Dilara yang mendengar usulan Evan pun mendongakkan kepalanya. "Mas, aku lagi berduka." ucapnya lirih.
"Aku tau, tapi aku tidak bisa melihatmu begini, Dil." sanggah Evan dengan keputusannya. "Baiklah tiga hari kita di sini, Dil. Setelah itu kita kembali ke Jakarta." Evan sedikit demi sedikit akan menunjukkan taringnya pada Dilara.Dilara hanya mampu menganggukkan kepala pasrah. Dan jika terlalu lama berada di desa Dilara tidak yakin bisa berkembang lagi, dia harus mencari kesibukan untuk mengalihkan hatinya yang sedang berduka.***Tiga hari sudah mereka di desa sekarang waktunya kembali ke kota. Setelah cuti panjang Dilara di berikan ijin untuk bekerja di perusahaan Evan lagi. Perusahaannya sedang menangani proyek baru pembangunan jalan tol."Sudah selesai, Dil?" tanya Evan tanpa memandang Dilara, masih fokus dengan tabletnya."Ayo." Dilara pun sudah merapikan tempat sarapan mereka dan sudah siap untuk berangkat kerja bareng.Tidak ada suara satu sama lain yang mengisi mobil tersebut kecuali suara radio, mereka memilih bungkam selama perjalanan."Ternyata benar, Evan hanya berkamuflase saja. Dan sikap dia kembali seperti sebelumnya." Dilara tersenyum tipis membatin apa yang akan terjadi dengan kehidupannya nanti. "Bagaimana nasib rumah tanggaku nanti? Pasti akan berat." helaan napas lembut keluar dari mulutnya.Evan memecah kesunyian itu. "Kamu tidak usah mengurus proyek baru." ucap Evan dingin tanpa menoleh Dilara, dia fokus menyetir."Hemb." Dilara enggan memberikan jawaban yang panjang, ataupun meminta penjelasan Evan tentang dirinya yang tak lagi ikut tim utama.Sesampainya di kantor kedua pasangan tersebut melenggang tanpa adanya senyum sumringah, Dilara menampilkan senyum tipis dan menundukkan kepala sedang Evan seperti biasa menampilkan wajah dinginnya.Dilara pun masuk ke ruangannya yang terdiri dari 6 anggota, mereka menangani masalah desain rumah dan properti. Biasanya mereka bekerja sama dengan agen properti di seluruh negeri."Ibu bos, kok masih kerja saja?" goda salah satu teman Dilara yang lumayan dekat dengannya Amara. Gadis yang dulu juga merupakan teman satu almameter dengan Dilara, Evan dan Gustav.Dilara hanya tersenyum tipis. Karna bujukan Amara, Dilara mengajukan lamaran kerja di perusahaan ini sebelum kepulangannya ke Indonesia.Tidak banyak yang ia ketahui tentang perusahaan ini, setelah tau ternyata perusahaan ini adalah PT. Elang Cakrawala milik ayah Evan yang seorang naturalisme dari negeri Ginseng, Mr. Gwen Seung Yoo. Dan sekarang sedang di pimpin Evan Gwen."Bagaimana pekerjaannya, Ra?" tanyanya pada Amara seorang anak konglomerat yang memilih menjadi 'budak' di perusahaan yang Evan pimpin."Lumayan keteteran, Dil." ucapnya memanyunkan bibir. Dilara hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Oh, iya, maaf aku gak bisa hadir di acara pemakaman Om Abraham." ucap Amara merasa bersalah tak hadir dihari pemakaman ayah Dilara."Tidak apa-apa, Ra. Do'akan yang terbaik." ucap Dilara tersenyum manis."Eh, ngomong-ngomong kamu gak honeymoon, Dil?" tanya Amara yang heran mereka berdua cuti hanya satu minggu saja."Buat apa? Begini saja kamu sudah keteteran apalagi nanti aku tinggal lama-lama." jawab Dilara santai menanggapi pertanyaan sahabatnya itu."Oh, iya, juga ya. Pak Bos bagaimana?" Amara begitu penasaran dengan Evan apakah masih seperti dulu atau sudah berubah menjadi baik."Apanya yang bagaimana?" tanya Dilara balik dengan tatapan polos."Dia baikkan, Dil?" tanyanya lagi seolah belum percaya Evan menjadi lelaki yang 'baik' untuk sahabatnya ini."Menurutmu?" bukan jawaban tapi lagi-lagi Dilara menjawab pertanyaan dengan pertanyaan."Ahh, kamu, dari dulu sampai sekarang maen rahasia-rahasiaan." Amara yang kesal mendengar Dilara pun mulai merajuk.Dilara yang mendengar Amara merajuk malah terkekeh. "Ya, dia seperti itu mau bagaimana lagi? Hemb?!" tanya Dilara balik dan Amara pun diam. "Ayo, lanjut bekerja gak enak sama yang lain dan kalo-kalo Pak Bos lewat dan mendapati kita mengobrol, Ra." ajak Dilara dengan senyum ramah.Evan memang sudah mendengar ucapan mereka dari balik pintu. Evan berlalu begitu saja setelah mereka berhenti mengobrol."Awasi Dilara dan juga Amara." Evan memberikan perintah kepada salah seorang laki-laki yang satu ruangan dengan Dilara dan Amara. "Kamu belum tau siapa aku, Dilara. Jika dulu kamu melihatku sebagai lelaki nakal maka aku akan tunjukkan siapa aku kepadamu." ucapnya berlalu dari kantor untuk meninjau secara langsung proyek yang sedang ia tangani.Evan dan Dilara mereka adalah tim inti yang menangani mega proyek jalan tol ini. Karna kemauannya sendiri Evan memilih mengeluarkan Dilara dari timnya. Dia tidak ingin Dilara terlalu akrab dengan lelaki lain.***Sesampainya di rumah Dilara pun masuk ke dalam kamar dan di susul oleh Evan.Dilara duduk di kursi depan meja rias, dia hapus make upnya dan dia buka hijab yang menutupi kepalanya. Rambut panjang tergerai indah.Evan yang melihat pergerakan demi pergerakan Dilara pun merasa gerah, tanpa aba-aba Evan sudah membawa Dilara dalam dekapannya.Setuju atau tidak setuju kini Dilara sudah berada di bawah kungkungan badan besar milik Evan."Mas, apa yang kamu lakukan?" tanya Dilara bingung dengan sikap Evan ini."Apa? Apalagi kalo bukan mencumbu maduku." tanpa banyak kata semua pakaian yang mereka kenakan sudah berada di lantai. "Kamu memang selalu menggoda." ucapnya kemudian berlalu begitu saja setelah pertempuran yang dia pimpin.Dilara merasa tak berharga sama sekali. Dia orang yang punya perasaan, kenapa suaminya tidak bertanya dulu atau bagaimana supaya sama-sama mencapai klimaksnya.Dia hanya mampu menahan tangis melihat sifat Evan yang menurutnya hanyalah kamuflase. Dilara pun memakai bath robes dan memunguti pakaiannya dan Evan yang sudah teronggok di lantai."Apa kamu tidak mandi?" tanya Evan setelah mengeringkan rambut.Dilara yang ditanya pun hanya diam dan masuk kedalam kamar mandi. Melihat tingkah Dilara seperti itu Evan hanya mengedikkan bahu. Seperti tidak terjadi apa-apa antara dirinya dan Dilara.Saat Dilara mandi tiba-tiba sebuah pesan masuk begitu saja. Evan yang penasaran pun mencoba membuka hp yang layarnya terkunci itu.Sialnya gagal terus, tetapi dari layar ada pop upnya siapa nama si pengirim pesan itu. Evan pun membaca sang pengirim pesan."Anonymous? Siapa dia? Sepertinya dia sangat misterius." tebak Evan mulai penasaran."Apa ada yang menelpon, Mas?" tanya Dilara yang keluar dari kamar mandi, kaget melihat Evan sedang memegang hpnya. Tapi Dilara harus bersikap santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Memang benar tidak ada apa-apa selain pesan penting dan dari Anonymous. Tentang Anonymous apa mungkin Dilara mendapat pesan dari dia?Evan pun menunjukkan layar ponsel yang dia pegang pada Dilara. "Ada pesan masuk." katanya dan dia berlalu begitu saja meninggalkan Dilara. "Oh. Iya, Mas." ucap Dilara buru-buru membuka hpnya. Senyum tipis terbit begitu saja setelah membaca pesan tersebut.Dari awal Dilara sudah nyaman dengan 'Anonymous', karna dia lah yang sering memberikan perhatian kecil kepada Dilara sewaktu masa kuliah di Jakarta. Hanya saja dia selalu menyamarkan diri. Setiap Dilara menanyakan dia siapa dan keberadaannya dia selalu mengelak tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pernah dulu ketika Dilara mencoba mencari tahu siapa dia lewat mahasiswa IT ta
"Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya. Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri. "Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut. "Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin. "Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil. "Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi. ***Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan
"Kenapa kalian begitu kaget?" tanya Evan yang heran melihat ekspresi Gustav dan Ridho. "Sebelum menikah gak kamu perkosa kan?" bisik Ridho tepat di telinga Evan. "Bacot lo!" Evan pun berlalu masih memeluk pinggang Dilara secara posesif. "Mas, aku mau ke kamar mandi." pamit Dilara yang langsung berlari ke kamar mandi. Adegan tersebut tidak luput dari dua pasang mata yang jaraknya tidaklah jauh dari mereka. Sesampainya di kamar mandi, Dilara memutahkan semua sarapannya. "Sudah?" tanya Evan yang sudah menunggui Dilara dari tadi di depan toilet. "Iya." jawab Dilara lemas. "Aku antar ke kamar, jika mau apa-apa langsung pesan saja servis room." saran Evan yang dianggguki Dilara."Mas, nanti aku ingin keluar melihat pemandangan di luar." pinta Dilara sedikit merajuk. "Tidak, Dilara. Kamu tetap di kamar tunggu aku sampai selesai meeting." tegas Evan sekali lagi jika dia tidak mau di tolak atau perintahn
"Mas!" suapan buah mangga itu pun terpaksa di hentikan, ketika sang suami sudah membuat keputusan seperti itu. "Mas, kamu membatasiku." ucap Dilara tertunduk menangis dan bergegas berlalu meninggalkan Evan yang masih duduk di kursi tukang rujak. Evan pun segera membayar pesanannya dan mengejar Dilara yang mengalami perubahan sikap. "Dasar!" umpat Evan dan membuka pintu, dan duduk di belakang kemudinya. "Dilara, kenapa kamu seperti anak kecil begini?" Evan menatap Dilara dengan tatapan tidak suka dengan perubahan di dalam diri Dilara. "Mas, aku ingin bekerja, tapi kenapa kamu membatasiku?" ucap Dilara di sela tangisnya."Aku tidak ingin kamu kelelahan." Evan menunjukkkan wajah yang pura-pura cemas dengan kondisi kehamilannya. "Kita pulang!" putus Evan begitu saja dan mulai menstater mobilnya menuju kediaman mereka. ***Sesampainya di rumah Dilara pun membuka pintu dengan kasar. Masih merasakan dongkol di hatinya. "Jauh-jauh aku kuliah sampai Belanda kenapa malah begini, Ya Allah?"
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk
"Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.
"Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang
"Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang
"Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya
"Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk