Selesai mandi dan salat, aku buru-buru keluar dari kamar. Tak kutemukan siapa-siapa di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tentu saja. Makanan belum ada yang siap kecuali nasi panas di dalam magic com yang kumasak sore tadi.
Enam butir kaplet obat tidur sudah kukantungi di dalam saku piyamaku. Aku pun mulai meracik bumbu-bumbu dan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam blender. Tentu saja tak lupa kutambahkan enam butir kaplet obat tidur tersebut.
“Selamat menikmati hidangan tumis kangkung plus obat tidur ini, wahai manusia-manusia sampah,” lirihku sinis sambil menuangkan bumbu halus tersebut ke dalam wajan yang telah kuberikan minyak sayur.
Minyak sayur yang telah kupanasi di atas kompor itu pun kini bercampur satu dengan bumbu halus buatanku tadi. Saat bumbu kuoseng-oseng dengan spatula, wangi harumnya pun langsung semerbak menguar. Siapa sangka, di dalam bumbu itu terdapat obat tidur yang akan membuat ketiga keluargaku tertidur semakin pulas.
Tumis kangkung dengan bumbu bawang putih, bawang merah, terasi, cabai keriting, cabai rawit, dan enam butir kaplet obat tidur keras resepan pskiater pun kini terhidang di dalam wajan. Setelah itu, aku gegas menyiapkannya ke meja makan dan benar saja, Zara langsung keluar dari kamar.
“Mbak, udah siap makanannya?” tanya Zara dengan wajah yang manis dan senyumannya yang cantik jelita.
“Tinggal goreng telor dadar sama tempe, sih. Kamu udah laper banget?” tanyaku balik yang kini sedang mengkocok telur ayam di dalam wadah beling besar. Enam buah telur ayam kukocok sekaligus di dalam wadah tersebut. Jika kalian bertanya, dari mana asal bahan-bahan makanan yang kumasak petang ini, tentu saja dari dompetku yang tak bisa kunikmati sendiri karena harus menafkahi empat orang sekaligus.
“Ya, udah. Aku tunggu telornya deh, Mbak,” sahut Zara sambil duduk di kursi makan.
“Coba panggil Ibu sama Ayah, Ra,” timpalku saat menggoreng telur dadar di atas teflon.
“Mbak Agni aja, deh. Aku capek bolak balik. Udah PW di sini,” jawab Zara seenaknya. Masyaallah, tuan putri ini. Makan disiapkan, minum disuguhkan. Minta tolong ke kamar orangtuaku saja dia enggan. The best pokoknya!
Aku pun tak menyahut lagi. Diam saja dan sibuk membalik telur dadarku yang besar sekaligus tebal. Telur dengan bumbu kaldu penyedap rasa ayam serta rajangan bawang bombai dan cabe hijau itu lalu kuangkat setelah matang. Tak sempat kutiriskan, Zara sudah merengek minta disiapkan.
“Mbak, kesiniin dong, telornya! Aku udah laper banget. Terakhir makan jam dua siang tadi,” keluh Zara.
Saat kutoleh ke arahnya, wajah perempuan itu memang tampak pucat. Kehamilan trimester pertama mungkin membuatnya gampang lapar. Maafkan kakakmu yang jahat ini ya, Zara. Malam ini kamu harus makan dengan tambahan obat tidur. Semoga janinmu sehat selalu di dalam kandunganmu itu.
“Iya, bentar, Ra. Kamu tumben banget jadi doyan makan begini? Dulu padahal kalau disuruh makan kamu susah. Kenapa, Ra?” Aku sengaja memancing adikku.
“Nggak apa-apa. Nggak ada apa-apa sih, Mbak. Emangnya aku salah kalau aku doyan makan, ya?”
Zara terdengar tersinggung. Sikap manis yang dia tunjukkan sore tadi saat kami bertengkar di ruang tamu, kini hilang sudah. Oh, berarti kamu memang pura-pura merasa bersalah doang, ya, Ra? Dasar perempuan ular.
“Ya, aku pikir kamu hamil, Zara. Kan, biasanya, orang yang tiba-tiba kepengen nikah cepet, apalagi calon suaminya itu tiba-toba berubah jadi orang lain, karena atas dasar hamil,” sahutku seenaknya sambil menghidangkan telur dadar panas di atas piring besar.
“Hamil? Hamil apanya, Agni? Kamu kalau bicara jangan sembarangan! Adikmu sendiri kamu tuduh hamil!” pekik Ibu dari arah depan sana.
Aku syok. Kaget saat melihat ibuku tiba-tiba muncul ke ruang makan dengan wajah yang sangar. Dia terlihat sangat tersinggung dengan kalimatku.
“Oh, kalau nggak hamil, ya udah. Kenapa Ibu harus marah?!” sindirku sinis.
Zara terdiam. Dia tak menjawab sepatah kata pun. Tangan lentiknya malah buru-buru menarik piring dan mengaut nasi di dalam magic com.
“Ya, marahlah! Kamu kalau punya mulut itu, mbok yo direm-rem! Jangan asal nyangkem aja!” Ibu bahkan mengeluarkan kata-kata kasar, yaitu ‘nyangkem’ yang artinya kira-kira ‘ngebacot’ kalau kata anak muda zaman sekarang.
Astaghfirullah!
Sungguh berbeda sikap Ibu kepada kami berdua. Aku yang tulang punggung bahkan rela kuliah sambil bekerja dengan biaya sendiri, malah disumpah serapahi oleh ibu kandungku sendiri. Sementara Zara yang lemah gemulai tapi ternyata diam-diam asyik berzina hingga hamil itu, malah dibela mati-matian oleh Ibu.
Semua ini tidak adil! Apa jangan-jangan, sebenarnya aku ini anak pungut?
“Kenapa sih, kalian ini masih aja ribut-ribut? Udah, udah! Diam! Ayah lapar! Ayah mau makan dengan tenang!” pekik Ayah menimpali.
Aku tak bisa berkutik lagi. Lawanku sekarang malah bertambah satu orang. Sudahlah. Lebih baik aku mengalah.
“Agni, mending kamu keluar aja dulu dari rumah! Ke mana, kek! Nggak usah makan bareng kami di sini!” marah Ayah dengan delikan matanya yang lebar.
Aku yang habis memasak dan penuh simbah peluh karena uap panas kompor pun semakin panas saja rasanya. Baiklah kalau itu maunya ayahku. Akan aku turuti sekarang juga!
“Eh, enak aja! Kamu selesaikan masakmu dulu baru minggat dari sini! Mana tempenya? Masa cuma pake telor, sih?!” protes Ibu sambil menaruh bokongnya ke kursi makan.
“Iya, sebentar,” jawabku pelan sambil mengurungkan niat buat angkat kaki dari dapur.
Aku pun cepat menggoreng tempe yang sudah kubumbui sedari tadi. Sementara orangtua dan adikku, kini sibuk makan dengan lahapnya. Mereka terdengar berbincang-bincang dengan suara yang renyah.
“Zara, nanti kalau resepsi, pakai baju dodotan Jogja, ya. Itu impiannya Ibu yang nggak kesampean pas nikah sama ayahmu!”
“Iya, Bu. Semua tergantung Mbak Agni. Kalau dana yang Mbak Agni kasih banyak, ya aku mau pake full adat Jawa. Makanannya juga kalau bisa banyak dan pestanya di hotel mewah,” jawab Zara yang membuat telingaku sontak panas.
“Mbakmu itu banyak duit. Kamu tenang aja. Mas Farhaazmu kan, juga janjinya ngasih uang seratus juta buat acara nikahannya. Insyaallah pestamu akan digelar besar-besaran, Ra!” timpal Ayah yang semakin membuatku tak habis pikir.
Ya Allah, terbuat dari apa hati mereka semua? Apa mereka pikir aku ini binatang yang tidak punya perasaan? Teganya mereka begini kepadaku!
“Anak kesayangan ya, harus pestanya besar-besaran, dong!” sahut Ibu tak mau kalah.
“Bu, Yah, kira-kira, Andra diundang nggak?” Suara Zara berbisik, tapi syukurnya aku bisa dengar.
“Nggak usah dibahas masalah itu, Ra!” Ayah terdengar tak senang dan buru-buru menyudahi percakapan mereka.
“Tempenya udah siap,” kataku seraya mengantarkan tempe buat mereka ke meja makan.
“Nggak usah kamu sentuh makanan ini, Agni! Kamu pergi sana! Muak Ibu ngelihat mukamu!” hardik Ibu sambil memukul tanganku saat hendak mencomot sekeping tempe goreng.
“Iya, Bu. Maafkan aku,” sahutku lirih sambil mundur teratur. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah mereka.
Sepiring besar tumis kangkung itu sudah ludes dari wadah asalnya, berpindah ke piring Ibu, Ayah, dan Zara. Yang paling banyak mengambil Ibu dan Ayah. Mereka seperti orang kelaparan yang tidak diberi makan setahun lamanya, padahal sore sepulang dari kantor, aku tak lupa membawakan mereka semua terang bulan alias martabak manis dan tiga gelas es boba.
“Nggak usah makan di luar kamu, Agni! Awas kalau kamu makan di luar! Ibu sumpahin kamu mati di jalan kalau sampai kamu jajan makanan!”
Deg!
Ya Allah, mulutnya Ibu sungguh beracun. Dia ini manusia atau jelmaannya iblis?
“Iya, Bu. Aku nggak jajan. Lagian, uang di dompetku udah nggak ada.”
“Di ATM tapi masih, kan?” tanya Ayah sembari mengerling tajam.
“Masih, Yah. Kan, buat Zara nikahan.” Senyumku terukir palsu.
Ayah langsung semringah. Cepat-cepat dia menelan makanannya. Dia pun menyahut ceria, “Bagus! Jangan umroh-umroh segala! Nggak ada gunanya. Mending buat adikmu pesta besar-besaran! Nanti juga rejekimu makin lancar karena nolongin saudara sendiri!”
“Amin, Yah. Aku ke kamar aja, ya. Mau meriksa laporan stock opname.”
“Sana, gih! Jam sembilan kamu cuciin piring! Awas kalau besok pagi Ibu lihat masih numpuk di wastafel!” Ibu mengibas-ngibaskan tangannya, mengusirku agar segera menjauh dari mereka.
“Baik, Bu.”
Aku pun tersenyum bahagia sambil berjalan pergi meninggalkan mereka. Ayo, Bu, Yah, Zara. Habiskan makanan itu! Jangan sampai ada yang tersisa, ya.
“Setelah ini, aku akan berikan kalian kejutan indah. Tunggu ya, Bu, Yah, Zara,” lirihku saat tiba di kamar sambil tersenyum puas.
Sekiranya satu jam setelah mereka bertiga makan malam, kurasakan hening yang tak biasa di rumah ini dari dalam kamarku. Biasanya, jam segini masih terdengar senda gurau antara Ayah dan Ibu yang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Kebetulan kamarku hanya bersebelahan dengan ruang keluarga, sehingga suara riuh mereka berdua bisa terdengar hingga pukul 23.00 malam. Namun, kali ini berbeda. Baru pukul setengah delapan malam, seisi rumah terasa senyap. Televisi di ruang keluarga tidak menyala. Aku malah deg-degan sendiri. Ada cemas yang menyelinap ke dada. Aku pun bertanya-tanya, mungkinkah obat tidur itu telah bereaksi pada tubuh mereka. Aku yang baru menyelesaikan tugas kantorku itu pun gegas keluar kamar. Aku lihat ke ruang keluarga. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Televisi padam. Karpet busa yang biasa dibentang Ibu untuk menonton bersama Ayah pun masih tergulung rapi. Langkahku pun langsu
Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam. Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya? Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut. Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut. “Jahat kalian berdua, Bu, Yah! T
“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias
Aku kaget. Apa? Mau dikenalkan sama anaknya yang punya kostan? “Aduh, saya gendut begini, Bu. Belum percaya diri buat kenalan sama cowok. Malu. Takutnya Mas Bagas ilfeel lihat badan saya yang sebesar toren air,” kataku rendah diri. “Nggak apa-apa, Mbak Agni! Nanti ya, Ibu kenalin malam ini juga kalau Mbak nggak ada acara. Nanti malam, datang ke rumah, ya. Kita makan malam sama-sama. Ajak Mbak Sandra juga kalau dia nggak ada kesibukan. Bagaimana, Mbak?” tanya Bu Sri bersemangat. Belum sempat aku menjawab tawarannya Bu Sri, tiba-tiba ponselku malah berdering dari saku depan ranselku. Buru-buru aku membalik posisi ransel dan Bu Sri pun segera melepaskan rangkulannya. “Diangkat dulu, Mbak, teleponnya!” kata Bu Sri ikut panik melihat ekspresiku yang agak kelabakan. Ketika ponsel berhasil kuraih, betapa syoknya aku saat melihat nama yang tertera di layar. Ternyata telepon tersebut dari Pak GM alias si genera
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it