut bob yang masih mengenakan seragam SMA-nya di balik pintu. Dia adalah adik kandung A Miftah. Mereka dua bersaudara. Berbeda denganku yang yatim-piatu, Dini dan A Miftah masih punya seorang ibu. "Ada apa, Din?""Maaf kalau nggak sopan dan terkesan buru-buru. Bisa pinjam uang lima ratus ribu? Tapi jangan bilang A'a sama ibu.""Buat apa?" Kutatap gadis berkulit putih itu dengan penuh selidik. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Dini datang meminta uang dengan dalih pinjam. Dia tahu aku bekerja dengan gaji yang lumayan. Makanya anak itu sering sengaja datang dari Bandung Kabupaten ke Bandung Kota hanya saat ada butuhnya."Buat ganti rugi motor orang yang nggak segaja kutabrak."Kuhela napas gusar. Dini memang terkenal sebagai anak yang cukup bengal di sekolahnya. Aku tahu kelakuannya dari rekan kantor yang anaknya selalu dibully Dini."Please, Teh. Dini harus minta sama siapa lagi coba? Ibu mana ada duit. Minta A Miftah yang ada aku habis diomelin." Gadis itu memelas sembari menyatukan kedua tangan. Sesekali dia menarik-narik tanganku.Untuk ke sekian kalinya aku menghela napas panjang hari ini. "Ck, ya udah rekening masih yang itu, kan?""Masih. Makasih banyak, ya, Teh," ucapnya semringah."Udah, tuh. Lain kali jangan terlalu liar, Din. Kamu itu anak perempuan yang lagi dalam masa pendewasaan. Usahain hindarin bergaul yang keterlaluan. Kalau bukan teteh yang ingetin, siapa lagi?" Nasehatku entah didengar atau tidak, yang pasti gadis itu hanya mangut-mangut sembari memeriksa ponselnya."Sip, udah masuk. Sekali lagi makasih, ya, Teh. Aku pamit du--""Nggak mampir dulu? Ada Akbar di dalam?"Dia hanya melirik Akbar sekilas, lalu melambaikan tangan sedikit enggan."Ng, nggak, deh. Lain kali aja, ya."Gadis itu dan motor matix-nya pun berlalu begitu saja.Kupijat pelipis yang tiba-tiba terasa pening. Dalam sehari uang lima setengah juta pergi begitu saja. Padahal kebutuhanku dan Akbar untuk seminggu ke depan masih kurang. Dari mana lagi aku bisa dapat uang?Dering ponsel di saku daster berhasil menarikku dari lamunan. Nama Bu Susi K.1 tertera di layar. Beliau adalah penghuni kontrakanku yang sudah lebih dari tiga tahun menetap di Cijerah."Halo assalamualaikum.""Waalaikumsallam.""Neng, ada yang tanya-tanya kontrakan di sebelah ibu. Kayaknya suami-istri. Katanya mau langsung sewa buat sepuluh bulan ke depan. Bayar dimuka!"Mataku sontak melebar. Mungkin ini yang dinamakan rezeki yang datang dengan cara yang tidak disangka-sangka."MasyaAllah. Kebetulan saya lagi butuh uang, Bu. Makasih banyak, ya. Saya berangkat sekarang."Tanpa banyak berbasa-basi, meski lelah menggerogoti diri, sesaat setelah sambungan telepon terputus, setengah berlari aku masuk ke dalam. Menciumi Akbar, sebelum mengenakannya pakaian yang cukup rapi untuk pergi keluar. Motor yang semula sudah masuk garasi langsung aku keluarkan lagi. Setelah selesai bersiap-siap aku langsung menuntun Akbar untuk naik ke atas kendaraan roda dua yang selalu setia menemani. Sejenak ku-cek ponsel sebagai kebiasaan sebelum memulai perjalanan.Sebuah notifikasi pesan yang mengambang di bar status tiba-tiba menarik perhatian. Sontak motor yang sudah siap berjalan, kembali kustandarkan.[ Teh Tika! Ahmad ketemu A Miftah sama wanita hamil, lagi liat-liat kontrakan Teteh yang ada di Cijerah! ]Deg![ Ah, salah liat mungkin kamu, Mad. Suami teteh, kan udah pindah tugas di Karawang. Lagian kalau dia tiba-tiba ada keperluan pasti mampir ke sini dulu, ngapain jauh-jauh dateng cuma buat cari kontrakan? Lagian A Miftah, kan nggak pernah tahu kalau selama ini teteh punya rumah kontrakan yang disewakan.]*Foto*[ Tuh, Teteh liat aja sendiri! Beneran A Miftah, kan? Ahmad fotonya diem-diem. Dia lagi ngobrol sama tetangga yang udah lebih dulu sewa. ]Refleks aku mencengkeram ponsel yang sejak tadi digunakan untuk berkirim pesan dengan adik lelakiku itu, saat melihat foto yang dia kirimkan sudah cukup membuktikan bahwa Miftahul Hamid, suamiku yang satu jam lalu meminjam uang, ternyata tengah ada di Bandung bersama seorang wanita muda yang tengah berbadan dua...Bersambung.Berbagai kecamuk perasaan menghinggapi Tika saat dia berjalan menyusuri lorong Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, menuju ruang ICU. Tak ada ekspresi berarti yang dia tunjukkan saat Bu Wulan mengatakan bahkan sudah berbulan-bulan Miftah menjalani pengobatan secara intensif setelah dokter mendiagnosis bahwa mantan suaminya itu mengidap Bronchitis, dan secara pribadi Bu Nur memohon padanya untuk menyampaikan pesan. Sebenarnya Tika sudah tak peduli dengan apa yang terjadi pada Miftah dan keluarganya, sebab tak ada lagi yang tersisa dari lelaki itu selain kenangan pahit yang masih kerap kali menjadi mimpi buruk di tiap tidurnya. Namun, saat Andri mengatakan bahwa mungkin itu adalah permintaan terakhir mantan suaminya, Tika benar-benar tak kuasa untuk menolaknya.Melihat seseorang hanya berdiri di depan pintu ruang ICU, sontak Bu Nur bangkit setelah menyuapi putranya yang sudah tak bisa melakukan apa-apa. "Makasih, makasih banyak udah sudi datang, Tik. Dua hari ini Miftah nggak mau makan
Tak ada luka yang benar-benar abadi, waktu selalu mampu memperbaiki situasi, meski yang tersisa dari memori kerapkali kali masih menyisakan sedikit nyeri dalam hati. Awan mendung tak berarti hujan turun, tapi Matahari selalu adil menerangi setiap inti bumi. Setiap duka pasti ada suka, setiap kehilangan pasti ada penggantinya, dan setiap yang ditanam pasti akan ada yang dituai, karena begitulah kehidupan berjalan.Hari berganti, bulan-bulan dilewati. Demi menjaga kewarasan diri dari bayang-bayang masa lalu, Andri bersedia mengikuti sang istri untuk menetap di Cianjur. Meski harus pulang-pergi Bandung-Cianjur seminggu dua kali, meski rindu kerap kali menghinggapi. Lelaki itu tak peduli dengan jarak, selama mereka bisa terus bersama sampai akhir hayat nanti. Setelah apa yang terjadi pada Tika pun Ahmad, perempuan itu seolah tak mau tahu lagi tentang mantan suam dan keluarga benalunya itu. Dia memilih melanjutkan usaha dari modal yang ditinggalkan orang tua, serta menata hidupnya kembali
Ternyata pribahasa darah lebih kental daripada air itu benar adanya. Ikatan persaudaraan yang erat membuat Tika tak kuasa menahan tangis, lelaki itu bersimpuh, menangis meraung di kaki Tika, dan mengakui bahwa dia memang telah salah selama empat tahun ini. Mengikuti hawa nafsu, tak peduli nasihat kakak kandung sendiri, terjebak dalam pernikahan dengan perempuan yang ternyata hanya ingin memanfaatkan harta bendanya. Madu yang dia tuang ternyata dibalas racun mematikan. Empat tahun menampung keluarga benalu membuat Ahmad benar-benar berhasil mempelajari banyak hal. Belajar tentang kegagalan Tika juga dirinya sekarang. "Maaf, hampura, Teh. Hampura Ahmad khilaf!" Ahmad masih bersimpuh di lantai memeluk kaki Tika. Sementara yang bersangkutan tampak masih shock setelah mendengar pengakuan sang adik tentang kondisi kehidupannya pasca pernikahan dengan Dini. Tika benar-benar tak menyangka, ternyata di balik kebungkaman, di balik komunikasi yang nyaris terputus selama empat tahun ini ada
Tok! Tok! Tok! "Buka pintunya, Nia! Jangan bikin papa hilang kesabaran, ya."Suara ketukan yang sudah berubah jadi gedoran itu terdengar di salah satu kamar dalam rumah milik mantan pejabat yang cukup disegani pada masanya. Sudah tiga hari sejak pria paruh baya tersebut mendapati sang putri mengurung diri. Hari ini kesabarannya sudah benar-benar habis. Dia seolah sudah lelah menghadapi satu-satunya putri yang tersisa, karena terlalu terobsesi pada mantan suaminya, Andri. "Kalau nggak dibuka juga papa dobrak pintunya, ya, Nia!"" .... " Tetap tak ada jawaban dari dalam. Hal itu membuatnya mulai dilingkupi perasaan khawatir."Dang, bawa kunci serep di gudang. Si Nia nggak mau keluar ini." Lelah menunggu dan penasaran dengan apa yang membuat putrinya mengurung diri sampai tiga hari. Papa Nia akhirnya meminta salah seorang tukang di rumahnya untuk mengambil kunci serep. Hanya beberapa menit setelah diminta, sopir yang juga tukang kebun itu datang membawa kunci cadangan. "Sial, nyang
Miftah kembali ke rumah saat dia melihat ibunya duduk mematung di atas kursi. Sementara Dini menangis meraung di kakinya. Syakil dan Bila yang melihat itu hanya bisa menatap kehadiran mereka dengan penuh kebingungan. Sebenarnya Bu Nur sudah tahu kalau Syakil adalah anak dari Rifky, mantan kekasih putrinya. Namun, dia tak menyangka kalau Dini masih menjalin hubungan dengan montir bengkel itu. Bertahun-tahun, di belakang Ahmad. Bahkan bisa dipastikan anak yang Dini kandung sekarang juga berasal dari benih Rifky. Sekali lagi kebodohan anaknya berhasil menjerumuskan. Akankah kesenangan yang sudah didapatkan selama empat tahun ini akan dicabut kembali? "Ada apa ini?" Miftah akhirnya bertanya setelah lama membaca situasi. Melihat tangisan adiknya serta beberapa barang yang dia bawa serta ke mari. Miftah mulai menduga bahwa ada sesuatu yang terjadi antara rumah tangga Dini dan Ahmad. Mendengar kehadiran kakaknya, Dini langsung memburu Miftah, lalu bersimpuh di kakinya. "Tolongin Dini, A
Tika duduk bersedekap di atas sajadah. Mukena membalut tubuhnya dari ujung kepala sampai kaki. Berbagai doa dia panjatkan sejak Magrib tadi. Memohon tak henti agar tak ada bala yang mendekati.Ketakutan mulai menyelimuti. Padahal selama empat tahun dilewati dia tak pernah merasakan hal semacam ini. Entah kenapa, selama Miftah dan keluarganya masih berpijak di bumi yang sama. Tika merasa tak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan lagi. "Buna ...." Panggilan pelan dari suara yang lembut itu menginterupsi zikirnya. Sejenak Tika seka air mata dengan mukena, lalu beralih pada Zahra yang malam ini dia tempatkan di satu kamar bersamanya. "Ya, Sayang.""Om gateng tadi siapa, Buna? Kenapa dia bilang Ayah Zahla."Tika terdiam sejenak dengan kebingungan yang menggelayutinya. Setelahnya napas panjang dia hela. "Bukan siapa-siapa, cuma orang iseng aja." Masih terbalut mukena Tika bangkit, lantas berjalan menghampiri Zahra yang duduk di tepi ranjang. "Kalo bukan siapa-siapa. Kenapa Buna mara
" ... aku muak, Miftah. Aku jijik!"Masih berdiri mematung di tempatnya. Kalimat itu terus menerus ternging-ngiang di telinga Miftah. Bahkan Berputar-putar di kepalanya. Ada yang menghantam dada saat melihat lirih suara sang mantan istri memaki, memerah matanya menahan murka dan amarah. Dan anehnya Miftah tak merasa tersinggung saat dia dihina dan dicaci-maki bahkan dilempar uang ke depan muka. Yang terasa justru sesak, sesak yang dirasa saat melihat sedemikian dalam Tika membenci, karena luka yang sudah dia torehkan selama ini. Apakah empat tahun di balik jeruji besi tanpa disadari justru membuatnya introspeksi? Atau ceramah serta nasehat yang dicekokki para pemuka agama yang datang ke lapas, membuatnya cukup mawas diri? Bahkan saat dia tak sengaja membunuh Desi atau mencaci-maki Tika tentang anak yang dikandungnya ia tak pernah merasa seperti ini. Kalau sudah begini, bagaimana dengan empat tahun rencana matang yang sudah dia susun bersama Nia?"Pergi!" Jeritan itu menarik kesada
"Nggak apa-apa, kalau kita ketahuan. Aku yang bakal tanggung jawab," yakinnya. "Halah tanggung jawab apaan. Waktu aku hamil Syakil aja kamu pergi." "Aku cuma butuh waktu buat nenangin diri. Lagian saat itu aku belum ada kerjaan. Buktinya aku balik, tapi kamu malah milih nikah sama cowok yang nggak kamu cintai!" Dini memalingkan muka. Matanya kembali mengembun. "Karena aku nggak bisa hidup miskin, Ky. Aku nggak mau. Cuman dengan dia aku bisa hidup enak. Cuma dengan dia masa depan Syakil terjamin." Air mata Dini kembali tumpah. "Kalau kamu udah ngerasa bahagia, kenapa masih hubungin aku? Bahkan selama setahun ini kamu selalu datang saat butuh. Aku ngerasa kayak dimanfaatin. Padahal aku tulus cinta sama kamu."Dini menarik napas panjang. Dia menatap mata lelaki yang sampai detik ini masih merajai hati. "Karena cuma kamu yang aku cinta. Karena cuma kamu yang bisa menyenangkanku. Si Ahmad payah, Ky. Dia nggak pernah bisa kasih kepuasan batin buat aku kayak kamu. Hubungan kita hambar,
"Eh, Mad!" "Reza!" Langkah Ahmad terhenti di ambang pintu keluar resto saat dia berpapasan dengan sosok yang dikenal. Lelaki bernama Reza Anugerah itu adalah teman seprofesi Ahmad di Pabrik Kahatex sebagai pengawas. Sudah lama sejak mereka tak pernah lagi bertemu, karena Reza resign hanya sebulan setelah Dini mengundurkan diri.Hal itu jelas semakin mematik rasa curiga Ahmad akan hubungan mereka berdua yang terjadi sebelum kehamilan Dini. Sudah empat tahun berlalu, tetap dia masih belum juga tahu ayah biologis dari anak yang selama ini tinggal bersamanya.Sebenarnya saat memutuskan menikahi wanita itu Ahmad sudah menerima, akan tetapi rasa penasaran itu kerap kali hinggap saat dia tak sengaja memerhatikan Syakil. Sebenarnya dari benih siapa dia berasal? Apa benar dari benih lelaki di hadapannya ini, seperti yang dia duga selama ini?"Hampura teu bisa datang pas hajat. Sumpah sabenerna mah urang teu nyangka maneh ngawin si Dini, Mad. (Maaf nggak bisa datang saat resepsi. Sumpah seb
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments