Selesai mandi dan salat, aku buru-buru keluar dari kamar. Tak kutemukan siapa-siapa di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tentu saja. Makanan belum ada yang siap kecuali nasi panas di dalam magic com yang kumasak sore tadi.
Enam butir kaplet obat tidur sudah kukantungi di dalam saku piyamaku. Aku pun mulai meracik bumbu-bumbu dan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam blender. Tentu saja tak lupa kutambahkan enam butir kaplet obat tidur tersebut.
“Selamat menikmati hidangan tumis kangkung plus obat tidur ini, wahai manusia-manusia sampah,” lirihku sinis sambil menuangkan bumbu halus tersebut ke dalam wajan yang telah kuberikan minyak sayur.
Minyak sayur yang telah kupanasi di atas kompor itu pun kini bercampur satu dengan bumbu halus buatanku tadi. Saat bumbu kuoseng-oseng dengan spatula, wangi harumnya pun langsung semerbak menguar. Siapa sangka, di dalam bumbu itu terdapat obat tidur yang akan membuat ketiga keluargaku tertidur semakin pulas.
Tumis kangkung dengan bumbu bawang putih, bawang merah, terasi, cabai keriting, cabai rawit, dan enam butir kaplet obat tidur keras resepan pskiater pun kini terhidang di dalam wajan. Setelah itu, aku gegas menyiapkannya ke meja makan dan benar saja, Zara langsung keluar dari kamar.
“Mbak, udah siap makanannya?” tanya Zara dengan wajah yang manis dan senyumannya yang cantik jelita.
“Tinggal goreng telor dadar sama tempe, sih. Kamu udah laper banget?” tanyaku balik yang kini sedang mengkocok telur ayam di dalam wadah beling besar. Enam buah telur ayam kukocok sekaligus di dalam wadah tersebut. Jika kalian bertanya, dari mana asal bahan-bahan makanan yang kumasak petang ini, tentu saja dari dompetku yang tak bisa kunikmati sendiri karena harus menafkahi empat orang sekaligus.
“Ya, udah. Aku tunggu telornya deh, Mbak,” sahut Zara sambil duduk di kursi makan.
“Coba panggil Ibu sama Ayah, Ra,” timpalku saat menggoreng telur dadar di atas teflon.
“Mbak Agni aja, deh. Aku capek bolak balik. Udah PW di sini,” jawab Zara seenaknya. Masyaallah, tuan putri ini. Makan disiapkan, minum disuguhkan. Minta tolong ke kamar orangtuaku saja dia enggan. The best pokoknya!
Aku pun tak menyahut lagi. Diam saja dan sibuk membalik telur dadarku yang besar sekaligus tebal. Telur dengan bumbu kaldu penyedap rasa ayam serta rajangan bawang bombai dan cabe hijau itu lalu kuangkat setelah matang. Tak sempat kutiriskan, Zara sudah merengek minta disiapkan.
“Mbak, kesiniin dong, telornya! Aku udah laper banget. Terakhir makan jam dua siang tadi,” keluh Zara.
Saat kutoleh ke arahnya, wajah perempuan itu memang tampak pucat. Kehamilan trimester pertama mungkin membuatnya gampang lapar. Maafkan kakakmu yang jahat ini ya, Zara. Malam ini kamu harus makan dengan tambahan obat tidur. Semoga janinmu sehat selalu di dalam kandunganmu itu.
“Iya, bentar, Ra. Kamu tumben banget jadi doyan makan begini? Dulu padahal kalau disuruh makan kamu susah. Kenapa, Ra?” Aku sengaja memancing adikku.
“Nggak apa-apa. Nggak ada apa-apa sih, Mbak. Emangnya aku salah kalau aku doyan makan, ya?”
Zara terdengar tersinggung. Sikap manis yang dia tunjukkan sore tadi saat kami bertengkar di ruang tamu, kini hilang sudah. Oh, berarti kamu memang pura-pura merasa bersalah doang, ya, Ra? Dasar perempuan ular.
“Ya, aku pikir kamu hamil, Zara. Kan, biasanya, orang yang tiba-tiba kepengen nikah cepet, apalagi calon suaminya itu tiba-toba berubah jadi orang lain, karena atas dasar hamil,” sahutku seenaknya sambil menghidangkan telur dadar panas di atas piring besar.
“Hamil? Hamil apanya, Agni? Kamu kalau bicara jangan sembarangan! Adikmu sendiri kamu tuduh hamil!” pekik Ibu dari arah depan sana.
Aku syok. Kaget saat melihat ibuku tiba-tiba muncul ke ruang makan dengan wajah yang sangar. Dia terlihat sangat tersinggung dengan kalimatku.
“Oh, kalau nggak hamil, ya udah. Kenapa Ibu harus marah?!” sindirku sinis.
Zara terdiam. Dia tak menjawab sepatah kata pun. Tangan lentiknya malah buru-buru menarik piring dan mengaut nasi di dalam magic com.
“Ya, marahlah! Kamu kalau punya mulut itu, mbok yo direm-rem! Jangan asal nyangkem aja!” Ibu bahkan mengeluarkan kata-kata kasar, yaitu ‘nyangkem’ yang artinya kira-kira ‘ngebacot’ kalau kata anak muda zaman sekarang.
Astaghfirullah!
Sungguh berbeda sikap Ibu kepada kami berdua. Aku yang tulang punggung bahkan rela kuliah sambil bekerja dengan biaya sendiri, malah disumpah serapahi oleh ibu kandungku sendiri. Sementara Zara yang lemah gemulai tapi ternyata diam-diam asyik berzina hingga hamil itu, malah dibela mati-matian oleh Ibu.
Semua ini tidak adil! Apa jangan-jangan, sebenarnya aku ini anak pungut?
“Kenapa sih, kalian ini masih aja ribut-ribut? Udah, udah! Diam! Ayah lapar! Ayah mau makan dengan tenang!” pekik Ayah menimpali.
Aku tak bisa berkutik lagi. Lawanku sekarang malah bertambah satu orang. Sudahlah. Lebih baik aku mengalah.
“Agni, mending kamu keluar aja dulu dari rumah! Ke mana, kek! Nggak usah makan bareng kami di sini!” marah Ayah dengan delikan matanya yang lebar.
Aku yang habis memasak dan penuh simbah peluh karena uap panas kompor pun semakin panas saja rasanya. Baiklah kalau itu maunya ayahku. Akan aku turuti sekarang juga!
“Eh, enak aja! Kamu selesaikan masakmu dulu baru minggat dari sini! Mana tempenya? Masa cuma pake telor, sih?!” protes Ibu sambil menaruh bokongnya ke kursi makan.
“Iya, sebentar,” jawabku pelan sambil mengurungkan niat buat angkat kaki dari dapur.
Aku pun cepat menggoreng tempe yang sudah kubumbui sedari tadi. Sementara orangtua dan adikku, kini sibuk makan dengan lahapnya. Mereka terdengar berbincang-bincang dengan suara yang renyah.
“Zara, nanti kalau resepsi, pakai baju dodotan Jogja, ya. Itu impiannya Ibu yang nggak kesampean pas nikah sama ayahmu!”
“Iya, Bu. Semua tergantung Mbak Agni. Kalau dana yang Mbak Agni kasih banyak, ya aku mau pake full adat Jawa. Makanannya juga kalau bisa banyak dan pestanya di hotel mewah,” jawab Zara yang membuat telingaku sontak panas.
“Mbakmu itu banyak duit. Kamu tenang aja. Mas Farhaazmu kan, juga janjinya ngasih uang seratus juta buat acara nikahannya. Insyaallah pestamu akan digelar besar-besaran, Ra!” timpal Ayah yang semakin membuatku tak habis pikir.
Ya Allah, terbuat dari apa hati mereka semua? Apa mereka pikir aku ini binatang yang tidak punya perasaan? Teganya mereka begini kepadaku!
“Anak kesayangan ya, harus pestanya besar-besaran, dong!” sahut Ibu tak mau kalah.
“Bu, Yah, kira-kira, Andra diundang nggak?” Suara Zara berbisik, tapi syukurnya aku bisa dengar.
“Nggak usah dibahas masalah itu, Ra!” Ayah terdengar tak senang dan buru-buru menyudahi percakapan mereka.
“Tempenya udah siap,” kataku seraya mengantarkan tempe buat mereka ke meja makan.
“Nggak usah kamu sentuh makanan ini, Agni! Kamu pergi sana! Muak Ibu ngelihat mukamu!” hardik Ibu sambil memukul tanganku saat hendak mencomot sekeping tempe goreng.
“Iya, Bu. Maafkan aku,” sahutku lirih sambil mundur teratur. Diam-diam aku mencuri pandang ke arah mereka.
Sepiring besar tumis kangkung itu sudah ludes dari wadah asalnya, berpindah ke piring Ibu, Ayah, dan Zara. Yang paling banyak mengambil Ibu dan Ayah. Mereka seperti orang kelaparan yang tidak diberi makan setahun lamanya, padahal sore sepulang dari kantor, aku tak lupa membawakan mereka semua terang bulan alias martabak manis dan tiga gelas es boba.
“Nggak usah makan di luar kamu, Agni! Awas kalau kamu makan di luar! Ibu sumpahin kamu mati di jalan kalau sampai kamu jajan makanan!”
Deg!
Ya Allah, mulutnya Ibu sungguh beracun. Dia ini manusia atau jelmaannya iblis?
“Iya, Bu. Aku nggak jajan. Lagian, uang di dompetku udah nggak ada.”
“Di ATM tapi masih, kan?” tanya Ayah sembari mengerling tajam.
“Masih, Yah. Kan, buat Zara nikahan.” Senyumku terukir palsu.
Ayah langsung semringah. Cepat-cepat dia menelan makanannya. Dia pun menyahut ceria, “Bagus! Jangan umroh-umroh segala! Nggak ada gunanya. Mending buat adikmu pesta besar-besaran! Nanti juga rejekimu makin lancar karena nolongin saudara sendiri!”
“Amin, Yah. Aku ke kamar aja, ya. Mau meriksa laporan stock opname.”
“Sana, gih! Jam sembilan kamu cuciin piring! Awas kalau besok pagi Ibu lihat masih numpuk di wastafel!” Ibu mengibas-ngibaskan tangannya, mengusirku agar segera menjauh dari mereka.
“Baik, Bu.”
Aku pun tersenyum bahagia sambil berjalan pergi meninggalkan mereka. Ayo, Bu, Yah, Zara. Habiskan makanan itu! Jangan sampai ada yang tersisa, ya.
“Setelah ini, aku akan berikan kalian kejutan indah. Tunggu ya, Bu, Yah, Zara,” lirihku saat tiba di kamar sambil tersenyum puas.
Sekiranya satu jam setelah mereka bertiga makan malam, kurasakan hening yang tak biasa di rumah ini dari dalam kamarku. Biasanya, jam segini masih terdengar senda gurau antara Ayah dan Ibu yang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Kebetulan kamarku hanya bersebelahan dengan ruang keluarga, sehingga suara riuh mereka berdua bisa terdengar hingga pukul 23.00 malam. Namun, kali ini berbeda. Baru pukul setengah delapan malam, seisi rumah terasa senyap. Televisi di ruang keluarga tidak menyala. Aku malah deg-degan sendiri. Ada cemas yang menyelinap ke dada. Aku pun bertanya-tanya, mungkinkah obat tidur itu telah bereaksi pada tubuh mereka. Aku yang baru menyelesaikan tugas kantorku itu pun gegas keluar kamar. Aku lihat ke ruang keluarga. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Televisi padam. Karpet busa yang biasa dibentang Ibu untuk menonton bersama Ayah pun masih tergulung rapi. Langkahku pun langsu
Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam. Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya? Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut. Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut. “Jahat kalian berdua, Bu, Yah! T
“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara
“Udah, udah! Malah ngelantur ngalor ngidul bahasannya! Ngapain sih, pakai bahas yang nggak-nggak segala? Zara, masuk kamar kamu sana!” Ayah tumben-tumbennya membentak Zara. Zara pun langsung mengerucutkan bibirnya. Dia kelihatan sangat kesal pada Ayah. Kertas yang sudah selesai ditanda tangani olehnya pun diberikannya kepadaku. “Ini, Mbak,” kata Zara sambil bangkit dari duduknya. Aku pun menerima kertas tersebut. Kumasukkan semuanya ke dalam satu map folder berwarna merah. Semua lengkap ada di sini. Mulai dari kuitansi, kertas yang telah ditanda tangani oleh keluarga angkatku, sampai surat bukti penggadaian sertifikat rumah beserta BPKB motor Ayah juga ada di dalam map tersebut. “Agni, baiknya kamu ngantor sekarang!” tegur Ibu sambil ikut bangkit. “Iya, Ag! Jangan bolos kelamaan. Nanti bosmu marah,” timpal Ayah penuh perhatian. Cie, perhatian nih, ye! Mentang-mentang sudah diberi u
Melihat tatapan tajam ibu, kuurungkan niatku. "Baik, Bu. Insyaallah aku kasbon. Udah, ya, Bu. Nanti kalau nggak ngantor-ngantor, aku dipecat, nih,” ucapku mulai eneg dengan kalimat mengada-ada Ibu. Kusambar tangan Ibu cepat lalu kucium tangannya. “Udah dua kali kamu cium tangan Ibu, Ag! Dasar oon! Jadi anak kok, lupaan, sih! Otakmu itu kaya komputer jadul!” maki Ibu lagi-lagi menoyor keningku. Aku tak bisa berucap lagi. Hanya bisa diam sambil menelan liurku yang terasa sangat pahit. Nasib jadi anak oon. Selalu saja dicaci maki ibu angkat sendiri. Langkahku langsung kupercepat menuju kamar. Aku cek dan ricek, apakah ada barang-barang penting yang ketinggalan. Ternyata tidak ada. Hanya tersisa pakaian lusuh saja di dalam lemari. Mau diambil Ibu sama Zara, ya silakan. Mau dijadikan kain pel juga boleh! Kunci kamar sengaja kucantelkan di pintu. Kututup pintu kamarku tanpa aku menguncinya lagi seperti bias
Aku kaget. Apa? Mau dikenalkan sama anaknya yang punya kostan? “Aduh, saya gendut begini, Bu. Belum percaya diri buat kenalan sama cowok. Malu. Takutnya Mas Bagas ilfeel lihat badan saya yang sebesar toren air,” kataku rendah diri. “Nggak apa-apa, Mbak Agni! Nanti ya, Ibu kenalin malam ini juga kalau Mbak nggak ada acara. Nanti malam, datang ke rumah, ya. Kita makan malam sama-sama. Ajak Mbak Sandra juga kalau dia nggak ada kesibukan. Bagaimana, Mbak?” tanya Bu Sri bersemangat. Belum sempat aku menjawab tawarannya Bu Sri, tiba-tiba ponselku malah berdering dari saku depan ranselku. Buru-buru aku membalik posisi ransel dan Bu Sri pun segera melepaskan rangkulannya. “Diangkat dulu, Mbak, teleponnya!” kata Bu Sri ikut panik melihat ekspresiku yang agak kelabakan. Ketika ponsel berhasil kuraih, betapa syoknya aku saat melihat nama yang tertera di layar. Ternyata telepon tersebut dari Pak GM alias si genera