“Silakan aja kalau Ibu mau bunuh diri. Aku nggak peduli!” Aku menguatkan hati dan mengumpulkan keberanian untuk melawan Ibu. Sudah cukup selama ini diinjak-injak. Aku lelah!
“Apa? Apa katamu, Agni? Apa Ibu nggak salah dengar?” Ibu terlihat naik pitam.
Mata belo Ibu pun langsung membeliak besar. Lihatlah dia. Sedikit saja ucapanku, jika itu dinilainya membuat dia sakit hati, maka Ibu akan mudah sekali buat emosi.
Coba kalau dia yang bicara kepadaku selama ini. Mau sekasar apa pun dan sebringas apa pun, kadang aku hanya bisa diam. Tetapi, kupikir kali ini sudah sangat keterlaluan. Sudah saatnya buatku melawan keganasan Ibu yang kian hari kian tidak masuk akal.
“Nggak, Bu. Ibu nggak salah dengar, kok. Aku nggak mau ngasih buku tabunganku buat Ibu dan Zara. Pernikahan dia bukan tanggung jawabku. Tapi, aku akan kasih dana seikhlasnya buat Zara. Itu sebagai wujud sedekah dari aku buat orang yang kurang mampu seperti kalian!”
Ujaranku membuat mata Ibu semakin menatap nyalang. Tanpa kunyana, tangan Ibu yang memakai banyak cincin dan gelang hasil keringatku itu pun naik ke udara. Dia pasti ingin menamparku, seperti yang sudah-sudah jika aku dianggapnya membantah.
Tap!
Tangan Ibu tak berhasil menampar wajahku, melainkan kutangkap tangan itu, lalu kuayunkan balik ke udara. Ibu tergemap. Dia pasti kaget, mengapa anak pertamanya yang selalu terlihat lemah ini, kini menjadi orang yang pembangkang.
“Anak durhaka kamu, Agni! Ibu sumpahin, semoga hidup kamu semakin sial!” teriak Ibu menjadi-jadi, hingga para tetangga keluar dari rumahnya masing-masing.
Aku tak mau peduli. Cepat kusambar ponselku yang tergeletak di tanah halaman yang ditanami rumput Jepang mini. Gegas aku masuk ke dalam sambil menahan gusar di dada.
Sialnya, ketika menginjakkan kaki ke ruang tamu, Ayah tiba-tiba mencegatku. Pria bersarung itu terlihat memandangiku jengkel. Beliau pasti akan menghadiahiku ceramah panjang lebar, seperti biasanya ketika aku dan Ibu bertengkar.
“Agni, kamu udah setua ini kok, ya, masih aja tengkar sama ibumu? Kenapa kamu selalu bikin orangtua jengkel, Ag? Cukuplah wajahmu yang jelek. Tapi, jangan sampai kelakuanmu yang juga ikut-ikutan jelek!” seru Ayah dengan suaranya yang terdengar menghardikku.
Deg!
Jantungku langsung bedegup kencang. Ulu hatiku terasa seperti disayat-sayat sembilu. Tega-teganya Ayah berkata begitu kepadaku.
Sejelek itukah mukaku hingga Ayah mudah sekali melontarkan hinaannya yang tajam? Sakit. Sungguh sakit perasaanku. Aku yang selama ini telah berkorban banyak buat keluarga, hingga menyisihkan banyak gajiku buat biaya pendidikannya Zara, tetap saja dinilai sampah oleh mereka.
“Makasih udah ngatain aku jelek, Yah. Mukaku jelek juga nurun dari Ayah!” lawanku sakit hati. Selama ini aku hanya bisa diam. Tapi, nyatanya diamku tak berarti emas. Tetap saja mereka menginjak-injakku, hingga aku telah merasa sangat lelah jadi bahan caci makian mereka.
“Lancang bicaramu, Agni!” pekik Ayah gusar sambil membeliakkan matanya besar-besar.
Plak!
Kepalaku telah dipukul dari arah belakang hingga keseimbanganku hilang. Aku tersungkur tepat di bawah kaki Ayah. Pandangan mataku pun ujuk-ujuk berubah berkunang-kunang.
“Ya Allah!” jeritku kesakitan sambil memegangi kepalaku.
“Dasar anak setan! Kamu ini terbuat dari apa, Agni? Bisa-bisanya kamu ngomong selancang itu ke ayah yang udah membiayai hidupmu sampai kamu bisa jadi sarjana dan pejabat di tempat kerjamu!” maki Ibu seraya mendorong kepalaku lagi dari arah belakang.
Aku kian tersuruk. Kepalaku kini jatuh tepat di atas kakinya Ayah. Ya Allah, aku diperlakukan bagai sampah oleh mereka. Rasanya sakit sekali!
“Bangun kamu, Ag!” teriak Ayah menimpali pekik jeritnya Ibu.
Susah payah aku bangkit dari terpurukku. Mataku sudah perih karena menahan air mata. Akan tetapi, aku tak mau menangis di depan mereka. Aku tak sudi lagi menangisi manusia-manusia sampah seperti keduanya!
“Adikmu akan menikah! Segera siapkan dana buat pernikahannya, Agni! Kalau nggak, siap-siap aja nama baikmu Ayah bikin tercoreng di mata keluarga besar kita! Akan Ayah sebar cerita kalau kamu tidak mau membiayai keluargamu lagi, saking pelitnya kamu dan saking cintanya kamu sama duitmu!” Ayah mengancamku. Sayangnya, aku tidak takut sama sekali dengan ancaman itu.
Aku diam. Diam bukan berarti kalah. Aku tak mau menghabiskan energi buat melawan manusia-manusia jahat seperti mereka.
“Kamu denger, nggak? Jangan diam-diam aja!” sentak Ayah kasar.
“Iya, Yah. Aku dengar,” sahutku dingin.
“Nah, gitu, dong dari tadi! Malah ngelawan! Dasar bagong! Gendutmu itu bikin otakmu lola kaya hape jadul tahun dua ribuan!” hina Ibu lagi tak puas-puasnya sambil menoyor kepalaku dari belakang.
Ya Allah, buat aku sabar dan kuat. Kali ini aku tak perlu meladeni mereka dulu. Namun, setelah ini aku akan siapkan sebuah pembalasan yang manis buat mereka semua!
“Ayah, Ibu! Ini kenapa lagi?”
Zara tiba-tiba muncul dari arah belakang sana. Kutatap dia tajam dengan perasaan dongkol. Gadis itu tampak pucat dan loyo saat berjalan mendatangi kami bertiga di ruang tamu.
“Ini, kakakmu! Dia heboh banget pas tahu kamu mau nikah sama Farhaz! Coba jelaskan, Ra, kalau Farhaz itu dari awal emang sukanya sama kamu, bukan sama si bagong ini!” cetus Ibu seperti orang yang tak memiliki hati. Ibu kini menjelma bak iblis yang tak pernah merasa bahwa dia adalah wanita yang melahirkanku dulunya.
“M-mbak Agni ….” Zara memanggilku terbata-bata. Gadis cantik berambut lurus sepundak itu lalu berjalan pelan ke arahku.
Dia tiba-tiba ingin memelukku, tapi aku sontak mengelak. Tidak! Jangan sentuh aku lagi. Kita bukan keluarga mulai saat ini.
“Sombong amat kamu, Ag! Adikmu pengen meluk aja, lagumu kaya artis! Ngaca, Ag! Badan kaya babi begitu aja kamu pelitin!” Ibu memakiku habis-habisan dengan suaranya yang mencelat tinggi.
“Bu, jangan bilang begitu ke Mbak Agni. Aku yang salah, Bu. Wajar kalau Mbak Agni marah ke aku.”
“Udah, Zara. Nggak usah kamu baik-baikkin aku lagi. Ambil aja Farhaz buatmu!” Aku berucap ketus sambil menatap tajam ke arah adikku.
“Aku minta maaf, Mbak. Farhaz yang memilihku.” Zara merunduk. Gadis berkulit putih dengan hidung mancung ramping itu kelihatan sangat menyesal.
“Masalah uang buat pestamu, tenang aja! Sesuai permintaan Ibu dan Ayah, besok aku akan ambil uangnya dari bank dan langsung aku serahin ke kamu!” kataku dengan dada yang sebenarnya terasa sangat sakit.
“Maaf kalau aku merepotkan, Mbak.” Zara berucap lirih sambil memilin-milin ujung kaus oblongnya.
“Ngerepotin apanya, sih? Daripada dia umroh! Ya, mending bayarin adiknya nikahan!” timpal Ibu terdengar sangat geram.
“Iya, nggak apa-apa, kok. Aku ikhlas. Sekarang, kalian udah puas, kan?” tanyaku sambil mengedarkan pandang ke Ayah, Ibu, dan Zara.
“Udah! Nggak usah banyak omong lagi, Agni. Sekarang, kamu masuk ke kamar. Mata Ayah sepet ngeliat bentukanmu yang kaya kulkas enam pintu itu!”
“Iya, Yah. Aku permisi dulu,” sahutku seraya berjalan meninggalkan mereka dan sempat-sempatnya aku sengaja menubrukkan pundakku kepada pundaknya Zara. Gadis cantik 23 tahun itu hanya diam saja. Dia terlihat lesu, tak seperti biasanya.
Di dalam kamar, aku pun menenangkan diri. Kubuka kembali ponselku sembari duduk di bibir ranjang. Otakku tiba-tiba berpikir buat menghubungi mantan pacarnya adikku, Andra.
Diam-diam aku menelepon lelaki itu di dalam kamar yang sudah kukunci rapat. Suara kupelankan, supaya tak ada yang bisa mendengar. Untungnya, Andra cepat sekali merespons panggilan dariku.
“Halo, Andra. Maaf aku ganggu kamu,” bisikku pelan.
“Oh, iya, Mbak Agni. Nggak apa-apa, kok. Tumben nelepon, Mbak? Kenapa, ya?”
“Andra, kamu tahu nggak kalau mantanmu itu mau nikah sebentar lagi?”
“Hah? Mantan? Mantanku yang mana, Mbak?”
Aku langsung mengernyitkan dahi. Lah? Bukannya menurut pengakuan Zara dan kedua orangtuaku, Andra dan adikku itu sudah putus sebulan yang lalu?
“Zara. Adikku sebentar lagi mau nikah!”
“Aku belum putus sama Zara, Mbak! Demi Allah, kami masih pacaran dan aku malah mau nyiapin rencana pertunangan kami dua bulan lagi! Ini maksudnya gimana, Mbak?” Suara Andra terdengar bergetar di seberang sana.
Aku pun langsung tersenyum licik. Inilah saatnya bagiku membalaskan dendam yang sangat besar kepada kalian wahai orangtua dan adikku yang tercinta! Sebentar lagi, kalian akan mendapatkan hadiah besar dariku. Tunggu saja waktunya!
“Dia mau nikah sama pacarku, tepatnya calon tunanganku.” “Astaghfirullah! Mbak Agni serius? Mbak nggak lagi main-main sama aku, kan?” Suara Andra terdengar gemetar di seberang sana. Aku bisa membayangkan seperti apa wajah Andra ketika mendengar kabar mengejutkan ini. Lelaki itu pasti sangat kecewa berat kepada kelakuan Zara. Apalagi, mereka berdua sudah berpacaran sejak sama-sama di bangku SMA. Meskipun kedua orangtuaku kurang senang Zara berpacaran dengan Andra karena alasan pria itu tak meneruskan kuliahnya gara-gara faktor ekonomi, Zara dan Andra tetap nekat melanjutkan hubungan mereka bahkan sampai adik semata wayangku itu lulus diploma empat. Namun, siapa yang sangka bahwa adik yang selama ini selalu kubanggakan karena wajah cantik dan otak encernya itu, ternyata malah menikung aku yang ikut membiayai kuliahnya. Tak main-main, bahkan mereka mengaku akan segera menikah. Ya Allah, rasanya aku tak ikhlas diperlakukan seperti
“H-hamil? Hamil anakmu?” gagapku tak percaya karena saking syoknya. “Nggak tahu kalau itu, Mbak. Semisal dia ternyata emang pernah berhubungan sama pacarnya Mbak Agni, bisa aja itu malahan anaknya pacar Mbak Agni.” Jantungku rasanya seperti diremas-remas oleh kenyataan pahit ini. Mas Farhaaz … tega kamu, Mas! Bagaimana mungkin hubungan kita yang selama ini tidak pernah ada masalah sama sekali, ternyata malah berujung musibah. Kamu bahkan bakal menikahi adikku yang notabene sudah ternoda oleh pria lainnya. “Ya Allah, ini benar-benar bikin aku syok, Ndra,” lirihku sambil memegangi dada sendiri. Rasanya nyeri dada sebelah kiriku. “Aku juga sama syoknya, Mbak. Aku kira, Zara itu perempuan yang setia. Asal Mbak Agni tahu aja, selama aku kerja di retail, aku bahkan lebih mengutamakan Zara ketimbang orangtuaku. Jajan kuliah dia, kebutuhan skincare, bahkan buat beli pembalut aja aku selalu tranfser buat dia. Setiap bula
Selesai mandi dan salat, aku buru-buru keluar dari kamar. Tak kutemukan siapa-siapa di dapur yang menyatu dengan ruang makan. Tentu saja. Makanan belum ada yang siap kecuali nasi panas di dalam magic com yang kumasak sore tadi. Enam butir kaplet obat tidur sudah kukantungi di dalam saku piyamaku. Aku pun mulai meracik bumbu-bumbu dan memasukkan bahan-bahan tersebut ke dalam blender. Tentu saja tak lupa kutambahkan enam butir kaplet obat tidur tersebut. “Selamat menikmati hidangan tumis kangkung plus obat tidur ini, wahai manusia-manusia sampah,” lirihku sinis sambil menuangkan bumbu halus tersebut ke dalam wajan yang telah kuberikan minyak sayur. Minyak sayur yang telah kupanasi di atas kompor itu pun kini bercampur satu dengan bumbu halus buatanku tadi. Saat bumbu kuoseng-oseng dengan spatula, wangi harumnya pun langsung semerbak menguar. Siapa sangka, di dalam bumbu itu terdapat obat tidur yang akan membuat ketiga keluargaku
Sekiranya satu jam setelah mereka bertiga makan malam, kurasakan hening yang tak biasa di rumah ini dari dalam kamarku. Biasanya, jam segini masih terdengar senda gurau antara Ayah dan Ibu yang asyik menonton televisi di ruang keluarga. Kebetulan kamarku hanya bersebelahan dengan ruang keluarga, sehingga suara riuh mereka berdua bisa terdengar hingga pukul 23.00 malam. Namun, kali ini berbeda. Baru pukul setengah delapan malam, seisi rumah terasa senyap. Televisi di ruang keluarga tidak menyala. Aku malah deg-degan sendiri. Ada cemas yang menyelinap ke dada. Aku pun bertanya-tanya, mungkinkah obat tidur itu telah bereaksi pada tubuh mereka. Aku yang baru menyelesaikan tugas kantorku itu pun gegas keluar kamar. Aku lihat ke ruang keluarga. Nihil. Tak ada siapa pun di sana. Televisi padam. Karpet busa yang biasa dibentang Ibu untuk menonton bersama Ayah pun masih tergulung rapi. Langkahku pun langsu
Surat wasiat itu aku kembalikan ke tempatnya meski sesak di dada ini masih sangat kentara menyeruak. Kuseka air mata di sudut pelupuk mataku. Aku tidak boleh lemah terus menerus! Saatnya membalas dendam. Tak cuma mengambil sertifikat rumah saja, aku juga mengambil BKPB motor. Ke semua surat berharga itu dua-duanya dengan atas nama ayahku. Jika kalian selama ini bisa membohongiku, masa aku tidak boleh melakukan hal yang sama? Apa itu adil namanya? Segera kukemasi map plasti berwarna hitam itu. Aku lalu menaruhnya kembali ke tempat semula. Serapi mungkin kubuat lemari pakaiannya Ayah dan Ibu supaya mereka tidak curiga besok pagi saat membuka lemari tersebut. Setelah kukunci kembali, lemari itu pun kutinggal pergi. Sekilas aku melihat kedua orangtua yang ternyata bukan orangtua kandungku tersebut. Mereka berdua masih terlelap nyenyak dengan aduan dengkuran dari masing-masing mulut. “Jahat kalian berdua, Bu, Yah! T
“Bisa sih, Bu. Tapi … dari pihak atasan kami memutuskan kalau menggadai surat menyurat penting milik keluarga tanpa ada surat kuasa, pinjamannya hanya dapat lima puluh persen dari nilai taksiran gadai sebenarnya. Bagaimana, Bu?” tanya Anita sambil memasang senyuman lebarnya. “Oh, nggak apa-apa, Mbak Anita! Saya ikut aturan yang berlaku aja nggak apa-apa. Bukan kenapa-kenapa. Saya lagi butuh uang. Adik saya mau nikah soalnya,” sahutku riang. “Baik kalau begitu, Bu. Boleh saya periksa semua surat menyurat yang mau Ibu gadaikan? Sekalian sama foto kopi KTP dan KK punya Ibu, ya,” ucap Anita lagi. Aku pun tak mau menunggu lama lagi. Langsung kukeluarkan semua berkas-berkas di dalam ransel hitamku. Sertifikat rumah asli dan BPKB motor yang semuanya atas nama Ayah pun kuberikan kepada Anita. Tak lupa, foto kopi KTP dan KK juga turut kusertakan. Anita mengecek satu per satu surat menyurat tersebut. Dia kemudian memasukk
Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini. Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain. Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainy
“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba. “Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas. “Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya. “Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi. “Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.” Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram. “Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam. Hanya Zara