Share

BAB 2

Penulis: Dewi Anggorowati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Diammu, aku anggap sebagai persetujuan Dilara." ucap Evan. "Aku sudah menunggu seperti ini sejak kamu masuk ke dalam kehidupanku lagi, Dilara." lanjutnya lagi dengan suara tercekat.

Dilara diam sejenak menanggapi permintaan Evan, setengah hati mengiyakan, setengah hati ingin menolak. Tapi jika menolak pun itu hal mustahil bagi Dilara, mana mungkin bisa?

Dilara pun pasrah. "Silahkan, lakukan apa yang kamu inginkan, Mas." Dilara pun akhirnya memberikan ijin pada Evan.

Dilara tidak bisa mengelak dari permintaan Evan. Mereka sama-sama sudah dewasa usia juga sama, latar pendidikan, dan pengaruh pergaulan mereka membahas hal-hal seperti seks bukanlah hal tabu bagi mereka yang pernah hidup di negara 'bebas'.

Meskipun mereka pernah hidup di negara bebas seperti itu, tapi pendidikan moral mereka tetap berpegang teguh sesuai ajaran yang telah mereka terima sejak kecil.

***

"Kamu bisa jalan, Dil?" ucapnya khawatir pada kondisi Dilara pagi ini yang berjalan terlihat aneh.

"Bisa, Mas. Aku bukan gadis kecil." seloroh Dilara begitu saja. "Ya, walaupun agak terasa aneh." Dilara menjelaskan dengan suara lirih lalu melanjutkan berjalan menuju kamar mandi.

Evan tersenyum 'menang'. "Akhirnya aku mendapatkan Dilara juga!" sorak dalam hatinya. "Dilara, kamu seperti oase bagiku." gumamnya lagi, lalu beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.

"Mas!" teriak Dilara terkejut melihat sang suami sudah menyusulnya.

"Kenapa kaget seperti itu, Dil?" tanya Evan heran melihat ekspresi suaminya. "Aku mau 'membantumu' mandi, Dil." ucap Evan yang sudah melepaskan baju dan ikut Dilara masuk ke dalam bathup.

Dilara enggan berdebat karna permainan Evan yang semalam dia merasakan lelah disekujur tubuhnya. "Mas, aku lelah, jangan mulai." peringat Dilara ketika tangan Evan sudah bergerilya kemana-mana.

"Kamu bagai candu, Dilara." ucapnya mencoba merayu sang istri.

"Kenapa kamu menikahiku, Mas?" Dilara mencoba mengalihkan perhatian Evan dengan mempertanyakan niat Evan menikahinya.

"Karna kamu takdirku, Dil." ucap Evan pendek. "Seandainya kamu tahu, Dil. Aku tertarik padamu sudah dari awal pertama kali aku melihatmu. Wajah ayumu tidak bisa aku lupakan." gumam Evan dalam hati.

Dilara yang mendengar jawaban Evan hanya diam dan menganggukkan kepala. Dilara alihkan pandangannya keluar jendela.

Seusai ritual mandi 'bareng', mereka pun mencari sarapan di restoran hotel. Tanpa mereka tahu Gustav sang sahabat Evan sudah duduk di salah satu meja.

Gustav yang melihat mereka sedang mencari tempat duduk pun melambaikan tangan. "Di sini." ucapnya dengan suara pelan tapi mimik bicara masih bisa terlihat jelas oleh Evan. "Pengantin baru, jam segini baru cari sarapan." godanya kepada Dilara dan Evan setelah mereka duduk dan memesan makanan.

Evan tertawa mendengar godaan Gustav, tapi Dilara tersenyum malu-malu kucing. Ada semburat merah di pipinya. Gustav yang melihat reaksi Dilara pun segera dia alihkan pandangannya. Tidak mau melihat Dilara terlalu lama, itu akan menyakiti hatinya.

"Amara bagaimana kabarnya?" tanya Gustav setelah dia bisa mengendalikan diri dengan perasaannya.

"Tadi malam kalian tidak bertemu?" Evan yang menjawabnya, bukan Dilara.

"Tidak." jawabnya, memang tadi malam Gustav tidak mengikuti acara sampai selesai. "Aku di sini hanya beberapa hari lagi. Apa kalian tidak mau ikut denganku ke Aussie untuk berbulan madu di sana?" tawar Gustav kepada pasangan pengantin baru itu.

Dilara hanya diam menikmati makanan yang sudah terhidang, mendengar keputusan apa yang akan Evan berikan.

"Kamu mau bulan madu kemana, Sayang?" ucapnya masih lembut.

Gustav yang mendengar suara lembut dan panggilan 'sayang' yang disematkan oleh Evan merasakan ketidak nyamanan di indera pendengarannya.

"Terserah." jawab Dilara cuek masih menikmati makanan yang tersaji.

Gustav yang mendengar jawaban Dilara lantas tersenyum tipis. "Ya, mereka memang menikah karna terpaksa." hibur Gustav dalam hati, seperti belum rela sang pujaan hati jatuh ke tangan Evan. Tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jarak antara Indonesia dan Aussie tidak lah dekat.

Saat Dilara sedang dalam kondisi berduka Gustav tidak bisa terbang ke Indonesia lebih tepatnya tempat tinggal Dilara. Gustav di sana sedang disibukkan dengan berbagai kegiatan perusahaan yang di pimpinnya.

Kondisi seperti itu membuat Evan lebih maju darinya, dan sang pujaan hati jatuh kedalam pelukan Evan.

"Aku ke kamar mandi dulu." ucap Evan dan mereka yang di tinggalkan pun hanya menganggukkan kepala saja.

"Apa kamu bahagia, Dil?" tanya Gustav setelah kepergian Evan.

"Apa aku harus tidak bahagia?" ucap Dilara balik bertanya dan menatap mata Gustav yang kurang bersemangat.

"Dia sangat mencintaimu, Dil." helaan napas keluar dari mulut Gustav, yang harus mengakui kalo Evan sudah lebih baik dari ini. "Apa kamu nanti akan lanjut bekerja?" tanyanya lagi ingin tahu gambaran pernikahan Dilara dan Evan kedepannya.

"Iya, aku harus bekerja Gus. Aku tidak bisa berpangku tangan. Kamu bisa lihat sendiri kondisi keluargaku." ucap Dilara pelan lalu menundukkan kepala enggan membahas yang menurutnya hal sensitif pada siapapun.

"Maaf." katanya yang melihat Dilara menundukkan kepala. "Aku tidak bermaksud mengusik ketenanganmu, Dil." sesal Gustav atas pertanyaan yang dia ajukan pada Dilara.

"Kalian seru sekali ngobrolnya." seloroh Evan ketika melihat mereka mengobrol, dan saat Evan berjalan mendekati meja, mereka diam seribu bahasa.

"Biasa reuni. Kamu dulu juga pernah ke Belanda kan, Van?" Gustav mengalihkan pembicaraan yang kini terfokuskan hanya pada Evan.

"Dulu setelah lulus kuliah. Aku satu pesawat dengan Dilara." ucapnya menatap sang istri yang kembali menundukkan kepala. "Setelah itu aku langsung ke Korea." kenang Evan terkekeh tentang masa lalunya.

"Oh, iya, apa kalian pernah menjalin hubungan?" tanya Evan penasaran saat melihat keakraban Dilara dan Gustav.

"Kenapa memangnya?" Gustav balik bertanya kepada Evan. "Jika aku pernah menjalin hubungan dengan Dilara apa kalian akan bercerai?" tanya Gustav menantang pertanyaan Evan.

Evan yang ditanya hanya mengedikkan bahu cuek, tetapi Dilara langsung membelalakkan matanya tidak habis pikir dengan apa yang di ucapkan Gustav.

"Kenapa kamu, Dil?" tegur Evan yang melihat Dilara sedikit aneh. "Kaget? Biasa saja kali." Evan mengibaskan tangannya di depan wajah Dilara.

Sebenarnya dalam hatinya sudah ketar-ketir akan hal ini.

Semenjak kepergian Gustav ke Aussie dan Dilara ke Belanda, Evan bisa menarik nafas lega. Tapi di pertengahan semester dia melihat unggahan story i*******m Gustav yang sedang berada di Kanal Amsterdam bersama Dilara.

Saat itu pula Evan harus mendapatkan Dilara, hingga akhirnya Amara dijadikan umpan untuk menarik Dilara di perusahaannya.

"Aku tau kita dari awal bersaing untuk mendapatkan Dilara, Gus." gumam Evan dalam hati. "Tapi untuk kali ini aku tidak akan melepaskannya, Gus." batin Evan geram, jika dia tidak akan melepaskan Dilara barang sedikit pun.

Bab terkait

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 3

    "Kenapa memangnya?" tantang Gustav begitu saja. Dilara yang mendengar pun mendongakkan kepala menatap Gustav. Di mata Gustav terlihat jelas ada luka yang menganga. "Jangan cemburu, itu hanya cerita masa lalu." sengaja Gustav memprofokasi Evan yang sedang cemburu. "Sebaiknya kita pergi saja." ucap Dilara enggan jika harus mengorek masa lalu mereka. Di korek pun tidak akan ada perubahan apa pun. "Kita juga harus check out kan?" Dilara mengingatkan Evan agar segera kembali ke kamar untuk berkemas pakaian dan pulang mengantarkan sang ayah. "Kami duluan." Evan berpamitan dan merangkul Dilara secara posesif. Mereka pun berjalan menjauh dari tempat yang mereka duduki tadi. Gustav yang melihat itu melengos ada rasa tidak nyaman menghampiri dadanya, Gustav kalah langkah dari Evan. Seandainya dia bisa lebih dulu, hanya sesal yang kini bisa di lakukannya. ***Saat mereka sedang berkemas, hp Dilara berbunyi menandakan ada pesan masuk. Melalui pop-up Dilara tau siapa si pengirim pesan. Anonym

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 4

    Dilara yang mendengar usulan Evan pun mendongakkan kepalanya. "Mas, aku lagi berduka." ucapnya lirih. "Aku tau, tapi aku tidak bisa melihatmu begini, Dil." sanggah Evan dengan keputusannya. "Baiklah tiga hari kita di sini, Dil. Setelah itu kita kembali ke Jakarta." Evan sedikit demi sedikit akan menunjukkan taringnya pada Dilara. Dilara hanya mampu menganggukkan kepala pasrah. Dan jika terlalu lama berada di desa Dilara tidak yakin bisa berkembang lagi, dia harus mencari kesibukan untuk mengalihkan hatinya yang sedang berduka. ***Tiga hari sudah mereka di desa sekarang waktunya kembali ke kota. Setelah cuti panjang Dilara di berikan ijin untuk bekerja di perusahaan Evan lagi. Perusahaannya sedang menangani proyek baru pembangunan jalan tol. "Sudah selesai, Dil?" tanya Evan tanpa memandang Dilara, masih fokus dengan tabletnya. "Ayo." Dilara pun sudah merapikan tempat sarapan mereka dan sudah siap untuk berangkat kerja bareng. Tidak ada suara satu sama lain yang mengisi mobil ter

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 5

    "Apa ada yang menelpon, Mas?" tanya Dilara yang keluar dari kamar mandi, kaget melihat Evan sedang memegang hpnya. Tapi Dilara harus bersikap santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Memang benar tidak ada apa-apa selain pesan penting dan dari Anonymous. Tentang Anonymous apa mungkin Dilara mendapat pesan dari dia?Evan pun menunjukkan layar ponsel yang dia pegang pada Dilara. "Ada pesan masuk." katanya dan dia berlalu begitu saja meninggalkan Dilara. "Oh. Iya, Mas." ucap Dilara buru-buru membuka hpnya. Senyum tipis terbit begitu saja setelah membaca pesan tersebut.Dari awal Dilara sudah nyaman dengan 'Anonymous', karna dia lah yang sering memberikan perhatian kecil kepada Dilara sewaktu masa kuliah di Jakarta. Hanya saja dia selalu menyamarkan diri. Setiap Dilara menanyakan dia siapa dan keberadaannya dia selalu mengelak tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pernah dulu ketika Dilara mencoba mencari tahu siapa dia lewat mahasiswa IT ta

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 6

    "Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya. Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri. "Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut. "Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin. "Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil. "Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi. ***Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 7

    "Kenapa kalian begitu kaget?" tanya Evan yang heran melihat ekspresi Gustav dan Ridho. "Sebelum menikah gak kamu perkosa kan?" bisik Ridho tepat di telinga Evan. "Bacot lo!" Evan pun berlalu masih memeluk pinggang Dilara secara posesif. "Mas, aku mau ke kamar mandi." pamit Dilara yang langsung berlari ke kamar mandi. Adegan tersebut tidak luput dari dua pasang mata yang jaraknya tidaklah jauh dari mereka. Sesampainya di kamar mandi, Dilara memutahkan semua sarapannya. "Sudah?" tanya Evan yang sudah menunggui Dilara dari tadi di depan toilet. "Iya." jawab Dilara lemas. "Aku antar ke kamar, jika mau apa-apa langsung pesan saja servis room." saran Evan yang dianggguki Dilara."Mas, nanti aku ingin keluar melihat pemandangan di luar." pinta Dilara sedikit merajuk. "Tidak, Dilara. Kamu tetap di kamar tunggu aku sampai selesai meeting." tegas Evan sekali lagi jika dia tidak mau di tolak atau perintahn

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 8

    "Mas!" suapan buah mangga itu pun terpaksa di hentikan, ketika sang suami sudah membuat keputusan seperti itu. "Mas, kamu membatasiku." ucap Dilara tertunduk menangis dan bergegas berlalu meninggalkan Evan yang masih duduk di kursi tukang rujak. Evan pun segera membayar pesanannya dan mengejar Dilara yang mengalami perubahan sikap. "Dasar!" umpat Evan dan membuka pintu, dan duduk di belakang kemudinya. "Dilara, kenapa kamu seperti anak kecil begini?" Evan menatap Dilara dengan tatapan tidak suka dengan perubahan di dalam diri Dilara. "Mas, aku ingin bekerja, tapi kenapa kamu membatasiku?" ucap Dilara di sela tangisnya."Aku tidak ingin kamu kelelahan." Evan menunjukkkan wajah yang pura-pura cemas dengan kondisi kehamilannya. "Kita pulang!" putus Evan begitu saja dan mulai menstater mobilnya menuju kediaman mereka. ***Sesampainya di rumah Dilara pun membuka pintu dengan kasar. Masih merasakan dongkol di hatinya. "Jauh-jauh aku kuliah sampai Belanda kenapa malah begini, Ya Allah?"

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 9

    "Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 10

    "Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.

Bab terbaru

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 17

    "Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 16

    "Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 15

    Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 14

    "Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 13

    "Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 12

    "Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 11

    "Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 10

    "Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.

  • Suamiku Seorang Diktator   BAB 9

    "Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk

DMCA.com Protection Status