Setelah Ijab kabul terucap, saat itulah semua keburukan dan kebaikan yang seolah-olah tertutupi dengan baik akhirnya terbuka juga. Siapa kamu? Siapa aku? Terjawab sudah. Tidak ada lagi pemanis dari setan untuk menutup-nutupi sikap dan karakter ini. Namun, setan dengan gencarnya tetap menggoda dengan banyak godaan yang dia berikan kepada kedua insan ini. Bertahan adalah hal sulit, dan berpisah bukanlah suatu pelarian yang baik untuk menghindar dari masalah. Memperkokoh adalah suatu tindakan untuk mempertahankan hubungan ini. Mampu kah Dilara mempertahankan rumah tangganya? Mampu kah Dilara tidak goyah, di saat ada pundak yang menyuguhkan kenyamanan untuk dirinya bersandar?
View More"Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang
"Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya
"Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk
"Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Abraham binti Abraham Wahyudi dengan perhiasan emas seberat 88 gram dan uang sebesar 150 juta di bayar tunai." suara lantang Evan yang sedang berjabat tangan dengan Bapak, menjawab ikrar ijab kabul yang di saksikan oleh para saksi dan tamu."Sah?" tanya penghulu pada saksi kedua belah pihak. Dari pihak mempelai laki-laki dan pihak perempuan."Sah" jawab saksi-saksi tersebut.Semua orang yang hadir pun bersuka cita mendengar kata "SAH" tersebut. Termasuk Bapak, Beliau memperlihatkan senyuman damai di wajahnya. Beliau begitu bahagia bisa melihat anak gadis satu-satunya menikah di usia yang hampir memasuki 30 tahun. Demi Bapak orang tua satu-satunya yang aku miliki, aku belajar ikhlas untuk menerima pinangan dari Evan. Mulai hari ini statusku sudah berganti yang dulunya seorang wanita lajang, sekarang sudah berganti menjadi Nyonya. Yang dulunya orang sering memandang sebelah mata, kini mereka hormat. Ya, ini semua karna Evan. Harta dan kedudukan ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments