"Apa ada yang menelpon, Mas?" tanya Dilara yang keluar dari kamar mandi, kaget melihat Evan sedang memegang hpnya. Tapi Dilara harus bersikap santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Memang benar tidak ada apa-apa selain pesan penting dan dari Anonymous.
Tentang Anonymous apa mungkin Dilara mendapat pesan dari dia?Evan pun menunjukkan layar ponsel yang dia pegang pada Dilara. "Ada pesan masuk." katanya dan dia berlalu begitu saja meninggalkan Dilara."Oh. Iya, Mas." ucap Dilara buru-buru membuka hpnya. Senyum tipis terbit begitu saja setelah membaca pesan tersebut.Dari awal Dilara sudah nyaman dengan 'Anonymous', karna dia lah yang sering memberikan perhatian kecil kepada Dilara sewaktu masa kuliah di Jakarta. Hanya saja dia selalu menyamarkan diri.Setiap Dilara menanyakan dia siapa dan keberadaannya dia selalu mengelak tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pernah dulu ketika Dilara mencoba mencari tahu siapa dia lewat mahasiswa IT tapi IP nya tidak terdeteksi, dan ketika Dilara memblokir nomor tersebut dia datang lagi dengan nomor yang hampir sama."Ayo, kita keluar aku sudah lapar." ajak Evan saat melihat Dilara masih memegang hpnya."Iya, Mas." jawab Dilara dan langsung berganti pakaian dan mengoleskan cream pada wajahnya.***Dalam perjalanan pun tidak ada yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.Tiba-tiba saja Dilara meminta Evan menepikan mobilnya. "Mas, tolong tepikan mobilnya. Perutku tidak enak." Dilara pun turun dari mobil setelah mobil Evan menepi di tepian jalan raya. "Hoek! Hoek!" Dilara memutahkan apa yang dia makan seharian ini.Evan yang melihat Dilara muntah pun bertanya dari dalam mobil. "Kamu masuk angin?" tanyanya sedikit heran dengan istrinya yang tadi biasa-biasa saja sekarang tiba-tiba muntah."Gak tau, Mas." ucap Dilara lemas. Evan pun turun dari mobil setelah Dilara membersihkan sisa muntahan yang ada di bibirnya.Saat Evan mendekat lagi-lagi Dilara muntah, kali ini tidak ada yang keluar dari muntahannya. Ya, mereka anak satu-satunya tidak punya sanak saudara yang dekat, dan mereka adalah orang yang sibuk belajar dan berkarir. Mana tau istilah morning sickness setelah berhubungan badan?"Kamu kenapa? Kok aneh begitu?" Evan memicingkan mata saat melihat Dilara yang menjauh saat didekatinya."Mas, aroma parfummu gak enak." jawab Dilara memelas saat Evan memandanginya dengan tatapan kurang suka.Evan yang mendengar jawaban Dilara pun mengendus-enduskan hidungnya di area baju dan pergelangan tangan bagian dalam. "Biasa saja. Ayo cepat, Dil, kalo semua sudah beres aku tunggu di dalam mobil." ucap Evan berlalu begitu saja.Dilara yang masih lemas mau tidak mau berjalan mengikuti arah suaminya menuju mobil mereka. Ketika Dilara membuka pintu belakang Evan pun memicingkan mata melihat aksi istrinya tersebut."Pindah depan, Dil, aku bukan sopirmu." ucapnya tidak mau mendengar bantahan oleh sang istri."Mas, aku gak suka sama aroma-aroma wewangian ini." ucapnya nanar memandangi sang suami. Belum sempat pindah tempat pun Dilara kembali menutup pintu.Evan berdecak sebal melihat Dilara yang terus-terusan muntah. "Apa aku tinggal saja dia di sini dulu?" gumam Evan lalu menstater mobilnya dan berlalu.Dilara yang di tinggal pun mulai overthinking. "Kemana dia?" gumamnya lalu duduk bersandar pada kursi yang tersedia di pinggir jalan itu."Kapan ya aku terakhir menstruasi?" tanya Dilara dalam hati. "Apa aku ini hamil, dan ini adalah morning sickness? Kenapa semenyakitkan ini?" gumam Dilara lagi yang sudah menitikkan air mata sedih dan terharu.Saat Dilara mendongakkan kepala tiba-tiba saja Evan datang dan melemparkan sebuah plastik di pangkuannya. Dilara pun membuka isi plastik tersebut ternyata isinya masker, minyak kayu putih, dan obat-obatan masuk angin lainnya.Evan adalah laki-laki kaku mana tau dia tentang hal yang berhubungan tentang 'wanita'?"Minum obat itu dan olesi tubuhmu dengan minyak setelah itu kita pulang." putusnya kemudian berlalu meninggalkan Dilara begitu saja."Iya." jawab Dilara malas.Sesampainya di dalam mobil Dilara mencoba duduk di depan dan menggunakan masker. Tapi itu tidak berefek apa pun. Hidungnya saat ini terlalu sensitif."Mas, bisa berhenti lagi?" pintanya kepada sang suami."Kamu ada apa? Kenapa kamu aneh begitu?" tidak mengindahkan permintaan sang istri Evan malah menginjak gas supaya lebih cepat pulang ke rumah."Mas, kenapa kamu begini?" Dilara menahan tangis merasakan sakit perut dan perlakuan Evan yang berbanding terbalik dari beberapa minggu yang lalu."Kenapa? Apa kamu lupa kalo aku memang seperti ini dari dulu, Dil?" ucapnya dingin menghunus ulu hati Dilara.Dilara pun diam enggan berdebat lebih lama lagi. Jika berdebat pun dia malah merasakan sakit menahan rasa mualnya. Dilara mencoba memejamkan mata dan menghirup minyak gosok yang dibelikan oleh Evan.Sesampainya di rumah yang berdesain futuristik itu, Dilara langsung berlari ke dalam kamar mandi dekat dapur, ia muntahkan lagi yang ada di dalam perutnya. Badan Dilara sudah lemas dan terduduk di depan closet.Hati Evan melihat Dilara yang terus muntah pun sedikit luruh. "Aku bantu." ucapnya, kemudian di gendong Dilara dalam dekapannya."Mas, aku ingin tidur sendiri." pinta Dilara setelah membersihkan dirinya dan berganti pakaian."Tidak bisa. Aku akan tetap tidur di sini." Evan kekeh pada pendiriannya. Dilara menelan salivanya, dia tidak nyaman tidur bersama Evan. "Apakah di sini ada tespek, Mas?" tanya Dilara mengobrak-abrik isi plastik yang tadi diberikan Evan."Memangnya kenapa cari-cari tespek?" tanyanya malas dan langsung menarik Dilara ke dalam pelukannya. Dilara pun meronta ingin dilepaskan dari pelukan Evan."Mas, kamu ganti baju.." belum usai Dilara berkata perutnya sudah mual lagi."Kenapa dia cari tespek? Apa dia hamil?" senyum Evan terbit begitu saja.Evan pun bisa mengatur Dilara sesuka hatinya termasuk alat komunikasi. Ya, Evan akan menyita alat komunikasi Dilara. Evan cemburu dengan isi pesan di hp istrinya tersebut.Jika hp Dilara bisa berada di tangannya, dia akan meminta bantuan pada tim IT untuk membuka sandi hp Dilara tersebut. Senyum smirk muncul di ujung bibirnya."Dil, besok aku ada rapat ke Bandung. Aku ingin kamu menemaniku." ucapnya kemudian berlalu ke kamar mandi."Iya, Mas." Dilara enggan menjawab pertanyaan Evan, hanya iya dan tidak. Jika pun yang keluar kalimat panjang bisa di pastikan Dilara yang memulai obrolan, atau mereka dalam lingkup ruang kerja yang mengharuskan Dilara 'cerewet'.Malam ini suasana ibukota mendukung mereka untuk tidur terlelap, namun bagi Evan malam ini dia akan 'mengeksplore' sang istri.Dilara pun terbangun melihat Evan yang sudah berada di atas tibuhnya. "Mas, aku masih lemas." ucap Dilara mengiba."Kamu hanya tidur saja." ucap Evan tanpa mau di tolak.Sedangkan Dilara sudah merasakan mual di perutnya, ingin bangkit pun Dilara sudah tidak mampu. Evan sudah menindihnya memutahkan pun tidak mungkin di tempat tidur. Karna tidak bisa menahan akhirnya Dilara memberontak dan berlari ke kamar mandi."Ya Tuhan, kenapa aku seperti ini?" gumam Dilara saat membersihkan tubuhnya."Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya. Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri. "Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut. "Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin. "Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil. "Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi. ***Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan
"Kenapa kalian begitu kaget?" tanya Evan yang heran melihat ekspresi Gustav dan Ridho. "Sebelum menikah gak kamu perkosa kan?" bisik Ridho tepat di telinga Evan. "Bacot lo!" Evan pun berlalu masih memeluk pinggang Dilara secara posesif. "Mas, aku mau ke kamar mandi." pamit Dilara yang langsung berlari ke kamar mandi. Adegan tersebut tidak luput dari dua pasang mata yang jaraknya tidaklah jauh dari mereka. Sesampainya di kamar mandi, Dilara memutahkan semua sarapannya. "Sudah?" tanya Evan yang sudah menunggui Dilara dari tadi di depan toilet. "Iya." jawab Dilara lemas. "Aku antar ke kamar, jika mau apa-apa langsung pesan saja servis room." saran Evan yang dianggguki Dilara."Mas, nanti aku ingin keluar melihat pemandangan di luar." pinta Dilara sedikit merajuk. "Tidak, Dilara. Kamu tetap di kamar tunggu aku sampai selesai meeting." tegas Evan sekali lagi jika dia tidak mau di tolak atau perintahn
"Mas!" suapan buah mangga itu pun terpaksa di hentikan, ketika sang suami sudah membuat keputusan seperti itu. "Mas, kamu membatasiku." ucap Dilara tertunduk menangis dan bergegas berlalu meninggalkan Evan yang masih duduk di kursi tukang rujak. Evan pun segera membayar pesanannya dan mengejar Dilara yang mengalami perubahan sikap. "Dasar!" umpat Evan dan membuka pintu, dan duduk di belakang kemudinya. "Dilara, kenapa kamu seperti anak kecil begini?" Evan menatap Dilara dengan tatapan tidak suka dengan perubahan di dalam diri Dilara. "Mas, aku ingin bekerja, tapi kenapa kamu membatasiku?" ucap Dilara di sela tangisnya."Aku tidak ingin kamu kelelahan." Evan menunjukkkan wajah yang pura-pura cemas dengan kondisi kehamilannya. "Kita pulang!" putus Evan begitu saja dan mulai menstater mobilnya menuju kediaman mereka. ***Sesampainya di rumah Dilara pun membuka pintu dengan kasar. Masih merasakan dongkol di hatinya. "Jauh-jauh aku kuliah sampai Belanda kenapa malah begini, Ya Allah?"
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk
"Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.
"Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang
"Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya
"Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk