"Saya terima nikah dan kawinnya Dilara Abraham binti Abraham Wahyudi dengan perhiasan emas seberat 88 gram dan uang sebesar 150 juta di bayar tunai." suara lantang Evan yang sedang berjabat tangan dengan Bapak, menjawab ikrar ijab kabul yang di saksikan oleh para saksi dan tamu.
"Sah?" tanya penghulu pada saksi kedua belah pihak. Dari pihak mempelai laki-laki dan pihak perempuan."Sah" jawab saksi-saksi tersebut.Semua orang yang hadir pun bersuka cita mendengar kata "SAH" tersebut.Termasuk Bapak, Beliau memperlihatkan senyuman damai di wajahnya. Beliau begitu bahagia bisa melihat anak gadis satu-satunya menikah di usia yang hampir memasuki 30 tahun.Demi Bapak orang tua satu-satunya yang aku miliki, aku belajar ikhlas untuk menerima pinangan dari Evan.Mulai hari ini statusku sudah berganti yang dulunya seorang wanita lajang, sekarang sudah berganti menjadi Nyonya. Yang dulunya orang sering memandang sebelah mata, kini mereka hormat. Ya, ini semua karna Evan. Harta dan kedudukan memang menyilaukan mata.Miris bukan?***Acara resepsi berlangsung di sebuah hotel mewah di kota Jakarta yang telah di reservasi oleh keluarga Evan. Segala rangkaian acara telah berlangsung dan selesai malam ini. Lelah pun mulai melanda tubuhku, aku berpamitan kepada keluarga besar Evan dan keluargaku, untuk segera masuk ke dalam kamar hotel melepas lelah.Sesampainya di kamar, aku rebahkan tubuhku di atas kasur empuk, aku pandangi langit-langit kamar yang sudah di hias begitu mewahnya. "Evan benar-benar membawa perubahan nyata pada kehidupanku. Apakah dia sudah bisa bersikap lebih baik lagi? Atau bahkan lebih buruk?" pikirku menerawang mengenang masa lalu.Saat aku sedang bergemelut dengan pikiranku, tiba-tiba terdengar suara engsel pintu kamar hotel terbuka. Aku menolehkan kepala memandangi sosok lelaki yang telah menjadi suamiku.Evan berjalan menghampiriku yang sudah berada di atas tempat tidur. "Kamu selalu cantik Dilara. Dari dulu sampai sekarang, kamu selalu mempesona." bisik Evan setelah merebahkan tubuhnya di samping kanan ku. Aku terperanjat mendengarkan suara sensual yang keluar dari mulut Evan.Aku pun menoleh memandangi wajahnya, aku mengerutkan alis. "Apa maksudmu mempesona dari dulu, Mas?" dulu sewaktu kuliah, aku hanya memanggil namanya dengan sebutan Evan dan 'Bapak' sebagai atasanku di tempat kerja karna dia adalah direktur utama, sekarang dia sudah menjadi suamiku dan aku pun harus menyesuaikan panggilan menjadi 'Mas'.Evan terkekeh. "Manis juga kamu panggil aku dengan sebutan kata 'Mas', Dilara." bukan menanggapi pertanyaanku, tapi Evan malah menanggapi panggilanku kepadanya. Aku yang mendengar itu pun melengos, aku alihkan pandanganku ke langit-langit kamar lagi.Hening.Aku enggan membahas sesuatu jika tidak Evan yang memulai. Aku memang seorang pendiam, tapi terkadang aku juga bisa menjadi orang yang cerewet jika aku berada di tempat dan teman yang menurutku 'nyaman'.Evan pun mulai memecah kesunyian. "Sayang." panggilnya kepadaku, aku pun masih memandangi langit kamar enggan menatap wajahnya. "Sayang, apa kah kamu tidak ingin memberikan aku hak?" tanyanya, lalu hembusan napas keluar dari mulutnya.Aku pandangi Evan, lalu aku bangun dari posisi tidurku. Aku dudukkan tubuhku. "Aku akan bersih-bersih dulu, Mas. Sebaiknya kamu juga harus membersihkan tubuhmu, Mas." ujarku, lalu aku pun mulai berjalan ke toilet, aku harus membersihkan wajahku dan berganti baju.Aku adalah wanita yang hampir berusia 30 tahun, aku paham apa yang Evan katakan dan inginkan. Aku adalah orang yang open minded, dulu sewaktu aku di Luar Negeri aku sering menjumpai hal-hal semacam itu."Mau aku bantu?" tanyanya ketika melihat gaun yang aku pakai begitu 'ribet' untuk di lepas."Boleh!" jawabku memberikan ijin pada Evan untuk membantuku melepas gaun dan perintilan yang bersemayam di hijabku.Evan pun memintaku untuk duduk di atas tatakan wastafel. Ia pun mulai beraksi tangannya begitu lincah melepas satu persatu jarum pentul dan mahkota yang berada di kepalaku."Kamu mau lepas hijabmu apa gaunmu dulu, Dilara?" tanyanya ketika semua perintilan sudah terlepas kini tinggal hijab dan gaun yang masih aku kenakan.Aku pun turun dari wastafel membalikkan tubuh membelakangi Evan. "Tolong, turunkan resletingnya. Sisanya biar aku yang lepas." Evan pun manut dengan apa yang aku perintahkan. "Kamu bisa keluar dulu, Mas. Nanti kita gantian." seloroh Dilara begitu saja."Iya." jawab Evan enteng mulai meninggalkan toilet, memberikan ruang dan waktu untuk Dilara merilekskan diri.Dilara mulai menghapus make upnya, ia basuh wajahnya dengan sabun, kemudian Dilara berendam di dalam bathup yang sudah terisi air dan wewangian aromatherapy.***Satu jam sudah Dilara berada di dalam kamar mandi. "Apa dia lupa dengan janjinya malam ini?" gerutu Evan dan mulai memutar engsel pintu kamar mandi. "Ternyata tidak di kunci." lega itulah yang dirasakan Evan.Dilara lupa mengunci kamar mandi saat Evan keluar dari sana dan dia harus membereskan semua yang ada di badannya. Sungguh merepotkan."Dilara?" tanyanya begitu halus pada Dilara, ia tepukkan tangan kanannya ke pipi Dilara. "Bangun Dilara." ucapnya lagi membangunkan Dilara.Dilara memang begitu kelelahan sebelum cuti untuk pernikahannya dia wara-wiri ke proyek yang sedang massa pembangunan dan harus menjemput keluarganya ke Jakarta untuk prosesi pernikahannya.Mata yang terpejam itu, mulai membuka kelopak matanya. "Mas, apa yang kamu lakukan?" pekiknya setelah mata bulat itu terbuka memandangi Evan yang sudah duduk di pinggir bathup menggunakan bath robes."Apa kamu lupa, Dilara?" Evan mengingatkan Dilara ritual malam pasangan pengantin baru. Dilara yang di pandang Evan secara intens menunduk malu. Mereka dalam posisi yang awkward."Kamu segera bersihkan tubuhmu di bawah shower, Dilara. Aku sudah membersihkan tubuhku." ucapnya begitu saja berlalu meninggalkan Dilara.Dilara menarik napas dan menghembuskan secara perlahan. Dilara pun bangkit dari bathup dan mengguyur tubuhnya di bawah shower sesuai dengan instruksi Evan. Setelah itu Dilara keluar menggunakan bath robes sama seperti Evan, dan bath towel terlilit di rambutnya.Evan pun menghampiri Dilara untu duduk di depan cermin tolet yang ada di dalam kamar hotel. Tanpa banyak bantahan Dilara menuruti Evan. Evan mulai melepas bath towel dan mengeringkan rambut Dilara dengan hair dryer.Terpesona itu lah yang sedang Evan rasakan. Primadona kampus yang lugu sekarang sudah berada di bawah kuasanya. Evan tersenyum smirk, yang bisa di lihat oleh Dilara. "Ada apa, Mas?" tanyanya memecah keheningan."Aku ingin hakku sekarang, Dilara." pintanya lagi. Sebelum Dilara menjawab Evan sudah menggendong tubuh Dilara, lalu dia rebahkan tubuh itu di atas kasur empuk. "Bagaimana, Dilara? Bukankah kamu sudah paham dengan rules pengantin baru?" ucapnya yang mampu membuat wajah Dilara merah padam."Diammu, aku anggap sebagai persetujuan Dilara." ucap Evan. "Aku sudah menunggu seperti ini sejak kamu masuk ke dalam kehidupanku lagi, Dilara." lanjutnya lagi dengan suara tercekat. Dilara diam sejenak menanggapi permintaan Evan, setengah hati mengiyakan, setengah hati ingin menolak. Tapi jika menolak pun itu hal mustahil bagi Dilara, mana mungkin bisa?Dilara pun pasrah. "Silahkan, lakukan apa yang kamu inginkan, Mas." Dilara pun akhirnya memberikan ijin pada Evan. Dilara tidak bisa mengelak dari permintaan Evan. Mereka sama-sama sudah dewasa usia juga sama, latar pendidikan, dan pengaruh pergaulan mereka membahas hal-hal seperti seks bukanlah hal tabu bagi mereka yang pernah hidup di negara 'bebas'. Meskipun mereka pernah hidup di negara bebas seperti itu, tapi pendidikan moral mereka tetap berpegang teguh sesuai ajaran yang telah mereka terima sejak kecil. ***"Kamu bisa jalan, Dil?" ucapnya khawatir pada kondisi Dilara pagi ini yang berjalan terlihat aneh. "Bisa, Mas. Aku bu
"Kenapa memangnya?" tantang Gustav begitu saja. Dilara yang mendengar pun mendongakkan kepala menatap Gustav. Di mata Gustav terlihat jelas ada luka yang menganga. "Jangan cemburu, itu hanya cerita masa lalu." sengaja Gustav memprofokasi Evan yang sedang cemburu. "Sebaiknya kita pergi saja." ucap Dilara enggan jika harus mengorek masa lalu mereka. Di korek pun tidak akan ada perubahan apa pun. "Kita juga harus check out kan?" Dilara mengingatkan Evan agar segera kembali ke kamar untuk berkemas pakaian dan pulang mengantarkan sang ayah. "Kami duluan." Evan berpamitan dan merangkul Dilara secara posesif. Mereka pun berjalan menjauh dari tempat yang mereka duduki tadi. Gustav yang melihat itu melengos ada rasa tidak nyaman menghampiri dadanya, Gustav kalah langkah dari Evan. Seandainya dia bisa lebih dulu, hanya sesal yang kini bisa di lakukannya. ***Saat mereka sedang berkemas, hp Dilara berbunyi menandakan ada pesan masuk. Melalui pop-up Dilara tau siapa si pengirim pesan. Anonym
Dilara yang mendengar usulan Evan pun mendongakkan kepalanya. "Mas, aku lagi berduka." ucapnya lirih. "Aku tau, tapi aku tidak bisa melihatmu begini, Dil." sanggah Evan dengan keputusannya. "Baiklah tiga hari kita di sini, Dil. Setelah itu kita kembali ke Jakarta." Evan sedikit demi sedikit akan menunjukkan taringnya pada Dilara. Dilara hanya mampu menganggukkan kepala pasrah. Dan jika terlalu lama berada di desa Dilara tidak yakin bisa berkembang lagi, dia harus mencari kesibukan untuk mengalihkan hatinya yang sedang berduka. ***Tiga hari sudah mereka di desa sekarang waktunya kembali ke kota. Setelah cuti panjang Dilara di berikan ijin untuk bekerja di perusahaan Evan lagi. Perusahaannya sedang menangani proyek baru pembangunan jalan tol. "Sudah selesai, Dil?" tanya Evan tanpa memandang Dilara, masih fokus dengan tabletnya. "Ayo." Dilara pun sudah merapikan tempat sarapan mereka dan sudah siap untuk berangkat kerja bareng. Tidak ada suara satu sama lain yang mengisi mobil ter
"Apa ada yang menelpon, Mas?" tanya Dilara yang keluar dari kamar mandi, kaget melihat Evan sedang memegang hpnya. Tapi Dilara harus bersikap santai, seolah-olah tidak ada apa-apa. Memang benar tidak ada apa-apa selain pesan penting dan dari Anonymous. Tentang Anonymous apa mungkin Dilara mendapat pesan dari dia?Evan pun menunjukkan layar ponsel yang dia pegang pada Dilara. "Ada pesan masuk." katanya dan dia berlalu begitu saja meninggalkan Dilara. "Oh. Iya, Mas." ucap Dilara buru-buru membuka hpnya. Senyum tipis terbit begitu saja setelah membaca pesan tersebut.Dari awal Dilara sudah nyaman dengan 'Anonymous', karna dia lah yang sering memberikan perhatian kecil kepada Dilara sewaktu masa kuliah di Jakarta. Hanya saja dia selalu menyamarkan diri. Setiap Dilara menanyakan dia siapa dan keberadaannya dia selalu mengelak tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Pernah dulu ketika Dilara mencoba mencari tahu siapa dia lewat mahasiswa IT ta
"Aku harus melakukan sesuatu." ucap Evan bangkit dari tempat tidur dan memakai pakaian yang tadi telah di lepasnya. Evan pun menyambar kunci mobil yang ada di atas meja nakas. "Semoga perkiraanku benar, kalo Dilara sedang hamil tak akan aku lepaskan barang secuil pun." ucap Evan yang sudah duduk di belakang kemudinya. Jam sudah menunjukkan di angka 23.30 WIB, Evan pun bergegas mencari apotek 24 jam untuk membelikan tes peck pada sang istri. "Mbak, ada tes peck?" tanyanya kepada salah satu penjaga apotek tersebut. "Iya, ada, Pak. Bapak mau cari yang bagaimana?" tanya penjaga apotek sesopan mungkin. "Yang paling bagus, Mbak." jelas Evan memilih tes peck yang seakurat mungkin untuk memastikan jika istrinya benar-benar sedang hamil. "Ini, Pak." sang pegawai apotek menyodorkan tes peck dan Evan menyodorkan uang sebagai alat transaksi. ***Sesampainya di rumah Evan sudah mendapati sang istri tertidur pulas. Dia menyunggingkan
"Kenapa kalian begitu kaget?" tanya Evan yang heran melihat ekspresi Gustav dan Ridho. "Sebelum menikah gak kamu perkosa kan?" bisik Ridho tepat di telinga Evan. "Bacot lo!" Evan pun berlalu masih memeluk pinggang Dilara secara posesif. "Mas, aku mau ke kamar mandi." pamit Dilara yang langsung berlari ke kamar mandi. Adegan tersebut tidak luput dari dua pasang mata yang jaraknya tidaklah jauh dari mereka. Sesampainya di kamar mandi, Dilara memutahkan semua sarapannya. "Sudah?" tanya Evan yang sudah menunggui Dilara dari tadi di depan toilet. "Iya." jawab Dilara lemas. "Aku antar ke kamar, jika mau apa-apa langsung pesan saja servis room." saran Evan yang dianggguki Dilara."Mas, nanti aku ingin keluar melihat pemandangan di luar." pinta Dilara sedikit merajuk. "Tidak, Dilara. Kamu tetap di kamar tunggu aku sampai selesai meeting." tegas Evan sekali lagi jika dia tidak mau di tolak atau perintahn
"Mas!" suapan buah mangga itu pun terpaksa di hentikan, ketika sang suami sudah membuat keputusan seperti itu. "Mas, kamu membatasiku." ucap Dilara tertunduk menangis dan bergegas berlalu meninggalkan Evan yang masih duduk di kursi tukang rujak. Evan pun segera membayar pesanannya dan mengejar Dilara yang mengalami perubahan sikap. "Dasar!" umpat Evan dan membuka pintu, dan duduk di belakang kemudinya. "Dilara, kenapa kamu seperti anak kecil begini?" Evan menatap Dilara dengan tatapan tidak suka dengan perubahan di dalam diri Dilara. "Mas, aku ingin bekerja, tapi kenapa kamu membatasiku?" ucap Dilara di sela tangisnya."Aku tidak ingin kamu kelelahan." Evan menunjukkkan wajah yang pura-pura cemas dengan kondisi kehamilannya. "Kita pulang!" putus Evan begitu saja dan mulai menstater mobilnya menuju kediaman mereka. ***Sesampainya di rumah Dilara pun membuka pintu dengan kasar. Masih merasakan dongkol di hatinya. "Jauh-jauh aku kuliah sampai Belanda kenapa malah begini, Ya Allah?"
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk
"Mas, aku mau minta izin pergi ketemu dengan Amara," pesan sudah terkirim.Dilara menunggu dengan hati berdebar. Menantikan suaminya segera membalas pesannya. "Ya!" saat membaca pesan balasan dari Evan, Dilara dengan senang hati mempersiapkan dirinya dan Julia untuk segera pergi menemui Amara. ***Saat melihat Dilara memasuki ruangan restoran dengan kesusahan, Amara bangkit dari duduknya membantu Dilara membawakan tas diapers baby. "Tidak usah repot-repot, Ra," tolak Dilara halus. "Bantu saja gak masalah kok," balas Amara menandakan dirinya tidak keberatan membantu Dilara."Gimana acara bulan madunya?" tanya Dilara antusias. Amara menyunggingkan senyum sebelum menjawab. "Luar biasa, Dil," pekiknya bersemu merah. "Baguslah, kalau begitu, Ra. Aku ikut senang," sahut Dilara. "Ngomong-ngomong, kamu gak kerja lagi, Ra?" tanya Dilara penasaran. "Kerja, Dil. Ini masih cuti, Dil," jawab Amara me
"Ternyata kamu sangat menyukai permainan kasar seperti ini, Istriku," ejek Evan dengan seringaian di wajahnya. "Nanti bisa kita ulang lagi dengan yang lebih kasar dan menuntut," lagi ucapan Evan sangat merendahkannya. Dilara melengoskan wajahnya, enggan menatap wajah suaminya dan segera bangkit dari tidurnya. Dengan gerakan cepat, Dilara menyambar selimut, benda yang menutupi tubuh mereka selama bergemul tadi. Mereka? Bukankah hanya Evan saja yang bisa merasakan turn on sedangkan Dilara tertekan dibawah kungkungannya?Dengan gerakan cepat pula, tangan Evan menyambar selimut yang menutupi tubuh Dilara. Dilara terhuyung, dengan gerakan cepat, Evan menangkap tubuh itu sebelum jatuh ke lantai. "Kenapa buru-buru, Sayang? Bukankah tadi aku bilang mau mengulanginya lagi? Atau kamu mau permainan kita lanjutkan di sana?" lirik Evan pada pintu kamar mandi. Dilara menelan salivanya dengan susah payah. Dengan gerakan kaku dia gerakkan kepala meng
Evan yang menyadari ponsel Dilara tertinggal di rumah menjadi kalut. Bahkan meetingnya berjalan alot. Pikirannya bercabang. "Bagaimana, Pak Evan?" tanya Pak Rahardi saat pengajuan proposal yang sudah mereka bahas tadi. Evan mengerjapkan matanya, lamunannya buyar. "Oh, maaf, Pak," jawabnya canggung. "Bagaimana kalo saya pelajari dulu, Pak?" lanjutnya kikuk. Rahardi berdecak kecil, sudah capek-capek asistennya menerangkan tapi yang diterangkan malah melamun ."Baiklah, saya tunggu persetujuan anda nanti sore," balas Rahardian."Terima kasih, Pak," ucap Evan menyunggingkan senyum tipis. Sehari ini Evan uring-uringan sendiri, bahkan tadi sudah berniat membatalkan meetingnya tapi tidak bisa ia batalkan begitu saja. Selepas kepergian Rahardi, Evan mengendurkan dasinya dan membuka dua kancing kemejanya. Pikirannya melalang buana. Entah seberapa besar efek ponsel tersebut sehingga membuat dia kalang kabut.
"Aku tidak bisa bertindak gegabah, aku harus memikirkan nasib Dilara nantinya bagaimana. Aku lebih menyayangkan Dilara daripada Evan." Gustav masih bergelut dengan pikirannya sendiri di luar ballroom hotel tersebut. Sekembalinya Gustav dari luar, Gustav memindai ruangan yang banyak dihiasi lampu dan bunga-bunga sebagai dekorasi itu dengan seksama. Tapi objek yang dia cari tak ada lagi di ballroom. Gustav menghampiri Amara dan Ridho yang berada di atas kursi pelaminan. "Kamu tahu di mana mereka?" tanya Gustav dengan raut wajah gusar. "Mereka sudah pulang dari tadi," jawab Amara dan Ridho serempak. Mendengar jawaban itu pun, riak wajah Gustav menjadi pucat pasi. Ia jalan menuruni anak tangga panggung mempelai, dan mencari kursi kosong, ia hempaskan bokongnya di kursi kosong tersebut. Gustav menarik napas dalam dan mengeluarkannya secara teratur. Dadanya menjadi tidak tenang, berdebar tak karuan, gelisah membayangkan Dilara sekembalinya
"Tenang saja! Aman!" Amara seolah-olah mengikuti permintaan Evan, padahal ia tidak bisa melihat sahabatnya terpuruk seperti itu. ***Gustav berdiri di depan jendela, ia pandangi kota Melbourne. Ponsel yang tadi ia gunakan untuk berkomunikasi, ia genggam kuat-kuat. "Dilara," gumamnya tersenyum simpul.Pikiran Gustav mengangan-angan tentang awal mula dia bertemu dengan Dilara. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Gustav dari awal menyukai Dilara. Bahkan Evan pun.Perjumpaan pertama kali yang tidak disengaja saat di dekat ruang rektorat kampus kala itu. "Maaf, saya mau ke ruangan administrasi. Letaknya dimana ya, Mas?" Dilara yang saat itu kebingungan, mencari ruangan untuk mengurus beasiswanya. Gustav tak mengedipkan mata sedetik pun melihat gadis dihadapannya, gadis lugu dan polos membuat hatinya berdesir pada pandangan pertaman. "Mas? Bisa tunjukkan saya dimana letak ruangan administrasi?" ulang Dilara yang melih
"Dil, bangunlah!" ucap Evan menatap ruangan yang tertutup pintu kaca tersebut. Seolah hatinya terketuk, Evan memandangi pintu itu dengan pandangan nanar. Seminggu sudah Dilara terbaring di atas brankar rumah sakit tersebut. Entah mendengar suara Evan yang berada di luar atau mungkin alam bawah sadarnya, Dilara meneteskan air mata. Tangannya memberikan respon dengan gerakan lambat. Evan yang mengamati pergerakan jari-jari Dilara yang bergerak melambat tersebut, memanggil dokter. "Dokter! Dokter!" teriak Evan ke segala penjuru, "Dokter!" kali ini rombongan dokter dan perawat datang masuk ke dalam ruangan Dilara, memeriksa sudah ada kemajuan atau belum.Dilara sudah membaik dan sadar dari tidur panjangnya. Jatuhnya Dilara waktu itu mengakibatkan pendarahan. Beruntung Gustav segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit, sehingga janin yang ada di rahimnya selamat. ***Setelah bangun dari tidurnya, Dilara amati ruangan yang
"Mas, sudah! Hentikan! Jangan berkelahi di tempat umum," lerai Dilara ketika Gustav dan Evan sedang melakukan baku hantam di area parkir restoran tersebut. Bukannya berhenti Evan malah memukul Gustav membabi buta. Tanpa sengaja Evan mendorong Dilara, dan Dilara terjatuh dengan posisi duduk di lantai yang berpaving. "Dilara!" teriak Gustav yang melihat Dilara jatuh dan segera menyudahi perkelahiannya dan berlari menolong Dilara yang terduduk memegang perutnya. Darah segar langsung keluar dari dalam selangkangnya. Tanpa aba-aba, Gustav langsung menggendong Dilara. "Biar aku gendong istriku!" pinta Evan pada Gustav dengan tatapan nyalang. "Biar orang mengatakan aku kurang ajar tapi aku tidak akan rela, jika Dilara mengalami kesakitan!" tidak membalas atau memberikan Dilara pada Evan. Gustav malah membentak Evan tepat di depan wajahnya. Tangan Evan yang tadinya hendak merebut Dilara dari tangan Gustav pun, ia turunkan tangannya
"Maafkan aku, Bapak-Mak, jika selama ini aku belum bisa berbakti pada kalian," isaknya terjeda. "Ternyata menjadi orang tua tidak lah mudah," lanjutnya, Dilara membayangkan betapa beratnya 'beban' kedua orang tua terutama seorang Ibu mengandung dan mengalami masa-masa ngidam saat hamil. Banyak yang bilang setelah trimester pertama atau setelah tiga bulan, ngidam akan berangsur membaik, tapi tidak dengan kondisi Dilara. Memasuki usia hampir lima bulan, Dilara masih merasakan mual dan lemas. Setelah membersihkan diri dan membereskan lantai yang kotor Dilara kembali ke kamar berganti pakaian. Evan yang sedari tadi di dalam kamar hanya diam memandangi setiap gerak-gerik Dilara tanpa bertanya sepatah kata pun. ***"Sudah selesai?" tanya Evan setelah Dilara keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. "Maksudnya? Apa yang sudah selesai?" Dilara memicingkan mata menatap Evan yang berjalan mendekat ke arah pintu kamar.
"Hemmb.. Ii.. Ii.. Itu." Dilara menjawab dengan tergagap, saat di tatap Gustav secara tajam melalui layar LCD itu. Pun saat duduk Dilara gelisah untuk mencari-cari alasan. Ide untuk 'berbohong' belum muncul, tapi perutnya sudah merasa mual, Dilara segera bangkit kemudian berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan yang dia makan pagi ini. Setelah Dilara kembali duduk dan menghadap layar monitor, Gustav memulai obrolan yang tadi tertunda. "Kamu ngidam apa, Dil?" tanya Gustav memandangi Dilara dengan tatapan lembut. Jauh berbeda dari tatapan sebelum Dilara muntah tadi. Dilara yang ditanya hanya diam, pikirannya kemana-mana jika ditanyai tentang keinginannya. "Banyak banget, Gus." jawab Dilara dengan mata berbinar, bahkan air liur pun seperti mau turun dari mulutnya. "Apa sebutkan?" pinta Gustav seperti ingin mengabulkan setiap permintaan Dilara. "Aah.. Gak ah.. Gak enak aku, kalo minta-minta ke kamu, Gus." jawab Dilara dengan nada sungk